ISLAM DALAM BINGKAI NORMATIVITAS DAN HISTORISITAS






PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan, yang termasuk di dalamnya ilmu-ilmu sosial kemasyarakatan dengan cepat relatif memperpendek jarak perbedaan budaya antara satu wilayah dan wilayah yang lain. Pada gilirannya, hal ini berpengaruh pada kesadaran manusia tentang apa yang disebut fenomena agama. Pada era sekarang ini agama tidak dapat lagi didekati dan difahami hanya lewat pendekatan teologis-normatif saja.
Pada penghujung abad ke 19, lebih-lebih pada pertengahan abad ke 20, terjadi pergeseran paradigma pemahaman tentang “agama” dari yang dahulu terbatas pada “Idealitas” ke arah “historitas”, dari yang hanya berkisar pada “doktrin” ke arah entitas “sosiol logis”, dari diskursus “esensi” ke arah “eksistensi”.[1]
Orang tidak mungkin mudah disalahkan untuk melihat fenomena agama secara aspektual, dimensional, dan bahkan multi dimensional dikarenakan pergaulan dunia yang terbuka dan transparan. Selain agama mempunyai doktrin teologis-normatif, dan memang disitulah letak hard core daripada keberagamaan manusia, orang dapat pula melihatnya sebagai tradisi. Sedangkan tradisi sulit dipisahkan dari faktor human construction yang semula dipengaruhi oleh perjalanan sosial-ekonomi-politik dan budaya yang amat panjang.
Bagi seorang muslim, pemahaman yang mendalam dan kaaffahakan agama Islam dengan merumuskan kembali penafsiran ulang agar sesuai dengan tujuan dari jiwa agama sangat diperlukan agar ia dapat menjadi manusia yang berpandangan luas, bijaksana dan dapat melihat perbedaan-perbedaan yang muncul dalam menyikapi permasalahan-permasalah dalam kehidupan dunia. Untuk mengarah pada pemahaman yang holistik itu, dikenal dua pokok macam pendekatan, yakni normativitas dan historisitas. Normativitas adalah aturan baku, yang tidak dapat dilepaskan dari pemikiran tentangnya, sedangkan historisitas adalah betuk sejarah bagaimana dogmatik itu muncul.
Perbedaan kedua jenis pendekatan ini sering menimbulkan ketegangan. Pendekatan normativitas menuduh pendekatan kedua, historisitas, sebagai pendekatan yang menekankan pemahaman keagamaan terbatas pada aspek lahiriah keberagamaan manusia, dan kurang memahami menyelami, dan menyentuh aspek batiniah, serta moralitas yang terkandung di dalam ajara-ajaran itu sendiri. Sifat seperti ini disebut dengan sifat “reduksionis”.
Sedangkan pendekatan historisitas menuduh bahwa perdekatan pertamna, normativitas, sebagai pendekatan yang bersifat absolut. Karena pendekatan normativitas mengabsolutkan teks yang tertulis, tanpa berusaha memahami lebih dahulu apa sesungguhnya yang melatarbelakangi berbagai teks keagamaan yang ada.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas kiranya penting bagi penulis merumuskan masalah yang akan dibahas sebagai berikut.
1.    Apa pengertian Islam dalam bingkai normativitas dan historisitas?
2.    Apa saja ruang lingkup kajian Islam normatif dan historis?
3.    Bagaimana negasi antara Islam dalam bingkai normativitas dan historisitas?

C.  Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut;
1.    Untuk mengetahui pengertian dari Islam dalam bingkai normativitas dan historisitas.
2.    Untuk mengetahui ruang lingkup kajian Islam normatif dan historis.
3.    Untuk memahami negasi diantara Islam dalam bingkai normativitas dan historisitas.   


PEMBAHASAN

A.      Pengertian Islam Normatif dan Historis
1.      Islam Normatif
Kata Normatif berasal dari bahasa inggris norm yang berarti norma, ajaran, acuan, ketentuan tentang masalah yang baik dan buruk, yang boleh dilakukan dan yang tidak boleh dilakukan. Adapun Studi Islam dengan pendekatan normatif adalah suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia.[2]
Islam normatif juga dapat diartikan Islam yang berada pada dimensi sakral, yang diakui adanya realitas transendental, yang bersifat mutlak dan universal, melampaui ruang dan waktu, atau sering disebut sebagai realita ketuhanan. Dengan kata lain, Islam normatif merupakan Islam ideal atau Islam yang seharusnya. Bentuknya berupa aspek tekstual Islam, yaitu aturan-aturan Islam secara normatif yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadits yang kebenarannya absolut dan tidak dapat dipersoalkan.
Hal itu dimanifestasikan dengan Quran dan Hadits. Quran dan Hadits mengandung nilai-nilai yang sakral dan tidak bisa berubah sampai kapanpun. Keduanya memiliki teks atau bentuk tulisan, dan kepada kedua teks inilah pendekatan normatif berdasar. Jadi, apapun yang terjadi, semua hukum yang diatur dalam Islam tidak boleh keluar dari teks. Jika teks berbunyi A, maka hukum yang ada pun harus A. Meski di wilayah lain ada hukum B yang berinti sama dengan teks A.
Pemahaman Islam secara normatif bersifat doktriner[3] , yaitu bahwa agama Islam sebagai objek studi diyakini sebagai sesuatu yang suci dan merupakan doktrin-doktrin yang berasal dari ilahi yang mempunyai nilai (kebenaran) absolut, mutlak, dan universal. Pendekatan doktriner tersebut juga berasumsi bahwa ajaran Islam yang sebenarnya adalah ajaran Islam yang berkembang pada masa salaf, yang menimbulkan berbagai mazhab keagamaan, baik teologis maupun hukum-hukum atau fiqh, yang tetap dan baku. Sesudah masa itu, studi Islam berlangsung secara doktriner. Sehingga ajaran Islam menjadi bersifat permanen, yang pada akhirnya menjadi tampak sebagai ketinggalan zaman.[4]
Sisi lain dari pendekatan normatif secara umum ada dua teori yang dapat digunakan bersama pendekatan normatif-teologis. Teori yang pertama adalah  hal-hal yang bertujuan untuk mengetahui kebenaran serta dapat dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Teori yang kedua adalah hal-hal yang sulit dibuktikan secara empirik dan eksperimental. Untuk hal-hal yang dapat dibuktikan secara empirik biasanya disebut masalah yang berhubungan dengan ra’yi (penalaran).
Sedang masalah-masalah yang tidak berhubungan dengan empirik (ghaib) biasanya diusahakan pembuktiannya dengan mendahulukan kepercayaan. Hanya saja cukup sulit untuk menentukan hal-hal apa saja yang masuk klasifikasi empirik dan mana yang tidak sehingga terjadi menyebabkan perbedaan pendapat dikalangan para ahli. Maka sikap yang perlu dilakukan dengan pendekatan normatif adalah sikap kritis.
Dalam aplikasinya pendekatan nomatif tekstualis tidak menemui kendala yang berarti ketika dipakai untuk melihat dimensi islam normatif yang bersifat Qoth’i. Persoalanya justru akan semakin rumit ketika pendekatan ini dihadapkan pada realita dalam Al-Quran bahkan diamalkan oleh komunitas tertentu secara luas contoh yang paling kongkrit adalah adanya ritual tertentu dalam komunitas muslim yang sudah mentradisi secara turun temurun,seperti slametan (Tahlilan atau kenduren).
Dari uraian tersebut terlihat bahwa pendekatan normatif tekstualis dalam memahami agama menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan dalil-dalil dan argumentasi.
2.      Islam Historis
Historis berasal dari bahasa inggris History yang bernakna sejarah, yang berarti pengalaman masa lampau daripada umat manusia.[5]Kata sejarah secara terminologis berarti suatu ilmu yang membahas berbagai peristiwa atau gejala dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.[6]
Sejarah sebagai ilmu manusia adalah studi mengenai rangkaian ungkapan-ungkapan (kejadian-kejadian) khusus yang tak dapat ditarik kembali di mana ungkapan-ungkapan yang lebih akhir secara kumulatif dipengaruhi oleh yang lebih dahulu.[7] 
Islam historis berarti Islam yang tidak terlepas dari sejarah kehidupan manusia yang berada dalam ruang dan waktu. Maksudnya, Islam semacam ini terangkai oleh konteks kehidupan pemeluknya, karena memang berbeda di bawah realitas ke Tuhanan. Dengan kata lain, Islam historis merupakan Islam riil atau Islam yang senyatanya. Bentuknya berupa aspek kontekstual Islam, yaitu penerapan secara praktis dari Islam normatif. Maksudnya, wujud Islam historis tersebut diambil dari upaya penggalian terhadap nilai-nilai normatif melalaui berbagai pendekatan di berbagai bidang yang menghasilkan berbagai disiplin ilmu, antara lain ilmu tafsir, hadits, fiqh, ushul fiqh, teologi, tasawuf, dan lain-lain yang kebenarannya bersifat relatif dan terbuka untuk dipersoalkan.
Menurut M.Amin Abdullah dalam bukunya Studi Agama Nomativitas dan Historitas. Islam historis adalah Islam yang ditelaah lewat berbagai sudut pendekatan keilmuan sosial keagamaan yang bersifat multi- dan inter-disipliner, baik lewat pendekatan historis, filosofis, psikologis, sosiologis, kultural, maupun antropologis.
Melalui kajian ini seseorang akan diarahkan dari alam idealis ke alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan melihat adanya keselarasa bahkan kesenjangan antara yang terdapat pada alam idealis dengan yang ada pada alam empiris.
Pendekatan kesejarahan ini amat dibutuhkan dalam memahami agama, karena agama itu sendiri turun dalam situasi yang konkret bahkan berkaitan dengan kondisi sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini, Kuntowijaya telah melakukan studi yang mendalam terhadap agama yang dalam hal ini Islam, menurut pendekatan sejarah. Ketika ia mempelajari al-Qur’an, ia sampai pada suatu kesimpulan bahwa pada dasar kandungan al-qur’an itu terdiri menjadi dua bagian. Bagian pertama, berisi konsep-konsep dan bagian kedua, berisi kisah-kisah sejarah dan perumpamaan.
Selanjunya, jika pada bagian yang berisi konsep-konsep al-Qura’an bermaksud untuk membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai Islam, maka pada bagian kedua yang berisi kish-kisah dan perumpamaan-perumpamaan, al-Qur’an mengajak dilakukannya perenungan untuk memperoleh hikmah. Melalui kontemplasi (penyangkokan) terhadap kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa historis dan juga melalui kisah-kisah yang berisi hikmah tersembunyi, manusia diajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan. Banyak sekali ayat yang berisikan ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat baik menyangkut hikmah historis ataupun menyangkut simbol-simbol. Mislanya simbol tentang rapuhnya rumah laba-laba, tentang luhurnya sehelai daun yang tak lepas dari pengamatan Tuhan atau tentang keganasan samudra yang menyebabkan orang-orang kafir berdoa.[8] 





B.       Ruang Lingkup Islam Normatif dan Historis
Berdasarkan pengertian studi Islam dalam bingkai normatif di atas yang mengatakan bahwa pemahaman agama pada teks, maka dapat diperinci ruang lingkup dalam memahami Islam sebagai berikut.
1.    Tafsir
Tafsir adalah ilmu yang fungsinya untuk mengetahui kandungan kitabullah (al-Qur’an) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, dengan cara mengambil penjelasan maknanya, hukum serta hikmah yang terkandung di dalamnya.[9]
Al-qur’an menjadi objek pembahasan tafsir merupakan sumber agama Islam. Kitab suci ini menduduki posisi sentral, bukan hanya dalam perkembangan dan pengembangan ilmu-ilmu keislaman, tetapi merupakan inspirator, pemandu gerakan-gerakan umat Islam sepanjang lima belas abad sejarah pergerakan umat ini.
Amin Abdullah dalam bukunya yang berjudul Studi Agama yang mengatakan, bahwa sejarah penulisan Tafsir abad pertengahan, agak tidak terlalu meleset jika dikatakan bahwa dominasi penulisan al-Qur’an secara leksiografis (lughawi) tampak lebih menonjol. Tafsir karya Shihab al-Din al-Khaffaji (1659) memusatkan perhatian pada analisis gramatikan dan analisis sintaksis atas ayat al-Qur’an. Juga karya al-Baydawi (1286), yang hingga searang masih dipergunakan di pesantren-pesantren, memusatkan penafsiran al-Qur’an corak leksiografis seperti itu.
Tafsir modern karya ‘Aisyah Abd Rahman bint al-Syati’ al-Tafsir al-Bayani lil al-Qur’an al-Karim, yang oleh silabus jurusan TH fakultas Usuluddin IAIN Sunan Kalijaga halaman 151 disebut sebagai al-Tafsir al-‘Asri, juga masih punya kesan kuat corak leksiografi.[10]
Tanpa harus mengecilkan jasa besar tafsir yang bercorak leksiografi seperti itu, corak penafsiran seperti itu dapat membawa kita kepada pemahaman al-Quran yang kurang utuh karena belum mencerminkan suatu kesatuan pemahaman yang utuh dan terpadu dari al-qur’an yang fundamental. Karya tafsir yang menonjolkan aspek Ijaz,umpamanya, akan membuat kita terpesona akan keindahan bahasa al-Qur’an, tapi belum dapat menguak nilai-nilai spiritual dan sosio-moral al-Qur’an untuk kehidupan seharihari manusia. Begitu juga penonjolan aspek asbab al-nuzul–bila terlepas dari nilai-nilai fundamental-universal yang ingin ditonjolkan- sudah barang tentu bermanfaat untuk mempelajari latar belakang sejarah turunnya ayat per ayat, tetapi juga mengandung minus keterkaitan dan keterpaduan antara ajaran al-Qur’an yang bersifat universal dan transendental bagi kehidupan manusia dimana pun mereka berada. Dalam kaitannya dengan ini kita lalu teringat, sekligus tertarik untuk mengkaji lebih lanjut kaidah penafsiran yang berbunyi “al-‘Ibratu bi ‘umumi al-lafaldi laa bi khususi al-sabab”. Titik tekan yang berlebihan pada asbab al-nuzul akan membawa kita secara tak tersadari kepada pemahaman yang mengacu pada khususi al-sabab, bukan pada bi ‘umumi al-lafaldi.[11]     
2.    Hadits
Menurut jumhur ulama’ hadits adalah segala sesuatu yang dinukil dari Rasulullah saw., sahabat atau tabiin baik dalam bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan, baik semuanya itu dilakukan sewaktu-waktu saja, maupun lebih sering dan banyak diikuti oleh para sahabat.[12]
Seiring dengan waktu, ilmu hadits tumbuh menjadi salah satu disiplin ilmu keislaman. Penelitian hadits nampaknya masih terbuka luas terutama kaitannya dengan permasalahan dewasa ini. Penelitian terhadap kualitas hadits yang dipakai dalam berbagai kitab misalnya belum banyak dilakukan. Demikian pula penelitian hadits-hadits yang ada hubungannya dengan berbagai masalah aktual tampak masih terbuka luas. Berbagai pendekatan dalam memahami hadis juga belum banyak digunakan. Misalnya pendekatan sosiologis, paedagogis, antropologis, ekonomi, politik, filosofis, tampaknya belum banyak digunakan oleh para peneliti hadits sebelumnya. Akibat dari keadaan demikian, maka tampak bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadits pada umumnya masih bersifat parsial. 
3.    Teologi
Secara etomologis, kata teologi diartikan ilmu agama, ilmu tentang Tuhan berkaitan dengan sifat-sifatnya, khususnya berkaitan dengan kitab suci. Sedangkan dalam arti istilah teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang masalah ketuhanan, sifat-sifat wajibNya, sifat-sifat mustahilNya dan hal-hal lain yang berhubungan dengan perbuatanya. Dengan demikian teologi adalah istilah ilmu agama yang membahas ajaran dasar dari suatu agama atau suatu keyakinan yang tertanam dihati sanubari. Setiap orang yang ingin memahami seluk beluk agamanya, maka perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang diyakininya.
Teologi, sebagaimanaa kita ketahui, tidak bisa tidak pasti mengacu pada agama tertentu. Loyalitas terhadap kelompok sendiri, komitmen dan dedikasi yang tinggi serta penggunaan bahasa yang bersifat subjektif, yakni bahasa sebagai pelaku –bukan sebagai pengamat- adalah merupakan ciri yang melekat pada bentuk pemikiran teologis.[13] Dalam Islam terdapat teologi Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah. Dan sebelumnya muncul teologi yang bernama Khawarij dan Murjiah. 
Menurut Abuddin Nata, bahwa pendekatan teologi dalam pemahaman keagamaan adalah pendekatan yang menekankan pada bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan yang masing-masing bentuk forma atau simbol-simbol keagamaan tersebut mengklaim dirinya sebagai yang paling benar sedangkan yang lainnya salah. Aliran teologi yang satu begitu yakin dan fanatik bahwa pahamannyalah yang benar sedangkan paham lainnya salah, sehingga memandang paham orang lain itu keliru, sesat, kafir, murtad dan seterusnya. Demikian pula paham yang dituduh keliru, sesat, dan kafir itu pun menuduh kepada lawannya sebagai yang sesat dan kafir. Dalam keadaan demikian, maka terjadilah proses saling mengkafirkan, salah menyalahkan dan seterusnya. Dengan demikian, antara satu aliran dan aliran lainnya tidak terbuka dialog atau saling menghargai. Yang ada hanyalah ketertutupan (eksklusifisme), sehingga yang terjadi adalah pemisahan dan terkotak-kotak.
Berdasarkan uraian di atas, Amin Abdullah berpendapat bahwa pendekatan teologi semata-mata tidak dapat memecahkan masalah esensial pluralitas agama saat sekarang ini. Terlebih-lebih lagi kenyataan demikian harus ditambahkan bahwa doktrin teologi, pada dasarnya memang tidak pernah berdiri sendiri, terlepas dari jaringan institusi atau kelembagaan sosial kemasyarakatan yang mendukung keberadaannya. Kepentingan ekonomi, sosial, politik, pertahanan selalu menyertai pemikiran teologis yang sudah mengelompok dan mengkristal dalam satu komunitas masyarakat tertentu. Bercampur aduknya doktrin teologi dengan historisitas institusi sosial kemasyarakatan yang menyertai dan mendukungnya menambah peliknya persoalan yang dihadapi umat beragama.
Sedangkan studi historis dalam Islam mengarah pada aspek-aspek kebudayaan dan masyarakat Muslim, dalam pengertian yang lebih luas, meliputi; antropologi agama, sosiologi agama, psikologi agama dan sebagainya.   
1.    Antropologi
Pendekatan antropologis dalam memahami agama dapat diartikan sebagai salah satu upaya memahami agama dengan cara melihat wujud praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat. Melalui pendekatan ini agama tampak akrab dan dekat dengan masalah-masalah yang dihadapi manusia dan berupaya menjelaskan dan memberikan jawabannya.
Dengan kata lain bahwa cara-cara yang digunakan dalam disiplin ilmu antropologi dalam memilih sesuatu masalah digunakan pula untuk memahami agama. Antropolog dalam kaitannya ini sebagaimana dikatakan Dawan Rahardjo, lebih mengutamakan pengamatan langsung, bahkan sifatnya partisipatif. Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang sifatnya induktif yang mengimbangi pendekatan deduktif sebagaimana digunakan dalam pendekatan sosiologis. Pendekatan antropologis yang induktif atau grounded, yaitu turun kelapangan tanpa berpijak pada, atau setidak-tidaknya dengan upaya membebaskan dari kungkungan teori-teori formal yang pada dasarnya sangat abstrak sebagaimana yang dilakukan di bidang sosiologi dan lebih-lebih ekonomi yang mempergunakan model-model matematis, banyak juga memberi sumbangan kepada penelitian historis.[14]   
2.    Sosiologi
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki iktan-ikatan antara manusia yang menguasahi hidupnya itu. Sosiologi mencoba untuk mengerti sifat dan maksud hidup bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya perserikatan-perserikatan hidup itu serta pula kepercayaan, keyakinan yang membiri sifat tersendiri kepada cara hidup bersama itu dalam tiap persekutuan hidup manusia.[15]Dapat diartikan juga bahwa pendekatan sosiologi termasuk ilmu yang mempelajari suatu nilai yang terdapat di masyarat yang menjadi objek kajian.
 Sosiologi dapat digunakan sebagai salah pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak didang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proposional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi.
Besarnya perhatian agama terhadap sosial ini mendorong kaum agama mendorong memahami ilmu-ilmu sosial sebagai alat untuk memahami agama. Dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif, Jalaludin Rahmat telah menunjukkan bahwa besarnya perhatian agama Islam terhadap masalah sosial dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut;
a.    Dalam al-Qur’an dan hadits, proporsi terbesar kedua sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah.
b.    Bahwa ditekankan masalah muamalah (sosial) dalam islam ialah kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau ditangguhkan, melainkan masih tetap dikerjakan sebagaimana mestinya.
c.    Ibadah yang mengandung hubungan kemasyarakatan diberikan ganjaran yang lebih dari pada ibadah yang bersifat individu.
d.   Kifarat (denda bagi yang melanggar peraturan agama) berupa sesuatu yang berubungan dengan kemasyarakatan.
e.    Ibadah yang mengandung hubungan kemasyarakatan diberikan ganjaran yang lebih dari pada ibadah sunnah.
3.    Psikologi
Psikologi atau ilmu jiwa adalah ilmu yang mempelajari jiwa seseorang melalui gejala prilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiah Drajat,[16]perilaku seseorang yang tampak lahiriah terjadi karena dipengaruhi oleh keyakinan yang dianutnya. Seseorang ketika berjumpa saling mengucapkan salam, hormat kepada orang tua, kepada guru, menutup aurat, rela berkorban untuk kebenaran, dan sebagainya merupakan gejala-gejala kegamaan yang dapat dijelaskan melalui ilmu jiwa agama. Ilmu jiwa agama, sebagaimana dikemukakan oleh Zakiah Drajat, tidak akan mempersoalkan benar atau tidaknya suatu agama yang dianut seseorang, melainkan yang ditingkatkan adalah bagian keyakinan agama tersebut terlihat pengaruhnya dalam prilaku penganutnya.
Psikologi yang terkemuka dalam pendekatan psikologi terhadap agama adalah Sigmund Freud (1866-1939). Freud berhasil merumuskan satu pendekatan dalam bidang psikologi agama, yang ia sebut dengan psiko-analisis. Teori psiko-analisis Freud memandang bahwa kepercayaan agama, seperti keyakinan akan keabadian, surga, dan neraka, tidak lain merupakan hasil dari pemikiran kekanak-kanakan yang berdasarkan kelezatan yang mempercayai adanyakekuasaan muthlak bagi pemikiran-pemikiran manusia.[17]
Pandangan yang berkembang lainnya adalah bahwa sikap seseorang kepada Tuhan adalah peralihan dari sikapnya terhadap bapak. Yaitu sikap Oedip yang bercampur antara takut dan butuh kasih sayang. Selain itu, pandangan bahwa doa-doa lainnya merupakan cara-cara yang disadari (Obsession) untuk mengurangi dosa. Yaitu perasaan yang ditekan akibat pengalaman-pengalaman seksual, yang kembali ke masa pertumbuhannya yang kompleks, Oedip. Dalam beberapa tulisan, Freud selalu menampakkan sikap ateisnya karena ia menganggap agama sebagai bentuk gangguan kejiwaan.[18]

C.      Negasi antara Islam Normatif dan Historis
Dilihat dari pengertian dan ruang lingkup antara pemahaman keislaman dengan pendekatan normatif dan historis terdapat pembedaan dan terdapat titik temu atau hubungan di antara keduanya.
1.    Perbedaan antara Islam normatif dan historis
Lebih jelasnyaakan perbedaan, penulis merangkungnya melalui tabel sebagai mana yang tertera di bawah ini.
No.
Sudut Pandang
Normatif
Historis
1
Institusi
Keagamaan
Sosial masyarakat (ekonomi, sosial, politik, pertahanan, dll)
2
Sifat
Eksklusif [19]
Inklusif [20]
 3
Manfaat 
Mengawetkan ajaran agama dan sebagai pembentuk karakter pemeluk.
Mengkomunikasikan ajaran dengan keadaan riil yang ada.
4
Objek kajian
Tafsir, hadits, teologi.
Antropologi, sosiologi, dan psikologi.
5
Corak
Literalis, tekstualitas, absolutis, dan skriptualis
Reduksionis[21], kontekstual
6
Konsep      
Esoteris[22]
Eksoteris[23]
7
Pola pikir
Deduktif[24]
Induktif[25]
8
Prilaku
Salaf, rigit (kaku)
Modern, luwes
 
2.    Hubungan antara Normatif dan Historis
Kedua pendekatan ini bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda, namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Hubungan keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Makna terdalam dan moralitas keagamaan tetap ada, tetap dikedepankan dan digaris bawahi dalam memahami liku-liku fenomena keberagaman manusia, maka ia secara otomatis tidak bisa terhindar dari belenggu dan jebakan ruang dan waktu.
Pendekatan dan pemahaman terhadap fenomena keberagamaan yang bercorak normatif dan historis tidak selamanya akur dan sinergi. Hubungan antara keduanya seringkali diwarnai dengan ketegangan (tension) baik yang bersifat kreatif maupun destruktif (merusak). Pendekatan normatif di satu sisi merupakan pendekan yang selalu berpijak pada teks yang tertulis dalam kitab suci masing-masing agama sehingga pendekatan ini cenderung bercorak literalis, tekstualis, atau skriptualis.
Sementara di sisi lain, pendekatan kedua, historitas, melihat kitab suci dan fenomena keagamaan tidak melalui cara tekstualitas, namun dengan sudut pandang keilmuan sosial keagamaan yang bersifat multi demensional, baik secara sosiologis, filosofis, psikologis, historis, kultur, maupun antropologis.[26]
Jenis pendekatan apa pun masih terdapat kekurangan, kelemahan masing-masing, dan jauh dari memuaskan, karena fenomena agama bersifat komplek. Masing-masing tidak dapat berdiri sendiri terlepas dari yang lain. Religiositas atau keberagamaan manusia pada umumnya adalah bersifat universal, infinite(tidak terbatas, tidak tersekat-sekat), transhistoris (melewati batas-batas pagar historis-kesejarahan manusia), namun religiositas yang begitu mendalam-abstrak, pada hakikatnya tidak dapat dipahami dan tidak dapat dinikmati oleh manusia tanpa sepenuhnya terlibat dalam bentuk religiositas yang konkret, terbatas, tersekat, historis, terkurung oleh ruang dan waktu tertentu secara subjektif. Kedua dimensi religiositas tersebut, menurut M. Amin Abdullah bersifat dialektis, dalam artian saling mengisi, melengkapi memperkokoh, memanfaatkan bahkan juga saling mengkritik dan mengontrol.
Untuk meredakan ketegangan antara dua faksi pendekatan normativitas dan historisitas, Amin Abdullah menawarkan paradigma “interkoneksitas”[27] dan “integrasi”[28]yang lebih modest (mampu mengukur kemampuan diri sendiri), humiliy(rendah hati), dan human (manusiawi).[29]
Berangkat dari paradigma “interkoneksitas”yang berasumsi memahami kompleksitas fenomena kehidupan yang dihadapi manusia, maka setiap bangunan keilmuan apa pun, baik keilmuan agama, keilmuan sosial, humaniora, maupun kaealaman tidak dapat berdiri sendiri dalam menyatukan, saling menyapa antara satu bangunan ilmu dengan lainnya, terutama sains dan agama.[30]
Interkoneksitas atas sains dan agama dapat didekati melalui tiga persepektif: ontologis, epistimologi, dan aksiologi. Dari setiap pendekatan ini mampu menawarkan padangan dunia manusia beragama dan ilmuan yang baru, terbuka dan dialogis serta mencairkan hubungan berbagai disiplin keilmuan agar menjadi terbuka. Walaupun begitu, tidak bisa dihindari masih adanya persinggungan antara wilayah tekstual, kebudayaan atau keilmuan, serta filsafat. Diharapkan pradigma ini mampu memberikan perubahan cara berpikir dan sikap ilmuan.
Dengan pendekatan “integrasi” keilmuan ini seolah-olah diharapkan tidak ada ketegangan, karena ada peleburan dan pelumatan yang satu kedalam yang lainnya. Baik dengan cara melebur sisi normatif-sakralis keberagamaan secara menyeluruh masuk ke wilayah “historisitas-propanitis”, atau justru sebaliknya, dengan membenamkan dan meniadakan seluruh sisi historitas keberagamaan Islam ke wilayah normatifitas-sakralitas tanpa reserve. Ini sebanarnya yang menjadi alasan M. Amin Abdullah menawarkan paradigma “interkoneksitas”.[31]
Keberagamaan dapat diibaratkan “sinar”. Sinar tidak dapat dinikmati secara konkret oleh manusia melainkan jika sinar tersebut telah termanifestasikan dalam warna-warna tertentu (merah, jingga, kuning, biru, hijau, dsb).  Walaupun begitu, warna-warna sinar yang beraneka ragam tersebut hanya bisa dinikmati secara partikulistik. Salah satu warn yang bersifat partikulistik tidak dapat mengklaim bahwa warna merah sajalah yang paling unggul, apalagi jika klaim tersebut diikuti dengan keinginan dan tindakan ingin memerahkan seluruh yang ada.  
Berarti kedua pemahaman atas keberagamaan bisa bersanding dan beriringan, jika pemahaman agama yang bersifat normativitas mau membuka diri atas pemahaman yang berkembang sesuai kondisi keadaan yang sebenarnya. Begitu juga pemahaman agama yang bersifat historisitas diharapankan mampu menahan diri dan tidak memaksakan untuk memberikan pemahaman akan keberagamaan berdasarkan riil kehidupan bermasyarakat dan mengenyampingkan dasar agama.  
Untuk lebih jelasnya penulis akan menggambarkan bagan hubungan antara pemahaman Islam dari sudut pandang normatif dan historis sehingga terbentuk bangunanan keberagamaan yang kuat dan utuh. Adapun bagannya sebagai berikut.










Normatif
Tafsir
Hadits
Teologi
Historis
Antropologi
Sosiologi
Psikologi
Dialektika/ interkoneksitas

as
Islam
 






                                                        
Antropologi Agama
Sosiologi Agama
Psikologi Agama

 






















PENUTUP
A.  Kesimpulan
Studi Islam dengan pendekatan normatif adalah suatu pendekatan yang memandang agama dari segi ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang di dalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. Sedangkan Studi Islam dengan pendekatan historis berarti suatu ilmu yang membahas berbagai peristiwa atau gejala dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang, dan pelaku dari peristiwa tersebut.
Ruang lingkup studi normatif dalam Islam yang umumnya dikerjakan kaum Muslim sendiri untuk menemukan kebenaran religius, meliputi studi-studi; tafsir, hadis, fiqh, teologi, dan tasawuf. Sedangkan ruang lingkup studi historis mengarah pada aspek-aspek kebudayaan dan masyarakat Muslim, dalam pengertian yang lebih luas, meliputi; antropologi agama, sosiologi agama, dan psikologi agama.
Kedua pendekatan ini bagaikan dua sisi mata uang yang berbeda, namun keduanya tidak dapat dipisahkan. Hubungan keduanya tidak berdiri sendiri-sendiri dan berhadap-hadapan, tetapi keduanya teranyam, terjalin dan terajut sedemikian rupa sehingga keduanya menyatu dalam satu keutuhan yang kokoh dan kompak. Untuk mampu saling mengisi dan melengkapi dibutuhan dialetika antara keduanya dengan paradigma “interkonektifitas” dan “integrasi” antara agama dan sains.

B.  Saran dan Kritik
Tiada gading yang tak retak. Penulis mengakui terdapat kekurang yang begitu banyak terhadap makalah ini. Oleh karena itu penulis tidak sungkan dan tidak malu-malu terhadap pembaca untuk kiranya mengoreksi dan memberikan catatan terhadap tulisan singkat ini. Saran dan kritika yang membangun akan senantiasa penulis butuhkan dan harapkan untuk lebih baik dalam lagi penulisan karya ilmiah.


Daftar Pustaka
Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam, Depok: PT. Rajagrafindo Putra Utama Offset, 2012, cet.XIX , hlm.34
Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003
Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?.Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, Cet. V.
Dawam Rahardjo, Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Agama,dalam  M. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990. cet.II
Deden Ridwan, ed al. Tradisi Baru Penelitian Agama Islam, Tinjauan Antar Disiplin Ilmu, Bandung: Nuansa, 2001
Hasan Shadaliy, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia,Jakarta: Bina Aksara, 1983, cet. XIX
Imam al-Zarkasi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, jilid II, Mesir: Isa al-Baby al-Halaby, t.t,
Kuntowijaya, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung; Mizan, 1991, Cet.I
Mariasusai Dhavamony, Terj. Sudiarja, Fenomonologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995, Cet. I
Muhaimin, ed al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2007, Cet. II
Sayyid Husein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, (terj)Abdul Hadi W.M, dari judul asli Living Sufism, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1985, cet. I
Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.cet. I
Zuhairini, Sejarah Pendidikan  Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2010





[1]Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, Cet. V, hlm. 9
[2]Abuddin Nata. Metodologi Studi Islam, Depok: PT. Rajagrafindo Putra Utama Offset, 2012, cet. XIX, hlm.34
[3]atau pendekatan studi Islam secara konvensional merupakan pendekatan studi dikalangan umat Islam yang berlangsung.
[4]Muhaimin, et al. Kawasan dan Wawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2007, cet. II, hlm.14
[5]Zuhairini, Sejarah Pendidikan  Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2010, hlm. 1
[6] Ali Anwar Yusuf, Studi Agama Islam, Bandung: Pustaka Setia, 2003, hlm. 56
[7]  Mariasusai Dhavamony, Terj. Sudiarja, Fenomonologi Agama, Yogyakarta: Kanisius, 1995, Cet. 1, hlm. 13
[8]Kuntowijaya, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Bandung; Mizan, 1991, Cet. I, hlm 328.  
[9]Imam al-Zarkasi, al-Burhan fi Ulum al-Qur’an, jilid II, Mesir: Isa al-Baby al-Halaby, t.t, hlm. 13
[10]Amin Abdullah. Studi Agama: Normativitas atau Historisitas?. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, Cet. V, hlm. 139
[11] Ibid, hlm. 139-140
[12]Abuddin Nata, op. cit. hlm. 237
[13]Amin Abdullah. op. cit. hlm. 29
[14]Dawam Rahardjo, Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Agama, dalam  M. Taufik Abdullah dan M. Rusli Karim, Metodologi Penelitian agama, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990. cet.II, hlm. 19
[15]Hasan Shadaliy, Sosiologi untuk Masyarakat Indonesia, Jakarta: Bina Aksara, 1983, cet. XIX, hlm. 53
[16]Zakiah Drajat, Ilmu Jiwa Agama, Jakarta: Bulan Bintang, 1987.cet. I.  hlm. 76
[17]Syarif Hidayatullah, Studi Agama: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana,20011, hlm. 104
[18]Zakiah Raradjat, dkk., Perbandingan Agama, Jakarta: Bumi Aksara, 1996, hlm.  66.
[19]Secara umum eksklusif adalah sikap yang memandang bahwa keyakinan, pandangan pikiran dan diri islam sendirilah yang paling benar, sementara keyakinan, pandangan, pikiran dan prinsip yang dianut agama lain salah, sesat dan harus dijauhi. Agama Islam diyakini sebagai agama yang paling benar sedangkan agama lain dianggap sesat dan tidak akan diterima oleh Tuhan. Pandangan ini didasarkan pada ayat Al-Qur`an sebagai berikut:  Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian yang  ada di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat    Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hishabNya (QS. Ali Imron 3:19)
[20]Islam inklusif merupakan sebuah pandangan yang mengajarkan tentang sikap terbuka dalam beragama dan dengan berhubungan dengan agama non muslim. Sikap terbuka akan berdampak pada relasi sosial yang bersifat sehat dan harmonis antar sesama warga masyarakat. Teologi inklusifisme ini dilandasi dengan toleransi, itu tidak berarti bahwa semua agama dipandang sama. Sikap toleran hanyalah suatu sikap penghormatan akan kebebasan dan hak setiap orang untuk beragama, perbedaan beragama tidak boleh menjadi penghalang dalam upaya saling menghormati, menghargai, dan kerjasama Menurut pemahaman inklusif, bahwa sesungguhnya ajaran Islam lebih bersemangat mengandug unsur inklusif daripada ekslusif. Bahkan Islam melarang pemaksaan dalam beragama, artinya keberagamaan seseorang harus dijamin. Umat Islam harus memberikan kesempatan dan kebebasan yang seluas-luasnya kepada orang lain untuk memeluk agama yang diyakininya. Ini berarti inklusif menghormati dan menghargai kemajemukan agama.
[21]Reduksionisme religius pada umumnya mencoba untuk menjelaskan agama dengan cara meleburkannya bersama penyebab pandangan non-religius tertentu. Beberapa contoh penjelasan reduksionistik tentang adanya agama: bahwa agama dapat direduksi menjadi konsep kemanusiaan tentang benar dan salah, agama tersebut pada dasarnya merupakan sebuah usaha primitif dalam mengendalikan lingkungan kita, dan agama itu adalah cara untuk menjelaskan keberadaan fisik dunia.
[22]Pengertian kata esoteris berasal dari bahasa Inggris, "esoteric", yang berarti hanya diketahui dan dipahami oleh beberapa orang tertentu saja. Dalam perkembangan selanjutnya, kata esoteris berarti  aspek dalam batin, hakikat, inti atau substansi, sebagai lawan dari aspek luar, aspek lahir, aspek syariat, dan aspek materi. Maka yang dimaksud dengan Islam Esoteris adalah ajaran agama Islam yang menekankan kajian pada aspek batin yang merupakan inti dari agama. Aspek batin ini meliputi tujuan dari beragama, yaitu mencapai kehidupan yang sejahtera, selamat, dan sentosa dengan jalan membersihkan dan mendekatkan diri kepada Allah.
[23]Dalam buku Tasawuf Sebagai Kritik Sosial karya Prof. Dr. Said Agil Siroj diterangkan bahwa Eksoteris merupakan ajaran lahiriah yng berupa simbol-simbol, atribut-atribut, aksesoris-aksesoris, serta bentuk-bentuk legal formalitas lainnya. Pada dimensi tersebut, semua agama memiliki aturan eksoteris yang bervariasi, seperti rumah ibadah, bentuk peribadatan, acara seremonial, dan lain-lainnya.
[24]Penalaran deduktif, kebalikan dari penalaran induktif yaitu; menarik kesimpulan dari prinsip/sikap yang berlaku khusus berdasarkan fakta-fakta yang umum. Dalam kaitannya dengan keberagamaan maksudnya penalaran atau pola pikir deduktik adalah cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan mutlak.
[25] Penalaran induktif yaitu proses penalaran untuk menarik kesimpulan dari prinsip/sikap yang berlaku umum berdasarkan fakta-fakta yang bersifat khusus. Dalam kaitannya dengan keberagamaan maksudnya penalaran atau pola pikir berawal dari rangkaian kejadian-kejadian khusus dalam mencari kebenaran.
[26]  Syarif Hidayatullah, Studi Agama: Suatu Pengantar, Yogyakarta: Tiara Wacana,20011, hlm. 62
[27] Menurut Taufiq Wirdayanto atas simpulan keterangan dari Amin Abdullah bahwa Secara epistemologi, paradigma interkoneksitas merupakan jawaban atau respon terhadap kesulitan-kesulitan yang dirasakan selama ini, yang diwariskan dan diteruskan selama berabad-abad dalam peradaban Islam tentang adanya dikotomi pendidikan umum dan pendidikan agama. Masing-masing berdiri sendiri, tanpa merasa perlu tegur sapa. Sedangkan secara aksiologis paradigma interkoneksitas hendak menawarkan pandangan dunia (world view) manusia beragama dan ilmuan yang baru, yang lebih terbuka, open maindedness, mampu membuka dialog dan kerjasama, transparan, dapat dipertanggungjawabkan secara publik dan visioner. Secara ontologis, hubungan antar berbagai disiplin keilmuan menjadi semakin terbuka dan cair, meskipun blok-blok dan batas-batas wilayah antara budaya pendukung keilmuan agama yang bersumber pada teks kitab suci (normatif) dan budaya pendukung keilmuan kealaman (faktual-historis-empiris) masih tetap saja ada.
[28] Integrasi merupakan upaya mempertemukan antara ilmu-ilmu agama (Islam) dan ilmu-ilmu umum (sains-teknologi dan sosial-humaniora).
[29] Ibid, hlm. 64
[30] Ibid, hlm. 65
[31] Ibid, hlm. 64
LihatTutupKomentar