MAQASHID AL – TASYRI’I AW SYARI’AH

BAB 1
PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG
Setiap manusia pastilah membutuhkan interaksi dengan orang lain, baik dalam urusan umum atau keagamaan. Manusia tidak dapat terlepas dar hal ini karena manusia adalah makhluk social, dan bukanlah makhluk individu yang dapat hidup sendirian tanpa membutuhkan orang lain. Selain berhubungan dengan orang lain, pastilah berhubungan juga dengan tuhan melalui ibadah yang di lakukan setiap hari. Islam dalam hal ini telah di atur semuanya dalam ilmu fiqh dengan segala ketentuan yang berlaku. Ilmu fiqh telah membahas semua tanpa kecuali, akan tetapi pada masalah yang dahulu belum ada dan belum terpikirkan.

RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian  Fiqh ?
2.      Apa pengertian darii Ushul Fiqh ?
3.      Pengertian Maqashid al-syariah
4.      Tujuan umum Maqasid al- Tasryi aw Syari’ah ?
5.      Apa saja macam-macam hukum  Al-Tasryi’ ?

TUJUAN PEMBAHASAN
Makalah ini di susun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti hal-hal yang berhubungan dengan ilmu ushul fiqh, mulai dari pengertian, definisi,macam-macam apa yang harus kita lakukan dengan benar, dan lain sebagainya.


 BAB 2
 PEMBAHASAN
Pengertian Fiqh dan Ushul fiqh
Pengertian Fiqh
Menurut bahasa, Fiqh berarti pemahaman yang mendalam. Dan menurut istilah Fiqh dapat dipahami dua bahasan pokok dari ilmu fiqh, yaitu bahasan pokok ilmu fiqh, yaitu bahasan tentang hokum-hukum syara’ yang bersifat amali dan keduanya tentang dalil-dalil tafsili.[1]
Beberapa pendapat tentang definisi fiqh. Definisi yang di ajukan Abu Hanafiah ini sejalan dengan keadaan ilmu pengetahuan keislaman di masanya, di mana belum ada pemilihan antara ilmu fikih dalam pengertian yang lebih khusus dengan ilmu-ilmu keislaman lainnya. Oleh karena itu sesuai dengan pengertian fiqih yang di sebutkannya itu, istilah fiqih mempunyai pengertian umum, mencakup hukum yang berhubungan dengan akidah seperti kewajiban beriman dan sebagainya, ilmu akhlak, dan hukum-hukum yang berhubungan dengan amal perbuatan manusia, seperti hukun ibadah, dan mu’amalah.
Jadi fiqh adalah ilmu untuk mengetahui hokum allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili). Definisi fiqh secara umum,ialah suatu ilmu yang mempelejari bermacam-macam syariat atau hukum  islam dan berbagai macam aturan hudup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat social.
Pengertian Ushul Fiqh
Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi bahwa ushul fiqh adalah pengetahuan tentang kaidah dan pembahasannya yang digunakan untuk menetapkan hokum-hukum syara’ yang berhubungan dengan pebuatan manusia dari dalil-dalilnya yang terperinci.[2]
Tujuan  yang ingin dicapai dari ushul fiqh yaitu untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap dalil-dalil syara’ yang terperinci agar sampai pada hokum-hukum syara’ yang bersifat amali. Dengan ushul fiqh pula dapat di keluarkan suatu hokum yang tidak memiliki nash dengan cara qiyas, istihsan, istishhab dan berbagai metode pengambilan hokum yang lain. Selain itu dapat juga di jadikan sebagai pertimbangan tentang sebab terjadinya perbedaan madzhab di antara para imam mujtahid.

Pengertian Maqashid Al-Syari’ah
Secara bahasa maqashid al-syariah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan al-syariah. Maqashid bentuk dari jamak “maqashid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. AL-Syari’ah di artikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kea rah sumber pokok kehidupan.[3]
Jadi, dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa yang di maksud dengan Maqashid Al-syari’ah adalah tujuan segala ketentuan allah yang disyariatkan kepada umat manusia.
Syekh Muhammad abu Zahra dalam kitabnya ushul fiqh merumuskan tiga tujuan kehadiran hokum islam:
    Membina setiap individu agar menjadi sumber kebaikan bagi orang lain, tidak menjadi sumber keburukan bagi orang lain.
     Menegakkan keadilan dalam masyarakat baik  sesama muslim maupun nonmuslim.
 Merealisasikan kemaslahatan.
Tujuan ketiga ini merupakan tujuan puncak yang melekat pada hokum islam secara keseluruhan.maka tidak ada syariat yang berdasarkan al-qur’an dan hadis kecuali didalamnya terdapat kemaslahatan yang hakiki dan berlaku secara umum.
Tujuan umum maqasyid syariah
Imam al-syatibi dalam kitab al-muwafaqat berkata : “sekali-kali tidaklah syariat itu dibuat kecuali untuk merealisasikan manusia baik di dunia maupun di akhirat dan rangka mencegah kemafsadatan yang akan menimpa mereka.”
Tujuan umum dari hokum syariat adalah untuk merealisasikan kemaslahatan hidup manusia dengan mendatangkan manfaat dan menghindari mudharat. Kemaslahatan yang menjadi tujuan hokum islam adalah kemaslahatan yang hakiki yang beroriebtasi kepada terpeliharanya lima perkara yaitu agama, jiwa, harta, akal, dan keturunan. Dengan kelima perkara inilah manusia dapat menjalankan kehidupannya yang mulia.[4]
Untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas dari maqashid al-syariat, maka berikut ini akan dijelaskan kelima pokok kemaslahatan dengan peringkatnya masing-masing, sebagaimana dijelaskan oleh fathurrahman djamil. Uraian ini bertitik tolak dari kelima pokok kemaslahatan yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta. Kemudian dari kelima pokok itu akan dilihat berdasarkan tingkat kepentingan atau kebutuhannya masing-masing.
Memelihara agama (hifz al-din)
Menjaga dan memelihara agama berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan menjadi tiga peringkat.
1.      Memelihara agama dalam tingkat daruriyat (pokok), yaitu memelihara dan melaksanakan kewajiban agama yang termasuk tingkat primer seperti melaksanakan shalat lima waktu.
2.      Memelihara agama dalam tingkat hajiyat, yaitu melaksanakan ketentuan agama dengan maksud menghindari kesulitan seperti shalat jama’ dan qashar bagi orang yang berpergian.
3.      Memelihara agama dalam tingkat tahsiniyat,yaitu mengikuti petunjuk agama dan menjunjung tinggi martabat manusia sekaligus melengkapi pelaksanaan kewajiban terhadap tuhan.
Memelihara jiwa (hifz an-nafs)
Memelihara jiwa berdasarkan kepentingannya dapat dibedakan tiga peringkat yaitu:
1.      Memelihara jiwa dalam tingkat daruriyat seperti memenuhi kebutuhan pokok berupa makanan untuk mempertahankan hidup.
2.      Memelihara jiwa dalam tingkat hajiyat seperti dibolehkannya berburu dan menikmati makanan dan minuman yang lezat.
3.      Memelihara jiwa dalam peringkat tahsiniyat seperti ditetapkannya tata cara makan dan minum.
 Memelihara akal (hifz al-aql)
Memelihara akal dapat dilihat dari segi kepentingannya yaitu :
1.      Memelihara akal dalam tingkat daruriyat seperti diharamkannya meminum minuman keras.
2.      Memelihara akal dalam tingkat hajiyat seperti anjuran untuk menuntut ilmu pengetahuan .
3.      Memelihara akal pada tingkat tahsiniyat seperti menghindarkan diri dari menghayalatau mendengarkan sesuatu yang tidak berfaedah.
Memelihara keturunan (hifz an-nasl)
Memelihara keturunan,dilihat dari tingkat kebutuhannya yaitu :
1.      Memelihara keturunan dalam peringkat daruriyat seperti disyariatkannya nikah dan larangan zina.
2.      Memelihara keturunan dalam tingkat hajiyat,seperti ditetapkannya menyebutkan mahar bagi suami pada waktu akad nikah dan diberikannya hak talak pada suami.
3.      Memelihara keturunan dalam tingkat tahsiniyat, seperti disyariatkan khitbah (meminang) atau walimah dalam perkawinan.
 Memelihara harta (hifz al-mal)
Memelihara harta dapat dibedakan beberapa tingkat yaitu :
1.      Memelihara harta dalam tingkat daruriyat, seperti disyariatkannya tata cara pemilikikan harta dan larangan mengambil harta orang lain dengan  cara tidak sah.
2.      Memelihara harta dalam tingkat hajiyat, seperti disyariatkan jual beli dengan cara salam.
3.      Memelihara harta dalam tingkat tahsiniyat,seperti adanya ketentuan agar menghindarkan diri dari usaha penipuan.

Macam-macam Tasyri’
Secara umum tasyri’ dapat dibedakan menjadi dua yaitu dilihat dari sudut sumbernya dan dari sudut kekuatannya.
Tasyri’ dilihat dari sudut sumbernya dibentuk pada periode Rasulullah SAW yaitu al-Qur’an dan Sunah. Sedangkan tasyri’ kedua yang dilihat dari kekuatan dan kandungannya mencakup ijtihad sahabat, tabi’in dan ulama sesudahnya. Tasyri’ tipe kedua ini dalam pandangan Umar Sulaiman al-Asyqar dapat dibedakan menjadi dua bidang. Pertama bidang ibadah dan kedua bidang muamalat.[5]
Dalam bidang ibadah, fiqh dibagi menjadi beberapa topik, yaitu :
a. Thaharah
b. Shalat
c .Zakat
d. Puasa
e. I’tikaf
f. Jenazah
g. Haji, umrah, sumpah, nadzar, jihad, makanan, minuman, kurban dan sembelihan.
Akan tetapi ulama Hanafiah seperti Ibnu Abidin berbeda pendapat dalam pembagian fiqh. Dia membagi fiqh menjadi tiga bagian yaitu ibadah, muamalat dan uqubat.
Cakupan fiqh ibadah dalam pandangan mereka shalat, zakat, puasa, haji dan jihad. Cakupan fiqh muamalat adalah pertukaran harta seperti jual beli, titipan, pinjam meminjam, perkawinan, mukhasamah (gugatan), saksi, hakim dan peradilan.Sedangkan cakupan fiqh uqubat dalam pandangan ulama Hanafiah adalah qishash, sanksi pencurian, sanksi zina, sanksi menuduh zina dan sanksi murtad.
Ulama syafi’iyah berbeda pendapat dengan mereka. Fiqh dibedakan menjadi empat yaitu fiqh yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat ukhrawi (ibadah), fiqh yang berhubungan dengan kegiatan yang bersifat duniawi (muamalat), fiqh yang berhubungan dengan masalah keluarga (munakahat) dan fiqh yang berhubungan penyelenggaraan ketertiban negara (uqubat).[6]


BAB III
PENUTUP
A.KESIMPULAN
Secara bahasa maqashid al-syariah terdiri dari dua kata yakni Maqashid dan al-syariah. Maqashid bentuk dari jamak “maqashid” yang berarti tujuan atau kesengajaan. AL-Syari’ah di artikan sebagai “ilal maa” yang berarti jalan menuju sumber air ini dapat pula dikatakan sebagai jalan kea rah sumber pokok kehidupan. Jadi, dari definisi di atas dapat di simpulkan bahwa yang di maksud dengan Maqashid Al-syari’ah adalah tujuan segala ketentuan allah yang disyariatkan kepada umat manusia.
B.SARAN
Semoga dengan adanya pembahasan makalah kami dapat menjadi masukan dan sumber pengetahuan bagi semua orang dan semoga bermanfaat.dan apabila ada kekurangan dalam penulisan makalah kami memohon maaf Karena kami juga dalam masa belajar.



[1]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh,(Mesir:Maktabah al- Da’wah al – Islamiyah, tt.).hal:4.
[2]Ibid 5.
[3]Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Mesir: Maktabah al-Da’wah al-Islamiyah, tt.),hlm:197.
[4]Khalid Ramadhan Hasan, Mu’jam Ushul Fiqh,(al-Raudhah, 1998), Cet. Ke-1, hlm: 268.
[5]Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al- Islamy, (Amman:Dar al-Nafais,1991), hal:21

[6]Umar Sulaiman al-Asygar, Tarikh al-Fiqh al-Islamiyah,(Amman: Dar al-Nafais, 1991), hlm:21
LihatTutupKomentar