Teori Keillatan Hukum dan Refleksinya


BAB  I
PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah.
Untuk memahami makna dan hakekat hukum atau aturan-aturan yang telah disyari‘atkan Allah Swt. -- yang berfungsi sebagai alat untuk mengatur hidup dan kehidupan umat manusia -- bukanlah persoalan yang mudah. Hal ini dapat dipahami bahwa semua aturan yang telah ditetapkan Allah tersebut, pada akhirnya Dia sendiri yang mengetahui hakekatnya. Meskipun demikian, kita sangat berkehendak untuk mengetahui dan memahami  keberadaan dan alasan-alasan apa yang melatarbelakangi penetapan aturan-aturan hukum tersebut -- di samping terkait pula dengan prosedur apa yang dapat dipergunakan untuk mengetahui alasan-alasan dimaksud.
Persoalan yang disebut terakhir ini tidak saja merupakan suatu hal yang  penting, tetapi juga merupakan sesuatu yang harus dilakukan agar makna dan nilai  suatu ketentuan hukum syara‘ yang telah ditetapkan Allah betul-betul dapat dirasakan manfaatnya oleh manusia sesuai dengan tujuan dari penetapan hukum tersebut.
Dalam kegiatan Istinbâth[1] hukum yang dilakukan oleh  para ulama ushul -sepanjang sejarah pemikiran hukum – salah satu persoalan yang  paling mendasar dan yang banyak menimbulkan diskusi di kalangan mereka adalah menyangkut alasan-alasan apa saja yang mendasari atau yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum syara‘.
Berdasarkan pertimbangan akal sehat, bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah pasti mempunyai alasan-alasan tertentu dan  mengandung hikmah yang hendak dicapai. Sebab, jika tidak demikian, maka ketentuan-ketentuan hukum yang telah ditetapkan oleh Allah itu tidak ada gunanya dan hal ini tentu tidak boleh terjadi. Dengan kata lain, dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah tersebut pasti terkait dengan sebab-sebab yang melatarbelakanginya dan pasti ada tujuan yang hendak dicapai, yaitu agar terciptanya kemaslahatan dan kebahagiaan bagi umat manusia dalam kehidupan ini baik di dunia maupun di akhirat nanti.
Secara lebih tegas lagi dapat dinyatakan bahwa segala ketentuan hukum yang telah ditetapkan Allah baik perintah maupun larangan, di samping bertujuan  untuk menciptakan kemaslahatan bagi seluruh umat manusia, juga mempunyai alasan-alasan atau latarbelakang tersendiri. Sejalan dengan maksud ini, maka Alyasa Abubakar[2] menyebutkan bahwa setiap perintah dan larangan pasti mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum) dan tujuannya masing-masing.

Pandangan ini memberikan pengertian bahwa suatu ketentuan hukum itu tidaklah lahir atau ditetapkan begitu saja, tetapi ada faktor-faktor yang mendorong keberadaannya itu. Di kalangan Ulama Ushul Fiqh, hal yang disebut terakhir ini dijadikan sebagai dasar pijakan atau landasan pemikiran untuk melihat dan menentukan kira-kira apa yang menjadi pendorong atau yang melatarbelakangi suatu ketentuan hukum syara‘ tersebut.
Untuk memahami dan mengetahui apa yang menjadi pendorong (alasan-alasan logis) dari semua ketentuan hukum yang telah ditetapkan itu, maka para ulama ushul berupaya meneliti Nash al-Qur`an dan al-Sunnah dengan melihat hubungan antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang yang mendasarinya (Causal - Connection). Upaya ini, pada akhirnya melahirkan suatu  teori yang kemudian dalam Ilmu Ushul Fiqh disebut dengan ‘illat[3]  hukum atau Ta‘lîl al-Ahkâm (تعليـل الأحـكام), yaitu teori ke-‘illat-an hukum.
Teori ke-‘illat-an hukum atau ‘illat hukum (ta‘lîl al-ahkâm) pada prinsipnya mengkaji  dan  membicarakan  tentang  apa  yang menjadi ‘illat atau manâth al-hukm (مناط الحـكم), yaitu pautan hukum serta apa pula yang menjadi indikator bahwa ‘illat yang dimaksud adalah merupakan alasan yang dijadikan dasar dalam penetapan hukum tersebut.  Di samping itu, bagaimana pula prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menemukan dan menetapkan suatu ‘illat hukum serta apa-apa saja yang menjadi keriteria atau persyaratan dari suatu ‘illat tersebut. Kemudian, pembahasan tentang ‘illat hukum ini juga akan melihat eksistensi, fungsi dan hubungannya dengan tujuan pensyari’atan hukum (maqâshid  al-syarî‘ah).
Pertanyaan-pertanyaan di atas merupakan faktor-faktor pendorong untuk dilakukannya pengkajian tentang ‘illat. Artinya, dari sini akan terlihat bagaimana eksistensi dan posisi ‘illat yang dipandang sebagai faktor penentu atau alasan yang tidak dapat dipisahkan dari pensyari‘atan hukum syara‘.  Bertitik tolak dari sini ulama  ushul merumuskan teori ‘illat hukum yang dapat dijadikan sebagai alat dalam kegiatan istinbâth al-ahkâm (penggalian dan penetapan hukum).
Atas dasar kerangka pemikiran ini, maka ulama Ushul Fiqh mendeduksikan suatu pandangan dengan merumuskan bahwa setiap ketentuan hukum akan terpaut dengan ada dan  tidak adanya ‘illat.[4] Artinya ‘illat-lah yang menjadi pautan hukum. Dalam hubungan ini Khallâf [5] menyebutkan: تـد ور الأحـكام و جـودا وعــد ما مع عللهـا لا مـع حــكـمـهـا"  “. Maksudnya bahwa hukum-hukum syara‘ itu dilatarbelakangi  oleh ada dan tidak adanya ‘illat, bukan oleh hikmahnya.
Pandangan ini semakin mempertegas dan memperjelas eksistensi, posisi dan fungsi ‘illat dalam hubungannya dengan pensyari‘atan atau pembentukan ketentuan hukum. Karena itu ‘illat menjadi kata kunci yang sangat menentukan dalam upaya untuk memahami apa yang melatarbelakangi suatu ketetapan hukum syara‘ tersebut.
Akan tetapi, pandangan di atas mengundang suatu pertanyaan, yaitu apakah setiap penetapan hukum oleh Allah terpaut dan tunduk kepada ‘illat-nya dan bagaimana hal tersebut dapat dipahami? Ternyata, dalam prakteknya, menimbulkan perdebatan di kalangan ulama kalam yang kemudian diikuti ulama ushul,[6] karena tidak semua ketentuan hukum dapat dipahami dan ditangkap oleh akal manusia apa yang menjadi ‘illat pensyari‘atannya. Banyak ketentuan hukum syara‘ tidak dapat dipahami secara rasional apa yang menjadi ‘illat penetapannya. Aspek inilah yang kemudian oleh Ulama Ushul dikategori-kan kepada persoalan – ta‘abbudî.
Meskipun demikian, mereka berpendapat bahwa pada prinsipnya setiap ketentuan hukum ada ‘illat-nya. Tegasnya setiap perintah dan larangan syara‘ mempunyai alasan-alasan logis (nilai hukum), dan alasan-alasan logis itu sebagian ada yang disebutkan secara jelas dan sebahagian lain diisyaratkan saja, serta ada pula yang harus direnungkan dan dipikirkan terlebih dahulu.  Menghadapi persoalan-persoalan yang seperti ini, para ulama Ushul menyatakan bahwa ‘illat hukum itu selalu ada, hanya saja sebagian dari ‘illat itu tetap saja tidak dapat dijangkau oleh akal atau nalar manusia hingga sekarang, terutama masalah-masalah yang berkaitan dengan urusan ibadah.
Terhadap ketentuan-ketentuan hukum yang tidak dapat dijangkau ‘illat-nya oleh nalar manusia, jumhur ulama ushul mengelompokkannya kepada urusan ta‘abbudî, dan  terhadap persoalan yang disebut terakhir ini, mereka -- ulama ushul -- menyebutnya dengan sebab. Artinya antara suatu ketentuan hukum dengan alasan yang melatarbelakangi penetapannya tidak dapat diketahui hubungannya oleh akal secara jelas.
Sebagai contoh, bahwa di dalam al-Qur`an diperintahkan untuk mengerjakan shalat Zhuhur setelah tergelincirnya mata hari. Allah berfirman:
أقــم الـــصلوة لــدلـوك الشـمس. (الإسراء/١٧:٧٨)
Dirikanlah shalat (Zhuhur) ketika tergelincir matahari (QS. Al-Isrâ`/17:78)
Di sini, hubungan antara perintah mengerjakan shalat Zhuhur dengan tergelincirnya  matahari   tidak   dapat   diketahui  dan sulit  dipahami oleh akal. Oleh karena itu, hal ini tidaklah  dinamai dengan ‘illat, tetapi disebut dengan sebab.[7]  
Banyak ketentuan hukum syara‘ yang sulit dan tidak dapat dipahami oleh akal manusia bagaimana hubungan logisnya dengan alasan-alasan yang melatar-belakanginya. Bila berhadapan dengan persoalan seperti ini, maka sebagian ulama ushul mengatakan haruslah dilihat dari segi nilai yang terkandung di dalamnya dan tujuan disyari‘atkannya hukum syara‘.[8] 
Nilai dan tujuan yang hendak dicapai oleh suatu ketentuan hukum syara‘ yang telah ditetapkan di dalam nash -- baik perintah maupun larangan -- adalah untuk merealisir kemaslahatan bagi umat manusia baik memberi manfaat bagi manusia maupun menghindarkan mereka dari kemudaratan.  Oleh karena itu, yang mendorong penetapan suatu ketentuan hukum syara‘ adalah kemaslahatan itu sendiri. Jadi berdasarkan pandangan yang disebutkan terakhir ini ternyata tujuan hukum dijadikan sebagai ‘illat yang melatar-belakangi penetapannya. Tujuan hukum itu di kalangan ulama disebut dengan hikmah[9]. Jika demikian halnya, maka penetapan hukum didasarkan kepada hikmah. Artinya, setiap ketentuan hukum syara‘ dibangun atas dasar hikmah dan hikmah itu pula yang menjadi pautan hukum atau ‘illat.
Pandangan ini melahirkan perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul  antara yang menerima dan yang menolak hikmah dijadikan sebagai ‘illat atas penetapan hukum syara‘, karena apa yang disebut dengan hikmah itu pada dasarnya sesuatu yang samar-samar, perkiraan dan anggapan saja yang kepastiannya belum dapat diakui. Dalam hubungan ini, contoh kasus berikut ini dapat dijadikan bahan perbandingan. Dalam al-Qur`an disebutkan bahwa bagi orang yang sakit dibolehkan tidak berpuasa pada bulan Ramadhan. Allah berfirman:
 ... فمن كان منكم مريضا أو على سـفـر.... (البقرة/٢:١٨٢)   
… Maka barang siapa diantara kamu yang sakit atau sedang dalam perjalanan (boleh tidak berpuasa) maka hendaklah ia perhitungkan pada hari-hari yang lainnya… (QS. Al-Baqarah/2:182)


Berdasarkan ayat di atas berlaku ketentuan hukum bolehnya orang sakit tidak berpuasa. Namun ketetapan hukum syara‘ dibolehkannya orang sakit tidak berpuasa pada bulan Ramadhan tidak dapat diketahui secara pasti apa ‘illat yang melatarbelakanginya. Akhirnya, pemikiran berpaling kepada hikmah  yang dijadikan sebagai ‘illat yang mendorong ketetapan hukum syara‘ tersebut, yaitu untuk menghilangkan kesulitan atau apa yang disebut dengan istilah masyaqqat.
Akan tetapi, kesulitan (masyaqqat) yang dijadikan sebagai pendorong dibolehkannya bagi orang sakit tidak berpuasa pada bulan Ramadhan sebetulnya hal yang samar-samar dan tidak pasti. Sebab, ternyata tidak semua orang mempunyai kondisi yang sama; ada yang merasakan kesulitan dan banyak pula orang yang tidak merasakannya. Dengan demikian, adalah tidak tepat menetapkan suatu hukum hanya berdasarkan kepada hikmah yang keberadaannya samar-samar. Oleh karena itu kalangan jumhur menolak ber-‘illat dengan hikmah semata-mata. Akan tetapi, al-Amidî[10] menerima hikmah sebagai ‘illat secara bersyarat, yaitu hikmah itu harus jelas dan jika tidak jelas maka tidak dapat dijadikan sebagai ‘illat yang mendasari ketetapan hukum syara‘.
Lebih jauh terlihat pula ada ulama yang tidak membolehkan mengaitkan ketetapan hukum syara‘ kepada ‘illat sama sekali, karena hal tersebut menurut mereka berarti menganggap Allah tidak sempurna. Padahal segala sesuatu yang ditetapkan Allah tidak tergantung kepada yang lain; Allah berbuat menurut pilihannya sendiri.[11] Kelompok ini dikenal dengan sebutan nafy  al-ta‘lîl (نفى الـتعليـل) yaitu golongan  yang  menolak ke-‘illat-an hukum. Mereka ini terdiri dari sebagian pengikut Asy‘ariyah, sebagian dari filosof [12] dan di kalangan ulama ushul antara lain adalah Zhahirîyah.[13]
Bila dicermati lebih jauh, perbedaan ini tidak saja terjadi dalam melihat apa yang menjadi ‘illat dari suatu ketentuan hukum, tetapi juga dalam penyebutan atau penamaan terhadap ‘illat tersebut serta prosedur atau langkah-langkah yang ditempuh untuk menetapkannya. Dan juga dalam persyaratan yang digariskan bagi eksistensi ‘illat tersebut.
Akibat dari perbedaan tersebut di atas, tampak dengan jelas pengaruh terhadap eksistensi ‘illat itu sendiri dan nilai atau warna hukum yang dihasilkan. Dengan kata lain, perbedaan seperti digambarkan di atas membawa pengaruh yang cukup luas dalam penetapan hukum syara‘. Hal ini tidak saja terlihat pada kasus-kasus yang ada nashnya, sebagaimana dicontohkan di atas, tetapi lebih-lebih lagi pada kasus–kasus baru atau masalah-masalah kontemporer yang tidak ada nashnya, yang setiap saat bermunculan sebagai akibat dari perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam segala bidang.
Terhadap kasus-kasus yang ada nashnya dan telah ditetapkan ketentuan hukumnya di kalangan ulama juga terdapat perbedaan dalam memahami ‘illat-nya. Misalnya kasus yang berkaitan dengan kebolehan musafir melakukan qashar shalat. Tentang qashar shalat ini terdapat dua pandangan yang berbeda dalam penetapan ‘illat-nya. Pandangan pertama mengatakan bahwa ‘illat bolehnya musafir melakukan qashar shalat tersebut adalah karena adanya kesulitan (masyaqqat). Artinya, jika tidak ada kesulitan tentu tidak ada keizinan atau dibolehkan melakukan qashar shalat bagi musafir. Sebaliknya, pandangan kedua mengatakan bahwa bolehnya musafir melakukan qashar shalat ‘illat-nya bukan “kesulitan”, tetapi safar itu sendiri.
Terhadap kasus ini Alyasa Abubakar[14] mengatakan bahwa suatu keadaan yang abstrak dan tidak dapat diukur tidak dapat dijadikan ‘illat. Oleh karena itu kasus qashar shalat dengan  ‘illat masyaqqah  (kesulitan) tidak dapat diterima karena akan berbeda pada setiap orang dan relatif tidak ada ukurannya. Apalagi dalam perkembangan dunia modern sekarang ini apa yang disebut masyaqqah itu untuk mengerjakan shalat bagi musafir dalam perjalanan relatif hampir tidak ada lagi.
Jadi, dapat dipahami bahwa kebolehan qashar shalat bagi musafir itu sebetulnya terkait dengan hubungan sebab akibat dan dalam pandangan Alyasa Abubakar,[15] inilah yang disebut dengan sebab, dan tidak dinamai dengan ‘illat.
Demikian juga halnya dengan kasus-kasus baru dan atau masalah-masalah kontemporer yang tidak ada nashnya, yang banyak ber-‘illat kepada nilai dan tujuan yang terkandung dalam suatu ketentuan hukum. Contoh kasus tentang ini adalah keputusan Komisi Fatwa MUI pusat tentang hukum memakan dan budidaya kodok.  Dalam keputusan tersebut dijelaskan, membudidayakan kodok hanya untuk diambil manfaatnya, tidak untuk dimakan tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam.[16]
Terkesan bahwa fatwa yang dikeluarkan MUI di atas tidak tegas, karena tidak semua ulama menerima keputusan ini, sebab lebih condong mempertimbangkan nilai ekonomi meskipun persoalan kodok ini, jauh sebelumnya telah menjadi perdebatan di kalangan ulama mazhab.
Mencermati apa yang telah dipaparkan di atas, maka masalah ‘illat hukum ini sangat perlu untuk diteliti dan dikaji secara mendalam agar diperoleh gambaran yang lebih jelas terhadap eksistensinya dan fungsinya dalam pembinaan hukum.  Kecuali itu, perbedaan-perbedaan yang terjadi di kalangan ulama, yang mempengaruhi corak pemikiran hukum syara‘ sudah tentu tidak dapat dipisahkan dari perbedaan pemahaman mereka tentang teori ‘illat yang berkembang dan penerapannya dalam pembinaan hukum pada setiap kurun waktu.
B.     Pembatasan dan perumusan masalah
Dalam penelitian ini, sengaja membatasi kajiannya pada teori ‘illat hukum yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari metodologi penetapan hukum Islam (tharîqat Istinbâth al-Ahkâm).  Kajian tentang ‘illat hukum adalah menyangkut persoalan yang sangat penting, karena ia akan membahas alasan-alasan yang melatarbelakangi lahirnya ketetapan hukum syara’.  
Oleh sebab itu, agar kajian ini lebih fokus, maka yang menjadi permasalahan yang mendasar dalam penelitian ini adalah apa sebenarnya ‘illat hukum itu dan bagaimana fungsi/kedudukannya dalam pembinaan hukum syara’?  Dari pertanyaan pokok ini, maka permasalahn pokok dapat dirumuskan sebagai berikut; (1) bagaimana rumusan ‘illat dan syarat-syarat  yang ditetapkan baginya?; (2) prosedur apa saja yang ditempuh dalam penetapan ‘illat tersebut?; (3) apa saja yang dijadikan landasan sebagai sumber penetapan ‘illat?; (4) bagaimana fungsi dan kedudukan ‘illat dalam pembinaan hukum?                                                                                                           
Permasalahan-permasalahan pokok yang disebutkan ini akan dikembangkan dalam pembahasan berkutnya, antara lain; (a) ‘illat dan kaitannya dengan tujuan hukum (maqâshid al-syarî’ah), (b) ‘illat dan pengembangan hukum Islam serta (c) ‘illat dan masalah-masalah kontemporer.
C.     Tujuan  dan Kegunaan Penelitian.
Berpijak  dari rumusan dan batasan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah untuk memperoleh kejelasan dan pengetahuan yang mendalam tentang eksistensi teori ‘illat dan fungsinya dalam pembinaan hukum syara‘ yang meliputi, rumusan ‘illat dan syarat-syaratnya, prosedur yang ditempuh dalam penetapannya, landasan yang menjadi pijakan dalam penetapan ‘illat, fungsi dan kedudukan ‘illat dalam pembinaan hukum syara‘, ‘illat dan kaitannya dengan tujuan hukum syara‘ (maqâshid al-syarî‘ah), ‘illat dan pengembangan hukum Islam serta ‘illat dan masalah-masalah kontemporer.
Kemudian dari segi kegunaannya penelitian ini dapat dilihat dari dua segi, yaitu: pertama, secara akademik penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmiah yang berharga bagi pengembangan ilmu hukum Islam, khususnya pada bidang kajian Ilmu Ushul Fiqh. Temuan-temuan yang dihasilkan dalam penelitian ini nantinya akan dapat memberikan dorongan bagi para peneliti berikutnya untuk melahirkan teori-teori baru dalam rangka pengembangan teori hukum Islam. Lebih-lebih persoalan ‘illat hukum ini belum banyak diteliti secara mendalam dalam kaitannya dengan perkembangan hukum syara‘ dan perkembangan zaman. Sedangkan yang kedua, secara praktis bahwa hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan dan sumbangan pemikiran dalam upaya pembinaan hukum syara‘, terutama bagi para ulama dan para Hakim Agama selaku praktisi yang selalu berhadapan dengan berbagai persoalan hukum.
D.    Tinjauan Pustaka.
Sejauh yang dapat penulis telusuri bahwa terdapat beberapa karya baik yang berbentuk buku ataupun hasil penelitian yang telah mengkaji persoalan ‘illat hukum ini. Buku tersebut adalah karya Imam al-Ghazâlî (450-505H/1058-1111) yang ditahqiq oleh Hammâd al-Kubaisî dengan berjudul “Syifâ` al-Ghalîl fî Bayân al-Syabh wa al-Mukhayyal wa Masâlik al-Ta‘lîl”.[17]
Kajian yang diuraikan dalam buku ini menjelaskan persoalan ‘illat dan qiyâs. Pada bagian muqadimah dari buku ini menjelaskan masalah qiyâs dan pembagiannya, makna ‘illat dan dilâlah. Pada bagian berikutnya membahas cara mengetahui sifat ‘illat dan langkah-langkah yang ditempuh dalam penetapannya, perbedaan ‘illat dengan sabab, penetapan ‘illat dengan ijmâ‘, istidhlâl dengan ‘illat munâsabah dan pandangan ulama. Pada bagian berikutnya membahas apa saja yang dapat dijadikan ‘illat, macam-macam al-munâsabah dan batasannya, serta dalil-dalil penggunaannya, maqaşid al-syarî‘ah dan ‘illat. Pada bagian akhir ini buku ini menguraikan penggunaan hikmah sebagai ‘illat hukum.
Kemudian, Musthafâ Syalabî[18], juga menulis tentang ‘illat hukum, dengan judul “Ta‘lil al-Ahkâm; ‘Ard wa Tahlîl Tharîqat al-Ta‘lîl wa Tathawwarâtihâ fî ‘Uşūr al-Ijtihâd wa al-Taqlîd”. Musthafâ Syalabî menguraikan dalam buku ini hal-hal yang meliputi ; ‘illat pada masa sebelum penyusunan Ushul Fiqh dan periode Ijtihad. Pembahasan berikutnya menjelaskan cara penunjukkan al-Qur`an dan al-Sunnah tentang peng-‘illat-an hukum, cara sahabat dalam menentukan ‘illat, ‘illat pada periode penyusunan Ushul Fiqh dan pendekatan dikalangan para ulama tentang ‘illat hukum, hakekat ‘illat di kalangan ulama Ushul, ‘illat dan syarat-syaratnya, dan hikmah, al-munâsabah dan pembagiannya. Musthafâ Syalabî juga membahas persoalan maşlahat dan kaitannya dengan ‘illat serta istihsân dengan maşlahat.
Selanjutnya kajian tentang ‘illat berupa hasil penelitian disertasi dan tesis dapat pula dikemukan berikut ini Karya Juhaya S. Praja[19] misalnya, dalam penelitian disertasinya yang judul “Epistimologi Hukum Islam (Suatu Telaah tentang sumber, ‘illat dan Tujuan Hukum Islam serta Metoda-metoda Kebenarannya Dalam Sistem Hukum Islam Menurut Ibnu Taimiyah”.
Dalam penelitian ini Juhaya S. Praja membahas ‘illat sebagai salah satu sub bab dari Disertasinya dan menempatkannya pada bab Metodelogi Hukum Islam. Pembahasan ini mengungkapkan pandangan Ibnu Taimiyah tentang  ‘illat yang meliputi pengertian ‘illat, ‘illat dan tujuan hukum serta cara-cara mengetahui ‘illat.
Hasil penelitian lain adalah juga penelitian disertasi yang ditulis oleh Rafi’i Nazari[20] yang berjudul “‘Illat dan Dinamika Hukum Islam”.  Penelitian ini memang merupakan penelitian yang secara khusus mengkaji persoalan ‘illat hukum. Dalam penelitian ini Rafi’i Nazari membahas dan menguraikan ‘illat dan syarat-syaratnya. Cara penentuan ‘illat, dan landasannya, Peranan ‘illat dalam Pembentukan hukum Islam serta ‘illat dan dinamika Hukum Islam.
Penelitian serupa dapat pula ditemukan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Yazwardi[21] dengan judul “Konsep ‘illat Dalam Qiyas Menurut al-Ghazali”. Penelitian ini merupakan penelitian tesis yang berupaya mengungkapkan pemikiran Imam al-Ghazâlî tentang ‘illat yang meliputi Pengertian ‘illat, ruang lingkup metodologi ‘illat dan klasifikasinya serta kesalahan dalam metodologi ‘illat. Penelitian Yazwardi ini hanya melihat dan mengkaji kedudukan ‘illat dalam hubungannya dengan qiyâs menurut pemikiran al-Ghazâlî.
Dari beberapa hasil penelitian yang telah dikemukakan di atas belum terlihat pembahasan atau kajian yang menjelaskan secara mendalam tentang ‘illat dalam kaitannya dengan pembinaan hukum syara‘; terutama yang berhubungan dengan eksistensi ‘illat dan pengembangan hukum serta keterkaitannya pula dengan masalah-masalah kontemporer yang terus muncul dari waktu ke waktu.
Pengkajian ‘illat dalam hubungannya dengan pengembangan hukum Islam dan masalah-masalah kontemporer adalah sesuatu yang baru dalam pemikiran Ushul Fiqh. Oleh karena itu, penulis berpendapat bahwa penelitian ini sangat penting untuk dilakukan, karena belum dibahas secara mendalam oleh peneliti-peneliti terdahulu.
E.     Judul Penelitian dan Penjelasan Istilah.
Seperti telah disebutkan di muka bahwa disertasi ini diberi judul “Teori ‘illat dan Fungsinya dalam Pembinaan Hukum”. Untuk memahami maksud dari judul disertasi ini, penulis memandang perlu menjelaskan beberapa kata kunci berikut:
Kata “teori” adalah berkaitan dengan konsep keilmuan. As-Hornby[22] menyebutkan bahwa teori itu adalah penjelasan tentang prinsip-prinsip ilmu tentang suatu seni atau suatu cabang ilmu pengetahuan. Dengan demikian teori adalah menyangkut prinsip-prinsip dasar dari suatu cabang ilmu pengetahuan.
Selanjutnya kata “‘illat” berasal dari bahasa Arab yaitu "عــلــة" yang belum ada padanannya atau menjadi serapan bahasa Indonesia. ‘illat dalam konteks kajian Ushul Fiqh, sebagaimana dijelaskan oleh Abd al-Wahâb Khalâf[23] adalah berarti sesuatu yang menjadi “tambatan” atau pautan hukum”. Secara istilah ‘illat diartikan dengan suatu sifat yang berfungsi sebagai dasar pembinaan hukum[24] Oleh karena itu dapat ditegaskan bahwa ‘illat sesungguhnya adalah sifat yang dapat dijadikan dasar dan alasan yang melatarbelakangi ditetapkannya hukum syara‘.
Kemudian kata “Fungsi” yang semula berasal dari bahasa Inggeris disebut dengan function[25], yang oleh A.S. Hornby diartikan dengan ”purpose of thing[26] yang berarti kegunaan sesuatu. Kata ”fungsi” ini  telah diserap menjadi bahasa Indonesia yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan dengan”kegunaan suatu hal”[27]. Dalam konteks judul disertasi ini maksudnya ialah menyangkut tentang kegunaan atau fungsi dari ‘illat hukum.
Selanjutnya, kata “Pembinaan” yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia[28] berarti proses, cara membina atau suatu usaha dan tindakan yang dilakukan secara berdaya guna untuk memperoleh hasil yang lebih baik. Kemudian kata “hukum” yang dalam konteks ini, maksudnya adalah hukum syara‘.
Menurut Amir Syarifuddin[29], kata hukum dihubungkan dengan Islam atau syara‘ (hukum syara‘), maka hukum Islam akan berarti “seperangkat peraturan berdasarkan wahyu Allah dan Sunnah Rasul tentang tingkah laku manusia mukallaf yang diakui dan diyakini mengikat untuk semua yang beragama Islam”. Oleh karena itu, istilah hukum yang dimaksudkan dari judul disertasi ini adalah “hukum” dalam pengertian yang disebutkan terakhir ini.
Berdasarkan uraian di atas, maka maksud judul disertasi yang telah dirumuskan ini, yaitu “Teori ‘Illat Dan Fungsinya Dalam Pembinaan Hukum” adalah membahas dan mengkaji secara mendalam dan konprehensip tentang konsep ‘illat baik yang berkaitan dengan  rumusan dan dasar titik tolak perumusannya,syarat-syarat dan prosedur penetapannya, fungsi dan kedudukannya, landasan penetapannya, serta dan kaitannya dengan pengembangan hukum Islam dan masalah-masalah kontemporer.
F.      Metode  Penelitian.
1.      Jenis dan Sumber Data.      
Mengingat penelitian ini memusatkan perhatian pada tela’ah kepustakaan, maka jenis data yang dibutuhkan adalah data  kualitatif yang sepenuhnya akan diperoleh dari berbagai sumber tertulis  yang mengkaji masalah ‘illat hukum. Dalam penelitian ini, yang menjadi sumber primer adalah akan diperoleh dari semua kitab-kitab Ushul Fiqh klasik dari berbagai Mazhab; diantaranya kitab Matn Jam‘i al-Jawâmi‘  karya ibn al-Subkî, kitab al-Mustaşfâ karya al-Ghazâlî: al-Ibhaj fî Syarh al-Minhaj karya Abd al-Kâfî al-Subkî, kitab Syifâ` al-Ghalîl fî Bayân al-Syibh wa al-Mukhayyal wa Masâlik al-Ta‘lîl karya Imam al-Ghazâlî yang ditahqiq oleh Hammâd al-Kubaisî, kitab Irsyâd al-Fuhûl karya Muhammad al-Syaukanî; kitab al-Burhân karya Imam al-Haramain al-Juwainî; kitab Ghâyat al-Wushûl Syarh Lubb al-Ushul karya Abû Yahya Zakariyâ al-Anşârî al-Syâfi‘i dan kitab al-Muwâfaqât fi Uşûl al-Syarâ‘ah karya Abû Ishâq al-Syâtibî. Sementara itu, data sekunder akan diambil dari berbagai buku Ushul Fiqh kontemporer, diantaranya, kitab Ushûl Fiqh karya Syaikh Khudari Beik; kitab ‘Ilm Ushûl Fiqh karya Abd al-Wahhâb Khallâf; Ushûl Fiqh al-Islâmî karya Zaky al-Din Sya‘bân; Al-Wâjiz Fî Ushûl al-Fiqh karya Abd al-Karîm Zaidân; Ta‘lîl al-Ahkâm, karya Muştafâ Syalabî; Kitab Asr al-Ikhtilâf fî al-Qawâ‘id al-Ushûlîyah fî Ikhtilâf al-Fuqahâ` karya Muştafâ Sâ‘id al-Khin; Ushûl al-Fiqh al-Islâmî karya Wahbah Zuhaili; Ushûl Fiqh karya Amir Syarifuddin dan kitab Ushûl Fiqh karya Muhammad Abû Zahrah serta berbagai sumber lainnya yang mendukung penyelesaian penelitian disertasi ini.
2.      Pengumpulan Data.
Karena penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, maka cara yang ditempuh dalam pengumpulan data adalah dengan menggunakan teknik dokumenter dengan melakukan tela’ahan atas berbagai sumber dari berbagai buku teks baik klasik maupun kontemporer. Menurut Hadari Nawawi,[30] teknik dokumenter ini sangat tepat digunakan untuk penelitian kualitatif dan sangat lazim dipakai, terutama yang berhubungan dengan buku-buku teks yang berisi pendapat-pendapat dan teori-teori yang berkembang dalam konteks sosial-historis. Untuk itu, maka teknik dokumenter ini sangat tepat digunakan dalam rangka pengumpulan data untuk meneliti Teori ‘illat dan Fungsinya dalam Pembinaan Hukum Syara‘, karena keseluruhannya terkait dengan berbagai pendapat, pandangan dan teori-teori yang terdapat di dalam berbagai literatur dan buku-buku teks.
3.      Analisa Data.
Setelah semua data dihimpun, lalu diklasifikasikan dan dikelompokkan berdasarkan kategori masalah, kemudian dianalisa dengan pendekatan content analysis (analisa isi) dan komparatif. Pendekatan content analysis dalam kaitannya dengan penelitian ini adalah menela’ah dan menganalisa pandangan atau pendapat baik yang menyangkut kerangka epistimologi, ontologi maupun aksiologi dari teori ‘illat yang terdapat dalam berbagai sumber yang telah ditulis oleh berbagai tokoh atau pakar Hukum Islam. Kemudian penggunaan pendekatan komparatif adalah karena teori ‘illat hukum ini juga terkait dengan berbagai pendapat para pakar Ushul Fiqh -- yang mana antara satu dengan yang lainnya tidak luput dari perbedaan-perbedaan pendapat. Untuk mendapatkan kejelasan dan pemahaman komprehensif, maka membandingkan diantara pemikiran yang berbeda-beda itu adalah sangat tepat dan sangat diperlukan. Lebih-lebih persoalan ‘illat hukum ini tidak bisa lepas dari perbedaan pendapat di kalangan Ulama Ushul Fiqh. Selanjutnya,  hasil penelitian  akan ditulis secara deskriftif  kualitatif.
G.    Sistematika  Penulisan.
Dalam sistematika penulisan disertasi ini, penulis ingin menggambar-kan pola dan alur pemikiran secara sistematis dengan mengelompokannya kepada bab-bab dan sub-sub bab berdasarkan pokok/rumusan dan batasan masalah. Pengelompokan  kepada bab-bab dan sub-sub bab tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I, merupakan bab pendahuluan yang menguraikan persoalan ‘illat hukum sebagai latarbelakang pemikiran dengan merumuskan beberapa masalah pokok yang menjadi bahasan utama dalam disertasi ini. Pada bab pendahuluan ini, disamping mengemukakan tujuan penelitian, juga menjelaskan metodologi dan langkah-langkah yang ditempuh serta pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini.
Bab II menjelaskan teori-teori pembinaan hukum. Pada bab ini diuraikan berbagai teori yang digunakan oleh para mujtahid dalam rangka pembinaan hukum. Teori-teori tersebut meliputi teori bayânî, qiyâsi dan istishlâhi. Ketiga teori ini merupakan faktor yang sangat penting dalam kaitannya dengan pembinaan hukum.
Bab III berbicara rumusan teori-teori ‘illat hukum. Pada bab ini pembicaraan berkisar pada berbagai rumusan  dan pengertian ‘illat hukum serta perkembangan pemikiran tentang ‘illat. Perbedaan ‘illat dan sebab, pembagian ‘illat dan syarat-syaratnya.
Bab IV menjelaskan prosedur penetapan ‘illat hukum. Pembahasan pada bab ini  meliputi langkah-langkah yang ditempuh dalam menetapkan ‘illat, landasan penetapan ‘illat, eksistensi dan kedudukan ‘illat dalam pembinaan hukum. 
Bab V menguraikan ‘illat dan relevansinya dalam pembinaan hukum. Pembahasan dalam bab ini meliputi ‘illat dan hubungannya dengan maqâshid al-syarî‘ah, ‘illat dan pengembangan hukum Islam serta ‘illat hukum dan masalah-masalah kontemporer.
Bab VI adalah merupakan bab penutup yang menggambarkan hasil akhir atau kesimpulan dari penelitian ini dan beberapa saran yang dipandang perlu untuk menjadi perhatian bagi lembaga/institusi yang berwenang.



[1] Secara bahasa, kata istinbâth (استـنـباط)  berarti mengambil air dari sumber mata air. Adapun menurut istilah syara‘, ialah menggali dan menetapkan hukum berdasarkan pengertian yang dipetik dari nash dengan mengerahkan segala kemampuan dan kesungguhan. Lihat: Muhammad al-Jurjânî,  Kitâb al-Ta‘rîfât (Singapore – Jeddah: al-Haramain, t.t), h, 22.
[2] Lihat: Alyasa Abubakar, ”Teori ‘illat dan Penalaran Ta’lili”, dalam Tjun Surjaman (Edit),  Hukum Islam di Indonesia: Pemikiran dan Praktek (Bandung: PT. Remaja Rosada Karya, 1991), h, 177.
[3] Kata ‘illat (al-‘illat) belum ada padanannya dalan bahasa Indonesia, oleh karena itu, untuk penyebutan selanjutnya dalam tulisan ini akan tetap ditulis atau dibaca dengan sebutan ‘illat. Hal ini dimaksudkan agar tidak bergeser dari arti dasarnya. Dalam kajian Ushul Fiqh kata ‘illat diartikan dengan sesuatu yang menjadi pautan hukum. Artinya suatu ketetapan hukum dari Syâri‘ terpaut dengan ‘illat (alasan) yang melatarbelakanginya. Lihat: Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî fî Mâ Lâ Nashkh Fîh (Kuwait: Dâr al-Qolam, 1972), h. 49.
[4] Deduksi tersebut dikalangan ulama ushul dibakukan menjadi kaedah ushûlîyah. Memang diakui bahwa dalam beberapa ketentuan Ushûl Fiqh baik klasik maupun kontemporer redaksinya beragam. Al-Subkî, misalnya menyebutnya dengan istilah  ثـبـوت الحكـم بـثــبـوتـه هو كونـه علة" Namun demikian, pada pokoknya terdapat satu kesamaan padanya bahwa hukum terpaut dengan ‘illat-nya. Uraian lebih lanjut lihat: Abd al-Kâfî al-Subkî, al-Ibhâj fî Syarh al-Minhâj (Beirut: Dâr al-Kutub al-Islâmîyah, 1984), h. 71.
[5] Abd al-Wahhâb Khallâf, Mashâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 50.
[6] Perdebatan tersebut melahirkan beberapa pendapat. Asy‘ariyah dan Zhahiriyah mengatakan bahwa tidak boleh  menta‘lîlkan (mengaitkan) ketetapan hukum syara’ dengan ‘illat. Sementara golongan Syafi’iyah dan Hanabilah mengatakan bahwa ‘illat itu merupakan suatu tanda bagi ketentuan hukum. Pandangan ini sejalan dengan pendapat Mu‘tazilah dan Maturidiyah yang mengatakan bahwa andaikata hukum-hukum Allah tidak di-‘illat-kan (berdasarkan ‘illat), tentu  perintah Allah sia-sia dan Allah suci atau terbebas dari segala sesuatu yang sia-sia tersebut. Lihat dalam M. Hasbi Ashshidieqi, Filsafat Hukum Islam (Jakarta: Bulan Bintang,  1975), h. 181-183.
[7] Uraian lebih lengkap tentang sebab dan kaitannya ketentuan hukum yang disyari’atkan akan diuraikan pada bab II tulisan ini. Selanjutnya, untuk mengetahui pengertian sebab, lihat: Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilm Ushûl al-Fiqh (Mesir: Maktabah al-Da‘wah al-Islâmîyah, 1990), h. 67–68
[8] Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Ushûl al-Fiqh (Baghdad: al-Dâr al-Arâbîyah li al-Tibâ‘ah, 1977), h. 383
[9] Lihat: Muhammad Abû Zahrah, Ushûl al-Fiqh (Kairo: Dâr al-Fikr al-Arâbî, 1958), h. 249–250.
[10] Al-Amûdî, al-Ihkâm fî Ushûl al-Ahkâm Jil. III (Beirut: Dâr al-Kutub al-Ilmîyah, t.t), h. 180-181. Lihat pula: Zakî al-Dîn Sya‘bân, Ushûl al- Fiqh al-Islâmî (Mesir: Dâr al-Ta`lîf, 1965), h. 133 dan Muhammad al-Syaukanî, Irsyâd al- Fuhûl Ilâ tahqîq al-Haqq min Ilm al-Ushûl (Beirut: Dâr al-Fikr, t.t), h. 138.
[11] Lihat: Muşthafâ Syallâbî, Ta‘lîl al-Ahkâm (Beirut: Dâr al-Nahdhah al-Arâbîyah, 1981), h. 97.
[12] Mustafa Syalabi, Ta’lîl al-Ahkâm. H. 97.
[13] Abd al-Karîm Zaidân, al-Wajîz fî Uşûl al-Fiqh, h. 219
[14] Lihat: Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia, h. 180.
[15] Alyasa Abubakar, Hukum Islam di Indonesia. h. 180.
[16] Keputusan komisi Fatwa MUI ini, secara eksplisit tidak menyebutkan apa yang menjadi ‘illat-nya. Akan tetapi dapat dipahami -- baik langsung maupun tidak -- bahwa agaknya ‘illat-nya adalah berpegang kepada hikmah atau tujuan hukum, sebab, dalam keputusannya secara tegas disebutkan “… Untuk hanya diambil manfaatnya”. Pernyataan untuk diambil manfaatnya adalah jelas mengandung nilai dan tujuan yang hendak dicapai, yaitu kemaslahatan. Untuk ini, MUI telah menetapkan atau menggunakan ‘illat hikmah sebagai dasar penegakan untuk  menetapkan hukum  masalah kontemporer yaitu budidaya kodok untuk diambil manfaatnya. Lihat: Majelis Ulama Indonesia, Kumpulan Fatwa-fatwa Majelis Ulama Indonesia (Jakarta: PT. Pustaka Panjimas, 1984), h. 178.
[17] Karya ini diterbitkan: (Baghdad: al-Irsyâd, 1390 H/1971 M).
[18] Karya Muşthafâ Syallâbî ini semula merupakan karya ilmiyah (disertasi) doktoralnya di Universitas Al-Azhar Kairo tahun 1944 dalam bidang Fiqh dan Uşûl Fiqh. Dicetak pertama kali tahun 1949 atas biaya Universitas Al-Azhar. Kemudian tahun 1981 dicetak kembali oleh penerbit Dâr al-Nahdhah al-Arabîyah li Tibâ‘ah wa al-Nasyr Beirut.
[19] Disertasi Program Doktoral pada Program Pascasarjana UIN Jakarta tahun 1988.
[20] Disertasi Program Doktoral pada Program Pascasarjana UIN Jakarta tahun 1991.
[21] Tesis Program Magister pada Program Pascasarjana UIN Jakarta tahun 1998.
[22] Lihat: AS. Hornby, Oxford Advanced Learne’s Dictionary of Current English (London: Oxford University Press, t.t), h. 896.
[23] Lihat: Abd al-Wahhâb Khallâf, Maşâdir al-Tasyrî‘ al-Islâmî, h. 49
[24] Abd al-Wahhâb Khallâf, ‘Ilmu Uşûl al-Fiqh, h 60
[25] As.Hornby, Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English.(London: Oxford University Press, 1987), h. 350
              [26] AS. Hornby, Oxford Advanced Learner’s, h. 350.
[27] Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 245.
[28]  Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia. h. 117.
[29] Lihat: Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jil. I, (Jakarta: Logos, . 1997), h. 5
[30] Lihat: Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 1987), h. 3
LihatTutupKomentar