FATWA MUI, dan “REVOLUSI” EKONOMI SYARI’AH

 
FATWA MUI, dan “REVOLUSI” EKONOMI SYARI’AH
(Analisis dampak fatwa MUI terhadap pertumbuhan Ekonomi Islam Indonesia)

Oleh : Dr. Achmad Kholiq,MA

Skenario nasional menuju ke arah lahirnya sebuah sistem ekonomi berbasis syari’ah sedang berlangsung, tahap demi tahap langkah itu semakin pasti dan kini akan segera menemukan momentumnya. Segera setelah gagasan itu menjadi real, maka potret dunia perbankan nasional akan memasuki babak baru, dengan wajah perbankan yang bernuansa spiritual dan nilai religiusutas yang kental. Pada fase inilah akan terjadi sebuah “revolusi” ekonom syari’ah.Fatwa MUI sebagai daya dorong ke arah itu berimplikasi terhadap perspektif publik tentang bank syari’ah. 

Legalitas Fatwa MUI

Mencermati pedoman fatwa Majelis Ulama Indonesia yang ditetapkan secara internal dalam Surat Keputusan MUI nomor U-596/MUI/X/1997, maka dapat diambil tiga simpilfikasi penting. Ketiganya merupakan bagian proses utama yang harus dilakukan oleh MUI dalam melahirkan sebuah produk fatwa, yaitu dasar dasar umum penetapan fatwa, prosedor penetapan fatwa, serta teknik dan kewenangan organisasni dalam penetapan fatwa. Proses perjalanan fatwa yang akhirmnya melahirkan hukum haram bagi bunga bank, secara yuridis sebenarmnya sudah memenuhi aturan main yang berlaku. 

Pada poin pertama misalnya, ketika jatuhnya keputusan haram bunga bank, maka fatwa itu sudah dianggap merujuk pada dasar umum penetapan fatwa, berupa al-adillat al-ahkam yang paling kuat (nash Syari’at berupa teks al- Qur’an Hadits) dan mempertimbangkan kemashlahat bagi umat. Poin kedua juga demikian halnya, fatwa itu dianggap telah memenuhi prosedur penetapan yang menjadi payung konstitusi di dalam internal MUI, sementara pada poin ketiga, dari aspek kompetensi dan kewenangan objek hukum (Maudhu’ al fatwa) telah memenuhi aturan karena bunga bank “bagi MUI, adalah salah satu problem kontemporer (Masail al haditsah) yang menyangkut persepektif hukum umat Islam di Indonesia, yang dalam paradigma hukum MUI menjadi salah satu objek penetapan hukum.

Tidak heran jika kemudian fatwa inipun sebenarnya tidak menjadi masalah dari aspek prosedural dan paradigma istinbath (penggalian hukum), apresiasi dari publik tentang inipun kelihatannya tidak jadi persolanan. Hanya saja. Ketika fatwa ini kemudian sampai ke publik maka ada persoalan sosiologis yang secara langsung terkena implikasi dari fatwa ini. Polemikpun tidak bisa dihindari, sebagian pro sebagaian kontra. 

Reasoning yang kontrapun bisa dimengerti, mengingat secara sosiologis mapun politis fatwa itu dianggap kurang pas dari segi momentum, terutamam ketika melihat realitas di lapangan tentang kesiapan perbankan Islam secara nasional belum cukup mendukung. Sehingga dikhawatarkan berakibat akan muncul sikap ambivalen dari fatwa ini pada sebagai masyarakat Islam, yang ini bebarti efektifitas fatwa MUI akan mengalami distorsi dan bias.walhasil, Skenario besar untuk sosialisasi ekonomi syari’ah di tingkat nasional akan mengalami kendala secara sosiologis apabila fatwa itu “dipaksakan” mengabaikan momentum.

Optimisme, Pesimisme dalam Fatwa MUI

Sebuah teori hukum menyebutkan bahwa Produk keputusan yang bernuansa hukum disebut efektif, apabila hukum tersebut diresponi dan dipatuhi oleh masyarakat. Kepatuhan terhadap keputusan hukum membutuhkan kesadaran hukum yang dianggap sebagai faktor yang sangat penting dalam proses “fungsionalisasi” produk keputusan hukum secara keseluruhan. Sementara kesadaran hukum itu merupakan suatu proses psychis dalam diri manusia, yang menyangkut faktor-faktor apakah suatu ketentuan hukum tertentu telah diketahui, difahami, diakui, dihargai dan ditaati. Sebab masyarakat akan segera mentaati atau paling tidak meresponi produk keputusan hukum apabila dia telah mengetahui, memahami, menghargai manfaatnya lalu menghayatinya, kemudian baru mematuhi/mentaatinya. 

Teori ini agaknya dapat dijadikan kerangka pemikiran dalam melakukakan uji publik dari sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh Institusi keagamaan seperti MUI. Terlepas masih adanya polemik dalam budaya masyarakat kita tentang apakah MUI dalam sistem hukum dapat disebut sebagai sebuah institusi yang punya otoritas yuridis atau tidak.

Berbeda dengan di Mesir, Fatwa Ulama di Indonesia tidak memiliki daya ikat “yuridis” terhadap masyarakat Muslim. Ia sebatas pada pengaruh moral yang tentu saja ini tergantung pada kesadaran personal orang Islam, semakin tinggi kesadaran moral seorang muslim tentunya akan segera mengikuti fatwa itu, sebaliknya semakin rendah kesadaran moral umat Islam maka fatwa MUI itu akan menjadi sebuah catatan saja, dan segara dilupakan orang. Ini artinya efektifitas Fatwa MUI di lapangan sangat bergantung pada kesadaran moral dan internal masyarakat muslim Indonesia,

Banyak faktor mengapa produk produk hukum dalam bentuk fatwa ini sering kali hanya memiliki semangat anjuran moral, dan bukan paksaan yang memiliki sanksi hukum. Salah satunya karena memang sistem hukum di negara kita tidak menganut itu dan posisi ulama dalam sistem ketata negaraan kita tidak memiliki otoritas yuridis, sehingga kehadirannya di tengah masyarakat tidak lebih dari sebatas penjaga “moral”. 

Hal lain boleh jadi, institusi Ulama kita tidak cukup dianggap sebagai representasi dari masyrakat muslim yang pluralisme keagamannya semakin kental, lebih lagi friksi friksi keagamaan dalam bentuk organisasi masa (Muhammadiyah, NU, Persis dll) justru telah memilki lembaga fatwa tersendiri, sehingga masyarakat lebih cenderung berkiblat pada hasil produk hukum fatwa ormasnya ketimbang MUI.

Kasus kasus moral dari mulai pornografi, miras, narkoba, “inul” dan beberapa kasus lainya yang memicu lahirnya keresahan sosial, yang juga sempat menjadi objek kajian intens di MUI dan beberapa produk fatwanya ternyata juga tidak cukup ampuh menghentikan prakteknya di lapangan, efektifitasnya di lapangan mengalami hambatan, di tambah lagi makin kuatnya budaya dan “teologi” permisif di kalangan masyarakat muslim Indonesia semakin mempersulit tereasilisasinya fatwa fatwa hukum MUI di Indonesia. 

Kendatipun demikian, fatwa fatwa MUI dalam berbagai produk hukumnya tidak bisa dianggap sepele, karena secara moral justru punya dampak yang cukup kuat bagi masyarakat terntentu. Salah satu yang paling mutahir tentang fatwa itu adalah tentang haramnya bunga bank. Muncul polemik internal yang terjadi di kalangan tokoh tokoh ormas Islam ketika fatwa ini diekspos ke tengah-tengah publik. (tentu saja isyu “ijtihadi” yang sejatinya adalah pro dan kontra menjadi kerangka pemikran mereka). Sebagian berpandangan bahwa fatwa itu masih dalam kerangka ikhtilafi yang belum final dan boleh di tafsir bahkan di dekonstruksi ulang, sepanjang imbasnya secara sosiologis belum mencapai kemaslahatan. 

Terlepas dari pro dan kontra itu, kehadiran fatwa itu akan cukup punya implikasi baik sosiologis, psokoligis apalagi moral yang kuat, imlpikasi ini terlihat jelas terhadap dunia perbankan konvensional di Indonesia. Perlahan tapi pasti fatwa ini akan dapat merubah paradigma pemikiran umat Islam tentang bunga bank dan perspektif publik tentang perbankan konvensional. Tidak heran jika kemudian hampir semua lembaga perbankan konvensional “berbondong bondong” mulai membuka produk pelayanannya dengan menggunakan sistem perbankan syari’ah

Tentu ini bukan satu keputusan yang tiba tiba, tapi merupakan proses perjalanan panjang tentang fenomena global kebangkitan bank berbasis syari’ah. Klimaknya –khususnya di Indonesia- terjadi pada saat fatwa ini mulai di sampaikan pada publik. rasa cemas di satu sisi (pesimis) dan prospek (optimis ) di sisi lain menjadi semakin pentingnya fatwa ini mendapat respon. Kekhawatiran “terjadinya “rush” besar besararan terhadap bank bank konvensional menjadi tidak terhindarkan, sementara peluang berkembangnya perbankan syari’ah juga menjadi satu keniscayaan.

Fatwa MUI dan “Revolusi” Ekonomi Syari’ah 

Implikasi real dari fatwa MUI tentang haramnya bunga bank, adalah adanya “rush” dan pengalihan dana nasabah dari bank konvensional ke lembaga perbankan syari’ah. Ini terjadi terutama ketika efektifitas fatwa itu mulai terasa dalam masyarakat. Fenomena ini boleh jadi menimbulkan kekhawatiran dari pihak perbankan konvensional di satu sisi tapi juga, optimisme di perbankan syari’ah di sisi lain.
Fenomena yang cukup fantastis dan peluang bangkitnya ekonomi berbasis syari’ah ini tentu saja bukan tanpa perjalanan sejarah. Kalau melakukan kilas balik maka kecenderungan bangkitnya ekonomi syari’ah sebagai alternatif baru ini, embrionya dapat dilihat ketika dalam dekade 70 dan 80 an, mulai bermunculan bank bank dan lembaga lembaga keuangan di beberapa negara bukan saja di negara negara muslim akan tetapi di beberapa negara non muslim, dan imbasnya secara global tentu pada masyarakat Indonesia yang nota bene mayoritas muslim. Motivasi kebangkitan ini tentu saja adalah dalam upaya mencari alternatif lain dari sistem konvensional yang telah ada, karena dirasakan sistem konvensional yang ada, bukan saja secara sistem belum dapat menciptakan kemakmuran yang optimal tetapi juga di rasa belum memenuhi tuntutan “ muamalah” Islam. Dalam kontek inilah barangkali mengapa fatwa MUI di Indonesia khususya dianggap perlu di keluarkan dan segera mendapat respon publik. 

Dalam konstalasi perbankan nasional, diluncurkannya fatwa MUI berkaitan dengan bunga bank ini semakin memberi legitimasi akan terjadinya sebuah “revolusi” perbankan syari’ah di Indonesia, tidak berlebihan jika dalam dua atau tiga tahun kedepan akan terjadi “ Boom “ bank syari’ah, yang akan menggantikan kendali ekonomi konvensional yang selama hampir enam dasa warsa di Indonesia ini menjadi aktor sistem ekonomi nasional. Fenomena ini –jika mulus perjalanannya - merupakan satu indikator awal terjadinya “kudeta” ekonomi Islam atas kapitalsme di Indonesia . Prediksi predikisi ini tidak saja dalam tataran discourse, tetapi belakangan semakin menemukan momentumnya. 

Tidak berlebihan jika tesis sejarah yang di kemukakan oleh Ibnu Khaldun, (tentang teori sejarah yang tidak selamanya akan berjalan secara linier) semakin teruji. Jika proyek perbankan syari’ah di Indonesia ini benar benar terjadi dan menjadi bagian integral dari sistem perbankan nasional, maka fluktuasi sejarah akan bankitnya ideologi ekonomi baru yang selama ini merupakan dominasi “sosialisme” dan “kapitasme” akan menjadi sebuah fenomena yang prestisius di kancah perekonomian nasional bahkan internasional. “Revolusi” ekonomi berbasis syari’ah ini –sekali lagi jika tidak ada hambatan- akan menjadi nahkoda ekonomi nasional yang akan membawa Indonesia memasuki pasar bebas tahun depan. 

Ketangguhan sistem ekonomi syari’ah dalam kontek Indonesia memang belum sepopoler perbank3an konvensional, terutam karena lebih pada persoalan kelahirannya di Indonesia yang masih relatif baru. Untuk menjadi aktor baru dan akan menggerakan turbin ekonomi nasional, ekonomi berbasis syari’ah perlu banyak belajar dan menata diri secara internal. Improvisasi yang matang tentu menjadi satu keniscayaan., apa lagi kwalifikasi “human resouces” di tataran operasional dan expert bidang “mu’amalah” (Fiqh Ekonomi Islam) yang “tune in” dengan skenarioe global manajemen perbankan modern, masih sangat terbatas. 

Jika di tinjau dari aspek ini bisa saja secara politis, apa yang dilakukan MUI dengan produk fatwanya ini memang cenderung terburu-buru. Hal ini berkaitan dengan kesiapan secara nasional perbankan syari’ah yang masih sedang mencari jati dirinya. Luasnya geografis, legitimasi poloitik dan yuridis, kwalifikasi SDM dan keterbatasan sosialisasi perbankan syari’ah di seluruh pelosok akan menjadi agenda agenda dan tantangan tersendiri bagi perbankan syari’ah ke depan, jika memang proyek ini ingin segera memperoleh apresiasi dari masyarakat luas.

Walaupun demikian, sesungguhnya sangat berasalan untuk tetap optimis akan lahrinya “dewi fortuna” perbankan, terlebih apabila mencermati data data mutahir di lapangan dua tahun terakhir ini, dimana putaran roda ekonomi syari’ah dari hari ke-hari mengalami perkembangan yang cukup significant bagi dunia perbankan nasional. Ilustrasi ini salah satunya dapat dicermati dari aspek total aset, selama tahun 2003 sampai bulan oktober telah mengalami pertumbuhan sebesar 67 persen, walapun angka ini masih relatif kecil jika di dibandingkan dengan pertumbhan perbankan nasional akan tetapi jelas pertumbuhan tersebut telah meningkatkan pangsa perbankan syari’ah terhadap perbankan nasional dari 0,36 persen pada akhir tahun 2002 menjadi 0,54 persen. (Republika, sabtu 3 Januari2003). 

Banyak lompatan lompatan yang sesungguhnya telah dilakukan oleh perbankan syari’ah selama dua tahun terakhir ini. Ambil contoh misalnya dari instrumen investasi syari’ah, yang telah menerbitkan obligasi syari’ah sebesar Rp. 400 milyar dari tiga bank syari’ah yang ada, yaitu BSM (Bank Syari’ah Mandiri), BMI (Bank Mu’amalat Indonesia) dan Bank Bukopin. Dari segi perluasan jaringan operasional juga ada beberapa gebrakan yang cukup fantastis dimana salah satu bank asing (Honkong and Shanghai Bank Corporation) HSBC telah membuka unit usaha syari’ah, yang jelas akan memberi warna tersendiri bagi legitimasi bank syari’ah di mata publik. 

Prosepk perbankan syari’ah ini di perkuat dengan penyempurnaan sistim pengawasan selam tahun 2003, dimana Bank Indonesia (BI) telah mengalihkan pengawasan yang selama ini dilaksanakan oleh Direktorat Pengawasan Bank Umum di BI kepada Direktorat Perbankan Syari’ah yang telah dinaikkan statusnya dari semula setingkat Biro di penghujung tahun 2003 lalu. Apa yang dilakukan BI ini punya implikasi besar bagi tumbuh kembangnya perbankan syari’ah di kancah perbankan nasional.

Beberapa ilustrasi tersebut,- sekali lagi- merupakan peluang besar bagi ekonomi berbasis Syari’ah untuk menggantikan kendali ekonomi nasional yang selama ini dipegang perbankan konvensional. Obsesi –obsesi itu tentu saja tidak selamanya berjalan mulus, kalau perangkat pendukung lain “revolusi” ekonomi syari’ah tidak segara di benahi. –sekali lagi- tantangan besar yang harus di jawab oleh dunia perbankan syari’ah adalah persoalan SDM, persoalan lainnya yang juga punya kontribusi besar adalah legitimasi politik dan yuridis pemerintah serta Jaringan perbankan syari’ah secara nasional. 

“Revolusi” Ekonomi Syari’ah dan Peran Perguruan Tinggi

Skenario nasional menuju ke arah lahirnya sebuah sistem ekonomi berbasis syari’ah sedang dimulai, tahap demi tahap langkah itu semakin pasti dan kini akan segera menemukan momentumnya. Segera setelah gagasan itu menjadi real, maka potret dunia perbankan nasional akan memasuki babak baru, dengan wajah perbankan yang bernuansa spiritual dan nilai religiusutas yang kental. Pada fase inilah akan terjadi sebuah “revolusi” ekonom syari’ah.
Untuk menuju proses “revolusi” ekonimi syari’ah yang sempurna, paling tidak ada tiga syarat mutlak yang mesti di persiapkan:

pertama, Sumber daya manusia handal, yang tidak hanya mampu mengakses pengetahuan manajeman, teknologi perbankan mutahir, tapi juga memilki akses yang kuat terhadap pengusaan pengetahuan dasar ekonomi yang berbasis “mu’amalah” (Fiqh Ekonomi Islam) . Faktor ini tidak lagi bisa ditawar-tawar, sebab menjadi faktor prioritas bagi ketangguhan sistem ekonomi syari’ah. Ironis jika sebuah lembaga perbankan syari’ah, harus di kelola oleh SDM yang memilki akses pas-pasan, ujung ujungnya akan menjadi sebuah lembaga yang sangat formalistik saja dan jauh dari substansi “syari’ah”. Pada bagian ini “institusi pendidikan tinggi menjadi sangat penting keberadaannya, Fakultas Fakultas Ekonomi konvensional yang selama bertahun tahun menjadi pemasok paling besar SDM di perbankan nasional harus mulai melakukan restrukturusasi kurikulum dengan rancang bangun kombinasi kurikulum ekonomi “mu’amalah” Islam, sebab jika itu tidak dilakukan dikhawatirkan terjadi sebuah ditorsi keilmuan, ketika out put nya terpaksa harus terjun di dunia perbankan syari’ah. begitu juga halnya dengan Fakultas Fakultas Syari’ah di Institusi Pendidikan Tinggi Islam khususnya, harus merekonstruksi kurikulmunya tidak saja pengetahuan dasar tentang mu’amalah (fiqh Ekonomi) tapi juga memasukkan materi materi yang mendukung tersedianya SDM yang memiliki akses yang kuat di bidang manajeman perbankan modern.

Dalam kontek inilah Perguruan Tinggi yang menyelenggarakan program Ekonomi Syari’ah khususnya, diharapkan menjadi salah satu kawah candradimuka yang akan melahirkan lulusan kearah tersebut. Sebagai satu satunya Pendidikan Tinggi dengan Program Ekonomi Islam, Perguruan Tinggi dengan program ekonomi syari’ah akan memiliki peran dalam mendesain sumber daya manusia yang dalam 10 tahun kedepan menjadi aktor pembaharu Ekonimi berbasis Syari'ah.

Pada tingkat pendidikan dasar menengah (dari mulai SD s/d SMU, SMK dan sederajat), pola pembelajaran bidang study Ekonomi, yang selama ini sepenuhnya berorientasi pada ekonomi “kapitalis” harus mulai memasukan materi ekonomi syari’ah, Langkah langkah ini tidak lagi hanya pada batas wacana tetapi harus menjadi “action plan“ yang konkrit, sebagai konsekwensi logis dari “revolusi” ekonomi syari’ah secara nasional.

Kedua legitimasi politik dan yuridis , tidak saja dari (politacl will ) pemerintah tetapi yang juga tidak kalah pentingnya adalah legitimasi dari institusi Keagamaan seperti MUI. Legitimasi ini menjadi sangat urgent sebagai prasyarat bagi efektifitas dan daya respon publik terhadap operasionalisasi ekonomi syari’ah di lapangan. Dalam kontek inilah Fatwa MUI menemukan momentumnya sebagai daya dorong “ revolusi “ ekonomi syari’ah. Poin kedua ini menjadi sangat penting adanya, terutama ketika membangun sebuah paradigma dan kerangka pemikiran pada masyarakat luas, akan perspektifnya tentang bank syari’ah. Secara moral legitimasi ini sangat mendukung upaya sosialisasi di tingkat masyarakat.

Ketiga, Tersedianya jaringan perbankan syari’ah secara nasional, inilah barangkali argumentasi rasional yang mungkin menjadi prematurnya fatwa MUI bagi mereka yang bersuara sumbang terhadap fatwa ini. Dalam kacamata sosiologis, politis boleh jadi karena sarana pendukung berupa jaringan perlankan syari’ah di berbagai daerah nusantara belum sepenuhnya ada, wajar jika fatwa MUI dalam kontek ketiga ini bisa diprediksi menimbulkan gejolak sosial. 

Ketiga faktor tersebut di atas tentu bukan satu satunya yang menentukan keberhasilan revolusi ekonomi syari’ah, banyak hal lain yang juga harus dipersiapkan, tapi paling tidak ketiganya menjadi prioritas utama apabila kebijakan besar tentang ekonomi syari’ah harus segera direalisasikan di Indonesia 

Allahu A’lam Bi al-Shawab
Penulis
Achmad Kholiq
LihatTutupKomentar