PENDEKATAN TEOLOGIS






PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dewasa ini kehadiran agama semakin dituntut agar ikut terlibat secara aktif didalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi manusia. Agama tidak boleh hanya sekedar menjadi lambang kesalehan atau berhenti sekedar disampaikan dalam khotbah, melainkan secara konsepsional menunjukkan cara-cara yang paling efektif dalam memecahkan masalah.
Tuntunan terhadap agama yang demikian itu dapat dijawab manakala pemahaman agama yang selama ini banyak menggunakan pendekatan teologis normatif dilengkapi dengan pemahaman agama yang menggunakan pendekatan lain, yang secara operasional konseptual, dapat memberikan jawaban terhadap masalah yang timbul.
Agama sebagai objek kajian dapat didekati dengan mempergunakan berbagai pendekatan. Pendekatan teologi dalam memandang suatu agama atau ajaran terkadang masih sulit untuk mewujudkan objektivitas, sebab sering seorang peneliti dalam melakukan penelitian, diwarnai dengan pola pikir berdasarkan doktrin yang dianutnya. Kecenderungan seperti itu, cenderung melahirkan hasil penelitian yang bersifat apologis dan menutup mata terhadap kemungkinan adanya kebenaran ajaran-ajaran di luar yang dianutnya.[1]
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dapat dilakukan. Hal demikian perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional dapat dirasakan oleh penganutnya, sebaliknya tanpa mengetahui berbagai pendekatan tersebut, tidak mustahil agama menjadi sulit difahami oleh masyaraat dan tidak fungsional. Berbagai pendekatan tersebut diantaranya ialah pendekatan teologis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan disini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami agama.[2] Dan di sini kami mengajak anda untuk mengetahui lebih lanjut seperti apa itu pendekatan teologis dalam studi agama.
Pentingnya kajian pendekatan teologis ini dibahas dan dipahami melalui makalah ini, karena di setiap agama memiliki sikap-sikap keberagamaan, yang sering kita jumpai bahwa di antara semua agama terdapat kalaim-klaim kebenaran dan keselamatan masing-masing, yang menganggap agama yang mereka anut dan pahami adalah agama yang benar.
B.     Rumusan Masalah

1.        Apakah pengertian pendekatan Teologis?
2.        Sebutkan dan Jelaskan berbagai macam pendekatan teologis ?
3.        Bagaimanakah Sejarah munculnya teologis ?
4.        Bagaimanakah peta konsep pendekatan teologis dalam perspektif normatif dan historis ?

C.    Tujuan 

1.        Untuk mengetahui pengertian pendekatan Teologis.
2.        Untuk mengetahui berbagai macam pendekatan teologis.
3.        Untuk mengetahui Sejarah munculnya teologis.
4.        Untuk mengetahui peta konsep pendekatan teologis dalam perspektif normatif dan historis.













PEMBAHASAN
A.    Pengertian Pendekatan Teologi
Istilah teologi, dalam bahasa Yunani adalah "theologia". Istilah yang berasal dari gabungan dua kata "theos, Allah" dan "logos, logika". Arti dasarnya adalah suatu catatan atau wacana tentang, para dewa atau Allah. Bagi beberapa orang Yunani, syair-syair seperti karya Homer dan Hesiod disebut "theologoi". Syair mereka yang menceritakan tentang para dewa yang dikategorikan oleh para penulis aliran Stoa (Stoic) ke dalam "teologi mistis". Aliran pemikiran Stois yang didirikan oleh Zeno (kira-kira 335-263 sM.) memiliki pandangan "teologi natural atau rasional", yang disebut oleh Aristoteles, dengan istilah "filsafat teologi", sebutan yang merujuk kepada filsafat teologi secara umum atau metafisika.
Teologi dalam islam disebut juga ‘ilm al-tauhid. Kata Tauhid mengandung arti satu atau esa dan keesaan dalam pandangan islam, sebagai agama monteisme, merupakan sifat yang terpenting di antara sifat-sifat Tuhan. Selanjutnya Teologi Islam disebut juga ‘ilm al-kalam’. Kalam adalah kata-kata. Teologi Islam yang di ajarkan di Indonesia umumnya, adalah Teologi dalam bentuk Ilmu Tauhid. Ilmu Tauhid biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam Teologi Islam.
Teologi berasal dari kata “ology” dan “theos” dan dijadikan Bahasa Indonesia maka menjadi teologi. “ology” berakar dari kata Greek yang kemudian menjadi “logos” berarti “percakapan”, “pengkajian” dan “penelitian”. Tujuan yang terpenting penelitian adalah logos itu sendiri dari pada benda-benda yang menjadi subjeknya. Sedangkan theos dalam bahasa greek berarti “Tuhan” dan atau sesuatu yang berkenaan dengan Tuhan. Jadi Teologi dalam bahasa greek adalah penelitian secara rasional segala sesuatu yang berkenaan dengan ke-Tuhanan. Jadi, Teologi merupakan salah satu cabang filsafat yang mempelajari pengetahuan tentang hakekat Tuhan serta keberadaan-Nya.
Oleh sebab itu berbicara tentang teologi, maka dengan sendirinya kita membicarakan tentang Tuhan yang dari dahulu sampai sekarang selalu aktual untuk dibicarakan. Hal ini menunjukkan bahwa manusia memerlukan Tuhan dalam menjawab dan memaknai segala aspek kehidupannya, terutama sekali yang berhubungan dengan moral dan imu pengetahuan.[3]
Maka pendekatan teologi adalah pembahasan eksistensi Tuhan dan Tuhan-tuhan dalam konsep nilai-nilai keTuhanan yang terkonstruksi dengan baik, sehingga pada akhirnya menjadi sebuah agama atau aliran kepercayaan.
Pendekatan teologi dalam penelitian agama yang dimaksud disini adalah pembahasan materi tentang ekisistensi Tuhan. Tidak ada arti sederhana dan monolitik untuk mendefinisikan kata theologi, theologi telah ada sejak bangsa Sumeria yang mulai menjadi perkataan dalam istilah yunani yaitu theologia dan istilah ini mengacu pada tuhan-tuhan atau tuhan, theologi bukan merupakan hak prioritas suatu komunitas tertentu namun theologi merupakan bagian dari pendidikan yang umum. Dalam sejarahnya theologi mengacu pada sebuah candi yang dipersembahkan untuk dewa atau tuhan bangsa romawi dan yunani saat itu yang kemudian dalam perkembangannya theologi dapat disimpulkan sebagai ilmu yang selalu berkaitan dengan ketuhanan atau transedensi baik secara mitologis, filosofis maupun dogmatis, kesimpulan yang kedua meskipun theologi memiliki banyak nuansa, namun doktrin tetap menjadi elemen yang signifikan dalam memaknainya dan kesimpulan yang ketiga adalah theologi sesungguhnya adalah sebuah aktifitas yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan.[4]
Pendekatan teologi merupakan pendekatan yang cenderung normatif dan subjektif terhadap agama. Pendekatan ini umumnya dilakukan dari dan oleh suatu penganut agama dalam upaya menyelidiki agama lain. Pendekatan ini sering juga disebut dengan metode tekstual, atau pendekatan kitabi. Sebab itu, metode ini seringkali menampakkan sifatnya yang apologetis dan deduktif. Sebab misal, Thomas Aquinas, seorang filosof dan teolog besar pada abad pertengahan, mengajarkan pada umat kristiani bahwa semua agama di luar Kristen adalah palsu. Demikian juga martin luther, di abad XVI mengajarkan bahwa Agama Yahudi, Islam, dan Roma Katolik adalah agama-agama palsu.
Di dunia Islam, hal yang sama juga terjadi. Ali ibn Hazm (994-1064) merupakan tokoh Islam pertama yang secara jelas dan panjang lebar tentang ta’rif yang ada di dalam Bibel. Hazm berpendapat bahwa kitab suci Kristen telah dipalsukan oleh umat Kristen sendiri dan orang-orang Yahudi. Ia menunjukkan 78 tempat di dalam kitab perjanjian baru yang berisi ayat-ayat yang saling bertentangan antara satu dan lainnya. Hal ini merupakan sebuah kemustahilan dalam kitab suci yang berasal dari wahyu ilahi.[5]Contoh lain, pada abad modern Muhammad Abduh (1848-1905) melakukan kajian serupa. Di dalam majalah Al-Jamiah ia menyanggah sebuah artikel yang ditulis oleh sarjana Kristen. Abduh menyatakan bahwa apa yang ditulis oleh penulis Kristen tersebut tentang Islam adalah suatu kecerobohan karena menuduh Islam tanpa bukti-bukti ilmiah. Selanjutnya ia justru menyatakan bahwa ajaran Kristen yang ada sekarang lebih mengutamakan hal-hal luar biasa dan keanehan-keanehan, kekuasaan kepada kepala agama, meninggalkan dunia, iman kepada hal-hal yang tidak masuk akal, menentang ilmu pengetahuan, dan sebagainya.[6]
Pendekatan teologi sering disebut juga sebagai perspektif timur, pendekatan teologi berarti pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan peneliti itu sendiri. Dimana agama tidak lain merupakan hak prerogatif Tuhan. Realitas sejati dari agama adalah sebagaimana yang dikatakan oleh masing-masing agama. Pendekatan seperti ini biasanya dilakukan dalam penelitian suatu agama untuk kepentingan agama yang diyakini peneliti tersebut untuk menambah pembenaran keyakinan terhadap agama yang dipeluknya itu.
Yang termasuk kedalam penelitian teologi ini adalah penelitian-penelitian yang dilakukan oleh ulama-ulama, pendeta, rahib terhadap suatu subjek masalah dalam agama yang menjadi tanggung jawab mereka, baik disebabkan oleh adanya pertanyaan dari jamaah maupun dalam rangka penguatan dan mencari landasan yang akurat bagi suatu mazhab yang sudah ada.
Pendekatan teologis memahami agama secara harfiah atau pemahaman yang menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar dibandingkan dengan yang lainnya.
Untuk memahami theologi-theologi tertentu dan dari agama tertentu, menggunakan pendekatan theologis dalam memahami theologi agama lain sangatlah sulit sekali karena kita harus berusaha untuk memahami dan melepaskan atau menanggalkan posisi subjektifitas sebagai peneliti agar dapat memahami objek yang diteliti dan berempati pada pandangan dunia lain (objek penelitian) dan bisa memposisikan diri sebagai bagian dari objek penelitian tersebut sehingga dapat memahami keimanan konseptual atau theologi mereka.[7]

B.     Macam-Macam Pendekatan Teologis
Ada tiga macam pendekatan Theologis yang kami rangkum dalam makalah ini yaitu pendekatan theologis normatif, pendekatan theologis-dialogis dan pendekatan theologis-konvergensi, adapun penjelasan mengenai ketiga pendekatan theologis tersebut adalah sebagai berikut:[8]
1.      Pendekatan Teologis Normatif
Pendekatan teologis normatif dalam memahami agama, ialah upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu ketuhanan yang bertolak dari suatu keyakinan bahwa wujud empirik dari suatu keagamaan dianggap sebagai yang paling benar bila dibandingkan dengan yang lainnya. Model pendekatan ini, oleh Muh. Natsir Mahmud, disebut sebagai pendekatan teologis-apologis. Sebab cenderung mengklaim diri sebagai yang paling benar, dan memandang yang berada di luar dirinya sebagai sesuatu yang salah, atau minimal keliru.
Menurut Amin Abdullah, teologi tidak bisa tidak, pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku, bukan sebagai pengamat adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[9]
Dari pemikiran tersebut di atas, dapat diketahui bahwa pendekatan teologis normatif dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing dari bentuk forma simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar, sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamnyalah yang benar, sedangkan faham lainnya adalah salah, sehingga memandang bahwa paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat dan kafir itupun menuduh kepada pihak lain sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian antara satu aliran dengan aliran yang lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan, sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan pengkotak-kotakan.
Penelitian terhadap agama tertentu dengan menggunakan pendekatan teologi normatif banyak ditemukan dalam karya-karya orientalis Kristen, yang cenderung mendiskreditkan Islam. Mc.Donal umpamanya, seperti yang dikutip oleh M. Natsir Mahmud mengatakan bahwa Islam pada mulanya adalah ajaran Kristen yang diselewengkan oleh keadaan patologis (penyakit jiwa) Muhammad, Islam menurutnya adalah bagian pemikiran ketimuran. Karakteristik pemikiran ketimuran menurutnya, ada dua :
a.       Menghargai fakta dan diikuti oleh fantasi yang bebas, tetapi di sisi lain terkungkung.
b.      Tidak menghargai kebebasan berpikir dan kebebasan intelektual.
Jadi pendekatan teologis normatif dalam agama adalah melihat agama sebagai suatu kebenaran yang mutlak dari Tuhan, tidak ada kekurangan sedikit pun dan nampak bersifat ideal. Dalam kaitan ini, agama tampil sangat prima dengan seperangkat cirinya yang khas.
Untuk agama Islam misalnya, secara normatif pasti benar, menjunjung nilai-nilai luhur. Untuk bidang sosial, agama tampil menawarkan nilai-nilai kemanusiaan, kebersamaan, kesetiakawanan, tolong-menolong, tenggang rasa, persamaan derajat dan sebagainya. Untuk bidang ekonomi, agama tampil menawarkan keadilan, kebersamaan, kejujuran dan saling menguntungkan. Demikianlah agama tampil sangat ideal dan ada yang dibangun berdasarkan dalil-dalil yang terdapat dalam ajaran agama yang bersangkutan.
2.      Pendekatan Teologis–Dialogis
Pendekatan teologis–dialogis seperti yang telah dijelaskan ialah mengkaji agama tertentu dengan mempergunakan perspektif agama lain. Model pendekatan ini, banyak digunakan oleh orientalis dalam mengkaji Islam.
Seorang Islamolog Barat, Hans Kung, seperti yang disinyalir oleh M. Natsir Mahmud, dalam berbagai tulisannya dalam pengkajian Islam menggunakan pendekatan teologis-dialogis, yakni bertolak dari perspektif teologi Kristen. Kung menyajikan pandangan-pandangan teologi Kristen dalam melihat eksistensi Islam, mulai dari pandangan teologis yang intern sampai pandangan yang toleran, yang saling mengakui eksistensi agama masing-masing agama.
Dalam melengkapi komentarnya, pertanyaan teologis yang diajukan Kung adalah, bahwa apakah Islam merupakan jalan keselamatan ? pertanyaan ini menjadi titik tolak untuk melihat apakah Islam sebuah agama yang menyelematkan penganutnya bila dilihat dari teologi Kristen. Kung mengemukakan pandangan beberapa teolog Kristen, misalnya, Origan, yang mengeluarkan pernyataan yang terkenal dengan Ekstra Gelesiam Nulla Sulus, artinya tidak ada keselamatan di luar gereja.
Selain itu, pendekatan teologis dialogis juga digunakan oleh W. Montgomery Watt. Hakikat dialog menurut Watt, sebagai upaya untuk saling mengubah pandangan antar penganut agama dan saling terbuka dalam belajar satu sama lain. Dalam hal ini Watt bermaksud menghilangkan sikap merendahkan agama seseorang oleh penganut agama yang lain serta menghilangkan ajaran yang bersifar apologis dari masing-masing agama.
3.      Pendekatan Teologis-Konvergensi
Berdasarkan pengertian yang telah dikemukakan terdahulu bahwa "pendekatan teologi konvergensi" adalah merupakan metode pendekatan terhadap agama dengan melihat unsur-unsur persamaan dari masing-masing agama atau aliran. Maksudnya dari pendekatan ini ialah ingin mempersatukan unsur-unsur esensial dalam agama-agama, sehingga tidak nampak perbedaan yang esensial. Dalam kondisi demikian, agama dan penganutnya dapat disatukan dalam satu konsep teologi universal dan umatnya disatukan sebagai satu umat beragama.
Dalam hal pendekatan teologi konvergensi ini, Wilfred Contwell Smith sebagai penganut pendekatan ini menghendaki agar penganut agama-agama dapat menyatu, bukan hanya dalam dunia praktis tetapi juga dalam pandangan teologis. Sehubungan dengan hal tersebut, Smith mencoba membuat pertanyaan di mana letak titik temu keyakinan agama-agama itu untuk mencapai sebuah konvergensi agama ?. Dalam hal ini Smith terlebih dahulu membedakan antara faith (iman) dengan belief (kepercayaan). Di dalam faith agama-agama dapat disatukan, sedang dalam belief tidak dapat menyatu. Belief seringkali normatif dan intoleran. Belief bersifat histotik yang mungkin secara konseptual berbeda dari satu generasi ke generasi yang lain. Dari masalah belief itulah penganut agama berbeda-beda, dan dari perbedaan itu akan menghasilkan konflik. Sebaliknya dalam faith umat beragama dapat menyatu. Jadi orang bisa berbeda dalam kepercayaan (belief), tetapi menyatu dalam faith. Sebagai contoh, dalam masyarakat Islam terdapat berbagai aliran teologis maupun aliran fiqih. Mereka mungkin penganut aliran al-Asy'ariyah atau Mu'tazilah atau pengikut Imam Syafi'i atau Imam Hambal. Belief mereka berbeda yang mungkin menimbulkan sikap keagamaan yang berbeda, tetapi mereka tetap satu dalam faith (iman). Demikian pula antara penganut agama, mereka berbeda dalam belief dan respon keagamaan yang berbeda, tetapi hakikatnya menyatu dalam faith.
Dari ketiga metode pendekatan teologis tersebut di atas, maka yang paling akurat dipergunakan menurut analisa penulis adalah pendekatan teologis konvergensi, di mana pendekatan ini telah tercakup di dalamnya nilai-nilai normatif dan dialogis. Lain halnya hanya dengan menggunakan metode pendekatan normatif atau dialogis saja, belum tentu terdapat unsur konvergensi di dalamnya.
C.    Sejarah Munculnya Teologis
Para filosof Islam terdahulu menjadikan Tuhan, alam, dan manusia (Theo, chosmes, and antrophos) sebagai alat untuk menganalisa dirinya sendiri yang tidak dimiliki pada makhluk lainnya. Sebab dengan metode ini para ahli teologi tidak hanya membicarakan bagaimana sesungguhnya manusia berbicara tentang Tuhan; teologi juga berbicara lebih jauh tentang bentuk-bentuk ekspresi yang lebih baik dan ekspresi yang lebih buruk serta mencari definisi yang berimbang mengenai pembicaraan khusus tentang Tuhan. Jan Hendrik Rapar mengungkapkan bahwa, “teologi merupakan salah satu cabang filsafat dan mencari hakekat, makna, dan eksistensi Tuhannya, oleh karena itu pembicaraan tentang Tuhan menjadi tetap aktual setiap waktu yang tak lesu.”
Sejarah perkembangan ilmu teologi ini, meliputi tiga unsur pokok : Tuhan, manusia, dan alam. Dimana ketiga komponen ini saling keterkaitan tidak bisa dipisahkan walaupun memiliki unsur-unsur yang berbeda.
a.       Tuhan
Pengenalan manusia dengan Tuhan melalui berbagai cara, ada yang langsung bertemu dengan Tuhannya dan ada yang melalui penggambaran batin. Maka dalam penggambaran dan pertemuan tersebut, manusia mengenal Tuhannya melalui dualisme teologi: monotheisme dan polytheisme. Monotheisme adalah paham bahwa Tuhan itu satu, Polytheisme adalah paham bahwa Tuhan itu banyak.
b.      Manusia
Kajian ilmu tentang manusia disebut antropologi, yang berasal dari Yunani berarti orang, sedangkan logos berarti ilmu. Jadi antropologi adalah kajian membahas tentang manusia serta hal-hal yang berkaitan dengannya. Oleh sebab itu kajian tentang hakekat manusia itu sendiri ternyata dari dahulu sampai sekarang belum habis-habisnya untuk di bahas.ini menunjukan bahwa manusia adalah salah satu makhluk ciptaan Tuhan yang misterius.
c.       Alam
Ilmu tentang alam dikenal kosmologi yang membahas tentang hakekat alam semesta serta menyikap tentang ekstensinya yang tersembunyi dibalik bentuk fisiknya.sesuatu yang berkaitan dengan eksistensi alam, asalnya, tujuannya dan bagaimana ia terjadi dan berevolusi. Kehadiran alam semesta didunia ini memberikan inspirasi bagi manusia itu sendiri tentang hakekat kebenaran Tuhannya.
Diantara faktor-faktor lahirnya teologis atau yang sering disebut juga sebagai ilmu kalam dalam Islam, adalah:
Pada zaman Abbasiyah, telah banyak berlaku pembahasan di dalam perkara-perkara akidah termasuk perkara-perkara yang tidak wujud pada zaman Nabi s.a.w. atau zaman para sahabatnya. Berlaku pembahasan tersebut dengan memberi penumpuan agar ia menjadi satu ilmu baru yang diberi nama Ilmu Kalam. Ilmu ini muncul dan berkembang atas faktor-faktor internal dan eksternal.
a.      Faktor Internal
Berikut ini adalah faktor-faktor internal yang menjadi puncak munculnya ilmu Kalam:
1)      Al-qur’an sendiri disamping ajakannya kepada tauhid dan memercayai kenabian dan hal-hal yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan-golongan dan agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad saw, yang mempunyai kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar. Qur’an tidak membenarkan kepercayaan mereka dan membantah alasan-alasannya, antara lain:
a)      Golongan yang mengingkari agama dan adanya tuhan dan mereka mengatakan bahwa yang menyebabkan kebinasaan dan kerusakan hanyalah waktu saja (Q.S. Al-Jatsiyah (45): 24).
b)      Golongan -golongan syirik (Q.S. Al-Maidah (5): 116).
c)      Golongan-golongan kafir (Q.S. Al-Isra’ (17): 94).
d)     Golongan -golongan munafik (Q.S. Ali Imran (3): 154)
2)      Adanya nash-nash yang kelihatannya saling bertentangan, sehingga datang orang- orang yang mengumpulkan ayat tersebut dan memfilsafatinya. Contohnya; adanya ayat-ayat yang menunjukkan adanya paksaan (jabr), (Q.S. Al-Baqarah(2): 6, Al-Muddsir(74):17.
Soal-soal politik, contoh soal khilafat (pimpinan pemerintahan negara). Pergantian pemimpin umat sesudah meninggalnya Rasulullah. Awalnya persoalan politik tidak mengusik persoalan agama, tapi setelah peristiwa terbunuhnya khalifah Usman, kaum muslimin terpecah menjadi beberapa partai, yang masing-masing merasa sebagai pihak yang benar dan hanya calon dari padanya yang berhak menduduki pimpinan negara. Kemudian partai-partai itu menjadi partai agama dan mengemukakan dalil-dalil Agama untuk membela pendiriannya. Dan selanjutnya perselisihan antara mereka menjadi perselisihan agama, dan berkisar pada persoalan  iman dan kafir.
Peristiwa terbunuhnya Usman menjadi titik yang jelas dari permulaan berlarut-larutnya perselisihan bahkan peperangan antara kaum muslimin. Sebab sejak saat itu, timbullah orang yang menilai dan menganalisa pembunuhan tersebut di samping menilai perbuatan Usman r.a., sewaktu hidupnya. menurut segolongan kecil, Usman r.a., salah bahkan kafir dan pembunuhnya berada di pihak yang benar, karena perbuatannya yang dianggap salah selama memegang khilafat. Sebaliknya pihak lain mengatakan bahwa pembunuhan atas Usman r.a. adalah kejahatan besar dan pembunuh-pembunuhnya adalah orang-orang kafir, karena Usman adalah khalifah yang sah dan salah seorang prajurit Islam yang setia. Penilaian yang saling bertentangan kemudian menjadi fitnah dan peperangan yang terjadi sewaktu Ali r.a memegang pemerintahan.
Dari sinilah mulai timbulnya persoalan besar yang selama ini banyak memenuhi buku-buku ke-Islaman, yaitu melakukan kejahatan besar, yang mula-mula dihubungkan dengan kejadian khusus, yaitu pembunuhan terhadap Usman r.a, kemudian berangsur-angsur manjadi persoalan yang umum, lepas dari siapa orangnya. Kemudian timbul soal-soal lainnya, seperti soal Iman dan hakikatnya, bertambah atau berkurangnya, soal Imamah dan lain-lain persoalan.
Kemudian soal dosa tersebut, dilanjutkan lagi, yaitu sumber kejahatan atau sumber perbuatan dilingkungan manusia. Karena dengan adanya penentuan sumber ini mudah diberikan vonis kepada pelakunya itu. Kalau manusia itu sendiri sumbernya, maka soalnya sudah jelas, akan tetapi kalau sumber sebenarnya Tuhan sendiri. Dan manusia itu sebagai pelakunya (alat), maka pemberian keputusan bahwa manusia itu berdosa atau kafir masih belum jelas. Timbullah golongan Jabbariyah yang mengatakan bahwa semua perbuatan itu dari Tuhan dan golongan Qodariyah yang mengatakan bahwa manusialah yang bertanggung jawab sepenuhnya atas segala perbuatannya. Kemudian timbul pula golongan-golongan lain, seperti Mu’tazilah, Asy’ariyah, yang membicarakan persoalan tersebut (perbuatan manusia).
b.      Faktor Eksternal

Banyak di antara pemeluk-pemeluk Islam yang mula-mula beragama Yahudi, Nasrani, dan lain-lain, bahkan diantara mereka ada yang pernah menjadi ulama’nya. Setelah mereka tenang dari tekanan kaum muslimin mulailah mereka mengkaji lagi aqidah-aqidah agama mereka dan mengembangkan ke dalam Islam. Kadangkala mereka menzahirkan pemikiran-pemikiran agama lama mereka berbalutkan pakaian agama mereka yang baru (Islam).[10]
D.    Peta Konsep Pendekatan Teologis Dalam Perspektif Normatif Dan Historis
Ketika Rasul Muhammad SAW wafat (632 M), para sahabat disibukkan dengan pembahasan mengenai pengganti Rasul sebagai kepala negara, sehingga penguburan Nabi adalah permasalahan kedua. Dari hal ini lahir permasalahan khilafah. Perseteruan antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan merupakan titik balik dari pergeseran permasalahan politik menjadi permasalahan teologi.
Perseteruan tersebut diselesaikan dalam perang Shifin yang dimenangkan oleh kelompok Muawiyah dengan jalan Tahkim atau Arbitrase. Kelompok Ali diwakili Abu Musa Al-Asy’ari, sedangkan kelompok Muawiyah diwakili Amr Ibn Al-‘As. Peristiwa Tahkim tersebut, menguntungkan pihak Muawiyah, sebab penjatuhan Ali Bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang Sah dan Muawiyah sebagai gubernur Damaskus yang memberontak, hanya penjatuhan Ali yang disepakati oleh Amr Ibn As.
Dampak dari peristiwa Tahkim yaitu  Kubu Ali bin Abi Thalib terpecah menjadi dua golongan, yakni: Golongan pendukung Ali bin Abi Thalib, terkenal dengan nama Syi’ah sedangkan Golongan yang menyatakan keluar dari kelompok Ali, terkenal dengan nama Khawarij dan Golongan yang menjauhkan diri dari golongan Syi’ah dan golongan Khawarij, terkenal dengan nama golongan Murjiah.
Kaum Khawarij berpandangan bahwa Sikap Ali yang menerima tipu muslihat dari Amr Bin As adalah salah, sebab putusan hanya datang dari Allah SWT melalui hukum-hukumnya dalam al-Qur’an. Menurut Khawarij “La hukma illa lillah” (tidak ada hukum selain dari Allah).
Kaum Khawarij berpandangan Ali Bin Abi Thalib, Muawiyah, Amr Bin AS, Abu Musa Al-Asy’ari dan seluruh orang yang menerima Arbitrase adalah berdosa besar dan Kafir dalam arti keluar dari islam dan harus dibunuh. Pandangan ini bertolak pada Surah Al-Maidah: 44 yang menyatakan “Siapa yang tidak menentukan  hukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah SWT. adalah kafir.”
Persoalan dosa besar seperti pandangan kaum Khawarij di atas, selanjutnya bergeser menjadi permasalahan teologi. Dalam perkembangan selanjutnya persoalan dosa besar (murtakib al-kabir) mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan aliran teologi dalam islam. Permasalahan utamanya adalah, “bagaimanakah status sesorang yang berdosa besar, apakah mukmin atau kafir?”. Dari persolan murtakib al-kabir lahir beberapa aliran teologi.[11]
Saat kita mengkaji pemahaman, doktrin atau ajaran yang mereka anut maka ini disebut dalam perspektif normatif. Sedangkan saat kita mengkaji kenapa pemahaman ini muncul, apa yang melandasinya, kapan dan dimana maka ini disebut dalam perspektif historis. Sebagaimana pada minggu yang lalu kita telah mengkaji dan memahami tentang pendekatan normatif dan historis, menurut Amin Abdullah,[12] hubungan kedua pendekatan ini ibarat sebuah koin uang dengan dua permukaan keduanya tidak bisa dipisahkan namun dapat dibedakan secara tegas dan jelas.
Diantara upaya memahami konsep pendekatan teologis dalam sudut pandang normatif dan historis, pemakalah menarik beberapa contoh dari aliran-aliran teologi dalam agama Islam, sebagai berikut:
No
Aliran Teologi Islam
Doktrin
Sejarah lahirnya
1
Khawarij
Bahwa orang berbuat dosa besar adalah kafir dan wajib di bunuh.
Pengikut Ali r.a, yang memisahkan diri karena tidak setuju adanya perdamaian antara Ali dan Muawiyah saat perang shiffin.
2
Murji’ah
Penangguhan vonis hukuman atas perbuatan seseorang sampai di pengadilan Allah SWT kelak. Jadi, mereka tak mengkafirkan seorang Muslim yang berdosa besar, sebab yang berhak menjatuhkan hukuman terhadap seorang pelaku dosa hanyalah Allah SWT. sehingga seorang Muslim, sekalipun berdosa besar, dalam kelompok ini tetap diakui sebagai Muslim dan punya harapan untuk bertobat.
Mula-mula muncul di Damaskus pada akhir abad pertama hijriah. Golongan ini yang menjauhkan diri dari golongan Syi’ah dan golongan Khawarij.
3
Mu’tazilah
Orang yang berbuat dosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Namun mereka terletak di antara dua posisi kafir dan mukmin.
Pendirinya adalah Abu Huzdaifah Washil bin ‘Atha Al-Ghazali. Timbul pada zaman khalifah Abdul Malik bin Marwan dan anaknya Hisyam Ibnu Abdul Malik. Dinamakan golongan mu’tazillah karena Washil memisahkan diri dari gurunya yang bernama Al-Hasan Al-Bishry karena berbeda pendapat tentang masalah orang Islam yang melakukan maksiat dan dosa besar, yang mati sebelum bertaubat.
4
Qodariyah
Pemikiran Free Will dan Free act (kebebasan berkehendak dan berbuat).
Disebarkan oleh Ma’bad Al-Jauhani (wafat 80 H) dan Ghilan ad-Dimasyqi. Ma’bad seorang tabi’in yang berguru kepada Hasan Bisri (642-728).
5
Jabariyah
Manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak atas dasar paksaan dari Allah atau dengan kata lain manusia tidak mempunyai kemerdekaan menentukan kehendak dan perbuatan.
Orang yang pertama kali mengemukakannya adalah Al-Ja’d Ibn Dirham (terbunuh 124 H) dan disebarkan oleh pengikutnya diantaranya di Khurosan, di pimpin oleh Al- Jahm bin Shafwan.
6
Al-Asy’ariyah
Lebih cenderung dengan pendekatan mazhab Imam Syafi’i.
Aliran teologi tradisional yang di susun oleh Abu Hasan al-Asy’ari (935 M).
7
Al-Maturidiyah
Cenderung pada pendekatan Imam Hanifah.
Didirikan oleh Abu Mansur Muhammad Al-Maturidi (944 M).










PENUTUP
A.    Kesimpulan

1.   Teologi dapat disimpulkan sebagai ilmu yang selalu berkaitan dengan ketuhanan atau transedensi baik secara mitologis, filosofis maupun dogmatis, selain itu teologi juga memiliki banyak nuansa, namun doktrin tetap menjadi elemen yang signifikan dalam memaknainya dan teologi sesungguhnya adalah sebuah aktifitas yang muncul dari keimanan dan penafsiran atas keimanan. Jadi pendekatan teologis adalah sebuah pisau analisis untuk memahami konsep ketuhanan dalam agama tertentu yang hendak dijadikan sebagai objek penelitian, menggunakan pendekan teologis ini sangatlah susah karena untuk memahami konsep theologi agama lain seorang peneliti diharapkan mampu untuk melepaskan pendapatnya yang subjektif agar dapat memehami betul konsep teologi objek penelitiannya.
2.   Ada tiga macam pendekatan teologis yaitu pendekatan theologis normatif, pendekatan teologis dialogis dan pendekatan teologis konvergensi yang telah dijelaskan di atas.
3.   Sejarah perkembangan ilmu teologi ini, meliputi tiga unsur pokok : Tuhan, manusia, dan alam. Dalam Islam teologi sering disebut sebagai ilmu kalam yang kemunculannya berkembang atas faktor-faktor internal dan eksternal.
4.   Saat kita mengkaji pemahaman, doktrin atau ajaran yang mereka anut maka ini disebut dalam perspektif normatif. Sedangkan saat kita mengkaji kenapa pemahaman ini muncul, apa yang melandasinya, kapan dan dimana maka ini disebut dalam perspektif historis.

B.     Saran
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna. Banyak terdapat kekurangan untuk itu mohon kiranya para pembaca sekalian dapat memberikan kritik dan saran yang membangun guna perbaikan di masa yang akan datang.



DAFTAR PUSTAKA

Bakri Dusar, Tauhid dan Ilmu Kalam. IAIN IBP Press. Padang: 2001.
Harun Nasution, Teologi Islam (Ilmu Kalam), Jakarta: UI Press, 1978, cet. I.
Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, Yogyakarta:Lkis.
Syarif Hidayatullah, Studi Agama Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011.
Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah dan Masyarakat, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987.
Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.
----------------------, dkk. Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1996.
http://gudangtugasku.blogspot.com/2012/02/studi-agama-pendekatan-theologis.html
http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/pendekatan-dalam-studi-islam.html
http://amvanalion.blogspot.com/p/pendekatan-teologiilmu-kalam.html
http://amvanalion.blogspot.com/p/pendekatan-teologiilmu-kalam.html



[1] http://gudangtugasku.blogspot.com/2012/02/studi-agama-pendekatan-theologis.html
[2] http://wardahcheche.blogspot.com/2014/04/pendekatan-dalam-studi-islam.html
[3] http://amvanalion.blogspot.com/p/pendekatan-teologiilmu-kalam.html
[4]Harun Nasution, Teologi Islam (Ilmu Kalam), (Jakarta: UI Press, 1978), cet. I, hlm. 32.
[5] Zakiah Daradjat, dkk. Perbandingan Agama (Jakarta: Bumi Aksara, 1996), hlm. 74-75.
[6] Syarif Hidayatullah, Studi Agama Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011), hlm. 104.
[7] Peter Connolly, Aneka Pendekatan Studi Agama, (Yogyakarta:Lkis), hlm 333.
[8] Taufik Abdullah (Ed.), Sejarah dan Masyarakat, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1987), hlm. 105.
[9] Zakiyah Daradjat, Ilmu Jiwa Agama, (Jakarta: Bulan Bintang, 1987), cet. I. Hlm. 76.
[10] Bakri Dusar, Tauhid dan Ilmu Kalam. (IAIN IBP Press. Padang: 2001), hlm. 80.
[11] http://amvanalion.blogspot.com/p/pendekatan-teologiilmu-kalam.html
[12] Syarif Hidayatullah, Studi Agama Suatu Pengantar, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2011), hlm. 63.
LihatTutupKomentar