Oleh: Iwan Setiawan, S.Sy. M.H (Dosen Hukum Ekonomi Syariah)
SYARIAH WIKI - Agama Islam adalah agama yang komprehensif, bukan hanya mengatur ritual seperti shalat, puasa, zakat, dan naik haji. Tetapi Allah memberikan aturan untuk hambanya dalam melaksanakan aktivitas sosial, termasuk didalamnya kegiatan ekonomi, baik itu produksi, distribusi, dan konsumsi. Bukan hanya itu, perlu diperhatikan juga bahwa ada hubungan antara kegiatan ekonomi dengan ibadah sehari hari.Dalam memandang kehidupan dunia dan akhirat yang mempunyai hubungan sebab akibat. Imam Al Ghazali menyatakan bahwa ada tiga golongan orang yang berbeda dalam menyikapi dunia dan akhirat. Pertama adalah orang yang memprioritaskan dunia dan melupakan akhirat, orang yang masuk pada golongan pertama ini termasuk pada golongan yang celaka. Kedua adalah orang yang meprioritaskan akhirat namun mengabaikan kehidupan dunia, orang yang seperti ini termasuk pada orang yang berhasil. Ketiga adalah orang yang seimbang dalam menjalankan kehidupan dunia dan menyiapkan kehidupan akhirat, orang yang termasuk pada golongan ini adalah orang yang selamat. (Yadi Janwari, Pemikiran Ekonomi Islam: 188).
Hubungan terhadap kehidupan dunia dan juga akhirat atau ibadah setiap muslim dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW. dalam sabdanya:
“Allah SWT. Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dan sungguh Allah SWT. telah memerintahkan kepada orang-orang yang beriman sebagaimana dia telah memerintahkan kepada para Rasul. Allah berfirman: “Wahai para Rasul makanlah dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal perbuatan yang shalih”. Sementara kepada orang-orang yang beriman Allah berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman makanlah dari kebaikan apa yang telah Kami berikan kepada kalian sebagai rezeki.” Kemudian Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menyebutkan ada seorang pria yang melakukan perjalanan jauh, pakaiannya kusut dan penuh debu. Dia mengangkat tangannya ke langit mengatakan, ‘Wahai Tuhanku, Wahai Tuhanku.’ Sementara makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram. Dan perutnya diisi dengan yang haram. Maka bagaimana orang tersebut bisa dikabulkan doanya.” (HR. Muslim).
Kegiatan ekonomi dalam hal ini konsumsi berpengaruh terhadap ibadah seseorang. Ketika apa yang dikonsumsinya, baik itu makanan atau minuman diperoleh dengan cara yang haram atau dzatnya haram, maka do’anya terhalang. Begitu juga ketika apa yang digunakannya mengandung sesuatu yang haram atau diperoleh dengan cara yang haram, ibadah do’anya tidak diterima. Padahal, jika melihat haditsnya, orang tersebut sudah melakukan tatacara berdo’a yang baik, menyebut nama Allah, mengangkat tangannya, dan dalam keadaan perjalanan. Tetapi, akibat dalam mengkonsumsi suatu produk tidak mengindahkan halal dan haram, do’anya menjadi terhalang.
Kehalalan suatu produk, tidak hanya dilihat dari bahan bakunya saja. Tetapi juga cara pengolahannya. Allah sudah tetapkan bahan baku yang diharamkan seperti babi, darah, bangkai, dan sebagainya, sehingga ketika ada produk yang memakai bahan baku haram, maka produk tersebut haram. Selain bahan bakunya, Allah pun menjelaskan prosesnya juga harus sesuai dengan syariah (halal dan thoyyib). Seperti sapi, didalam Islam merupakan bahan baku yang boleh untuk dikonsumsi, tetapi dengan syarat prosesnya harus sesuai dengan syariah yaitu melalui penyembelihan dengan menyebut nama Allah SWT.
Allah SWT berfirman:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala…” (Al Maidah: 3).
Ditengah kemajuan tekhnologi dimana bahan baku bisa diolah sedemikian rupa, bahkan namanya pun tidak semua orang mengetahuinya. Seperti gelatin, lard, dan shortening yang merupakan hasil olahan dari babi, baik itu diambil dari lemaknya atau pun proteinnya (Hayyun Durrotul Faridah, Sertifikasi Halal di Indonesia; Sejarah, Perkembangan, dan Implementasi: 71). Dalam hal ini peting sekali ada jaminan kehalalan suatu produk, mengingat penduduk Indonesia mayoritasnya adalah muslim dimana kegiatan ekonomi dalam hal ini konsumsi diatur oleh agama, meskipun didalam setiap kemasan selalu mencantumkan komposisi, namun jika istilah yang digunakan tidak diketahui oleh semua orang seperti gelatin, lard, dan shortening, bagaimana mungkin mengetahui kehalalan suatu produk. Oleh karena itu penting sekali adanya penanda bahwa suatu produk itu adalah halal.
Penanda kehalalan suatu produk itu adalah label halal (Pasal 1 (11) UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal). Jadi label itu sebatas simbol, tanda bahwa suatu produk itu telah diperiksa dzatnya maupun proses produksinya dan dinyatakan halal. Lembaga yang terlibat dalam menentukan kehalalan suatu produk itu terdiri dari Badan Penyelenggara Produk Halal (BPJPH) dibawah kementrian agama yang mempunyai kewenangan untuk membuat aturan terkait dengan jaminan produk halal dan mencabut serta menerbitkan sertifikat halal. (Pasal 6 UUJPH).
Selain BPJPH, lembaga yang terlibat dalam jaminan produk halal adalah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Kerjasama antara BPJPH dengan MUI untuk melakukan auditor halal, penetapan kehalalan suatu produk, dan akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). (Pasal 10 UUJPH). Sedangkan LPH melakukan pengujian suatu produk, dari mulai bahan baku yang digunakan dan proses produksinya kemudian hasilnya diserahkan kepada BPJPH untuk nanti diteruskan ke MUI guna menentukan kehalalannya. (Pasal 7, 31, 32 UU JPH).
Adanya aturan terkait dengan jaminan kehalalan suatu produk yang tertuang dalam undang undang nomor 33 tahun 2014 dan peraturan dibawahnya bertujuan untuk menciptakan kepastian hukum bagi konsumen, mewujudkan kenyamanan dan keselamatan, sehingga konsumen dalam hal ini muslim akan merasa tenang, serta tidak lagi khawatir produk yang dikonsumsinya haram. Selain konsumen, pelaku usaha pun akan diuntungkan karena produknya mempunyai nilai tambah. (Pasal 3 UU JPH).