Problematika Insider dan Outsider dalam Perspektif Islamic Studies







BAB I
PENDAHULUAN
I.          Latar Belakang
Persoalan Agama merupakan fenomena yang tidak lepas dari sejarah perjalanan kehidupan manusia. Setidaknya ada lima Agama besar berbeda yang mempunyai penganut di seluruh dunia[1]. Agama-Agama ini tumbuh dan berkembang sebagaimana yang disampaikan oleh penganutnya secara turun-temurun. Walaupun secara garis besar Agama-Agama ini mempunyai aspek-aspek yang sama sekaligus berbeda, misalnya sistem keimanan, ritual, norma, dan sebagainya.
Begitu pula sifatnya ada yang inklusif, pluralis, ada pula yang eksklusif, konservatif; ada yang missionary dan ada pula yang non missionary. Penelitian Agama perlu dilakukan untuk mengetahui fenomena Agama dalam kehidupan dan mengetahui perbedaan antaragama agar dapat menentukan sikap yang seharusnya diambil oleh penganut Agama masing-masing.
Problem epistimologi studi Islam pada mulanyabertumpu pada idealisme dengan menjadikan teks-teks suci sebagai satu-satunya sumber kebenaran, pada perkembangannya bergerak menuju empirisme dengan memandang bahwa Islam tidak bisa dilihat hanya dari teks-teks sucinya, karena Islam telah menjadi budaya dalam prilaku penganutnya. Karena itu studi Islam pada masa modern berkembang dalam berbagai model pendekatan ilmu pengetahuan, seperti antropologi, sosiologi, sejarah, dan lainnya.[2]
Problem Outsider dan Insider juga menjadi bahasa akademik tentang agama. Siapa yang paling kompeten untuk bicara pada orang lain mengenai Islam, sarjana muslim sendiri (Insider) atau sarjana Barat dan para orientalis (Outsider)?
Dalam tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa pemikiran keagamaan kaitannya dengan masalah studi Agama-Agama (Study of Religons), baik dari kalangan Islam (Insider) dan di luar Islam (Outsider), seperti halnya diungkap oleh Muhammad Abdul Rauf “The Puture off Islamic Tradition Nort America[3].
II.          Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Insider dan Outsider ?
2.      Bagaimana Peran Insider dan Outsider dalam Islamic Studies?
3.      Bagaimana problematika Insider dan Outsider dalam Kacamata Abdul Rauf ?
4.      Bagaimana Ciri berfikir Insider dan Outsider?
III.     TUJUAN
1.    Untuk mengetahui definisi Insider dan Outsider!
2.    Untuk mengetahui keberadaan Insider dan Outsider dalam Islamic Studies!
3.    Untuk mengetahui problematika Insider dan Outsider dalam Islamic Studies!
4.    Untuk mengetahui ciri berfikir Insider dan Outsider!












BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Insider dan Outsider
Dalam studi Agama kontemporer, telah terjadi revolusi pendekatan  dan metode pemahaman keagamaan dari yang semula pemahamannya hanya terbatas pada idealis menuju ke arah historisitas, dari yang hanya terbatas doktrin ke arah entitas sosiologi,dari diskursus esensi  ke arah eksistensi.
Terkait dengan kompleksitas studi keagamaan tersebut, Knott  dalam tulisannya Insider/Outsider Perspektif membuat pemeteaan pendekatan studi agama dalam perspektif Insider dan Outsider.
Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih dalam tentang Insider Outsider, dan problematikanya, disini perlu dijelaskan pengertian Insider dan Outsider. Apakah Insider dan Outsider itu? Kata Insider dalam kamus ilmiah populer berarti orang dalam, yakni orang yang mengetahui benar tentang rahasia atau seluk beluk di dalamnya. Sedangkan kata Outsider mempunyai orang luar.[4]
 Insider adalah para pengkaji agama yang berasal dari agamanya sendiri (orang dalam). Sedangkan Outsider adalah para pengkaji agama yang bukan penganut agama yang bersangkutan.
Yang menjadi persoalan adalah apakah dari kalangan Insider maupun Outsider dalam penilaian benar-benar obyektif dan bisa di pertanggungjawabkan, karena latar belakang dan jerat histosris yang melekat pada Insider maupun Outsider. Banyak kalangan yang menaruh pandangan negatif pada pendapat Outsider. Adanya indikasi kecurigaan bukannya tanpa alasan, banyaknya kepentingan-kepentingan Barat terhadap Islam adalah salah satu bentuk jerat propaganda politik untuk terus menguasai wilayah negara Islam dan menguatkan akar pendudukan pada wilayah tersebut.
Dari gambaran diatas memberikan indikasi bahwa banyak analisis dari kalangan Outsider yang tidak bisa di terima oleh Insider, dan begitu juga banyak analisis Insider yang dipandang sebelah mata oleh Outsider karena adanya subjektifitas yang menjerat Insider. Apabila hal ini dibiarkan berlarut-larut hanya akan menimbulkan miss-understanding yang dapat berujung pada konflik.
B.     Peran  Insider dan Outsider dalam Islamic Studies
Studi agama merupakan salah studi yang memilik posisi penting dalam pengembangan keilmuan. Dalam makalah ini, studi agama yang dimaksud lebih menjurus agama sebagai religious lives atau kehidupan keberagamaan yang berbeda jauh dengan theologi keagamaan. Kajian agama sangat berbeda dengan kajian-kajian yang lainnya, kajian agama selalu memunculkan hal-hal baru. Knott dalam tulisannya menyebutkan bahwa hal ini muncul karena Agama merupakan wilayah yang tidak mudah diakses bagi  orang luar.  Pada tahun 1991 para sarjana Barat mengkaji mengenai Sikhism, McLeod Darshan Singh menyatakan:
“para penulis Barat berusaha untuk menafsirkan dan memahami Sikhism sebagai Outsider. Yang paling penting, agama adalah sebuah area yang tidak mudah dipahami oleh Outsider, orang asing atau partispan. Agama secara mendalam tidak dapat dipahami kecuali oleh partisipan dengan mematuhi beberapa syarat”.[5]
Pembahasan Outsider dan Insider sebagaimana yang ditulis oleh Kim Knott muncul karena dilatar belakangi oleh kajian tentang Sikh pada tahun 1980-an di India. Yang ditandai dengan adanya perdebatan seputar motivasi dan kontribusi para sarjana yang menulis agama Sikh. Sehingga muncul pertanyaan siapa yang dianggap memahami dan merepresentasikan Sikh?, kepentingan-kepentingan politis apa yang melatar belakangi hal itu?, serta pendirian epistemology para pengkaji tersebut.[6]
Dalam studi Islam, posisi Insider dan Outsider sebagaimana pernyataan Kim Knott, pengalaman keagamaan yang ada pada diri Insider ditampilkan kemudian direspons oleh Outsider, dengan mempertimbangkan batas-batas objektivitas dan subjektivitas yang terpancar dalam pengalaman keagamaan, yang didasari oleh sikap empati dan analisis kritis.[7] Dalam posisi ini, Insider dan Outsider saling berbagi keseimbangan persepektif dalam sejarah studi agama.
Dari keterangan di atas penulis dapat menarik kesimpulan mengenai peran Insider Outsider dalam Islamic Studies yaitu sebagai pengkaji ilmiah yang meneliti tentang Agama dengan menggunakan metode dan beberapa pendekatan untuk menghasilkan data empirik dari penelitian tersebut baik itu dari pihak Insider dan Outsider.
C.     Problematika Insider dan Outsiderdalam Kacamata Muhammad Abdul Rauf
Problem Insider dan Outsider, menyunting dari esai Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View. Kajian Insider dan Outsider berkaitan erat dengan pengalaman Barat dan Sarjana Muslim sendiri dalam menafsirkan dan memahami Islam. Insider adalah para pengkaji Islam dari kalangan muslim sendiri. Sementara Outsider adalah sebutan untuk para pengkaji non-Muslim yang mempelajari Islam dan menafsirkannya dalam bentuk analisis-analisis dengan metodologi tertentu.
Yang dipersoalkan adalah apakah para pengkaji Islam dari Outsider benar-benar obyektif, dapat dipertanggungjawabkan, dan memiliki validitas ilmiah dilihat dari optik Insider? Dalam hal ini Abdul-Rauf menolak validitas para pengkaji Outsider alasannya karena mereka mengkaji Islam atas dorongan kepentingan kolonial guna melanggengkan dominasi politik dan ekonomi atas daerah taklukkannya. Karena itu, studi Islam dalam kerangka argumen itu berarti “kajian ketimuran” (oriental studies) yang sebenarnya dilakukan oleh intelektual Eropa untuk mahasiswa di universitas Eropa.[8]
Dengan demikian, studi Islam dalam optik Outsider penuh bias, kepentingan, dan barat sentris. Membaca karya para Outsider tentang Islam harus dilakukan dengan kritis dan penuh hati-hati. Apalagi bila yang dikaji adalah teks-teks suci yang untuk dapat memahaminnya diperlukan keyakinan dan ini tidak dimiliki para pengkaji Outsider.
Abdul Rauf banyak menemukan prasangka dan bahaya dalam studi Islam Barat. Misalnya adalah analisis studi Islam yang didasarkan pada prasangka budaya, agama, dan prasangka intelektual yang didasarkan pada supremasi budaya (cultural supremacy).[9]
Abdul Rauf sangat jelas menunjukkan keresahannya atas kerja para Pengkaji Barat atas Islam yang menurutnya memojokkan Islam dan tanpa menghiraukan apa yang disuarakan oleh para Sarjana dan umat Muslim sendiri atas dirinya. Dengan kata lain, para Sarjana dan umat Muslim seakan tidak ada dan juga mungkin disengaja untuk ‘ditiadakan’. Islam hanya dilihat sebagaimana batu, kayu atau benda mati lainnya yang tidak mempunyai hasrat, keinginan, impian, dan pendapat untuk mendefinisikan dirinya.
Pada awal tulisannya, Abdul Rauf mengulas tentang bagaimana usaha Barat untuk mengkoloni Islam melalui pendidikan, disitu ia memberikan contoh kasus modernisasi-sekularisasi yang akan dilakukan Barat kepada Univeritas Al-Azhar pada tahun 1961.
Menurutnya jika reformasi tersebut terjadi, maka keilmuan Islam tradisional yang ‘otentik’ sedikit demi sedikit akan mengecil pengaruhnya. Ditambah lagi dengan adanya gelombang teknologi informasi yang meruntuhkan sekat-sekat kebudayaan dan bangsa, maka tidak heran jika nanti umat Islam akan ‘berwajah dan berjiwa’ Barat dan meninggalkan ‘wajah dan jiwa’-nya sendiri, yakni Islam. Untungnya, ketika itu umat muslim dan Presiden Mesir serta para syeikh Al-Azhar menolak sehingga reformasi pun tidak jadi dilakukan. Meski demikian, Barat berhasil mereformasi kurikulum sekolah-sekolah Islam lainnya, yakni dengan memasukkan kurikulum sekuler di dalamnya.[10]
Dengan ini maka ketakutan-ketakutan sebagaimana di atas akhirnya terjadi pula. Pendidikan Islam tradisional ‘otentik’ semakin kecil perannya, dan pasca-Barat mendirikan sekolah-sekolah sekuler model Barat di Negara-negara Islam (bukan Negara Islam namun Negara yang rakyatnya mayoritas Islam) Lembaga pendidikan Islam dipersempit perannya, yakni hanya sebagai lembaga Pendidikan agama. Pada masa inilah (abad pertengahan) dalam tubuh Islam terjadi dikotomi antara keilmuan Islam dan non-Islam yang sebelumnya tidak pernah terbesit dalam benak Islam, sebab menurut Islam semua ilmu adalah Islam atau Ilahiyah.
Dengan adanya dikotomi keilmuan tersebut, keilmuan Islam untuk Timur (Islam) dan keilmuan non-Islam untuk Barat (Amerika dan sebagian Eropa), maka kemudian memunculkan metode dan pendekatan yang berbeda antara sarjana Barat dan sarjana Muslim dalam mengkaji Islam. Barat cenderung menggunakan metode ilmiah dan pendekatan histories dan Sarjana Muslim cenderung teologis. Studi Islam Barat didorong oleh kebutuhan akan kekuasaan colonial untuk belajar dan memahami masyarakat yang mereka kuasai, sementara Islam didorong oleh sikap pertahanan diri. Selain itu, menurut Abdul Rauf para Sarjana Barat dalam mengkaji Islam sangat dipengaruhi oleh ‘pra-anggapan’ negartif yang menyatakan bahwa Islam adalah agama yang suka kekerasan, anti modernisasi, sesat, dan dibawa oleh nabi palsu dan suka seksualitas. Oleh karena itu maka hasil akhir dari kajian Barat sering tidak ‘Objektif’ dan menyakiti hati umat Muslim.
Studi Islam yang dilakukan di Barat menyimpan segudang problematika yang perlu segera disikapi dan ditanggulangi. Salah satunya, persoalan peneliti Barat atau Orientalis sebagai Outsider dalam memahami Islam memiliki persoalan yang tidak remeh, mengingat kenyataan beberapa karangan beberapa Orientalis sangat bermasalah menurut kaca mata kaum Muslim. Muhammad Abdul-Rauf  mempersoalkan hal ini secara kritis. Walaupun dia tidak memungkiri beberapa Orientalis yang fairminded yang berjasa dalam melakukan studi yang baik terhadap Islam, seperti pembelaan Henri Corbin terhadap Filsafat Islam di Persia, namun dia tidak bisa berkompromi dengan para peneliti luar yang melewati batas keimanan kaum Muslimin. Baginya, “Tapi akan berbahaya jika, atas nama keilmiahan, asal usul Islam dijelaskan sebagai muncul dari fenomena ekonomi atau kultural. Apapun bisa dikatakan mengenai Islam sehubungan dengan tempat dan waktu di mana ia muncul, (tapi) keunikan dan klaim kebenarannya di hadapan para pemeluknya tidak bisa dijelaskan.”
Tuntutan keras Abdul-Rauf di atas menandakan dibutuhkannya sebuah pendekatan baru yang lebih memadai dalam memahami Islam, mengingat sejarah telah memperlihatkan betapa semena-mena Islam dipandang oleh beberapa Orientalis karena sebagai agama Islam tidak diletakkan sebagaimana mestinya. Hal ini bisa dilacak dari berbagai stereotipe yang dilancarkan kepada Islam dengan dalih keilmiahan.
Di satu sisi, seorang peneliti luar (Outsider) dituntut untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan valid mengenai Islam yang mereka teliti, sesuai dengan pemaknaan dan penghayatan yang dialami oleh para para penganutnya (Insiders). Namun di sisi yang lain, Outsiders itu juga harus menyampaikan dan menginformasikan pengamatan mereka kepada khalayak (umumnya masyarakat Barat yang notabene belum banyak mengenal Islam) secara ilmiah dan menggunakan bahasa khalayak tersebut. Dari sini, sudah nampak adanya keniscayaan bias kultural dalam proses komunikasi itu. Orang yang mendapat informasi dari penelitian si peneliti luar itu tentu akan memahaminya melalui praasumsi-praasumsi budayanya.
Namun permasalahan kita di sini belum sejauh itu, yakni bagaimana sang peneliti itu sendiri mendapatkan informasi yang memadai tentang Islam. Jawaban Solipsistik tentu tidak akan memuaskan terhadap pertanyaan krusial ini, mengingat terkadang orang luar justru lebih memahami kita ketimbang diri kita sendiri. Atau dengan kata lain, terkadang seorang Orientalis lebih memahami beberapa aspek Islam ketimbang orang Muslim sendiri tidak bisa dipungkiri. Kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa sumbangsih orientalis dalam kajian-kajian keislaman sangat besar, misalnya dalam menunjukkan pengaruh peradaban Islam terhadap peradaban Eropa.
Berdasarkan pada hal-hal di atas, menurut Abdur Rauf Para Sarjana Barat pengkaji Islam harus melepaskan ‘pra-anggapan’ tersebut dan menghiraukan pendapat dan suara umat muslim atas dirinya. Bahkan, menurutnya, untuk mengkaji Islam, khususnya terkait keimanan dan ajaran, para Sarjana Barat harus menggunakan metode yang digunakan oleh Umat Islam atau dibiarkan begitu saja sebagaimana yang dikatakan oleh umat Islam. Disini terlihat jelas kritik metode Abdur Rauf atas metode studi Islam Barat,dari explanation ke emphatic atau understanding.
Selain itu, untuk membuat pemahaman komprehensif Barat atas Islam, Abdur Rauf juga menyarankan pada para sarjana dan umat muslim untuk mampu menyuarakan dirinya pada Barat dan berusaha untuk mengambil hal positif dari modernisasi serta tanpa meninggalkan tradisi Islam yang kaya. Hal ini, menurut hemat saya, ditujukan Abdur Rauf supaya umat muslim mampu berdialog dengan peradaban Barat, bukannya sebaliknya sebagaima yang terjadi selama ini, yakni didekte dan diimajinasikan oleh Barat. Singkatnya, Abdur Rauf tidak menolak reformasi secara keseluruhan, namun harus disesuaikan konteks dan skup wilayahnya.
Namun, Abdul Rauf juga berpandangan lebih hati-hati dalam melihat persoalan Outsider. Beliau tidak begitu saja menolak karya orientalis, bahkan kadang-kadang menerima pandangan-pandangan tentang Islam yang dikemukakan oleh beberapa orientalis[11], beliau tidak begitu saja menyamaratakan karya-karya orientalis Barat. Baginya tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (Fair-minded Orientalist). Rauf tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis. Namun peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang menulis bersikap tidak jujur.
Asaf Hussain, sependapat dengan Abdul Rauf bahwa sebagian orientalis memang bermaksud untuk mendiskreditkan Islam. Beberapa di antaranya adalah Duncan Mac Donald yang secara eksplisit menginginkan kehancuran Islam. Begitu juga dengan Guilbert de Nogent yang begitu tinggi keinginannya untuk menghancurkan Islam. Bahkan untuk tujuan ini, de Nogent secara terang-terangan merasa tidak perlu lagi menggunakan data untuk berbicara tentang Islam. Baginya berbicara apapun tentang Islam tetap sah adanya, sebab siapapun bebas berbicara tentang keburukan seseorang yang kejahatannya sudah melampaui kejahatan apapun di dunia. Husain menilai bahwa orientalis seperti ini sudah keluar dari etika akademik dan keilmuan, yang tujuannya tidak lain adalah untuk mendiskreditkan Islam.
D.    Ciri berpikir Insider & Outsider
Banyak ragam cara berpikir seseorang dalam meneliti dan  mengkaji sebuah kajian  (Agama) yang kaitannya dengan sesuatu yang berasal dari wilayahnya dalam hal ini penulis menyebutnya Insider, dan dari luar wilayahnya (Outsider).
Sepertihalnya paparan metodologis Russell T. McCutcheon dalam memahami Agama merupakan suatu konsep yang dapat dijadikan sebagai opsi untuk memahami Agama secara komprehensif multi dimensi. Paparan tersebut merupakan suatu konsep dialog antar umat beragama dalam memahami suatu keyakinan yang menjadi jalan hidup (Way Of Life). Sebagai orang luar (Outsider) kaitannya dengan kajian Islam, konsep metodologi tersebut tentu saja tidak berangkat dari sebuah keyakinan, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan umat Islam (Insider), tetapi dari suatu asumsi interpretasi yang dikaitkan dengan teori dan perspektif metodologi ilmu pengetahuan tertentu. Dengan memposisikan diri kita sebagai Insider dalam Islam, kita harus mengakui bahwa umat Islam terkadang cenderung bersikap apriori terhadap hal-hal yang berasal dari luar (Outsider) tanpa mengkajinya lebih mendalam terlebih dahulu.
IV.          KESIMPULAN
Dari beberapa pemaparan dan pandangan terhadap Outsider tersebut di atas, tampaknya para pengkaji peradaban Islam masih harus mendefinisikan sikapnya yang lebih jelas, obyektif, dan konsisten terhadap Outsider atau dengan kaum orientalis. Hal itu dikarenakan para sarjana keislaman modern sendiri sekarang ini banyak yang mengembangkan otoritas akademiknya berdasarkan pengalaman akademik mereka dengan kaum orientalis atau dengan para sarjana Barat yang non-Muslim.
Abdul Rauf berpandangan lebih hati-hati dalam melihat persoalan Outsider. Beliau tidak begitu saja menolak karya orientalis, bahkan kadang-kadang menerima pandangan-pandangan tentang Islam yang dikemukakan oleh beberapa orientalis.[14], beliau tidak begitu saja menyamaratakan karya-karya orientalis Barat. Baginya tidak semua karya orientalis harus ditolak dan dianggap tidak berguna, sebab di antara mereka terdapat orientalis yang jujur (Fair-minded Orientalist). Rauf tidak menafikan adanya bias serta distorsi yang muncul dari kalangan orientalis. Namun peristiwa semacam ini hanya terjadi jika orientalis yang menulis bersikap tidak jujur.
Terlepas dari perdebatan tersebut, sebagai akhir dari pembahasan ini, penulis menyatakan rasa salut pada upaya serius para sarjana Barat yang membantu “kita” lebih banyak belajar tentang Islam. Melalui upaya yang melelahkan, banyak dari mereka telah memberi kontribusi bermanfaat bagi pengetahuan kita tanpa menyalahi subtansi keilmuan Muslim, Nabi, atau makna al-Qur’an.
 Orang-orang semacam itu memandang Muslim sebagai masyarakat yang mempunyai kebenaran tersendiri, tidak sebagai subyek tendensi pribadi dan kelompok atau hanya sebagai obyek rasa ingin tahu. Akan tetapi, tidak menafikan juga adanya banyak sarjana Barat non-Muslim yang memang dengan sengaja mendiskreditkan umat Islam dikarenakan tendensi pribadi atau kelompoknya, yang tidak bisa dilepaskan dari latar belakang ekonomis, politis, maupun kultural. Fenomena ini memberi alasan kita untuk selalu bersikap kritis kepada kaum orientalis dan karya-karyanya, yang secara tidak langsung kita masih dapat menfaatkannya untuk dikaji lebih mendalam, salah satunya ialah pendekatan historis mereka kepada masalah-masalah Islam.
                                                                 















DAFTAR PUSTAKA

Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama ( Muhammadiyah University, 2001)
M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer , Arkola, Surabaya, 2001
M. Arfan Mu’ammar, Studi Islam Perspektif Insider / Outsider, Jogjakarta: Diva Press,Cet.ke2 2013
Kim knott. Insider/Outsider Perspectives dalam the Routledge Companion to the Study of religion, Edited by John R. Hinnels (London: Routledge  Taylor and Fancis Group, 2005)
Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View dalam Richard C. Martin, “Approaches to Islam in Religious Studies“, USA: The University of Arizona Press.
Muhammad Abdul Rauf, “Interpretasi Orang Luar tentang Islam: Sudut Pandang Muslim” dalam Ricard C Martin (ed), Pendekatan Kajian,



[1]Rusdin, Problem Insider dan Outsider dalam Studi Agama Perspektif Russel T. McCutheon,(Hunafa: Jurnal Studia Islamika, Vol.9,No.2, Desember 2012) hal.186
[2]  Syafiq A. Mugni, Pengantar Berpikir Holistik dalam Studi Islam,dalam Studi Islam: Perspektif Insider/Outsider,ed. M. Arfan Mu’ammar, et. Al. (Yogyakarta: IRCiSoD, 2012),6.
[3] Ibid, hal 186
[4] M. Dahlan al Barry, Kamus Ilmiah Populer , Arkola, Surabaya, 2001, hal.261
[5] M. Arfan Mu’ammar, Studi Islam Perspektif Insider / Outsider, Jogjakarta: Diva Press,Cet.ke2 2013, hal.108
[6] Kim knott. Insider/Outsider Perspectives dalam the Routledge Companion to the Study of religion, Edited by John R. Hinnels (London: Routledge  Taylor and Fancis Group, 2005), hal.244
[7] Op.Cit, M.Arfan Mu’ammar, hal.109
[8] Muhammad Abdul Rauf, Outsider’s interpretations of Islam: A Muslim’s Point Of View dalam Richard C. Martin, “Approaches to Islam in Religious Studies“, USA: The University of Arizona Press. hal. 182
[9] Ibid, hal. 193
[10] Richard C. Martin, Approaches to Islam in Religious Studies, terj. Zakiyuddin Baidhawy, Pendekatan Kajian Islam dalam Studi Agama ( Muhammadiyah University, 2001) hal. 238
[11] Muhammad Abdul Rauf, “Interpretasi Orang Luar tentang Islam: Sudut Pandang Muslim” dalam Ricard C Martin (ed), Pendekatan Kajian, hal. 237-248.
LihatTutupKomentar