Muamalah Bab 2

Dasar Hukum Qardh

Dasar disyariatkannya qardh adalah Al-Qur’an, Hadist, dan ijma’.
1.      Dalil Al-Qur’an adalah firman Allah QS. Al-Hadid/57:11 ;
“Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan harta di jalan Allah),maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak”.
2.      Dalil Hadist adalah riwayat Ibnu Majah yang bersumber dari Ibnu Mas’ud r.a. dari Nabi SAW, Beliau bersabda: “Tidaklah seorang muslim memberi pinjaman kepada orang muslim yang lain dua kali melainkan pinjaman itu (berkedudukan) seperti sedekah satu kali”. (HR. Ibnu Majah)
3.      Dalil ijma’ adalah bahwa semua kaum muslimin telah sepakat dibolehkannya utang-piutang.

b.         Rukun dan Syarat Transaksi Qardh
Rukun qaradh ada tiga, yaitu :
1.    Shighat, maksud shighat disini adalah ijab dan kabul.
2.    ‘Aqadain, yaitu (dua orang yang melakukan transaksi) adalah pemberi utang dan  pengutang. Adapun syarat-syarat bagi pengutang adalah merdeka, balig, berakal sehat, dan pandai (rasyid, dapat membedakan baik dan buruk)
3.    Harta yang Diutangkan.

Sedangkan syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam akad qardh adalah :
1.    Orang yang melakukan akad harus baligh, dan berakal.
2.    Qardh harus berupa harta yang menurut syara’ boleh digunakan/ dikonsumsi
3.    Ijab qabul harus dilakukan dengan jelas.

c.       Hikmah dan Manfaat Disyariatkan Qardh
Hikmah disyariatkannya qardh yaitu sebagai berikut :
1.      Melaksanakan kehendak Allah agar kaum muslimin saling menolong dalam kebaikan dan ketakwaan.
2.      Menguatkan ikatan ukhuwah (persaudaraan) dengan cara mengulurkan bantuan kepada orang yang membutuhkan, yang mengalami kesulitan dan meringankan beban orang yang tengah dilanda kesulitan.[1]

1.        Penjelasan Tentang Riba’
a.         Definisi Riba’
Riba secara bahasa berarti pertambahan, pertumbuhan, kenaikan, dan ketinggian. Disebutkan: riba-yarbu-ribaan, artinya; bertambah dan berkembang  Allah SWT berfirman:
!#sŒÎ*sù $uZø9tRr& $ygøŠn=tæ uä!$yJø9$# ôN¨tI÷d$# ôMt/uur ÇÎÈ
...Kemudian apabila Telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah... (QS. Al-Hajj (22): 5)

Artinya bertambah, karena salah satu perbuatan riba adalah meminta tambahan dari sesuatu yang dihutangkan. Berkembang berarti, berbunga karena salah satu perbuatan riba adalah membungakan harta uang yang dipinjamkan kepada orang lain. Dan juga, naik dan tinggi. Allah SWT juga berfirman;

K öbr& šcqä3s? îp¨Bé& }Ïd 4n1ör& ô`ÏB >p¨Bé& 4 ÇÒËÈ
...Disebabkan adanya satu golongan yang lebih banyak jumlahnya dari golongan yang lain...[838]. [2]        

Artinya lebih banyak jumlah dan hartanya.
Sedangkan menurut terminologi syara, riba berarti; Akad untuk satu ganti khusus tanpa diketahui perbandingannya dalam penilaian syariat ketika berakad atau bersama dengan mengakhirkan kedua ganti atau salah satunya. Misalnya, Si A memberi pinjaman kepada Si B dengan syarat si B harus mengembalikan uang pokok pinjaman dan sekian persen tambahannya.
Sementara arti riba menurut syari, para ahli fiqih berbeda-beda dalam mendefinisikannya, meskipun artinya mirip. Sebagian Ahli Fiqih menyebutkan:Riba adalah sistem pertukaran yang nilai kesamaan yang ditukar tidak diketahui dalam timbangan syariat ketika terjadi transaksi dengan menangguhkan salah satu yang ditukar atau keduanya. Dengan definisi itu, tercangkup didalamnya riba fadhal dan riba nasii-ah.[3]

b.         Macam-Macam Riba
Menurut para ulama, riba ada empat macam :
1.        Riba Fadli, yaitu riba dengan sebab tukar menukar benda, barang sejenis (sama) dengan tidak sama ukuran jumlahnya. Misalnya, satu ekor kambing ditukar dengan satu ekor kambing yang tidak/berbeda besarnya. Riba Fadli atau riba tersembunyi ini dilarang karena dapat membawa kepada riba’ Nasi’ah (riba jail) artinya riba yang nyata.
2.        Riba’ Qardhi, yaitu riba yang terjadi karena adanya proses utang piutang atau pinjam meminjam atau yang berhutang. Misalnya, seseorang meminjam uang sebesar Rp 1.000.000,- (satu juta) kemudian diharuskan membayarnya Rp 1.300.000,- (satu juta tiga ratus ribu rupiah). Terhadap bentuk transaksi seperti ini dapat dikategorikan menjadi riba, seperti sabda Rasulullah SAW ; “Semua piutang yang menarik keuntungan termasuk riba.” (Riwayat Baihaqi).
3.        Riba Nasi’ah, ialah tambahan yang diisyaratkan oleh orang yang mengutangi dari orang yang berutang sebagai imbalan atas penangguhan (penundaan) pembayaran utangnya. Misalnya Si A meminjam uang Rp 1.000.000  kepada si B dengan perjanjian waktu mengembalikan satu bulan, setelah jatuh tempo si A belum dapat mengembalikan utangnya. Untuk itu, si A menyanggupi memberi tambahan pembayaran jika si B mau menunda jangka waktunya.
4.        Riba Yad, yaitu riba dengan berpisah dari tempat akad jual beli sebelum serah terima antara penjual dan pembeli. Misalnya, seseorang membeli satu kuintal beras. Setalah dibayar, sipenjual langsung pergi sedangkan berasnya dalam karung belum ditimbang apakah cukup atau tidak. Jual beli ini belum jelas yang sebenarnya.[4]

c.         Diharamkan Riba
Riba’ mempunyai fenomena tersendiri dalam islam, diharamkan oleh Al-Qur’an secara nyata dan dijelaskan oleh Nabi Muhammad SAW melalui hadistnya dan dipahami para ulama dengan berbagai macam pandangan. Bahkan riba’ bukan saja dilarang dalam ajaran islam melainkan semua agama samawi mengharamkannya. Disamping itu, dalam sejarah legislasi pelarangan riba dalam Islam dilakukan secara bertahap sesuai dengan turunnya ayat Al-Qur’an tentang riba’ secara berangsur-angsur.
Riba’ telah dipraktekan sejak masa Jahiliyah atau sebelum kedatangan Islam oleh masyarakat Mekkah. Setelah kehadiran Islam riba secara bertahap dihapuskan dari praktek masyarakat. Dari segi turunnya ayat al-Qur’an tentang riba, maka hanya satu ayat yang turun di Mekkah dan tiga ayat turun di Madinah. Bila dikaitkan dengan karakteristik ayat-ayat yang turun di Mekkah yang lebih menekankan aspek aqidah, maka ayat yang turun di Madinah merupakan ayat-ayat yang mengatur hubungan kemasyarakatan secara lebih luas. Riba telah menjadi tradisi dalam masyarakat Arab karena itu melakukan pelarangan terhadap praktek riba harus dilakukan secara perlahan-lahan.
Kaitan riba dengan akad adalah karena dalam pelaksanaan akad eksis kezaliman yang dilakukan secara sepihak. Tindakan ini dapat terlihat dalam sejarah riba sebagai yang dipahami oleh ulama tafsir  tatkala menafsirkan ayat-ayat riba. Pengharaman riba sangat berkaitan erat dengan tindakan pihak yang meminjamkan uang melakukan kezaliman dengan menetapkan kewajiban pihak berutang secara sepihak, akibatnya pihak yang meminjam akan merasa sangat dirugikan. 
Riba hanyalah berlaku pada benda-benda seperti emas, perak, makanan dan uang. Karena itu tidak diperbolehkan menjual emas dengan emas, perak dengan perak, kecuali jika harganya sebanding dan dilakukan kontan. Tidak diperbolehkan menjual sesuatu barang, dimana barang tersebut belum berada ditangannya (misal A membeli barang terbut kepada B ). Tidak diperbolehkan pula menjual daging dengan binatang yang masih hidup. Tidak diperbolehkan juga menjual emas dengan ditukar dengan perak yang harga nilainya tidak sebanding.[5]

d.      Sebab-sebab Diharamkannya Riba
Allah SWT melarang riba antara lain karena perbuatan tersebut dapat merusak dan membahayakan diri sendiri dan merugikan serta menyengsarakan orang lain.
1.      Merusak dan Membahayakan Diri Sendiri
Orang yang melakukan riba akan selalu menghitung-hitung banyaknya yang ia akan peroleh dari orang yang meminjam uang kepadanya. Pikiran dan angan-angan yang demikian itu akan mengakibatkan dirinya selalu was-was dan khawatir uang yang telah dipinjamkan itu tidak dapat kembali tepat pada waktunya dengan bunga yang besar. Jika orang yang melakukan riba itu memperoleh keuntungan yang berlipat ganda, hasilnya itu tidak akan memberi manfaat pada dirinya karena hartanya itu tidak mendapat berkah dari Allah SWT.
2.      Merugikan dan Menyengsarakan Orang Lain
Orang yang meminjam uang kepada orang lain pada umumnya karena sedang susah atau terdesak, karena tidak ada jalan lain, meskipun dengan persyaratan bunga yang besar, ia tetap bersedia menerima pinjaman tersebut, walau dirasa sangat berat. Orang yang meminjam ada kalanya bisa mengembalikan pinjaman tepat waktunya, tetapi adakalanya tidak dapat mengembalikan pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan. Karena beratnya bunga pinjaman, si peminjam susah untuk mengembalikan utang tersebut. Hal ini akan menambah kesulitan dan kesengsaraan bagi kehidupannya.
3.      Ia dapat menimbulkan permusuhan antara pribadi dan kelompok tertentu.
4.      Riba akan menimbulkan adanya mental pemboros yang malas bekerja. Dapat pula menimbulkan kebiasaan menimbun harta tanpa kerja keras, sehingga seperti pohon benalu yang hanya bisa memanfaatkan tumbuhan lain (parasit).
5.      Riba merupakan cara menjajah. Karena itu orang berkata, “penjajahan berjalan dibelakang pedagang dan pendeta. Dan kita telah mengenal riba dengan segala dampak negatifnya didalam menjajah negara kita.

BAB III
PENUTUP 
A.    KESIMPULAN
Dapat kami simpulkan bahwa dalam ilmu Fiqh mengajarkan pada manusia khususnya umat Islam bagaimana menerapkan kehidupan yang diajarkan oleh Allah khususnya masalah Muamalah. Dimana pengertian Muamalah Dari segi bahasa, “muamalah” berasal dari kata aamala, yuamilu, muamalat, yang berarti perlakuan atau tindakan terhadap orang lain, hubungan kepentingan. Sedangkan  Muamalah dari segi istilah adalah muamalah adalah hukum-hukum syara’ yang berkaitan dengan urusan dunia, dan kehidupan manusia, seperti jual-beli, perdagangan, dan lain sebagainya.
Dimana jual beli dapat kita artikan Akad saling mengganti dengan harta yang berakibat kepada kepemilikan terhadap suatu benda atau manfaat untuk waktu selamanya dan bukan untuk bertaqarrub kepada Allah. “Dengan kata “saling mengganti”, maka tidak termasuk didalamnya hibah,dan yang lain yang tidak ada saling ganti. Dan juga kita telah mempelajari bagaimana rukun serta hikmah adanya jual-beli. Selanjutnya adanya hutang piutang yang dapat didefinisikan “memberikan harta kepada orang yang akan memanfaatkannya dan mengembalikan gantinya di kemudian hari”, rukun dan hikmahnya memberikan pinjaman kepeda orang lain dengan dalih membantunya yang mana sudah diajarkan bagaimana tatanan atau proses melakukan hutang piutang tersebut sesuai syariat tentunya.
Dan kemudian pemasalahan tentang riba yang mana banyak orang yang terjerumus melakukannya. Arti dari riba itu sendiri adalah sistem pertukaran yang nilai kesamaan yang ditukar tidak diketahui dalam timbangan syariat ketika terjadi transaksi dengan menangguhkan salah satu yang ditukar atau keduanya. Dengan definisi itu, tercangkup didalamnya riba fadhal dan riba nasii-ah.

B.     SARAN DAN KRITIKAN
            Dalam makalah ini telah kami jelaskan tentang Pokok-pokok Muamalat, kami menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan dan perlu perbaikan terutama dari bapak pembimbing/dosen dalam mata kuliah Fiqh/ Usul Fiqh untuk memberikan arahan dan bimbingan sehingga permasalahan yang dibahas dalam makalah ini bisa tercapai dan dapat dipahami, serta kepada kawan-kawan juga kami mohon saran dan kritikan yang membangun kami agar dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi di masa yang akan datang, dan menjadi bahan evaluasi bagi kelompok penyusun makalah ini.



[1] Dr. Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah ..., hal. 336.
[2] [838]  kaum muslimin yang jumlahnya masih sedikit itu Telah mengadakan perjanjian yang Kuat dengan nabi di waktu mereka melihat orang-orang Quraisy berjumlah banyak dan berpengalaman cukup, lalu timbullah keinginan mereka untuk membatalkan perjanjian dengan nabi Muhammad s.a.w. itu. Maka perbuatan yang demikian itu dilarang oleh Allah s.w.t.
[3] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem Transaksi Dalam Islam, (Jakarta: Amzah, 2010), hal. 215.

[4] Abdul Aziz Muhammad Azzam, Fiqh Muamalat Sistem Transaksi ..., hal. 218-224.
[5]Shalih Al-Fauzan, Perbedaan Antara Jual-beli dan Riba’...,  hal. 34-36.

LihatTutupKomentar