PERKEBANGAN SEJARAH FIQIH

 

BAB I

PENDAHULUAN

 

A.    LATAR BELAKANG

              Hukum islam dalam perjalanan panjangnya senantiasa mengalami dinamika. Masa perjalanan hukum islam sendiri sebenanrnya dapat diklarifikasikan menjadi beberapa fase, yaitu masa rasulullah, masa sahabat dan masa tabi’in, selain itu juga di susul dengan masa tabi’it tabi’in. pada rasulullah persoalan hukum yang dihadapi oleh umat islam terbilang belum begitu kompleks. selain itu penetapan suatu hukum atas persoalan yang terjadi masih di serahkan penuh kepada Rasulullah SAW. Kemudian pasca beliau wafat, persoalan yang dihadapi oleh umat islam semakin komplek, dan terkadang suatu permasalahan yang di hadapi oleh umat islam pada saat itu belum di jumpai pada zaman Rasuullah. Atas dasar itu lahirlah sebuah ilmu ashul fiqh sebagai jawaban atas persoalan yang di hadapi oleh umat islam. Jika di teliti lebih jauh lagi, sebenarnya embrio ushul fiqh telah ada sejak Rasulullah masih hidup. Kemudian setelah beliau wafat kajian mengenai ushul fiqh semakin mendapatkan perhatian yang cukup besar dari kalangan ahli hukum islam.

             

Ada  beberapa pendapat yang menjelaskan mengenai asal dariushul fiqh. Secara teoritis, ilmu ushul fiqh lebih dahulu lahir dari ilmu fiqh, karena ushul fiqh sebagai alat untuk melahirkan fiqh. Akan tetapi, fakta sejarah menunjukan, ushul fiqh bersamaan lahirnya fiqh. Sedangkan dari segi penyusunanya, ilmu fiqh lebih dahulu lahir dari pada ilmu ushul fiqh.[1]Namun, terlepas dari hal itu, dalam pembahasan makalah ini akan di jelaskan secara rinci mengenai hal ikhwal sejarah perkembangan ushul fiqh

Dari penjelasan diatas dapat kami menyimpulkan beberapa rumusan masalah:

B.     RUMUSAN MASALAH

 

1.      perkembangan fiqh pada masa nabi?

2.      Bagaimana perkembangan fiqh pada masa sahabat dan tabi,in?

3.      Bagaimana tahap-tahap perkembangan fiqh?

4.      Bagaimana sejarah terjadinya kemunduran dan kembangkitan fiqh?

Dari penjelasan diatas dapat kami menyimpulkan tujuan masalah di pembahasan makalah kerdil ini.                                                                                   

C.     TUJUAN MASALAH

    Tujuan dalam makalah ini kami akan mencoba mengulas tentang sejarah perkembangan fiqh mulai zaman Nabi hingga sampai fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu tersendiri. Agar kita mengerti tentang sejarahnya dan dapat bermanfaat bagi semua orang khususnya umat islam.

 

BAB II

PEMBAHASAN

 A.       PENGERTIAN ILMU USHUL FIQIH

    Pengertian ushul fiqih dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, sebagai rangkaian dari dua kata: ushul dah fiqh. Kedua, sebagai satu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syariat.

    Dilihat dari sudut tata bahasa (Arab), rangkaian dua kata itu memberi pengertian ushul fiqih tersebut dinamakan terkib idhafi, sehingga dua kata itu member pengertian ushul bagi fiqih. Ushul adalah kata bentik jamak dari kata ashl yang berarti “sesuatu yang dijadikan dasar bagi sesuatu yang lain”. Dari pengertian ini, ushul fiqh berarti sesuatau yanag dijadiakan dasar bagi fiqih.

    Sebagai nama dari suatu bidang ilmu dari ilmu-ilmu syariat, para ulama mengungkapkan defenisi ini dalam berbagai pengertian. AL-Khudhary, misalnya, mengartikan ilmu ushul fiqih sebagai “kaidah-kaidah yang denganyadiistinbathakan hukum-hukum syara’ dari dalil-dalil tertentu.”[2]

       Abdul Wahhab Khallaf mendefenisikannya dengan:

“ilmu tentang kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dijadikan sarana untuk memperoleh hukum-hukum syara’ mengenai perbuatan dari dalil-dalilnya yang terperinci.”[3]

PENGERTIAN FIQIH

Baca Juga Pengertian Syariah, Fiqh dan Ushul Fiqh

       Adapun pengertian fiqih pada mulanya diartikan sebagai pengetahuan keagamaan yang mencangkup seluruh ajaran agama, baik berupa akidah (ushuliah) maupun amaliah (furu’ah). Ini berarti fiqih sama dengan pengertian syari’ah Islamiyah yaitu pengetahuan tentang hukum shariah Islamiyah yang berkaitan dengan perbuatan manusia yang telah dewasa dan berakal sehat (mukallaf) dan diambil dari dalil yang terperinci.

        Untuk lebih jelasnya tentang defenisi fiqih secara terminology dapat dikemukakan pendapat para ahli fiqih terdahulu, yaitu:

Fiqih adalah yang menjelaskan tentang hukum syar’iyah yang berhubungan dengan segala tindakan manusia, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang diambil dari nash-nash yang ada, atau dari mengistibatkan dalil-dalil syariat islam. Yang bersumber-bersumber pada Al-Qur’an, Al-Sunnah, Qiyas, Ijmak.

 Menurut Amar:

Fiqih adalah ilmu yang menerangkan hukum-hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliyah yang diusahakan memperolehnya dari dalil yang jelas (tafshili)”.

Ushul Fiqh adalah keterangan tentang dalil-dalil hukum ini  dan pengetahuan akan aspek-aspek penunjukkannya terhadap hukum-hukum, secara garis besar tidak secara terperinci.

Menurut Amar:

Ushul Fiqh adalah keterangan tentang dalil-dalil hukum secara garis besar.

   # Periode pertama

Fase tasyri’, yaitu masa Rasulullah, yang lamanya 22 tahun dan beberapa bulan, sejak dari tahun ke-13 sebelum Hijiriyah s/d tahun 11 Hijiriyah, atau tahun 611 M s/d 632 M.

   # Periode kedua

Fase perkembangan fiqh periode para Khulafaur Rasydin dan Amawiyin, yang berlangsung darit tahun 11 H (= 632 M) s/d 40 H (= 720 M).

     # Periode ketiga

Fase perkembangan fiqh periode kesempurnaan, yaitu periode Imam-imam Mujthahidin, yaitu masa keemasan Daulah ‘ Abbasiyah. Periode ini berlangsung +- 250 tahun, sejak tahun 101 H (= 720 M) s/d 350 H (= 961 M). atau sampai permulaan abad 2.

    # Periode keempat

Fase perkembangan fiqh periode kemunduran dan periode taqlil atau periode jumud, beku, statis, dan berhenti pada batas-batas yang telah di tentukan oleh ulama-ulama dahulu dengan tak mau beranjak lagi, yaitu sejak pertengahan abad keempat Hijriah tahun 351 H, yang sampai sekarangpun masih bnyak terdapat luas perkembangannya dalam masyarakat.

    # Periode kelima

Periode kebangkitan mulai dari terbitnya buku itu sampai sekarang.

    # Objek kajian Ushul Fiqh dan Fiqh

Objek kajian Ushul fiqh adalah dalil-dalil syara’ kulli yang melaluinya digali hukum syara’. Dalam ushul fiqh juga dibahas mengenai lafal aam, khas, mutlak, muqayyad, qathi’, zanni, amar, nahi, dan sebagainya. Ushul fiqh membahas pula jalan keluar dari dalil-dalil yang secara zahir keliatan bertentangan . Ushul fiqh mengkaji hukum-hukum syara’ yang meliputi tuntutan[4]bertaubat, meninggalkan dan pilihan berbuat atau meninggalkan serta hal-hal yang terkait dengan syarat, sabab, mani’, sah, batal, rukhsah, azimah, hakim, mahkum fih, mahkum ‘alaih.


Bahkan secara khusu persoalan ijtihad, syarat dan kriteria orang yang dapat melakukan ijtihad pun menjadi langan kajian ushul fiqh. Sedangkan objek kajian fiqh adalah semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara’. Dengan kata lain, seorang faqih dalam studinya akan membahas tentang seluk beluk hukum shalat,  puasa, haji, zakat, jual beli, sewa menyewa, pernikahan , waris, wakaf, jinayat dan hukum hukum lain yang ada hubungan nya dengan tindakan mukallaf.

# Aliran-aliran Ushul Fiqh

Dalam sejarah perkembangan ushul fiqh dikenal tiga aliran yang berbeda yaitu[5]:

1.Aliran Syafi’iyyah atau sering dikenal pula dengan sebutan aliran mutakallimin (ahli kalam )

2.Aliran Hanafiyyah yang banyak dianut oleh ulama mazhab Hanafi. Dalam menyusun ushul fiqh, aliran ini banyak mempertimbangkan masalah-masalah furu; yang terdapat dalam mazhab mereka.

3.Aliran Muta’akhirin adalah aliran yang menggabungkan kedua system yang dipakai dalam menyusun ushul fiqh oleh aliran Syafi’iyyah dan Hanafiyyah. Ulama-ulama Muta’akhirin melakukan tahqiq terhadap kaidah-kaidah ushuliyah yang dirumuskan kedua aliran tersebut, lalu mereka meletakkan dalil-dalil dan argumentasi untuk pendukungnya serta menerapkan pada furu; fiqhiyah.

B.        SEJARAH PERKEMBANGAN FIQIH (TARIKH TASYRI’)

             Tarikh tasyri’ atau sejarah fiqih islam, pada hekekatnya, tumbuh dan berkembang dimasa   Nabi sendiri, karena Nabi lah yang mempunyai wewenang untuk mentasyri’ kan hukum, dan berakhir dengan wafatnya Nabi. Dan yang dimaksud masa kenabian yaitu masa dimana hidup Nabi Muhammad saw, dan para sahabat yang bermula dari keturunan wahyu sampai berakhir dengan wafatnya Nabi pada tahun 11 H. era ini merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan fiqih islam. suatu masa turunya syariat islam dalam pengertian yang sebenarnya.[6]

             Turunya syariat dalam peruses munculnya hukum-hukum syariah hanya terjadi pada era kenabian ini sebab syariat itu turun dari Allah dan itu berakhir dengan turunnya wahyu setelah nabi wafat. Nabi sendiri tidak punya kekuasaan untuk membuat hukum-hukum syar’iyah karena tugas seorang rosul hanya menyampaikan hukum-hukum syar’iyah itu kepada umatnya.

Baca Juga Hukum Pernikahan

C.        PERIODESASI FIQH PADA MASA RASULULLAH

 Fase ini bermula saat Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW membawa wahyu berupa Al-quran ketika baginda sedang berada dalam Gua Hira pada hari jum’at 17 Ramadhan tahun ketiga belas sebelum hijiriah bertetapan dengan tahun 610 M. wahyu terus turun pada baginda Rasulullah di Makah selama 13 tahun dan terus berlangsung ketika beliau berada di Madinah.

Terkadang wahyu turun kepada Nabi dalam bentuk Al-qur’an yang merupakan kalam Allah dengan makna dan lafatnya, dan terkadang wahyu yang hanya berupa makna sementara lafatnya dari Nabi atau yang kemudia  terminifestasi dalam bentuk hadits. Dengan dua pusaka inilah perundang-undangan islam di tetapkan dan di tentukan. Atas dasar ini, fiqh pada masa ini mengalami dua periodesasi.[7]

a.       Periode Mekah

Periode ini terhitung sejak diangkatnya baginda Rasulullah sebagai Rasul sampai beliau hijrah ke madinah. Periode ini berlangsung selama 13 tahun.

Perundang-undangan hukum islam atau fiqh pada periode ini lebih terfokuskan pada upaya mempersiapkan masyarakat agar dapat menerima hukum-hukum agama, membersihkan aqidah dari menyembah berhala kepada menyembah Allah.

Oleh sebab itu, wahyu pada periode ini turun untuk memberikan petunjuk dan arahan kepada manusia atas dua perkara utama:

1.      Mengokohkan aqidah yang benar dalam jiwa atas dasar iman kepada Allah, dan bukan untuk yang lain, beriman kepada malaikat, kitab-kitab, Rasul, takdir Allah dan hari akhir.

2.      Membentuk akhlak manusia agar memiliki sifat yang mulia dan menjauhkan dari sifat yang tercela.

b.      Periode madinah

Priode ini berlangsung sejak hijrah Rasulullah dari mekkah hingga beliau wafat. Periode ini berjalan selama 10 tahun. Pada periode ini fiqh lebih menitikberatkan pada aspek hukum-hukum praktikal dan dakwah islamiah pada fase ini membahas tentang aqidah dan akhlak. Oleh sebab itu perlu adanya perundang-undangan yang mengatur tentang kondisi masyarakat dari tiap aspek, satu persatu ia turun sebagai jawaban terhadap semua permasalahan, kesempatan, dan perkembangan.

Dalam masa ini umat islam berkembang dengan pesatnya dan pengikutnya terusmenerus bertambah, sehingga timbullah keperluasan untuk mengadakan syari’at dan peraturan-peraturan, karena masyarakat satu dengan lainya, baik dalam masa damai ataupun dalam masa perang.

Pada periode madinah turun ayat-ayat menerangkan hukum-hukum syar’iah dari semua persoalan yang dihadapi manusia, baik ibadat seperti salat, zakat, puasa, haji, dan muamalat seperti aturan jual beli, masalah kekeluargaan, kriminalitas higga persoalan-persoalan ketata negaraan. Dengan kata lain, periode madinah dapat pula disebut periode kehidupan masyarakat Madinah yang layak  dan dilanjutkan dengan praktek-praktek pemerintahan yang dilakukan oleh Nabi saw, sehingga menampilkan islam sebagai suatu kekuatan politik[8].

Karena itulah surat-surat Madiniyah, seperti surah-surah al-Baqarah, Al-imran, An-Nisa, Al-Maidah, Al-Anfal, At-Taubah, Al-Ahzab, banyak mengandung ayat-ayat hukum di samping mengandung ayat-ayat aqidah, akhlak, sejarah, dll.

c.       Sumber hukum pada periode Rasulullah

1.      Al-quran

Al-quran diturunkan kepada rasulullah tidaklah sekaligus, turun sesuai dengan kejadian atau peristiwa dn kasuh-kasus tertentu serta menjelaskan hukum-hukumnya, member jawaban atas pertanyaan-pertanyaan jawaban terhadap permintaan fatwa[9]. Contoh kasus seperti : larangan menikahi wanita musyrik. Peristiwanya berkenaan dengan marisad al- ganawi yang meminte izin kepada Nabi untuk menikahi wanita musyrikah, maka turun ayat:

“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman”. (Qs.Al-Baqarah : 221)

2.      As-Sunnah

As-sunnah berfungsi menjelaskan hukum-hukum yang telah di tegaskan dalam Al-quran, seperti shalat di jelaskan cara-caranya dalam Al-sunnah. Disamping itu juga menjadi penguat bagi hukum-hukum yang telah di tetapkan dalam Al-quran. Ada pula hadist yang membri hukum tertentu, sedangkan prinsip-prinsipnya telah di tetapkan dalam Al-quran.

Penjelasam Rasulullah tentang hukum ini sering dinyatakan dalam perbuatan Rasulullah sendiri, atau dalam keputusan-keputusannya dan kebijaksanaannya ketika menyelesaikan satu kasus, atau lebih karena menjawab pertanyaan hukum yang di ajukan kepadanya, bahkan bisa terjadi dengan diamnya Rasulullah dalam menghadapi perbuatan sahabat yang secara tidak langsung menunjukan kepada di perolehkannya perbuatan tersebut, hal ini sesuia dengan ayat :

“Dan kami turunkan kepadamu Al-quran agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah di turunkan kepada mereka” .(Qs. An-Nahl : 44)

Baca Juga Hukum Pernikahan

3.      Ijtihat pada masa rasulullah

Pada zaman Rasulullah-pun ternyata ijtihat itu di lakukan oleh rasulullah dan juga di lakukan oleh para sahabat, bahkan ada kesan Rasulullah mendorong para sahabatnya untuk berijitihat seperti terbukti dari cara rasulullah sering bermusyawarah dengan para sahabatnya dan juga dari kasus Muaz bn jabal di utus ke yunan, hanya saja ijitihat pada zaman rasulullahini tidak seluas pada zaman sesudah Rasulullah, Karena banyak masalh-masalah yang di tnyakan kepada rasulullah kemudian langsung dijawab dan di selesaikan oleh Rasulullah sendiri. Disamping itu ijitihat para sahabat pun apabila salah, Rasulullah mengembalikannya kepada yang benar. Seperti dalam  kasus ijitihat Amar bin Yasir yang berjunub (hadas besar) yang kemudian bergulinng- guling di pasir untuk menghilangkan hadast besarnya. Cara ini salah, kemudian rasulullah menjelaskan bahwa orang yang berjunub tidak menemukan air cukup dengan tayamum. Ijitihat Rasulullah dan pemberian izin kepada para sahabat untuk berijitihat memberikan hikmah yang besar karena : “memberikan contoh bagaimana cara penarikan hukum dalil-dalil yang kulli, agar para sahabat bagaimna cara penerikanhukum dari dalil-dalil yang kuli, agar para ahlu hukum islam (para fuqaha) sesudah beliau dengan potensi yang ada padanya bisa memecahkan masalh- salah baru dengan mnengembalikannya kepada prinsip-prinsip yang ada dalam Al-quran dan As-sunnah”[10].

Dapat disimpulkn, pada zama rasulullah, sumber hukum itu adalah Al-quran dan As-sunnah. Keduanya di wariskan kepada generasi sesudahnya, dalam hadist dinyatakan : “aku tinggalkan [adamu dua hal, kamu tidak akan sesat apabila berpedoman kepada keduanya, yaitu kitabullah dan sunnah Rasullnya”.

Dengan wafatnya Rasulullah saw, maka berarti wahyu yang diturunkan pun ikut berhenti. Keduukan beliau dig anti oleh Khulafaur Rasydin. Adapun tugas dari seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat pertahanan Negara.

Masa mulai dari periode Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat yang senior, hingga lahirnya Imam Madzhab yaitu dari tahun 11-132 H. ini meliputi periode Khulafaur Rasyidin (11-40 H = 631-661 M).

Pada masa ini daerah kekuasaan islam semakin luas, meliputi beberapa daerah di luar semenanjung Arabia, seperti Mesir, Syria, Iran (Persia) dan Iraq. Dan bersamaan dengan itu pula, agama Islam berkembang dengan pesat mengikti perkembangan daerah tersebut.

Periode sahabat ini, kaum muslimin telah memiliki rujukan hukum syari’at yang sempurna berupa AL-Quran dan Hadist Rasul. Kemudian di lengkapi denagan ijma’ dan qiyas, di perkaya dengan adat istiadat dan peraturan-peraturan berbagai daerah yang bernaung di bawah naungan islam.dapat kita tegaskan bahwa di zaman khulafaur rasyidin lengkaplah dalil daliltasri islami (dasar-dasar fiqih islam) yang empat, yaitu: Al-kitab, As sunnah, Al-qiyas atau ijitihat, atau ra’yu dan ijma’ yang bersandar pada Al-kitab, atau As sunnah, atau Qiyas(Djafar, 1992).

Sahabat-sahabat besar dalam periode ini menafsirkan nash-nash hukum dari Al-quran maupun dari Al-hadist, yang kemudian menjadi pegangan untukmanafsirkan dan menjelaskan nash-nash itu, selain itu para sahabat besar member pula fatwa-fatwa dalm berbagai masalah besar member pula fatwa-fatwa dalam berbagai masalah terhadap kejadian-kejadian yang tidak ada nashnya yang jelas mengenai hal itu, yang kemudian menjadi dasar ijtihat( Asshiddieqi, 1999).

             Metode yang di gunakan pada masa sahabat dapat di tempuh melalui beberapa cara di antaranya :

1.      Dengan semata pemahaman lafaz yaitu memahami maksud yang terkandung dalam lahir lafaz. Contohnya bagaimana hukum membakar harta anak yatim. Ketentuan jelas  dalam Al-quran hanya larangan memakan harta anak yatim secara aniaya, sedangkan hukum membakarnya tidak ada. Kerena semua orang itu tahu bahwa membakar dan memakan harta itu sana dalam hal mengurangi atau menghilangkan harta anak yatim, maka keduanya juga sama hukumnya yaitu haram. Cara ini kemudian di sebut penggunaan metode mafhum(paham).

2.      Dengan cara memahami alas an atau illat yang dapat dalam suatu kasus (kejadian) yang baru, kemudian menghubungkannya kepada dalil nash yang memiliki alas an atau illat yang sama dengan kasus tersebut. Cara ini kemudian di sebut metode qiyas.

Pada masa sahabat merupakan perkembangan fiqih yang diistilahkan sebagai masa muda remaja dan dimulai dari periode Khulafaur Rasyidin dan sahabat-sahabat senior hingga lahirnya Imam mazhab dari tahun 11-132 H. meliputi periode Khulafau rasyidin (11-40 H= 632-661 H) dan periode Umayyah (40-132 H = 661-750 M).

Ada 3 keistimewaan yang menonjol pada asa Khulafaur Rasyidin, yaitu :

a.       Kondifikasi ayat-ayat al-quran serta menyebarkannya yang di maksudkan untuk mempersatukan umat isalam dalam satu wajah tenang bacaan Al-quran agar tidak ada perbedaan yang berakibat perpecahan.

b.      Pertumbuhan tasyri’ dengan ra’yu sebagai motivasi besar terhadap para fuqaha untuk menggunakan rasio sebagai sumber ketiga yaitu qiyas.

c.       Pengaturan peradilan.

Setelah masa Khulafaur Rasyidin kemudian di ganti dengan masa dinasti Umayyah, berkembanglah Ahlul Hadist di samping Ahlul Ra’yi. Bahkan perbedaan pendapat antara 2 kelompok ini semakin tajam pada dinasti Abbasiyah (132-656 H) dan kian bertambah subur dan berkembang dengan baik serta menjadi gerakan ilmiah yang berpengaruh luas yang kemudian melahirkan mazhab-mazhab fiqhi dalam islam. keistimewaan pada periode Khulafaur Rasyidin bahwa fiqh pada masa ini muncul sesuai dengan berjalannya waktu. Dalam artian, kapan ada suatu permasalahan yang tidak terdapat di dalam Nash, maka para mujtahidin berusaha menggali hukumnya dari Al-quran dan menjadikan dalam satu mushaf. Hal ini terjadi karena untuk menghindari perpecahan diantara umatisalam yang sudah mulai merambah ke seluruh tanah Arab.dalam masa ini juga belum ada periwayatan hadist, kecuali jika ada sebuah kebutuhan untuk mengetahui suatu hukum. Di masa ini juga telah menghadirkan suber hukum baru yaitu ija’. Dan ini banyak timbul permasalahan yang merunjuk pada ijma.

Baca Juga Hukum Pernikahan

D.        PERIODESASI FIQH PADA MASA TABI’IN

Pada masa tabi’in, tabi,-tabi’in dan para imam mujthahid, di sekitr adab II dan III Hijriyah wilayah kekuasaan islam telah menjadi semakin luas, smpai ke daerah-daerah yang di huni oleh orang-orang yang bukan bangsa Arab atau tidak berbahasa Arab dan beragam pula situasi dan kondisinya serta adat istiadadnya. Banyak diantara para ulama yang bertebaran di daerah-daerah tersebut dan tidak sedikit penduduk daerah-daerah itu yang memeluk agama islam. Dengan semakin tersebarnya agama islam di kalangan penduduk dari berbagai daerah tersebut, menjadikan semakin banyak persoalan-persoalan hukum yang timbul. Yang tidak didapati ketetapan hukumnya dalam Al-quran dan As-sunnah. Untuk itu para ualama yang tinggal di berbagai daerah itu berijitihat mencari ketetapan hukumnya. Periode ini disebut juga periode pembinaan dan pembukuan hukum islam. pada masa ini fiqih islam mengalami kemajuan yang sangat pesat sekali. Penulisa dan pembukuan hukum islam di lakukan dengan intensif, baik berupa penulisan hadist-hadist nabi, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in, tafsir Al-quran, kumpulan pendapat imam-imam fiqih, dan penyusunan usul fiqh[11].

1.      Metode tabi’in dalam mengenal hukum

Pada periode ini ialah, “menerima hukum yang dikumpulkan oleh seseorang mujtahid dan memandang pendapat mereka seolah-olah nash syara’ sendiri.” Jadi taqlid itu menerima saja pendapat seseorang mujtahid sebagai nash hukum syara’. Dalam periode taqliq ini, kegiatan para ulama’ islam banyak mempertahankan ide dan mazhabnya masing-masing.

sebelumnya perlu ditegaskan bahwa setiap mazhab fiqh mempunyai ushul fiqh. Hanya saja, metode penulisan mereka berbeda. Metode penulisan ushul fiqh yang ada yaitu;

2.      Metode mutakallimin

Metode penulisan ushul fiqh ini memakai pendekatan logika (mantiqy), teoritik (furudl nadzariyyah) dalam merumuskan kaidah, tanpa mengaitkannya dengan furu’. Tujuan mereka adalah mendapatkan kaidah yang memiliki justifikasi kuat. Kaidah ushul yang dihasilkan metode ini memiliki kecenderungan mengatur furu’ (hakimah), lebih kuat dalam tahqiq al masail dan tamhish al khilafat. Metod ini jauh dari ta’asshub, karena memberikan istidlal aqly yang sangat besar dalam perumusan. Hal in ibis di lihat pada Imam al Haramain yang kadang berseberangan dengan ulama lain. Dianut antara lain oleh; syafi’ iyyah, Malikiyyah, Hanabillah dan syiah.

3.      Metode fuqaha’

Tidak di perdebatkan bahwa Abu Hanifah memiliki kaedah ushul yang beliau gunakan dalam istinbath. Hal ini terlihat dari manhaj beliau, mengambil ijma’ shabat, jika terjadi perbedaan memilih salah satu dan tidak keluar dari pendapat yang ada, beliau tidak menilai pendapat tabiin sebagai hujjah. Namun, karena tidak meninggalkan kaidah tersebut dalam bentuk tertulis, pengikut beliau mengumpulkan mail/furu’ fiqhiyyah, mengelompokan furu’ yang memiliki keserupaan dan menyimpulkan kaidah ushul darinya. Metode ini dianut mazhab Hanafiyyah. Sering di pahami sebagai takhrij al ushul min al furu’. Metode ini adalah kebalikan dari metode mutakkalimin.

Periode  ini lahir pada abad ke 4 H (tahun ke 12 M), yang berarti sebagai penutupan periode ijitihad atau periode tadwin (pembukuan). Mula – mula masa kemunduran dalam bidang kwbuadayaan islam, kemudian berhentilah perkembangan hukum isalm dan fiqh islam. pada umumnya, ulama yang berbeda pada masa itu sudah lemah kemampuannya utuk mencapai tingkat  dan selalu bertambah dari masa ke masa. Keadaan ini menentang mereka untuk menafsirkan ayat ayat al quran atau hadist-hadist nabi berdasarkan penalaran ilmiah yang intens (ijtihad).

E.         MASA KEBANGKITAN FIQH

Fase ini di mulai dari akhir abad ke-13 H sampai pada hari ini. Oleh karena itu fase ini mempunyai karakteristik dan corak tersendiri, antara lain dapat menghadirkan fiqih ke zaman baru yang sejalan dengan perkembngan zaman, dapat memberi saham atau masukan dalam menentukan jawaban bagi setiap permasalahan yang muncul pada hari ini dari sumbernya yang asli, menghapus taqlid, dan tidak terpaku dengan mazhab atau kitab tetentu. Indikasi kebangkitan fiqh pada zaman ini dapat di lihat dari luar aspek pertama pembahasan fiqh islam dan kedua kodefikasi fiqh islam[12].

1.      Pembahasan Fiqh Islam

Pada zaman ini para ulama memberikan perhatia yang sangat besar pada fiqh islam baik dengan cara menulis buku ataupun mengkaji sehingga fiqh islam bisa mengembalikan kegemilangannya melalui tangan ulama apabila kita ingin melihat kebangkitan fiqh islam pada zaman ini dapat kita rincikan secara berikut:

Memberikan perhatian khusus terhadap kajian madzhab-madzhab utama an pendapat-pendapat fiqhiyah yang sudah di akui dengan tetap mengedepankan prinsip persamaan tanpa ada perlakuan khusus antara satu mazhab dengan mazhab yang lain.

·         Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh yang sistematik (terperinci)

·         Memberikan perhatian khusus terhadap kajian fiqh komparasi (perbandingan antara mazhab fiqh islam)

·         Mendirikan lembaga-lembaga kajian ilmiah dan menerbitkan ensiklopedia fiqh.

2.      Kodifikasi hukum fiqh

Yang dimaksud dengan kodifikasi adalaha upaya mengumpulkan beaerapa masalh fiqh dalam satu bab dalam bentuk butiran bernomor. Dan jika ada masalah maka setiap masalah akan di rujuk pada materi yang sudah di susun dan pendapat ini akan menjadi kata putus dalammenyelesaikan perselisihan.

 Tujuan dari kodifikasi ini adalah untuk merealisasikan dua tujuan berikut:

·         Menyatukan semua hukum dalam setiap masalah yang memiliki kemiripan sehingga tidak terjadi tumpang tindih, masing-masing hakim memberikan keputusan sendiri, tetapi seharusnya mereka sepakat dengan materi undang-undang tertentu dan tidak boleh di langgar untuk menghindari keputusan yang kontra.

·         Memudahkan para hakim untuk merujuk semua hukum fiqh dengan susunan sistematik, ada bab-bab yang teratur sehingga mudah untuk di baca.

BAB III

PENUTUP

A.      Kesimpulan

Fiqh adalah sekumpulan hukum syara’ yang berhubungan dengan perbuatan yang diketahui melalui dalil-dalilnya yang terperinci dan dihasilkan dengan jalan ijtihad. Sedangkan Ushul fiqh adalah ilmu kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasannya yang merupakan cara untuk menemukan hukum-hukum syara’ yang amaliah dari dalil-dalilnya yang terperinci. Ushul fiqh mengkaji hukum-hukum syara’ yang meliputi tuntunan berbuat, meninggalkan. Kajian Fiqh adalah semua perbuatan mukallaf yang berkaitan dengan hukum syara’,yang membahas tentang seluk beluk hukum-hukum islam dan yang ada hubungan nya dengan tindakan mukallaf. Kegunaan utama ilmu ini adalah untuk mengetahui kaidah-kaidah yang bersifat kulli (umum) dan teori-teori yang terkait dengan untuk diterapkan pada dalil-dalil tafsili (terperinci) sehingga dapat di istinbathkan hukum syara’ yang ditunjukkan. Dan dengan ushul fiqh dapat dicarikan jalan keluar menyelesaikan dalil-dalil yang kelihatan bertentangan satu sama lain. Dan juga kegunaannya dapat menerapkan hukum syara’ terhadap segala perbuatan dan perkataan mukallaf, yang merupakan rujukan bagi hakim dalam menetapkan keputusan nya dan menjadi pedoman bagi mufti dalam mengeluarkan fatwa. Bahkan fiqh menjadi petunjuk berharga bagi setiap mukallaf dalam menetapkan hukum perkataan dan perbuatannya sehari-hari.

B.       Saran

Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber pengetahuan bagi semua orang dan semoga bermanfaat. Kami menyadari sepenuhnya bahwa kami hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa, oleh sebab itu kami sadar bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat harapkan kritik dan saran yang membangun dari semua pihak terutama dari dosen yang bersangkutan, agar kedepannya dapat membuat yang lebih baik.



[1]Abd. Rahman, Dahlan,Ushul Fiqih, Jakarta:AMZAH, 2011, hlm:20.

[2]Muhammad AL-Khudhary Beik, Ushul fiqih, (mesir:Darul Fikri, 1969) hlm:12

[3]Khallaf, Alaidin.,op.cit.., hlm:12

[4]Rahmat Syafei, Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia, 1998) Hal: 23

[5] Ibid 45

[6]Sirry, Mun’imA. Sejarah fiqih islam,(Yogyakarta:Cv Pustaka Setia, 1996) hal:30

[7]Yaitu periode Mekkah dan Madinah

[8]Ash-Shiddieqy, M. Hasbi, Pengantar Fiqih, (Jakarta:PT. Pustaka Al-Husna, 1974) hal:32

[9]Ali Assa-Is, Muhammad, Tarikh Attasyri Al-Islam (Jakarta:PT. Pembangunan, 1985) hal: 16

[10]Ali al-Sayis, Muhammad., Op.Cit., hal: 35

[11]https://Enamardianningsih.Wordpress.com

[12]https://Enamardianningsih.Wordpress.com

LihatTutupKomentar