Oleh : Erlan Naofal, S.Ag, M.Ag.
A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan hukum Islam seiring dengan
masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejak saat itu sampai saat ini, Hukum Islam
menjadi hukum yang hidup (living law) dan menjiwai bangsa Indonesia, bukan hanya
pada tataran simbol melainkan juga pada tataran praktis.
2
Dan hal itu berlangsung
ratusan tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda atau Portugis terutama setelah
umat Islam memegang tampuk kekuasaan politik yang ditandai dengan berdirinya
kerajaan muslim di Indonesia seperti Kerajaan Samudera Pasai, Demak, Banten dan
lainnya.
Pada masa reformasi, Hukum Islam diakui sebagai salah satu sub sistem
yang membentuk dan mempengaruhi sistem hukum Nasional disamping sistem
Hukum Adat (adatrecht) dan sistem Hukum Barat.
3
Oleh karena itu hukum Islam
memiliki peran yang cukup signifikan bagi pengembangan dan pembangunan Hukum
Nasional. Muhsin menyebutkan bahwa dari tiga sub sistem hukum Nasional yaitu
sistem hukum Adat, sistem hukum Barat dan sistem hukum Islam, maka sistem
hukum Islam-lah yang memiliki kans yang sangat besar dalam mewarnai dan
mempengaruhi pembentukan hukum Nasional. Hal ini disebabkan sistem hukum
Islam merupakan sistem hukum yang holistik dan lengkap mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia. Disamping itu, secara historis dan sosiologis, bangsa Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari hukum Islam karena umat Islam merupakan mayoritas
penduduk Indonesia yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari
pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam. Sementara itu hukum Barat sudah tidak
1
Penulis menyelesaikan Pendidikan SI di Fakultas Syari'ah Jurusan al-Akhwal al-Syahsiyyah IAIC
Cipasung Tasikmalaya pada tahun 2000. sedangkan Pendidikan S2 selesai pada tahun 2006 dari UIN
Sunan Gunung Djati Bandung pada Studi Konsentrasi Hadits dan pernah mondok di Pesantren
Sukahideng Tasikmalaya dari tahun 1992-2000. Pertama berkarir sebagai Calon Hakim pada
Pengadilan Agama Kelas 1-A Subang, Jawa Barat dari tahun 2006-2009. Dan sejak Agustus 2009
bertugas sebagai Hakim Pratama Muda pada Pengadilan Agama Kelas 2B Sidikalang, Medan Sumatera
Utara.
2
Chuzaimah Batubara, Politik Hukum Islam Masa Reformasi : Upaya Posititivisasi Hukum Pidana
Islam, dalam Mimbar Hukum dan Peradilan, No. 68 Februari, 2009, PPHIM, hal.164-165
3
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2006, hal, 66-67 berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sedangkan sistem Hukum Adat juga
tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan Hukum Nasional
4
Oleh karena itu, pembaruan dan pengembangan hukum Islam bagi umat
Islam Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Hukum Islam memiliki karakteristik
tersendiri yaitu bersifat ta'amul (sempurna), wasathiyah ( harmonis) dan harakah
(dinamis).
5
Harakah atau dinamis sebagai salah satu karakteristik hukum Islam
mengindikasikan kemampuan hukum Islam dalam mengakomodir, merespon dan
menjawab setiap persoalan baru yang tidak terdapat hukumnya dalam sumber utama
hukum Islam sebagai konsekwensi logis dari perubahan dan kemajuan sosial yang tak
mungkin dielakkan. Hukum Islam elastis dan mampu mengakomodir perubahan-
perubahan kondisi sosial terutama dalam bidang muamalah. Hukum Islam telah
menyiapkan pranata Ijtihad dengan berbagai macam metodenya sebagai sebuah
instrumen penemuan hukum/rechtsvinding dalam hukum Islam. Oleh karena itu
dengan adanya pranata Ijtihad ini, hukum Islam diyakini tidak akan mengalami apa
yang dikenal dengan istilah kekosongan hukum (rechtvacuum).
B. Perubahan Sosial dan Implikasinya terhadap Pengembangan Hukum.
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia, bahkan saking
mulianya manusia, segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan dan ditundukkan
oleh Allah agar dapat dimampaatkan oleh manusia sebagai hamba dan khalifah-Nya.
6
Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba dan khalifah-Nya, maka Allah
memberikan karunia kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya
yaitu akal pikiran. Dengan akal pikiran tersebut, manusia mampu berkembang dan
mencapai kemajuan yang tidak pernah terbayangkan oleh manusia sebelumnya baik
dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang teknologi.
Kemajuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan
4
Muchsin, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional, dalam Mimbar
Hukum dan Peradilan, No. 68 Februari 2009, PPHIMM, hal. 42
5
Sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia. sedangkan
Abdul Manan sendiri dalam buku yang sama menyebutkan adanya empat karakter Hukum Islam
yaitu: ketuhanan (rabbaniyah), universal (Syumul), harmonis (wasathiyyah) dan manusiawi (insaniyah)
dalam Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006,
h. 95-103
6
QS. al-Baqarah ayat, 29 manusia baik dampak positip maupun dampak negatip. Dampak positip dari
kemajuan iptek adalah kehidupan semakin serba mudah dan serba cepat (instan)
tetapi di sisi lain juga melahirkan problema dan masalah yang sangat komplek.
Sehingga untuk menjawab dan merespon masalah-masalah tersebut diperlukan hukum
yang akomodatif terhadap perubahan dan kemajuan zaman.
Dalam kondisi seperti ini, apabila hukum yang ada dan sedang berlaku (ius
Constitutum) tidak mampu memberikan jawaban atas setiap persoalan yang baru,
maka akan ditemukan adanya celah-celah kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang
selanjutnya akan menimbulkan kondisi yang anarkis. Oleh karena itu, hukum dituntut
untuk adaptip dan dinamis mengikuti dan menjawab tantangan zaman. Hakim dan
para praktisi yang bergelut di bidang hukum ditantang untuk mampu mengisi
kekosongan tersebut baik dengan cara menemukan ataupun menciptakan hukum.
Hakim, sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya, bukan hanya
menjadi mulut atau corong undang-undang (baouche de lalor), tetapi seorang hakim
juga dituntut harus mampu menemukan hukum (rechtsvinding) dan menciptakan
hukum (rechtschepping)
7
dengan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,
tentunya dalam hal ini tanpa mengesampingkan kepastian hukum itu sendiri.
Bagi setiap hakim dan orang yang concern terhadap perkembangan hukum
Islam dalam merespon dan mengakomodir perubahan dan kemajuan zaman tersebut,
telah tersedia suatu instrumen penemuan hukum yang disebut dengan ijtihad.
C. Ijtihad suatu upaya Pengembangan Hukum Islam
Dalam filsafat hukum Islam dikenal adanya term mashadir al-ahkam
(sumber-sumber hukum) yang secara struktural meliputi; al-Qur’an, al-Hadits dan
Ijtihad. Pengakuan atas Ijtihad sebagai suatu sumber hukum didasarkan atas hadits
yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal pada saat diutus oleh Nabi menjadi
Gubernur Syam. Sebelum pengangkatan tersebut ,Nabi melakukan Fit and profertest
untuk menguji kelayakan Muadz dalam menjabat gubernur Syam. Hadits tersebut
berbunyi:
7
Bagir Manan, Kata Pengantar dalam Buku Abdul Manan Reformasi Hukum Islam, PT. Raja Grafindo
Persada, 2006, hal. XV اذا ﻰѧﻀﻘﺗ ﻒѧﯿﻛ لﺎѧﻗ ﻦﻤﯿѧﻟا ﻲѧﻟا ﮫѧﺜﻌﺑ ﺎﻤﻟ ﻢﻠﺳ و ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻲﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر نا ﻞﺒﺟ ﻦﺑذﺎﻌﻣ ﻦﻋ
لﺎѧﻗ ﷲا لﻮѧﺳر ﺔﻨѧﺴﺒﻓ لﺎѧﻗ ﷲا بﺎѧﺘﻛ ﻲﻓ ﺪﺠﺗ ﻢﻟ نﺎﻓ لﺎﻗ ﷲا بﺎﺘﻜﺑ ﻰﻀﻗا لﺎﻗ ءﺎﻀﻗ ﻚﻟ ضﺮﻋ
لﺎѧﻗ و هرﺪﺻ ﻰﻠﻋ ﷲا لﻮﺳر بﺮﻀﻓ لﺎﻗ ﻮﻟا ﻻو ﻲﯾأر ﺪﮭﺘﺟا لﺎﻗ ﷲا لﻮﺳر ﺔﻨﺳ ﻲﻓ ﺪﺠﺗ ﻢﻟ نﺎﻓ
ﷲا لﻮﺳر ﻰﺿﺮﯾ ﺎﻤﻟ ﷲا لﻮﺳر لﻮﺳر ﻖﻓو ﷲ ﺪﻤﺤﻟا
8
Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululloh SAW, ketika
mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu menetapkan hukum jika
diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz menjawab saya akan
memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah berkata:"jika kamu tidak
menemukan dalam kitab Allah ? Muadz menjawab: "saya akan memutus berdasarkan
sunnah Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam sunnah
Rasululloh, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan
seluruh kemampuanku. Maka Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi
Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah (muadz) dalam hal yang
diridhoi oleh Rasulullah..
Hadits ini dijadikan oleh para ulama sebagai dasar pijakan eksistensi
ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam dan menggambarkan sumber
hukum Islam secara hirearkis yang meliputi al-Qur'an, Hadits dan Ijtihad.
Ijtihad secara bahasa terambil dari kata al-Jahdu dan al-Juhd yang artinya
kekuatan, kemampuan, usaha sungguh-sungguh, kesukaran, kuasa dan daya.
9
Ijtihad
dalam arti luas adalah mengarahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai
sesuatu yang diharapkan.
10
Seakar dengan kata ijtihad adalah jihad dan mujahadah.
Dimana ketiga term tersebut pada intinya adalah mencurahkan segenap daya dan
kemampuan dalam rangka menegakkan agama Allah meski lapangannya berbeda.
Ijtihad lebih bersifat upaya sungguh-sungguh yang dilakukan seseorang yang telah
memenuhi persyaratan dengan penalaran dan akalnya dalam rangka mencari dan
menemukan hukum yang tidak ditegaskan secara jelas dalam Alqur'an maupun al-
Hadits dan orang yang melakukan hal tersebut dikenal dengan sebutan mujtahid. Jihad
titik tekannya adalah upaya sungguh-sungguh dengan fisik dan materil dalam
8
Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, Dar al-Qalam, 1978, cet. 12, hal. 21-22; A. Djazuli, Ilmu Fiqh,
Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta, Kencana, 2005, cet. 3, h. 61-62
9
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, 1997, cet.25,
hal. 217; Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, cet. 8, hal. 92-93
10
A. Djazuli, op.cit , h. 71 menegakkan kalimah Allah dengan cara-cara dan bentuk-bentuk yang tidak terbatas
dan orangnya dikenal dengan sebutan mujahid. Sedangkan mujahadah menitik
beratkan pada upaya sungguh-sungguh dengan hati dalam melawan dorongan dan
hasrat nafsu agar mau tunduk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya, orang yang melakukan hal tersebut seringkali di sebut salik atau murid.
Para ulama mendefinisikan Ijtihad sebagai usaha dan upaya sungguh-sungguh
seseorang (beberapa orang) ulama yang memiliki syarat-syarat tertentu, untuk
merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu (atau beberapa)
perkara, yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan tegas baik
dalam al-Quran maupun dalam al-Hadis.
Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Ada beberapa kriteria
kemampuan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan berijtihad: pertama,
mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alqur'an
dan al-Hadits. Kedua, mengetahui bahasa Arab. Ketiga, mengetahui metodologi qiyas
dengan baik. Keempat, mengetahui nasikh dan mansukh. Kelima, mengetahui kaidah-
kaidah ushul dengan baik dan dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-
rumusan kaidah tersebut. Keenam, mengetahui maqashid al-ahkam.
11
Ijtihad hanya dapat dilakukan pada lapangan atau medan tertentu yaitu:
pertama, dalil-dalil yang qath'i wurud-nya dhani dalalah-nya. Kedua, dalil-dalil yang
dhani wurud-nya qath'i dalalah-nya. Ketiga, dalil-dalil yang dhanni wurud dan
dalalah-nya. Keempat, terhadap kasus-kasus yang tidak ada hukumnya.
12
Oleh karena
itu, Ijtihad tidak dapat dilakukan terhadap kasus-kasus yang sudah secara tegas
disebutkan hukumnya oleh dalil-dalil yang qath'i wurud dan dalalah-nya.
Oleh karena itu, tidak setiap hasil ijtihad dapat dijadikan sumbangan dalam
pembaruan hukum Islam dan mendapatkan legitimasi dari para hukum Islam kecuali
apabila memperhatikan dua hal pokok tersebut diatas yaitu: pertama, pelaku
pembaharuan hukum Islam adalah orang yang memenuhi kualitas sebagai mujtahid.
Kedua, pembaruan itu dilakukan di tempat-tempat ijtihad yang di benarkan oleh
syara'.
13
A. Dzajuli menyebutkan ada tiga macam cara yang dapat dilakukan dalam
berijtihad, yaitu: pertama, dengan memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (linguistik).
11
Abdul Manan, op.cit, hal. 162-163
12
A. Djazuli. Op.cit. hal. 72.
13
Abdul Manan,loc.cit. 162 Kedua, dengan menggunakan kaidah qiyas (analogi) dengan memperhatikan asal,
cabang, hukum asal dan illat hukum. Ketiga, dengan memperhatikan semangat ajaran
Islam atau roh syari'ah. Oleh karena itu, dalam hal ini, kaidah-kaidah kulliyah Ushul
Fiqh, kaidah-kaidah kulliyyah fiqhiyyah, prinsip-prinsip umum hukum Islam dan
dalil-dalil kulli sangat menentukan. Dalam hal ini bisa menempuh cara-cara istishlah,
istishab, maslahah mursalah, sadz dzari'ah, istihsan dan sebagainya.
14
Dari pemaparan diatas, nampak sekali bahwa ijtihad memiliki peranan yang
sangat besar dalam pembaruan hukum Islam. Pembaruan tidak mungkin dapat
dilaksanakan tanpa ada mujtahid yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya.
Antara pembaruan dan ijtihad ibarat dua sisi mata yang tidak dapat dipisahkan, saling
mengisi dan melengkapi. Jika proses ijtihad dapat dilaksanakan dalam proses
pembaharuan hukum Islam secara benar, maka hukum-hukum yang dihasilkan dari
proses ijtihad akan benar pula.
15
D. Kesimpulan.
Perkembangan dan kemajuan zaman baik dalam bidang ilmu pengetahuan
maupun teknologi merupakan sebuah keniscayaan dalam peradaban manusia.
Kemajuan tersebut disatu sisi menawarkan dan memberikan dampak positif bagi
kehidupan manusia, yaitu tersedianya berbagai fasilitas yang memberikan kemudahan
bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi disisi lain, kemajuan
tersebut menimbulkan dan melahirkan pelbagai masalah yang cukup komplek.
Masalah tersebut jika tidak direspon dengan baik akan menimbulkan ketidakstabilan,
ketidaktentraman dan ancaman bagi kehidupan manusia.
Hukum sebagaimana menurut Rescue Pond adalah instrument untuk
merekayasa sosial (law as a tool of social engenering)
16
agar tercipta kehidupan yang
aman, tertib dan sejahtera terkadang tidak cepat, kurang tanggap bahkan terkadang
keteteran menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat. Hal ini memberikan celah-
celah adanya kekosongan hukum sekaligus memberikan kesempatan, peluang dan
tangtangan bagi orang-orang yang concern terhadap hukum terutama dari kalangan
14
A. Djazuli, op.cit, bandingkan dengan pendapat Ibrahim Husen yang dikutip oleh Abdul Manan
dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia, hal161-162
15
Abdul Manan, op.cit. hal. 165.
16
Rifyal Ka'bah, Permasalahan Perkawinan, dalam Varia Peradilan No. 271 Juni 2008, IKAHI,
Jakarta, hal. 8 hakim dan akademisi untuk mengisi kekosongan tersebut dengan cara menemukan
dan menciptakan hukum.
Hukum Islam sebagai salah satu sub sistem Hukum Nasional di Indonesia
dituntut untuk memberikan kontribusinya dalam menghadapi problem-problem baru
dampak dari kemajuan peradaban manusia tersebut. Khazanah hukum Islam telah
menyiapkan sebuah pranata atau instrumen sebagai solusi permasalahan diatas yang
dikenal dengan term Ijtihad.
Ijtihad adalah upaya sekuat tenaga yang dilakukan oleh ulama yang kompeten
dan kapabel dengan menggunakan nalarnya untuk menemukan hukum atas problem
baru tanpa meninggalkan nilai-nilai yang terdapat dalam sumber utama hukum Islam.
Ijtihad dengan berbagai metodenya baik istishlah, istishab, maslahah mursalah, sadz
dzari'ah, istihsan dan lainnya merupakan sebuah instrumen penemuan hukum dalam
tatanan Hukum Islam yang membuktikan kemampuan dan elastisitas Hukum Islam
dalam mengantisipasi perubahan dan kemajuan sosial sehingga dengan adanya
instrumen ijtihad ini, Hukum Islam diharapkan dapat lebih memberikan kontribusinya
dalam pengembangan Hukum Nasional di Indonesia. Oleh karena itu, dalam ruang
pembaruan hukum Islam, Ijtihad perlu dilaksanakan secara terus- menerus guna
mengantisipasi dan mengisi kekosongan hukum terutama pada zaman modern seperti
sekarang dimana perubahan dan kemajuan terjadi dengan sangat pesat.(wallahu 'alam
bis shawab)
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Wahab Khallaf, 'Ilmu Ushul al-Fiqh, Darul Qalam, th. 1978
2. Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271 Th XXII
Juni 2008, Jakarta, IKAHI .
3. Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006
4. Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
5. A. Djazuli, Ilmu Fiqh Peenggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum
Islam, Kencana Prenada Media Grouf, Jakarta, 2005, Edisi Revisi, cet. 5 6. Chuzaimah Batubara, Politik Hukum Islam Masa Reformasi: Upaya Positivisasi
Hukum Pidana Islam, dalam Mimbar Hukum No.68 Februari 2009, Jakarta PPHIM.
Muchsin, Kontribusi Hukum Islam terhadap Perkembangan Hukum Nasional, Mimbar
Hukum No.68 Februari 2009, Jakarta, PPHIMM.
A. Pendahuluan
Bangsa Indonesia mulai bersentuhan dengan hukum Islam seiring dengan
masuknya agama Islam ke Nusantara. Sejak saat itu sampai saat ini, Hukum Islam
menjadi hukum yang hidup (living law) dan menjiwai bangsa Indonesia, bukan hanya
pada tataran simbol melainkan juga pada tataran praktis.
2
Dan hal itu berlangsung
ratusan tahun sebelum kedatangan penjajah Belanda atau Portugis terutama setelah
umat Islam memegang tampuk kekuasaan politik yang ditandai dengan berdirinya
kerajaan muslim di Indonesia seperti Kerajaan Samudera Pasai, Demak, Banten dan
lainnya.
Pada masa reformasi, Hukum Islam diakui sebagai salah satu sub sistem
yang membentuk dan mempengaruhi sistem hukum Nasional disamping sistem
Hukum Adat (adatrecht) dan sistem Hukum Barat.
3
Oleh karena itu hukum Islam
memiliki peran yang cukup signifikan bagi pengembangan dan pembangunan Hukum
Nasional. Muhsin menyebutkan bahwa dari tiga sub sistem hukum Nasional yaitu
sistem hukum Adat, sistem hukum Barat dan sistem hukum Islam, maka sistem
hukum Islam-lah yang memiliki kans yang sangat besar dalam mewarnai dan
mempengaruhi pembentukan hukum Nasional. Hal ini disebabkan sistem hukum
Islam merupakan sistem hukum yang holistik dan lengkap mencakup seluruh aspek
kehidupan manusia. Disamping itu, secara historis dan sosiologis, bangsa Indonesia
tidak bisa dilepaskan dari hukum Islam karena umat Islam merupakan mayoritas
penduduk Indonesia yang dalam kehidupan sehari-harinya tidak lepas dari
pengamalan dan pelaksanaan hukum Islam. Sementara itu hukum Barat sudah tidak
1
Penulis menyelesaikan Pendidikan SI di Fakultas Syari'ah Jurusan al-Akhwal al-Syahsiyyah IAIC
Cipasung Tasikmalaya pada tahun 2000. sedangkan Pendidikan S2 selesai pada tahun 2006 dari UIN
Sunan Gunung Djati Bandung pada Studi Konsentrasi Hadits dan pernah mondok di Pesantren
Sukahideng Tasikmalaya dari tahun 1992-2000. Pertama berkarir sebagai Calon Hakim pada
Pengadilan Agama Kelas 1-A Subang, Jawa Barat dari tahun 2006-2009. Dan sejak Agustus 2009
bertugas sebagai Hakim Pratama Muda pada Pengadilan Agama Kelas 2B Sidikalang, Medan Sumatera
Utara.
2
Chuzaimah Batubara, Politik Hukum Islam Masa Reformasi : Upaya Posititivisasi Hukum Pidana
Islam, dalam Mimbar Hukum dan Peradilan, No. 68 Februari, 2009, PPHIM, hal.164-165
3
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, Jakarta, PT. Raja Grafindo
Persada, 2006, hal, 66-67 berkembang lagi sejak kemerdekaan Indonesia, sedangkan sistem Hukum Adat juga
tidak memperlihatkan sumbangsih yang besar bagi pembangunan Hukum Nasional
4
Oleh karena itu, pembaruan dan pengembangan hukum Islam bagi umat
Islam Indonesia menjadi sebuah keniscayaan. Hukum Islam memiliki karakteristik
tersendiri yaitu bersifat ta'amul (sempurna), wasathiyah ( harmonis) dan harakah
(dinamis).
5
Harakah atau dinamis sebagai salah satu karakteristik hukum Islam
mengindikasikan kemampuan hukum Islam dalam mengakomodir, merespon dan
menjawab setiap persoalan baru yang tidak terdapat hukumnya dalam sumber utama
hukum Islam sebagai konsekwensi logis dari perubahan dan kemajuan sosial yang tak
mungkin dielakkan. Hukum Islam elastis dan mampu mengakomodir perubahan-
perubahan kondisi sosial terutama dalam bidang muamalah. Hukum Islam telah
menyiapkan pranata Ijtihad dengan berbagai macam metodenya sebagai sebuah
instrumen penemuan hukum/rechtsvinding dalam hukum Islam. Oleh karena itu
dengan adanya pranata Ijtihad ini, hukum Islam diyakini tidak akan mengalami apa
yang dikenal dengan istilah kekosongan hukum (rechtvacuum).
B. Perubahan Sosial dan Implikasinya terhadap Pengembangan Hukum.
Manusia merupakan makhluk Allah yang paling mulia, bahkan saking
mulianya manusia, segala sesuatu yang ada di bumi ini diciptakan dan ditundukkan
oleh Allah agar dapat dimampaatkan oleh manusia sebagai hamba dan khalifah-Nya.
6
Untuk melaksanakan tanggung jawab sebagai hamba dan khalifah-Nya, maka Allah
memberikan karunia kepada manusia yang tidak diberikan kepada makhluk lainnya
yaitu akal pikiran. Dengan akal pikiran tersebut, manusia mampu berkembang dan
mencapai kemajuan yang tidak pernah terbayangkan oleh manusia sebelumnya baik
dalam bidang ilmu pengetahuan maupun dalam bidang teknologi.
Kemajuan manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi
memberikan dampak yang sangat signifikan terhadap berbagai aspek kehidupan
4
Muchsin, Kontribusi Hukum Islam Terhadap Perkembangan Hukum Nasional, dalam Mimbar
Hukum dan Peradilan, No. 68 Februari 2009, PPHIMM, hal. 42
5
Sebagaimana dikutip oleh Abdul Manan dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia. sedangkan
Abdul Manan sendiri dalam buku yang sama menyebutkan adanya empat karakter Hukum Islam
yaitu: ketuhanan (rabbaniyah), universal (Syumul), harmonis (wasathiyyah) dan manusiawi (insaniyah)
dalam Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2006,
h. 95-103
6
QS. al-Baqarah ayat, 29 manusia baik dampak positip maupun dampak negatip. Dampak positip dari
kemajuan iptek adalah kehidupan semakin serba mudah dan serba cepat (instan)
tetapi di sisi lain juga melahirkan problema dan masalah yang sangat komplek.
Sehingga untuk menjawab dan merespon masalah-masalah tersebut diperlukan hukum
yang akomodatif terhadap perubahan dan kemajuan zaman.
Dalam kondisi seperti ini, apabila hukum yang ada dan sedang berlaku (ius
Constitutum) tidak mampu memberikan jawaban atas setiap persoalan yang baru,
maka akan ditemukan adanya celah-celah kekosongan hukum (rechtsvacuum) yang
selanjutnya akan menimbulkan kondisi yang anarkis. Oleh karena itu, hukum dituntut
untuk adaptip dan dinamis mengikuti dan menjawab tantangan zaman. Hakim dan
para praktisi yang bergelut di bidang hukum ditantang untuk mampu mengisi
kekosongan tersebut baik dengan cara menemukan ataupun menciptakan hukum.
Hakim, sesuai dengan peran dan tanggung jawabnya, bukan hanya
menjadi mulut atau corong undang-undang (baouche de lalor), tetapi seorang hakim
juga dituntut harus mampu menemukan hukum (rechtsvinding) dan menciptakan
hukum (rechtschepping)
7
dengan menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat,
tentunya dalam hal ini tanpa mengesampingkan kepastian hukum itu sendiri.
Bagi setiap hakim dan orang yang concern terhadap perkembangan hukum
Islam dalam merespon dan mengakomodir perubahan dan kemajuan zaman tersebut,
telah tersedia suatu instrumen penemuan hukum yang disebut dengan ijtihad.
C. Ijtihad suatu upaya Pengembangan Hukum Islam
Dalam filsafat hukum Islam dikenal adanya term mashadir al-ahkam
(sumber-sumber hukum) yang secara struktural meliputi; al-Qur’an, al-Hadits dan
Ijtihad. Pengakuan atas Ijtihad sebagai suatu sumber hukum didasarkan atas hadits
yang diriwayatkan oleh Mu’adz bin Jabal pada saat diutus oleh Nabi menjadi
Gubernur Syam. Sebelum pengangkatan tersebut ,Nabi melakukan Fit and profertest
untuk menguji kelayakan Muadz dalam menjabat gubernur Syam. Hadits tersebut
berbunyi:
7
Bagir Manan, Kata Pengantar dalam Buku Abdul Manan Reformasi Hukum Islam, PT. Raja Grafindo
Persada, 2006, hal. XV اذا ﻰѧﻀﻘﺗ ﻒѧﯿﻛ لﺎѧﻗ ﻦﻤﯿѧﻟا ﻲѧﻟا ﮫѧﺜﻌﺑ ﺎﻤﻟ ﻢﻠﺳ و ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻲﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر نا ﻞﺒﺟ ﻦﺑذﺎﻌﻣ ﻦﻋ
لﺎѧﻗ ﷲا لﻮѧﺳر ﺔﻨѧﺴﺒﻓ لﺎѧﻗ ﷲا بﺎѧﺘﻛ ﻲﻓ ﺪﺠﺗ ﻢﻟ نﺎﻓ لﺎﻗ ﷲا بﺎﺘﻜﺑ ﻰﻀﻗا لﺎﻗ ءﺎﻀﻗ ﻚﻟ ضﺮﻋ
لﺎѧﻗ و هرﺪﺻ ﻰﻠﻋ ﷲا لﻮﺳر بﺮﻀﻓ لﺎﻗ ﻮﻟا ﻻو ﻲﯾأر ﺪﮭﺘﺟا لﺎﻗ ﷲا لﻮﺳر ﺔﻨﺳ ﻲﻓ ﺪﺠﺗ ﻢﻟ نﺎﻓ
ﷲا لﻮﺳر ﻰﺿﺮﯾ ﺎﻤﻟ ﷲا لﻮﺳر لﻮﺳر ﻖﻓو ﷲ ﺪﻤﺤﻟا
8
Artinya: "Dari Mu'adz bin Jabal bahwasanya Rasululloh SAW, ketika
mengutusnya ke Yaman Bersabda: "bagaimana kamu menetapkan hukum jika
diajukan kepadamu sesuatu yang harus diputuskan, Muadz menjawab saya akan
memutuskan berdasarkan kitab Allah, Rasulullah berkata:"jika kamu tidak
menemukan dalam kitab Allah ? Muadz menjawab: "saya akan memutus berdasarkan
sunnah Rasulullah. Rasululloh berkata: "jika kamu tidak menemukan dalam sunnah
Rasululloh, Muadz menjawab saya akan berijtihad dengan pendapatku dan dengan
seluruh kemampuanku. Maka Rasulullah merasa lega dan berkata: Segala puji bagi
Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah (muadz) dalam hal yang
diridhoi oleh Rasulullah..
Hadits ini dijadikan oleh para ulama sebagai dasar pijakan eksistensi
ijtihad sebagai sumber dalam tatanan hukum Islam dan menggambarkan sumber
hukum Islam secara hirearkis yang meliputi al-Qur'an, Hadits dan Ijtihad.
Ijtihad secara bahasa terambil dari kata al-Jahdu dan al-Juhd yang artinya
kekuatan, kemampuan, usaha sungguh-sungguh, kesukaran, kuasa dan daya.
9
Ijtihad
dalam arti luas adalah mengarahkan segala kemampuan dan usaha untuk mencapai
sesuatu yang diharapkan.
10
Seakar dengan kata ijtihad adalah jihad dan mujahadah.
Dimana ketiga term tersebut pada intinya adalah mencurahkan segenap daya dan
kemampuan dalam rangka menegakkan agama Allah meski lapangannya berbeda.
Ijtihad lebih bersifat upaya sungguh-sungguh yang dilakukan seseorang yang telah
memenuhi persyaratan dengan penalaran dan akalnya dalam rangka mencari dan
menemukan hukum yang tidak ditegaskan secara jelas dalam Alqur'an maupun al-
Hadits dan orang yang melakukan hal tersebut dikenal dengan sebutan mujtahid. Jihad
titik tekannya adalah upaya sungguh-sungguh dengan fisik dan materil dalam
8
Abdul Wahab Khalaf, Ushul Fiqh, Dar al-Qalam, 1978, cet. 12, hal. 21-22; A. Djazuli, Ilmu Fiqh,
Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta, Kencana, 2005, cet. 3, h. 61-62
9
A.W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Pustaka Progressif, 1997, cet.25,
hal. 217; Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, cet. 8, hal. 92-93
10
A. Djazuli, op.cit , h. 71 menegakkan kalimah Allah dengan cara-cara dan bentuk-bentuk yang tidak terbatas
dan orangnya dikenal dengan sebutan mujahid. Sedangkan mujahadah menitik
beratkan pada upaya sungguh-sungguh dengan hati dalam melawan dorongan dan
hasrat nafsu agar mau tunduk melaksanakan perintah-perintah Allah dan menjauhi
larangan-Nya, orang yang melakukan hal tersebut seringkali di sebut salik atau murid.
Para ulama mendefinisikan Ijtihad sebagai usaha dan upaya sungguh-sungguh
seseorang (beberapa orang) ulama yang memiliki syarat-syarat tertentu, untuk
merumuskan kepastian atau penilaian hukum mengenai sesuatu (atau beberapa)
perkara, yang tidak terdapat kepastian hukumnya secara eksplisit dan tegas baik
dalam al-Quran maupun dalam al-Hadis.
Ijtihad tidak bisa dilakukan oleh sembarang orang. Ada beberapa kriteria
kemampuan yang harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan berijtihad: pertama,
mengetahui dan memahami makna ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Alqur'an
dan al-Hadits. Kedua, mengetahui bahasa Arab. Ketiga, mengetahui metodologi qiyas
dengan baik. Keempat, mengetahui nasikh dan mansukh. Kelima, mengetahui kaidah-
kaidah ushul dengan baik dan dasar-dasar pemikiran yang mendasari rumusan-
rumusan kaidah tersebut. Keenam, mengetahui maqashid al-ahkam.
11
Ijtihad hanya dapat dilakukan pada lapangan atau medan tertentu yaitu:
pertama, dalil-dalil yang qath'i wurud-nya dhani dalalah-nya. Kedua, dalil-dalil yang
dhani wurud-nya qath'i dalalah-nya. Ketiga, dalil-dalil yang dhanni wurud dan
dalalah-nya. Keempat, terhadap kasus-kasus yang tidak ada hukumnya.
12
Oleh karena
itu, Ijtihad tidak dapat dilakukan terhadap kasus-kasus yang sudah secara tegas
disebutkan hukumnya oleh dalil-dalil yang qath'i wurud dan dalalah-nya.
Oleh karena itu, tidak setiap hasil ijtihad dapat dijadikan sumbangan dalam
pembaruan hukum Islam dan mendapatkan legitimasi dari para hukum Islam kecuali
apabila memperhatikan dua hal pokok tersebut diatas yaitu: pertama, pelaku
pembaharuan hukum Islam adalah orang yang memenuhi kualitas sebagai mujtahid.
Kedua, pembaruan itu dilakukan di tempat-tempat ijtihad yang di benarkan oleh
syara'.
13
A. Dzajuli menyebutkan ada tiga macam cara yang dapat dilakukan dalam
berijtihad, yaitu: pertama, dengan memperhatikan kaidah-kaidah bahasa (linguistik).
11
Abdul Manan, op.cit, hal. 162-163
12
A. Djazuli. Op.cit. hal. 72.
13
Abdul Manan,loc.cit. 162 Kedua, dengan menggunakan kaidah qiyas (analogi) dengan memperhatikan asal,
cabang, hukum asal dan illat hukum. Ketiga, dengan memperhatikan semangat ajaran
Islam atau roh syari'ah. Oleh karena itu, dalam hal ini, kaidah-kaidah kulliyah Ushul
Fiqh, kaidah-kaidah kulliyyah fiqhiyyah, prinsip-prinsip umum hukum Islam dan
dalil-dalil kulli sangat menentukan. Dalam hal ini bisa menempuh cara-cara istishlah,
istishab, maslahah mursalah, sadz dzari'ah, istihsan dan sebagainya.
14
Dari pemaparan diatas, nampak sekali bahwa ijtihad memiliki peranan yang
sangat besar dalam pembaruan hukum Islam. Pembaruan tidak mungkin dapat
dilaksanakan tanpa ada mujtahid yang memenuhi syarat untuk melaksanakannya.
Antara pembaruan dan ijtihad ibarat dua sisi mata yang tidak dapat dipisahkan, saling
mengisi dan melengkapi. Jika proses ijtihad dapat dilaksanakan dalam proses
pembaharuan hukum Islam secara benar, maka hukum-hukum yang dihasilkan dari
proses ijtihad akan benar pula.
15
D. Kesimpulan.
Perkembangan dan kemajuan zaman baik dalam bidang ilmu pengetahuan
maupun teknologi merupakan sebuah keniscayaan dalam peradaban manusia.
Kemajuan tersebut disatu sisi menawarkan dan memberikan dampak positif bagi
kehidupan manusia, yaitu tersedianya berbagai fasilitas yang memberikan kemudahan
bagi manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tetapi disisi lain, kemajuan
tersebut menimbulkan dan melahirkan pelbagai masalah yang cukup komplek.
Masalah tersebut jika tidak direspon dengan baik akan menimbulkan ketidakstabilan,
ketidaktentraman dan ancaman bagi kehidupan manusia.
Hukum sebagaimana menurut Rescue Pond adalah instrument untuk
merekayasa sosial (law as a tool of social engenering)
16
agar tercipta kehidupan yang
aman, tertib dan sejahtera terkadang tidak cepat, kurang tanggap bahkan terkadang
keteteran menghadapi perubahan zaman yang sangat cepat. Hal ini memberikan celah-
celah adanya kekosongan hukum sekaligus memberikan kesempatan, peluang dan
tangtangan bagi orang-orang yang concern terhadap hukum terutama dari kalangan
14
A. Djazuli, op.cit, bandingkan dengan pendapat Ibrahim Husen yang dikutip oleh Abdul Manan
dalam Reformasi Hukum Islam di Indonesia, hal161-162
15
Abdul Manan, op.cit. hal. 165.
16
Rifyal Ka'bah, Permasalahan Perkawinan, dalam Varia Peradilan No. 271 Juni 2008, IKAHI,
Jakarta, hal. 8 hakim dan akademisi untuk mengisi kekosongan tersebut dengan cara menemukan
dan menciptakan hukum.
Hukum Islam sebagai salah satu sub sistem Hukum Nasional di Indonesia
dituntut untuk memberikan kontribusinya dalam menghadapi problem-problem baru
dampak dari kemajuan peradaban manusia tersebut. Khazanah hukum Islam telah
menyiapkan sebuah pranata atau instrumen sebagai solusi permasalahan diatas yang
dikenal dengan term Ijtihad.
Ijtihad adalah upaya sekuat tenaga yang dilakukan oleh ulama yang kompeten
dan kapabel dengan menggunakan nalarnya untuk menemukan hukum atas problem
baru tanpa meninggalkan nilai-nilai yang terdapat dalam sumber utama hukum Islam.
Ijtihad dengan berbagai metodenya baik istishlah, istishab, maslahah mursalah, sadz
dzari'ah, istihsan dan lainnya merupakan sebuah instrumen penemuan hukum dalam
tatanan Hukum Islam yang membuktikan kemampuan dan elastisitas Hukum Islam
dalam mengantisipasi perubahan dan kemajuan sosial sehingga dengan adanya
instrumen ijtihad ini, Hukum Islam diharapkan dapat lebih memberikan kontribusinya
dalam pengembangan Hukum Nasional di Indonesia. Oleh karena itu, dalam ruang
pembaruan hukum Islam, Ijtihad perlu dilaksanakan secara terus- menerus guna
mengantisipasi dan mengisi kekosongan hukum terutama pada zaman modern seperti
sekarang dimana perubahan dan kemajuan terjadi dengan sangat pesat.(wallahu 'alam
bis shawab)
DAFTAR PUSTAKA
1. Abdul Wahab Khallaf, 'Ilmu Ushul al-Fiqh, Darul Qalam, th. 1978
2. Rifyal Ka’bah, Permasalahan Perkawinan, Varia Peradilan No. 271 Th XXII
Juni 2008, Jakarta, IKAHI .
3. Abdul Manan, Reformasi hukum Islam di Indonesia, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006
4. Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum, PT. Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2006.
5. A. Djazuli, Ilmu Fiqh Peenggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum
Islam, Kencana Prenada Media Grouf, Jakarta, 2005, Edisi Revisi, cet. 5 6. Chuzaimah Batubara, Politik Hukum Islam Masa Reformasi: Upaya Positivisasi
Hukum Pidana Islam, dalam Mimbar Hukum No.68 Februari 2009, Jakarta PPHIM.
Muchsin, Kontribusi Hukum Islam terhadap Perkembangan Hukum Nasional, Mimbar
Hukum No.68 Februari 2009, Jakarta, PPHIMM.