Imam Al-Ghazali mengungkapkan ijtihad merupakan upaya maksimal seorng mujtahid dalam mendapatkan pengetahuan tentang hukum-hukum syara’. Hanafi juga berpendapat bahwa pengertian adalah mencurahkan tenaga untuk menemukan hukum agama melalui salah satu dalil syara’ dan dengan cara-cara tertentu.
Untuk menjadi seorang mujtahid, harus mencukupi beberapa syarat yang kemudian menjadi hukum sah nya melakukan ijtihad. Yang kemudian syarat-syarat ini telah ditetapkan oleh para ulama ahli ushul adalah sebagai berikut:
a. Mahir tentang bahasa arab dan alat-alatnya serta kaidah-kaidahnya seperti ilmu nahwu, sharaf, dan lain sbagainya, sehingga ia mengerti benar-benar akan susunan kata ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi.
b. Mengerti tentang nash-nash Al-Qur’an, yakni mengerti bagian-bagian dalil, seperti mana ayat mujmal, yag muhkam, yang khas dan lain sebagainya, hingga mengerti akan sebab-sebab diturunkan, dimana ayat diturunkan, dan demikianlah seterusnya hingga hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
c. Mengerti tentang hadist-hadist dan bagian-bagiannya, seperti hadist mutawatir, ahad, shahih, dan lai sebagainya dengan tidak mesti menghafal hadist-hadistnya, asal sudah dapat membedakan mana yang shahih dan dan mana yang tidak, dan lain sebagainya.
d. Mengerti tentang ushul fiqh. Ilmu ushul inlah yang pokok atau alat yang penting bagi seorang mujtahid, karena dengan ilmu inilah seorang mujtahid dapat berinstinbat dari Al-Qur’an dan Hadist untuk menetapkan sesuatu hukum syar’i.
C. Taqlid
Kata taqlid berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqlidah yang artinya mengukangi, meniru, dan mengikuti. Taqlid secara istilah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.
Adapun pengertian Taqlid menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Imam Al-Ghazali “Menerima suatu perkataan dengan tidak ada huddjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusam ushul maupun dalam urusan furu’.
b. Ibnu Subki “Mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Taqlid adalah mengakui kebenaran pendapat seseorang yang dipercayainya tanpa tahu sumber atau atas dalil apa pendapata yang dibenarinya tersebut.
Imam Abu Abdullah Khuwaz Mandad Al-Maliki berkata “Taqlid itu artinya pada syara’ ialah kembali berpegang kepada perkataan yang tidak ada alasan bagi orang yang mengatakannya”. Imam Al-Ghazali berkata “Taqlid itu ialah menerima perkataan tidak dengan alasan”. Dan banyak lagi pengertian yang artiya serupa dengan pengertian tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa “Taqlid itu ialah menerima, mengambil perkataan atau pendapat orang lain yang tidak ada hujjahnya (alasannya) dari Al-Qur’an ataupun dari Sunnah Rasul”.
Lalu muncullah pertanyan “Bolehkah ber-taqlid dalam urusan keagamaan ?” Jika Anda telah memahami pengertian taqlid diatas, maka sangat jelas bahwa bertaqlid dalam urusan agama itu satu perbuatan yang tercela dan satu perbuatan yang membawa ke arah kesesatan. Dalam surah Al-Baqarah ayat seratus tujh puluh menjelaskan kepda kita bahwa orang yang sudah bertaqlid akan dibeci oleh Allah. Karena, apabila mereka diajak kembali mengikut pimpinan Allah dan kepada tutunan Rasul, mereka menjawab, “Kami hanya akan menuruti cara-cara yang telah dilakukan oleh orang tua kami, nenek-nenek moyang kami, dan datuk-dtuk kami”. Atau “Cukuplah bagi kami kami agama yang telah dijalankan oleh nenek moyang kami dan datuk-datuk kami”. Mereka berkata begitu, karena sudah penuh sangkaan dan anggapan bahwa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka itu sudah benar, sudah menurut pimpinan agama yang sebenarnya, dengan tidak mencari atau meminta keterangan yang menunjukkan kebenaran agama yang telah dipeluk oleh nenek moyang mereka. Maka, sangat jelaslah bahwa islam benar-benar melarang bertaqlid khususnya dalam urusan agama.
Tidak semua perbuatan taqlid itu dilarang dalam agama, akan tetapi ada juga taqlid yang dibolehkan oleh agama. Yaitu taqlid kepada para mujtahid dengan syarat yang dibolehkan adalah orang awam yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum-hukum syariat. Adapun orang yang mengerti dan sanggup mencar sendiri hukum-hukum suariat, maka harus berijtihad sendiri. Akantetapi, bila waktuny sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan yang lain maka menurut suatu pendapat boleh mengikuti pendapat orang lain.
D. Ittiba’
Kata ittiba’ barasal dari kata ittiba’a-yattabi’u-muttabi’un, dan kata ini diambil dari tabi’a-yatba’u-tabi’un, yang artinya menikuti atau menuruti, menelusuri jejak, bersuri tauladan, dan berpanutan. Adapun secara istilah Ittiba’ adalah mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Jika taqlid mengikuti seseorang ataupun ucapannya tanpa alasan. Maka, ittiba’ mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil padanya. Jadi, ittiba’ terhadap A-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya.
Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin dan muslimat ber-ittiba’ kepada Rasulullah seperti firmannya, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. Al-Ahzab: 21) Maka wajib hukumnya berittiba’ dan dilarang untuk bertaqlid kepada yang tidak memenuhi syarat mujtahid. Disinilah letak yang membedakan antara ittiba’ dengan taqlid.
Kata Imam Dawud dalam hadistnya “Saya pernah mendengar Imam Ahmad berkata ‘Ittiba’ itu ialah seorang yang mengikuti apa-apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya’.” Maka, dapat disimpulkan bahwa ittiba’ ialah mengikuti, menuruti apa-apa yang diperintakan oleh Rasulullah S.A.W. atau dengan kata lain, mengerjakan perintah agama dengan meuruti apa-apa yang yang pernah diterangkan atau dicontohkan Nabi, dan juga menjauhi apa-apa yang telah dilarang, dan orang yang mengerjakan demikian itu namanya muttabi’.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian ittiba’ adalah menerima pendapat seseorang atau mengikuti perbuatan seseorang dengan mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya tersebut.
A. Fatwa
Menurut Ensiklopedia Islam, fatwa secara bahsa arinya nasihat, petuah, jawaban, atau pendapat. Maka, definisi fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau penafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam. Imam Ibnu Mandzur menyatakan, “Aku menyampaikan atau menfatwakan kepada si Fulan sebuah pendapat yang dia baru mengetahui pendapat itu jika aku telah menjelaskan kepada dirinya tentang pendapat itu. Aku berfatwa mengenai jawaban atas masalah itu”.
Secara istilah, fatwa adalah penjelasan hukum syara’ atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dan juga merupakan salah satu metode dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menerangkan hukum-huku syara’, ajaran-ajarannya, dan arahan-arahannya. Kadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya pertanyaan, dan kadang juga datang setelah adanya pertanyaan mengenai suatu permasalahan hukum syara’ tersebut.
Adapun pengertian Fatwa menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Ahamd Hasan “Bahasa arab yang berarti jawaban pertannyaan atau ketetapan hukum, maksudnya ialah ketetapan atau keputusan hukum tentang suatu masalah atau peristiwa yang nyata oleh seorang mujtahid, sebagai hasil ijtihadnya.
b. Ibnu Qayyim “Pernyataan yang disampaikan oleh seorang mufti tentang persoalan agama yang belum diketahui hukumnya.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam.
Jika fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu. Maka, fatwa harus di dasari dari dalil-dalil syariat. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihad. Jika mujtahid ini memberikan fatwa (seorang muftiy berfatwa), haruslah kita menjadi muttabi’nya. Akan tetapi, apabila dia bukan seorang mujtahid, secara tidak sengaja ia telah bertaqlid dan menjadi orang yang dibenci oleh Allah serta orang-orang yang juga mempercayai fatwanya (bertaqid atasnya).
LANJUTAN BAB III
Untuk menjadi seorang mujtahid, harus mencukupi beberapa syarat yang kemudian menjadi hukum sah nya melakukan ijtihad. Yang kemudian syarat-syarat ini telah ditetapkan oleh para ulama ahli ushul adalah sebagai berikut:
a. Mahir tentang bahasa arab dan alat-alatnya serta kaidah-kaidahnya seperti ilmu nahwu, sharaf, dan lain sbagainya, sehingga ia mengerti benar-benar akan susunan kata ayat-ayat Al-Qur’an dan hadist-hadist Nabi.
b. Mengerti tentang nash-nash Al-Qur’an, yakni mengerti bagian-bagian dalil, seperti mana ayat mujmal, yag muhkam, yang khas dan lain sebagainya, hingga mengerti akan sebab-sebab diturunkan, dimana ayat diturunkan, dan demikianlah seterusnya hingga hal-hal yang berkaitan dengan Al-Qur’an.
c. Mengerti tentang hadist-hadist dan bagian-bagiannya, seperti hadist mutawatir, ahad, shahih, dan lai sebagainya dengan tidak mesti menghafal hadist-hadistnya, asal sudah dapat membedakan mana yang shahih dan dan mana yang tidak, dan lain sebagainya.
d. Mengerti tentang ushul fiqh. Ilmu ushul inlah yang pokok atau alat yang penting bagi seorang mujtahid, karena dengan ilmu inilah seorang mujtahid dapat berinstinbat dari Al-Qur’an dan Hadist untuk menetapkan sesuatu hukum syar’i.
C. Taqlid
Kata taqlid berasal dari kata qallada-yuqallidu-taqlidah yang artinya mengukangi, meniru, dan mengikuti. Taqlid secara istilah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui sumber atau alasannya.
Adapun pengertian Taqlid menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Imam Al-Ghazali “Menerima suatu perkataan dengan tidak ada huddjah. Dan tidak ada taqlid itu menjadi jalan kepada pengetahuan (keyakinan), baik dalam urusam ushul maupun dalam urusan furu’.
b. Ibnu Subki “Mengambil suatu perkataan tanpa mengetahui dalil”.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Taqlid adalah mengakui kebenaran pendapat seseorang yang dipercayainya tanpa tahu sumber atau atas dalil apa pendapata yang dibenarinya tersebut.
Imam Abu Abdullah Khuwaz Mandad Al-Maliki berkata “Taqlid itu artinya pada syara’ ialah kembali berpegang kepada perkataan yang tidak ada alasan bagi orang yang mengatakannya”. Imam Al-Ghazali berkata “Taqlid itu ialah menerima perkataan tidak dengan alasan”. Dan banyak lagi pengertian yang artiya serupa dengan pengertian tersebut. Maka, dapat disimpulkan bahwa “Taqlid itu ialah menerima, mengambil perkataan atau pendapat orang lain yang tidak ada hujjahnya (alasannya) dari Al-Qur’an ataupun dari Sunnah Rasul”.
Lalu muncullah pertanyan “Bolehkah ber-taqlid dalam urusan keagamaan ?” Jika Anda telah memahami pengertian taqlid diatas, maka sangat jelas bahwa bertaqlid dalam urusan agama itu satu perbuatan yang tercela dan satu perbuatan yang membawa ke arah kesesatan. Dalam surah Al-Baqarah ayat seratus tujh puluh menjelaskan kepda kita bahwa orang yang sudah bertaqlid akan dibeci oleh Allah. Karena, apabila mereka diajak kembali mengikut pimpinan Allah dan kepada tutunan Rasul, mereka menjawab, “Kami hanya akan menuruti cara-cara yang telah dilakukan oleh orang tua kami, nenek-nenek moyang kami, dan datuk-dtuk kami”. Atau “Cukuplah bagi kami kami agama yang telah dijalankan oleh nenek moyang kami dan datuk-datuk kami”. Mereka berkata begitu, karena sudah penuh sangkaan dan anggapan bahwa yang dilakukan oleh nenek moyang mereka itu sudah benar, sudah menurut pimpinan agama yang sebenarnya, dengan tidak mencari atau meminta keterangan yang menunjukkan kebenaran agama yang telah dipeluk oleh nenek moyang mereka. Maka, sangat jelaslah bahwa islam benar-benar melarang bertaqlid khususnya dalam urusan agama.
Tidak semua perbuatan taqlid itu dilarang dalam agama, akan tetapi ada juga taqlid yang dibolehkan oleh agama. Yaitu taqlid kepada para mujtahid dengan syarat yang dibolehkan adalah orang awam yang tidak mengerti cara-cara mencari hukum-hukum syariat. Adapun orang yang mengerti dan sanggup mencar sendiri hukum-hukum suariat, maka harus berijtihad sendiri. Akantetapi, bila waktuny sudah sempit dan dikhawatirkan akan ketinggalan waktu untuk mengerjakan yang lain maka menurut suatu pendapat boleh mengikuti pendapat orang lain.
D. Ittiba’
Kata ittiba’ barasal dari kata ittiba’a-yattabi’u-muttabi’un, dan kata ini diambil dari tabi’a-yatba’u-tabi’un, yang artinya menikuti atau menuruti, menelusuri jejak, bersuri tauladan, dan berpanutan. Adapun secara istilah Ittiba’ adalah mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil. Jika taqlid mengikuti seseorang ataupun ucapannya tanpa alasan. Maka, ittiba’ mengikuti seseorang atau suatu ucapan dengan hujjah dan dalil padanya. Jadi, ittiba’ terhadap A-Qur’an berarti menjadikan Al-Qur’an sebagai imam dan mengamalkan isinya. Ittiba’ kepada Rasul berarti menjadikannya sebagai panutan yang patut diteladani dan ditelusuri langkahnya.
Allah memerintahkan agar semua kaum muslimin dan muslimat ber-ittiba’ kepada Rasulullah seperti firmannya, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah suri tauladan yang baik, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kesenangan) hari akhirat dan dia banyak menyebut Allah”. (Q.S. Al-Ahzab: 21) Maka wajib hukumnya berittiba’ dan dilarang untuk bertaqlid kepada yang tidak memenuhi syarat mujtahid. Disinilah letak yang membedakan antara ittiba’ dengan taqlid.
Kata Imam Dawud dalam hadistnya “Saya pernah mendengar Imam Ahmad berkata ‘Ittiba’ itu ialah seorang yang mengikuti apa-apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya’.” Maka, dapat disimpulkan bahwa ittiba’ ialah mengikuti, menuruti apa-apa yang diperintakan oleh Rasulullah S.A.W. atau dengan kata lain, mengerjakan perintah agama dengan meuruti apa-apa yang yang pernah diterangkan atau dicontohkan Nabi, dan juga menjauhi apa-apa yang telah dilarang, dan orang yang mengerjakan demikian itu namanya muttabi’.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian ittiba’ adalah menerima pendapat seseorang atau mengikuti perbuatan seseorang dengan mengetahui dasar pendapat atau perbuatannya tersebut.
A. Fatwa
Menurut Ensiklopedia Islam, fatwa secara bahsa arinya nasihat, petuah, jawaban, atau pendapat. Maka, definisi fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau penafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam. Imam Ibnu Mandzur menyatakan, “Aku menyampaikan atau menfatwakan kepada si Fulan sebuah pendapat yang dia baru mengetahui pendapat itu jika aku telah menjelaskan kepada dirinya tentang pendapat itu. Aku berfatwa mengenai jawaban atas masalah itu”.
Secara istilah, fatwa adalah penjelasan hukum syara’ atas berbagai macam persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat, dan juga merupakan salah satu metode dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah dalam menerangkan hukum-huku syara’, ajaran-ajarannya, dan arahan-arahannya. Kadang penjelasan itu diberikan tanpa adanya pertanyaan, dan kadang juga datang setelah adanya pertanyaan mengenai suatu permasalahan hukum syara’ tersebut.
Adapun pengertian Fatwa menurut beberapa para ahli, yaitu:
a. Ahamd Hasan “Bahasa arab yang berarti jawaban pertannyaan atau ketetapan hukum, maksudnya ialah ketetapan atau keputusan hukum tentang suatu masalah atau peristiwa yang nyata oleh seorang mujtahid, sebagai hasil ijtihadnya.
b. Ibnu Qayyim “Pernyataan yang disampaikan oleh seorang mufti tentang persoalan agama yang belum diketahui hukumnya.
Dari beberapa pengertian pemakalah dapat menyimpulkan bahwa pengertian Fatwa adalah sebuah istilah mengenai pendapat atau tafsiran pada suatu masalah yang berkaitan dengan hukum islam.
Jika fatwa adalah penjelasan hukum syariat atas persoalan tertentu. Maka, fatwa harus di dasari dari dalil-dalil syariat. Oleh karena itu, satu-satunya cara untuk mengetahui hukum syariat dari dalil-dalil syariat adalah dengan ijtihad. Jika mujtahid ini memberikan fatwa (seorang muftiy berfatwa), haruslah kita menjadi muttabi’nya. Akan tetapi, apabila dia bukan seorang mujtahid, secara tidak sengaja ia telah bertaqlid dan menjadi orang yang dibenci oleh Allah serta orang-orang yang juga mempercayai fatwanya (bertaqid atasnya).
LANJUTAN BAB III