Menuju Ushul Fiqh Humanitarian



Menuju Ushul Fiqh Humanitarian:
Sebuah Pembacaan Baru







Oleh :
Shofiyullah Mz
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
















Presented on

ANNUAL CONFERENCE ON ISLAMIC STUDIES
DIRJEND PEND ISLAM DEPAG RI
GRAND HOTEL
LEMBANG, JAWA BARAT
NOVEMBER, 26-30 2006


Abstraks

Sebagai the queen of Islamic sciences, ushul fiqh memegang peranan penting dan strategis dalam melahirkan ajaran Islam rahmatan lil alamin. Wajah kaku dan keras ataupun lembut dan manis dari ajaran Islam sangat ditentukan dari bangunan ushul fiqh itu sendiri. Sebagai ‘mesin produksi’ hukum Islam, ushul fiqh menempati poros dan inti dari ajaran Islam. Ushul fiqh menjadi arena untuk mengkaji batasan, dinamika dan makna hubungan antara Tuhan dan manusia. Melihat fungsinya yang demikian, rumusan ushul fiqh seharusnya bersifat dinamis dan terbuka terhadap upaya-upaya penyempurnaan. Sifat dinamis dan terbuka terhadap perubahan ini sebagai konsekwensi logis dari tugas ushul fiqh yang harus selalu berusaha menselaraskan problema kemanusiaan yang terus berkembang dengan pesat dan akseleratif dengan dua sumber rujukan utamanya, al-Qur`an dan as-Sunnah, yang sudah selesai dan final sejak empat belas abad silam, yaduru ma`a illatihi wujudan wa `adaman. Oleh karenanya, upaya yang telah dirintis oleh imam asy-Syafi`i (150-204/767-820) ini seharusnya diapresiasi oleh generasi ummat Islam berikutnya dengan selalu mengadakan kontekstualisasi ataupun pembaharuan ushul fiqh pada semua arasnya, pembaruan aras epistemologi, dalam aras metodologis, dan pembaruan dalam aras materi atau topik-topik hukum. Dan kajian ini menjadi langkah awal dari proyek besar tersebut.
Sebagai langkah awal, kajian ini dimulai dengan melakukan studi komparasi atas tiga kitab ushul fiqh yang dianggap mewakili generasinya, yaitu kelahiran (formative), kematangan dan mutakhir. Pada generasi kelahiran dipilih kitab ar-Risalah karya asy-Syafi`i, sedang dari generasi kematangan dipilih al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya al-Amidi dan `Ilm Ushul Fiqh karya Abdul Wahhab Khallaf mewakili generasi mutakhir. Dari ketiga kitab tersebut, akan dibuat perbandingan dari aspek ta`rif, materi dan sistematika pembahasan ushul fiqh. Tujuannya, dengan perbandingan ta`rif akan bisa dibuat batasan akan jangkauan pembaharuan ushul fiqh yang akan dilakukan agar tetap dalam kerangka disiplin keilmuan ini. Sedang dengan perbandingan materi akan dapat membantu dalam menambahkan materi-materi baru yang relevan dan dibutuhkan bagi ushul fiqh, dan dengan membandingkan sistematika pembahasan akan bisa diperoleh kelemahan sistematika yang ada selama ini dan kemungkinan alternatifnya.
Hasil penelitian diperoleh temuan bahwa sebagai kitab perintis, ar-Risalah tidak mencantumkan ta`rif bahkan tidak dijumpai term ushul fiqh di dalamnya. Sedang pada kedua kitab lainnya sudah ada. Materi yang dibahas dalam ar-Risalah seputar mashadir at-tasyri` sementara dasar-dasar epistemologis seperti dalil, ilm, dzan hanya terdapat pada dua kitab berikutnya. Adapun sistematika yang disajikan, kitab al-Ihkam justru menyajikan sistematika pembahasan yang lebih canggih dibanding karya yang lahir sesudahnya, `Ilm Ushul Fiqh apalagi dengan sebelumnya yang ‘sepertinya’ sengaja menyediakan ruang lebar bagi penyempurnaan.
Dari hasil di atas banyak ditemukan space kosong bagi penyempurnaan selanjutnya seperti pengklasifikasian antara dalil sebagai obyek materiil dan istidlal sebagai obyek formal yang tidak jelas dan membingungkan semisal menempatkan qiyas sebagai sumber hukum, ‘kesepakatan’ yang menyatakan bahwa al-Hakim hanya Allah semata lalu bagaimana dengan Sahabat, Mujtahid, Qadli, Pemerintah, dan institusi agama lainnya, bukankah mereka selama ini yang menjadi al-Hakim setelah malaikat Jibril tidak lagi datang membawa wahyu? Perlunya dimasukkan ilmu-ilmu ‘sekuler’ seperti hermeneutik, linguistik, filologi, semiotik dan sebagainya ke dalam ushul fiqh. Dengan penyempurnaan tersebut diharapkan ushul fiqh akan menjadi ramah dan humanis, wallahu a`lam.

Menuju Ushul Fiqh Humanitarian:
Sebuah Pembacaan Baru*
Oleh Shofiyullah Mz
UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta



A.           Iftitāh
Masih hangat dalam ingatan umat Islam di tanah air, bagaimana fatwa MUI yang menyatakan Jemaah Ahmadiyah sebagai kelompok yang sesat dan menyesatkan telah berakibat pada tindakan anarkhis dan brutal berupa pendudukan dan penghancuran markas pusat Jemaah Ahmadiyah di Parung Bogor yang dilakukan oleh umat atas nama Islam, meski kemudian MUI “meralat” dengan menyatakan bahwa MUI tidak menganjurkan cara-cara kekerasan dan anarkhis dalam menyelesaikan persoalan Ahmadiyah.[1] Tindakan-tindakan serupa juga terjadi pada kasus pro-kontra perumusan RUU APP (Anti Porno), tuduhan murtad yang dialamatkan pada “malaikat” Lia Aminuddin, juga pada Roy Saputra karena ‘merilis’ shalat edisi bahasa Indonesia dan aktifitas sweeping terhadap tempat-tempat maksiat[2] di kota-kota besar yang dilakukan oleh sekelompok atau institusi yang mengatasnamakan diri sebagai “jundullah”. Dalam versi yang berbeda tapi semangat yang sama, bom bunuh diri yang dilakukan oleh Amrozi cs di Bali dan dibeberapa tempat konon juga atas nama “li`i`lā-i kalimātillāh”.
Selain soal wajah Islam Indonesia yang garang dan kaku di atas, problem lain yang dirasakan oleh penulis adalah begitu susahnya memahami ushul fiqh meski sudah begitu lama bergelut dengannya. Kesulitan memahami itu menurut su`udzan penulis lebih pada adanya problem epistemologis ushul fiqh yang ada selain faktor-faktor penyokong lainnya.
Kedua faktor di atas sepertinya tidak nyambung. Tapi sebenarnya menurut hemat penulis sangat erat berkelindan. Ushul fiqh sebagai sebuah disiplin yang pertama kali digagas asy-Syafi’i sebagaimana dikatakan Imran Ahsan Khan Nyazee merupakan ratunya ilmu keislaman (the queen of Islamic sciences).[3] Di samping kedudukannya sebagai salah satu metodologi dalam kajian hukum Islam, ushul fiqh merupakan cabang ilmu yang dalam banyak hal berkaitan dengan cabang-cabang ilmu keislaman lainnya, seperti ilmu tafsir, ilmu hadis dan ilmu kalam.[4] Ushul fiqh sebagai disiplin yang mengkaji hukum, bukan hanya mempelajari masalah-masalah hukum dan legitimasi dalam suatu konteks sosial dan institusional, melainkan juga melihat persoalan hukum sebagai masalah epistemologi.
Dengan kata lain ushul fiqh tidak hanya berisi analisis mengenai argumen dan penalaran hukum belaka, akan tetapi di dalamnya juga terdapat pembicaraan mengenai logika formal, teologi dialektik, teori linguistik dan epistemologi hukum. Bahkan Arkoun secara tegas berpendapat bahwa ushul fiqh telah menyentuh epistemologi kontemporer.[5]
Epistemologi adalah cabang filsafat yang mengkaji tentang hakikat dan pelbagai batasan pengetahuan. Epistemologi menguji suatu struktur, asal-usul, dan kriteria pengetahuan. Epistemologi juga berhubungan dengan sejumlah permasalahan yang berkaitan dengan antara lain: persepsi inderawi (sense perseption), suatu relasi antara “yang mengetahui” (the knower) dengan “objek yang diketahui” (the object known), suatu jenis kemungkinan tentang pengetahuan dan tingkatan-tingkatan kepastian bagi setiap jenis pengetahuan, suatu hakikat kebenaran, serta suatu hakikat tentang dan justifikasi bagi pelbagai inferensi atau kesimpulan.[6]
Kajian tentang epistemologi, berdasarkan pengertiannya, merupakan bagian dari filsafat yang menelaah tentang hakikat, jangkauan, pengandaian, dan pertanggungjawaban pengetahuan. Kendatipun demikian, epistemologi tidak hanya ditemukan secara terang-terangan sebagai posisi atau ajaran mengenai pengetahuan. Sebagaimana setiap pemahaman mengenai suatu kenyataan tertentu, sikap dan tindakan yang dilakukan terhadapnya, serta tingkah laku berhubungan dengannya mengandaikan suatu filsafat atau teori tersembunyi tertentu, demikian pula setiap pengetahuan atau ilmu mengandaikan sebuah epistemologi tertentu yang mendasarinya. Seperti halnya seorang filsuf berkewajiban mengungkapkan, menilai, mengembangkan, mengoreksi, atau membongkar pengandaian-pengandaian di dalam pemahaman mengenai kenyataan, demikian pula seorang epistemolog mempunyai kewajiban untuk menyelidiki pengetahuan atau ilmu untuk memaparkan, menganalisis pengandaian-pengandaian dasar yang menjadi latar belakangnya.[7]
Berdasar atas dua problem dan pemikiran di atas harus ada langkah konkrit dalam ranah keilmuan guna mencari solusi, dan itu tiada lain adalah harus dilakukan rekonstruksi epistemologis ushul fiqh agar wajah Islam ke depan bisa ramah dan humanis.
B.          Langkah Metodologis
Sebagai upaya untuk melakukan rekonstruksi epistemologis atas bangunan ushul fiqh yang ada perlu dilakukan langkah-langkah metodologis berupa penulusuran dan pengkajian terhadap seluruh karya ushul fiqh yang pernah ada hingga saat ini. Langkah ‘ideal’ itu sangat tidak mungkin (untuk tidak dikatakan mustahil) dilakukan dengan segala perangkat pendukung bersifat terbatas (waktu, tenaga, dana, dll). Yang bisa dilakukan sebagai langkah awal (stimulus of act) adalah dengan menentukan jumlah dan representatifitas sebuah karya, dan itu menurut hemat penulis adalah cukup tiga buah dengan mewakili tiga generasi: generasi kelahiran (formative), generasi kematangan (mature), dan generasi mutakhir. Dengan tiga kitab tersebut, penulis akan membuat perbandingan dari aspek takrif, materi, dan sistematika pembahasan ushul fiqh. Tujuannya, dengan membandingkan takrif kita bisa membatasi jangkauan pembaharuan ushul fiqh yang akan dilakukan agar tetap dalam kerangka disiplin ini; perbandingan materi akan membantu kita dalam menambahkan materi-materi baru untuk ushul fiqh; dan dengan membandingkan sistematika pernbahasan bisa di peroleh kelemahan sistematika klasik dan kemungkinan alternatifnya. Selain hal tersebut, perbandingan ini akan membantu memberikan ilustrasi bagi masalah-masalah yang tercatat dan akan diusulkan pada bagian berikutnya.
Tiga kitab ushul fiqh yang dipilih adalah: ar-Risālah yang mewakili tahap kelahiran Ushul Fiqh; al-Ihkām fi Ushul al-Ahkām  (karya al-Amidi) yang mewakili tahap kematangan (pertengahan) dan `Ilm Ushul Fiqh  (karya 'Abd al-Wahhab Khallaf) yang mewakili karya mutakhir. Ketiganya dipilih dengan metode acak dan tanpa asumsi apa pun selain pertimbangan zaman penulisan. Untuk zaman kelahiran, tentu pilihan yang terbaik jatuh pada ar-Risalah karena kitab inilah yang ditulis oleh orang yang disebut-sebut sebagai perumus ushul fiqh. Sementara dari zaman kematangan, sebenarnya ada banyak pilihan. Kitab al-Ihkam dipilih semata-mata karena keterbatasan waktu dan ketersediaan bahan. Kitab ushul fiqh  karya Abdul Wahhab Khallaf dipilih karena kitab inilah yang tampaknya paling banyak dipakai di dunia akadernis kontemporer.
Dengan hanya membandingkan ta’rif, materi, dan metodologi atas tiga karya saja, sebagai sebuah langkah awal penulis kira sudah memadai. Dengan menggunakan analisa yang biasa-biasa saja, sebenarnya masih banyak ruang yang belum terbuka karenanya, terutama aspek historis dan politis yang melipuli karya dan penulisnya. Insyaallah, jika ada kesempatan, upaya itu akan penulis lakukan.
Penting untuk ditegaskan kembali, telaah dan perbandingan atas tiga kitab tersebut tidak lebih adalah sebagai contoh sederhana dan ilustrasi, karena yang terpenting dari makalah ini justru pada bagian berikutnya: ke urah ushul fiqh baru yang ramah dan humanis. Pada bagian inilah penulis memberikan catatan-catatan pokok yang kelak akan menjadi panduan proyek perumusan ushul fiqh baru, semoga. Amin.
C.          Telaah atas kitab ar-Risalah li asy-Syafi`i
Meski tidak semua sepakat, tetapi mayoritas menyatakan bahwa asy-Syafi`i adalah Bapak Ushul Fiqh dan kitab ar-Risalah  adalah kitab pertama tentang ushul fiqh.[8] Oleh sebab itu, mengikuti pendapat mayoritas, kitab ini dipilih sebagai bahan telaah atas materi-materi awal yang berkembang dalam Ushul Fiqh. Edisi yang akan digunakan adalah ar-Risalah terbitan Dar al-Fikr dan hasil tahqiq dari Ahmad Muhammad Syakir yang konon adalah muhaqqiq kitab ar-Risalah terbaik dibandingkan muhaqqiq lain.

Ta’rif dan Materi

Karena kategorisasi ar-Risalah sebagai kitab ushul fiqh adalah kategorisasi ulama pasca asy-Syafi`i dan asy-Syafi`i sendiri tidak menyebut kitabnya sebagal kitab ushul fiqh  maka dapat dimaklumi jika tidak akan ditemukan definisi ushul fiqh dalam kitab ini. Oleh sebab itu, jika kemudian lahir ilmu ushul fiqh dan ar-Risalah dianggap sebagai kitab ushul fiqh tentu karena materi-materi yang dimuat dalam ar-Risalah adalah materi-materi yang pada abad ketiga dikenal sebagai materi ushul fiqh. Walaupun dengan cara yang sama, kitab ar-Risalah juga bisa dianggap sebagai kita Ushul Hadits-karena materi-materinya yang serupa dengan apa yang kemudian dikenal sebagai ilmu hadits.[9]
Dari alenia-alenia pembuka ar-Risalah, rasanya memang asy-Syafi`i tidak tengah menulis ushul fiqh, melainkan tengah menghadapi dua kelompok yang mirip dengan dua kelompok yang harus dihadapi Nabi saat pertama kali beliau menyampaikan risalah Islam: ahl al-Kitab dan ahl al-Kufr. Kelompok pertama mengingkari kitab Allah; sedangkan kelompok kedua “menganggap baik dengan seenaknya” (istahsana) penyembahan berhala, kalau dianggap baik disembah kalau sudah bosan dan dianggap tidak-baik lalu ditinggalkan.[10] asy-Syafi`i tampaknya juga menghadapi kelompok-kelompok yang semisal: mereka yang menolak as-Sunnah, dan mereka yang mengandalkan istihsan.
Oleh sebab itu, ketika asy-Syafi`i berbicara tentang materi-materi yang kemudian dlikenal sebagai ushul fiqh, sebenarnya yang dilakukan adalah untuk memperkuat posisi as-Sunnah sebagai sumber hukum setelah al-Qur'an. Selain materi-materi yang langsung berbicara tentang as-Sunnah,[11] ketika berbicara tentang hal-hal lain seperti lafazh-lafazh ‘am di dalam al-Qur'an, maka asy-Syafi`i melakukannya dalam kerangka ingin menunjukkan peran as-Sunnah dalam menakhshish; ketika berbicara tentang an-naskh, ia juga berbicara tentang peran Sunnah dalam menunjukkan mana yang dimansukh dan mana yang tidak;[12] demikian pula ketika materi-materi fiqhiyyah (yang tidak termasuk dalam materi ushul fiqh)  dibahas seperti waris, haji, zakat, iddah dan lainnya, posisi as-Sunnah lah yang tengah ia diskusikan.[13]
Terkait dengan penolakan asy-Syafi`i terhadap istihsan menurut Noel J. Coulson, tidak terlepas dari maksud dan tujuan asy-Syafi`i untuk meminimalisir perpecahan di kalangan umat sekaligus melakukan unifikasi dalam bidang hukum meski hal itu sepenuhnya tidak berhasil dilakukan oleh asy-Syafi`i. Lebih lanjut Coulson menyatakan:
“Ash-Shafi`i’s legal theory had established a compromise between the dictates of the divine will and the use of human reason in law. But his hopes that such mediation would resolve existing conflicts and introduce uniformity into jurisprudence were frustrated.”[14]
Jadi, hampir sernua halaman ar-Risalah berisi tentang pembahasan yang dilakukan dalam kerangka penjelasan tentang as-Sunnah. Bab-bab lain yang pada masa kemudian disebut sebagai materi ushul fiqh, seperti al-Ijma', al-Qiyas, Istihsan, dan Ijtihad, dibahas secara tersebar dan dibahas khusus secara singkat pada akhir kitab ar-Risalah. Mungkin akan lebih jelas jika kita lihat isi dan sistematika pembahasan ar-Risalah untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang upaya ini.
Sistematika Pembahasan
Ar-Risalah terdiri atas tiga juz dan sejumlah bab yang sebagian di antaranya dibuat oleh Ahmad Muhammad Syakir. Lebih lengkapnya sebagai berikut:
Juz I - Khutbah
- al-Bayan I - V (berbicara tentang berbagai tingkat penjelasan al-Qur'an dalam hukum-hukum al-Qur'an)
- Am dan khas
- Kewajiban mengikuti Sunnah Rasulullah
- Naskh
- Masalah-masalah Fiqhiyyah dalam kaitannya dengan posisi as-Sunnah sebagai penjelas al-Qur`an.
Juz II - Masalah-masalah Fiqhiyyah 
- Persoalan-persoalan yang terkait dengan Hadits 
- Sifat larangan Allah dan Nabi 
- Hadis Ahad (khabar al-wahid)
Juz III - Kehujjahan Hadis Ahad 
-         al-Ijma’
-         al-Qiyas
-         al-Ijtihad
-         al-Istihsan
-         al-Ikhtilaf
D.          Telaah atas kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam lil Amidi
Analisis atas kitab al-Ihkam  ini didasarkan pada kitab al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam karya as-Syaikh al-Imam al-'Allamah Sayf al-Din Abi al-Hasan 'Ali b. Abi 'Ali b.Muhammad al-Amidi (2 jilid), terbitan Dar al-Fikr tahun 1996.
Takrif
Takrif ilmu adalah hal yang menurut al-Ihkam sangat penting. Dengan memahami takrif orang bisa membayangkan apa yang ada dalam ilmu itu dan  membedakannya dari ilmu yang lain.[15] Seperti yang kemudian menjadi lazim dalam tradisi ushul fiqh, al-Ihkam juga memulai dari pengertian etimologis. al-Fiqh berarti al-fahm (pemahaman) dan al-‘ilm (pengetahuan). Sementara menurut istilah berarti: “ilmu yang menghasilkan sejumlah hukum-hukum syar'i yang bersifat furu’, berdasarkan permikiran (nazhar) dan penggunaan dalil (istidlal).”
Sedangkan ushul fiqh atau “prinsip-prinsip fiqh” berarti:
“dalil-dalil fiqh, aspek-aspek penunjukan dalil atas hukum-hukum syar’i, dan bagaimana perihal orang yang menggunakan dalil, secara garis besar dan tidak kasuistis (bukan tentang dalil tertentu yang digunakan untuk kasus tertentu)”.[16]
Obyek materiil (mawdlu’) ushul fiqh, menurut al-Ihkam, adalah dalil-dalil yang digunakan untuk memperoleh - hukum-hukum syar’i, pembagiannya, perbedaan tingkat kekuatannya, dan metode perumusan hukum dari dalil tersebut, secara garis besar.[17]
Obyek formilnya (istimdad) ushul fiqh mencakup tiga ilmu: Kalam,Bahasa Arab, dan Hukum Syar’i.[18]
Ushul Fiqh bergantung kepada Ilmu Kalam karena dalil-.dalil hukum hanya berguna jika orang mengenal Allah Swt dan sifat-sifatNya, jika mengakui kebenaran ajaran Rasulullah, dan hal-hal akidah yang lain yang hanya bisa diketahui dari Ilmu Kalam. Bahasa Arab berperan penting karena dalil-daill lafdziyyah, tekstual (al-Qur'an dan as-Sunnah) dan pendapat para ahli menggunakan bahasa Arab, sehingga persoalan-persoalan apakah teks itu menggunakan al-haqiqah dan al-majaz, al-‘umum dan al-khas, al-mutlaq dan al-muqayyad, dan lain-lainnya hanya bisa dipahami dengan menggunakan Bahasa Arab. Hukum Syar'i penting bagi ushul fiqh karena materi bahasan ushul fiqh adalah hukum-hukum syar'i, tentu orang harus tahu terlebih dahulu hakikat hukum, sehingga ia tidak salah membahas.
Sedangkan tujuan ushul fiqh adalah untuk bisa memperoleh pengetahuan tentang hukum-hukum syar'i.
Dari uraian di atas dapat kita lihat betapa canggihnya Amidi dalam memberi takrif ushul fiqh mulai dari obyek materiil, obyek formilnya, maupun tujuan Ushul Fiqh sudah cukupjelas pada masanya-berbeda sekall dengan ar-Risalah.
Sistematika Pembahasan
Membaca al-Ihkam akan membuat kita menyadari betapa kitab ini mewakili suatu tahap perkembangan ilmu Ushul Fiqh yang luar biasa, dari materi-materi yang ditulis seputar kehujjahan Sunnah, Ijma` dan Qiyas pada zaman asy-Syafi`i, pada masa al-Amidi perkembangan itu sudah menunjukkan pembahasan yang canggih mengenai dalil.
al-Amidi membagi kitabnya dalam empat kaidah bahasan:
Kaidah 1. Konsep Ushul Fiqh 
1. Pengertian Ushul Fiqh
2. Kerangka teoritis yang digunakan:
 a - teori-teori Ilmu Kalam
 b - teori-teori kebahasaan
 c - teori-teori dasar tentang hukum (hukm, hakim, mahkum fih)
Kaidah II Dalil Syar’i
1. Macam-Macam Dalil
a - Dalil syar'i yang benar-benar dalil dan wajib diamalkan
Dalil yang datangnya dari Nabi       1. Al-Kitab
                                           2. As-Sunnah

Dalil dari selain Nabi                        3. Al-ljma'
                                                            4. Al-Qiyas
                                                            5. Al-Istidlal (Istishab al-Hal)

b. Bukan dalil syar'i tetapi dianggap sebagai dalil syar'i
1. Syar’ man qablana
2. Madzhab Sahabi
3. Al-Istihsan
4. Al-Maslahah al-Mursalah

2. Motode-motode Telaah dalil
a. metode yang terkait sekaligus dengan al-Qur`an , as-Sunnah, dan al-Ijma`
            1. Telaah Sanad (tentang khabar mutawatir dan ahad)
            2. Telaah Matn
                        - analisis bentuk bahasa dan kata (al-mandzum)
                           amr, nahy, al-`am dan al-khas, al-mutlaq dan al-muqayyad, al-
                           mujmal, al-bayan dan al-mubayyan, az-Zahir dan ta'wil-nya,
- analisis cara ungkap (ghayr al-mandzum) dalalah al-iqtida`, tanbih ima`, isyarah dan mafhum

b. Metode Telaah Khusus al-Quran dan as-Sunnah 
- analisis naskh dan mansukh
III. Ijtihad
Dalam bagian ini Amidi membaginya dalam dua bahasan: pertama pembahasan  hal-hal yang terkait dengan ijtihad dan mujtahid, termasuk persoalan apakah  Nabi berijtihad ataukah tidak; dan kedua terkait dengan taqlid, mufti, orang yang  meminta fatwa, dan fatwa.

IV. Tarjih 
Dalam bagian ini, seperti yang umumnya dibahas dalam kitab-kitab Ushul Fiqh  sesudahnya, Amidi membahas apa yang sebenarnya dianggap dalil yang saling bertentangan dan mengapa perlu mencari yang lebih kuat (tarjih).
E.           Telaah atas kitab `Ilm Ushul Fiqh li Abd Wahhab Khallaf
Kitab ‘Ilm Ushul Fiqh karya Abdul Wahhab Khallaf adalah kitab yang paling populer di kalangan pengkaji Islam Indonesia. Kitab ini banyak dipergunakan di berbagai perguruan tinggi, pondok pesantren modern atau Madrasah Aliyah Program Khusus (MAPK). Sejauh yang penulis ketahui, sudah ada dua versi terjemahannya ke dalam bahasa Indonesia.
Meski bukan satu-satunya, kitab ini dipilih untuk mewakili generasi ushul fiqh kontemporer dan yang paling banyak mempengaruhi wacana akademis. Buku yang digunakan di sini adalah ‘Ilm Ushul Fiqh karya Abd al-Wahhab Khallaf, terbitan Dar al-Ilm Mesir, cetakan ke-12 tahun 1978/1494.

Takrif
Khallaf mengawali pembahasannya mengenai takrif dengan sebuah postulat: ulama Muslim sepakat bahwa setiap perbuatan dan perkatan manusia, entah itu berupa ibadah atau muamalah, pidana atau perdata, atau segala macam kontrak dan bisnis, ada hukumnya di dalam syariat Islam. Kumpulan hukum yang terkait dengan perbuatan dan perkataan manusia itu disebut dengan fiqh.[19]
Setelah mendefinisikan bahwa fiqh adalah kumpulan hukum-hukum syariah amaliah yang diperoleh dari dalil-dalil tertentu, Khallaf lalu menunjukkan bahwa ushul fiqh adalah:
“Ilmu mengenai kaidah-kaidah dan pembahasan-pembahasan yang dengan itu bisa memperoleh hukum-hukum syar’i praktis dari dalil-dalil kasuistis atau ushul fiqh adalah kumpulan kaedah dan pembahasan yang dengan itu bisa memperoleh hukum-hukum syar`i  praktis dari dalil-dalil kasuistis”[20]
Definisi ini terutama untuk membedakan ushul fiqh dengan fiqh. Sehingga orang bisa tahu bahwa fiqh berbicara tentang perbuatan mukallaf sedang ushul fiqh, berbicara mengenai dalil syar'i pada umumnya. Demikian pula ketika fiqh bertujuan menerapkan hukum syar'i atas perbuatan dan ucapan manusia, maka ushul fiqh bertujuan menerapkan kaedah-kaedahnya atas dalil-dalil tertentu untuk memperoleh hukum syar'i yang dikandungnya.
Jadi titik tekan Khallaf ada pada ushul fiqh sebagal (i) pembahasan tentang dalil dan (ii) kumpulan kaidah yang dengan itu (iii) bisa diperoleh hukum Syar'i. Dengan kata lain, Khallaf-seperti terlihat dalam daftar bahasan di bawah ini-tidak terlalu membedakan antara dalil dengan istidlal sehingga dari al-Qur'an sampai dengan Madzhab as-Shahabi semuanya ia sebut dalil.
Berbeda dengan obyek materiil fiqh yang berupa perbuatan mukallaf, obyek materiil ushul fiqh adalah daill Syar’i secara garis besarnya dari aspek penetapan hukum yang ditimbulkannya.
Sayangnya, Khallaf tidak menyebutkan apa obyek formil ushul fiqh.
Tujuan fiqh adalah menerapkan hukum Syar’i atas perbuatan dan perkataan manusia. Sementara tujuan ushul fiqh adalah menerapkan kaidah-kaidah dan teori-teori atas dalil-dalil tertentu untuk bisa menggali hukum-hukum Syar'i yang dikandung dalil itu.
Materi dan Sistematika Pembahasan
Selaras dengan takrifnya, Khallaf membagi bukunya ke dalam empat bagian pokok:
Bagian I: Dalil-dalil syar'i
1. al-Qur`an
2. as-Sunnah
3. al-Ijma’
4. al-Qiyas
5. al-Istihsan
6. al-Maslahah al-Mursalah
7. al-'Urf
8. al-Istishab
9. Syar' sebelum Islam
10. Madzhab as-Shahabi

Bagian II Hukum Syar'i 
1. al-Hakim 
2. al-Hukm 
3. al-Mahkum Fih
4. al-Mahkum 'Alaih

Baglan III Kaidah-Kaidah Kebahasaan
Kaidah 1 cara-tunjuk (dalalah) Nash
Kaidah 2 Mafhum al-mukhalafah
Kaidah 3 penunjukan yang jelas dan tingkat kejelasannya
Kaidah 4 teks yang tak jelas dan tingkat ketakjelasannya
Kaidah 5 al-Musytarak
Kaidah 6 al-‘Am dan jangkauan maknanya
Kaidah 7 al-Khas dan jangkauan maknanya

Bagian IV Kaidah-kaidah Legislasi ushul fiqh
 Kaidah 1 tujuan legislasi (maqashid at-tasyri`)
 Kaidah 2 tentang hak Allah dan hak hamba
 Kaidah 3  Wilayah ijtihad
 Kaidah 4 Naskh
 Kaidah 5 Tarjih
F.           Telaah Banding
Dari ketiga kitab yang mewakili tiga generasi ushul fiqh tersebut, ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat, baik dari aspek takrif, materi maupun sistematika pembahasannya, dari sisi persamaan maupun perbedaanya.


Takrif
Seperti telah disebutkan di depan, karena ar-Risalah tidak ditulis oleh asy-Syafi`i sebagai buku ushul fiqh, maka tidak ada takrif yang diberikan oleh asy-Syafi`i tentang ushul fiqh. Kita hanya bisa membandingkan takrif Amidi (hidup abad VI) dengan takrif Khallaf (hidup abad XIV).
Berbeda dengan asy-Syafi`i yang berperan sebagai perintis, yang sebelumnya tak ada yang bisa diacunya, Amidi menulis al-Ihkam pada masa ketika ushul fiqh telah mencapai bentuk yang matang sehingga definisi yang diberikannya pun juga sudah matang benar. Sudah ada puluhan kitab ushul fiqh tersedia pada masanya, mulai dari karya-karya yang ditulis segera setelah ar-Risalah, yaitu Kitab al-Qiyas karya al-Muzanni atau karya-karya yang ditulis dalam bentuk.syarah bagi ar-Risalah (seperti yang ditulis oleh Sayrafi, al-Qaffal, dan al-Juwayni), sampai dengan karya-karya brillian al-Ghazzali (al-Mustasfa, al-Mankhul, Syifa al-Ghalil, dan at-Tahsin).
Jadi, sudah ada banyak-bahan untuk dia pertimbangkan dalam mendefinsikan ushul fiqh. Hal yang sama tentu dialami oleh Khallaf-bahkan ia lebih banyak bahan lagi untuk merumuskannya. Dari definisi keduanya (Amidi dan Khallaf), kita bisa melihat bahwa keduanya sama-sama berupaya mendefinisikan ushul fiqh sebagai sesuatu yang berbeda dengan fiqh. Ini tampaknya sesuatu yang tak terhindarkan karena adanya unsur fiqh dalam nama ushul fiqh dan barangkali karena kelebihpopuleran fiqh daripada ushul fiqh. Sehingga mau tak mau definisi ushul fiqh harus dijelaskan untuk tidak merancukannya dengan Fiqh.
Keduanya juga tidak terlalu berbeda dalam mendifinisikan Ushul Flqh sebagai ilmu yang membahas tentang dalil Syar'i. Meski keduanya berbeda penekanan dalam hal ini  Amidi menekankan pada perihal (cara) orang yang menggunakan dalil, sementara Khallaf menekankannya sebagai kumpulan kaedah dan pembahasan. Berbeda tetapi keduanya memaksudkan hal yang sama. Jadi kalau kita hendak merumuskan Ushul Fiqh baru, kurang lebih batasannya adalah ilmu yang berbicara tentang dalil Syar`i, metode dan orang yang menafsirkan dalil itu, dan hukum yang dihasilkannya.



Materi

Sepertl terlihat dari daftar bahasan dalam ar-Risalah, al-Ihkam, dan ‘Ilmu Ushul Fiqh, ketiganya jelas memiliki perbedaan materi. Ar-Risalah  masih berisi materi-materi non-Ushul Fiqh dan pembahasannya tentang ushul fiqh terpusat pada Sunnah, Ijma’ dan Qiyas yang dibahas dalam kerangka menolak istihsan. Sementara Amidi sudah membahas secara lebih sistematis materi-materi lama dan memasukkan materi-materi baru seperti al-istidlal, al-mashlahah al-mursalah, taqlid, mufti dan fatwa. Pembahasan tentang ta’arud adillah dan tarjih juga sudah sistematis.
Menarik, bahwa materi yang dibahas oleh Khallaf tidak terlalu banyak berubah dari tujuh abad sebelumnya?! Kecuali al-‘Urf semua dalil telah dibahas Amidi. Demikian pula di bagian lain, hanya tema tentang hak Allah dan maqashid al-syari'ah yang belum dibahas oleh Amidi – namun dengan catatan bahwa tema maqashid as-syri`ah juga bukan tema baru, sudah dibahas beberapa abad sebelumnya oleh at-Tufi dan as-Syatibi. Hal menarik yang perlu dicatat barangkali adalah bertambahnya intensitas pembahasan mashlahah mursalah dari tak terbahas dalam ar-Risalah, menjadi satu halaman dalam al-Ihkam, dan menjadi lima halaman dalam “Ilm Ushul Fiqh. Itu bisa jadi sebagai petanda menguatnya kembali kecenderungan rasional pasca at-Tufi dan Syatibi.
Sistematika Pembahasan
Dalam bentuk aslinya, ar-Risalah lebih sederhana daripada yang ditahqiq oleh Syakir. Seperti umumnya kitab-kitab klasik, pemikiran penulis seringkali dituangkan tidak secara tematis, melainkan tersebar di dalam tema besar. Dalam kasus ar-Risalah, kita bisa menemukan bahwa asy-Syafi`i sendiri tidak memberi nama kitabnya, tidak memberi judul untuk sejumlah tema penting yang kelak dikenal sebagai ushul fiqh, ia ditulis dalam kerangka tema besar: kehujjahan as-Sunnah. Seperti diinformasikan di depan bahwa ar-Risalah hanyalah sebuah risalah yang ditulis asy-Syafi`i atas permintaan dari sobatnya, al-Mahdi. Oleh karena itu mengkaji sistematika dari kitab ini tidak terlalu penting karena masih terlalu mentah dan masih banyak ruang kosong untuk memperkaya sistematika yang memang belum dijamah oleh asy-Syafi`i.
Pada dua kitab berikutnya, al-Ihkam dan 'Ilm Ushul Fiqh kita bisa melakukan perbandingan sistematika yang dipergunakan. Yang menarik, meski lahir kemudian dan banyak referensi yang bisa dirujuk dan digunakan, 'Ilm Ushul Fiqh justru lebih sederhana dibanding  al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. Al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam membagi materi ushul fiqh menjadi empat konsep: ushul fiqh, dalil, ijtihad dan tarjih. Sementara 'Ilm Ushul Fiqh membahasnya menjadi empat bagian: dalil, hukum, kaidah kebahasaan dan kaidah legislasi. Apa yang dibahas dalam bagian hukum oleh Khallaf, dibahas oleh Amidi dalam konsep ushul fiqh. Apa yang dibahas dalam kaidah kebahasaan juga dibahas Amidi dalam bagian konsep ushul fiqh.
G.          Ushul Fiqh Humanitarian: Sebuah Tawaran
Dari hasil telaah diatas, ada beberapa problem mendasar yang perlu segera dibenahi, seperti sistematika pembahasan, kategorisasi dan perlunya penambahan ilmu-ilmu bantu ‘sekuler’ .
Untuk sistematika pada bab awal (mukaddimah) perlu diberi penjelasan orientasi dari kajian ushul fiqh (bukan berupa tarjamah muallif) sehingga pembaca sudah mengerti peta persoalan yang akan dikaji. Penjelasan mengenai sejarah lahirnya ushul fiqh, perkembangan dan capaian serta tantangan modernitas yang akan dihadapi juga perlu ditampilkan guna memperjelas wilayah obyek formil dan materiil juga penyadaran akan tuntutan (baca: ekspektasi) dinamika keilmuan yang demikian besar terhadap ushul fiqh.
Bab berikutnya adalah redifinisi atas term-term yang selama ini mengalami proses pembekuan. Redefinisi ini juga bermakna re-klasifikasi dan re-kategorisasi. Bab ini sangat penting sebagai solusi atas jumbuh dan ruwetnya memahami ushul fiqh seperti yang penulis rasakan. Mulai dari bab ini dibahas dan dikaji ulang soal hukum, hakim, dalil dan istidlal.
Dalam literatur ushul fiqh yang ada, disebutkan ada dua hukum, wad`i dan taklifi. Yang perlu dipertimbangkan ulang adalah penempatan istishab juga dalam pembahasan wad`i bukan pada dalil seperti yang ada. Alasannya, kalau rukhsah dan ‘azimah termasuk bagian wad`i seharusnya istishab juga masuk. Jika ‘azimah adalah hukum asal yang ditinggalkan karena adanya rukhsah maka istishab adalah hukum asal yang tidak berubah karena tidak adanya ketentuan lain yang bisa merubahnya.
Dalam pembahasan al-Hākim bisa dipastikan kalau ulama ushul bersepakat hanya Allah semata yang dimaksud. Namun pasca wafatnya Rasulullah nalar kita sepertinya susah menerima kebenaran statement ini. Ketika Rasul wafat, umat Islam (mulai dari sahabat hingga hari kiamat) hanya ditinggali dua bekal, al-Qur`an dan as-Sunnah. Keduanya berupa teks.[21] Tidak bisa dibantah adanya bahwa pembacaan dan pemahaman setiap orang akan sebuah teks yang sama sangat dimungkinkan berbeda (untuk tidak dibilang pasti), dan keduanya absah (mushawwibah) meski tetap harus menanggung resiko (mukhatti`ah) atas hasil bacaannya. Sejarah telah merekam dengan baik perbedaan itu benar-benar terjadi sejak zaman al-Khalifah ar-Rasyidah hingga makalah ini dibuat. Walau atas nama “teks” tapi hasilnya tidak bisa dipersamakan dan apalagi dipastikan seperti itu kemauan, maksud dan kehendak pemilik teks yang sebenarnya, no body knows, wallahu a`lamu dimurādihi. Oleh sebab itu, al-Hakim tidak lagi semata Allah, tapi juga Shahabat (kalau Muhammad dalam hal ini dianggap dalam kapasitas, wama yanthiqu `an al-hawa in huwa illa wahyun yuha), Mujtahid, Qadli, Pemerintah (dengan perangkatnya), MUI, NU (dengan Mubes Alim Ulama/Bahtsul Masa-ilnya), Muhammadiyah (lewat Majelis Tarjihnya), FPI, HTI, MMI wama asybaha dzalik. Sehingga apapun keputusan yang mereka hasilkan adalah keputusan mereka bukan keputusan Tuhan, not as voice of God anymore.
Bab berikutnya adalah pembahasan tentang dalil.  Menurut keyakinan penulis yang seharusnya masuk dalam pembahasan ini hanya ada enam: al-Qur`an, as-Sunnah, al-Maslahah, Mazhab as-Shahabi, al-‘Urf, dan Syar`u Man Qablana. Qiyas dan Ijma` rancu dimasukkan sebagai dalil (obyek materiil) tapi lebih tepat ke dalam istidlal (obyek formil) sebab ia mempergunakan al-Qur`an dan as-Sunnah sebagai dalilnya. Demikian pula dengan istihsan, istislah dan sad al-dzariah yang menjadikan al-maslahah sebagai dalilnya.
Bab terakhir yang merupakan sumbangan terbaru adalah istinbāth dengan membagi pada empat pembahasan: Ta`shil  (mencarai originalitas teks) dengan al-jarh wa at-ta`dil; Ta`wil (mencari originalitas makna) dengan qiyas, maqashid, qawaid al-lughawiyyah dan ilmu-ilmu ‘sekuler’ hermeneutika, semiotika, filologi,linguistik dan epistemologi; Tathbiq (mewujudkan mashlahah) dengan ijma`, istihsan, istishlah dan sad al-dzari`ah; Tarjih (mencari yang terbaik) dengan at-tarjih, al-jam`u, an-naskh dan at-tark.
H.          Ikhtitām

Demikian ijtihad yang bisa dilakukan oleh penulis hingga saat ini, meski sebatas talwis tidak substantif apalagi dekonstruktif, minimal tulisan ini diharapkan bisa menjadi lecutan bagi kepekaan intelektual kita semua untuk ikut aktif terlibat dalam penciptaan lapangan ijtihad bagi para pengangguran intelektual yang akhir-akhir ini semakin banyak bergentayangan dengan berbagai bentuk, corak dan rupa demi tsamanan qalilā, na`udzubillah.
Selanjutnya meski ada rambu-rambu moral, al-ijtihad la yunqadu bil ijtihad, tapi penulis sangat berharap terhadap kedermawanan pembaca untuk mendermakan secuil kritiknya bagi tulisan ini dalam rangka tawāshau bil haq. Sekian, mohon maaf dan semoga bermanfaat, amin. Wassalam.



Grya Gaten View, 23 November 2006


* Dipresentasikan pada “Annual Conference on Islamic Studies” yang diselenggarakan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Departemen Agama RI bertempat di Grand Hotel, Lembang Jawa Barat, 26-30 November 2006.
[1]Tempo Majalah Berita Mingguan, Edisi 19-25 Desember 2005, hlm 76-80 dan Edisi 2-8 Januari 2006, hlm. 110-117.
[2] Seperti karaoke, diskotek, pub, barbershop dan yang sejenis sedang masjid kampus, kantor, pasar, supermarket, pos ronda, dan tempat-tempat ‘baik’ lainnya tidak perlu padahal kemaksiatan sekarang tidak terikat dan terbatas oleh kategori tempat, anytime and anywhere.
[3]Imran Ahsan Khan Nyazee, Theories of Islamic Law, (Pakistan: Islamic Research Institute and International Institute of Islamic Thought, 1945), hlm. 1.
[4]Terutama ketika berbicara tentang kaidah-kaidah bahasa. Lihat Subhi as-Salih, Mabahis fi  ‘Ulum al-Qur’an, cet 9 (Beirut: Dar al-‘Ilm li al-Malayin,1977), hlm. 299-312 dan; as-Salih, ‘Ulum al-Hadis wa Mustalahuh, cet. 9 (Beirut:Dar al-‘Ilm li al-Malayin,1977), hlm. 113-114.
[5] Muhammad Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern: Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, alih bahasa Rahayu S. Hidayat, (Jakarta: INIS, 1994), hlm. 52.
[6]Donald Gotterbarn dalam Barnes dan Noble, New American Encyclopedia (USA: Grolier Incorporated, 1991), hlm. 221.
[7]Kajian tentang teori pengetahuan disebut juga dengan epistemologi (Yunani: episteme = knowledge, pengetahuan; dan logos = teori). Definisi epistemologi secara umum adalah teori pengetahuan (theory of knowledge). Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat yaitu ontologi (Yunani: on = being, wujud, ada; dan logos = teori) dan epistemologi. Ontologi sering disinonimkan dengan metafisika, meskipun yang disebutkan terakhir ini dapat berarti ontologi yang merupakan teori tentang apa, juga berarti pula epistemologi sebagai teori pengetahuan. Baca: Donald Gotterbahm, hal. 221.

[8]Wael B. Hallaq, guru besar Hukum Islam McGill University dalam artikelnya yang berjudul Was asy-Syafi`i the Master Architect of Islamic Jurisprudence?termasuk yang tidak setuju dengan pendapat ini. Menurutnya bahwa gelar asy-Syafi’i sebagai guru arsitek ilmu ushul fikih adalah lemah. Hal itu hanya kreasi ulama generasi jauh sesudahnya, terutama kelompok ulama sunni yang fanatik terhadap mazhab Syafi’i. Alasan Hallaq adalah karena kitab-kitab ushul Syafi'iyyah itu baru muncul pada akhir abad III H dan awal abad IV H. Paling tidak ada kurang lebih satu abad fase kekosongan kitab ushul fiqh. Oleh karena itu ar-Risalah tidaklah populer pada masa kelahirannya, apalagi diklaim sebagai sintesis antara dua kubu Islam Rasionalis Kufah dan Tradisianalis Basrah. Klaim terakhir ini juga tidak terbukti, karena dua kubu itu sama-sama tidak tertarik dengan kitabnya asy-Syafi'i tersebut. Lihat Wael B. Hallaq, "Was asy-Syafi'i the Master Architect of Islamic Jurisprudence,"  dalam International Journal of Middle East Studies, 1993, hlm. 25.
[9] Baca juga Ahmad Hasan, al-Shafi`is Role in the Development of IslamicJurisprudence dan Analogical Reasoning in Islamic Jurisprudence: A Study of The Juridical Principle of Qiyas, Islamabad: Islamic Research Institute, 1986.
[10] Ar-Risalah, hal. 9-16
[11] Ar-Risalah, hal. 79-85;210-343;401-470
[12] Ar-Risalah, hal. 113-146 
[13] Ar-Risalah, hal. 147-203
[14]Noel J. Coulson, A History of Islamic Law (Edinburgh: Edinburgh University Press, 1990) hal. 37 dan 52.
[15] Al-Ihkam, juz I hal. 9
[16] Al-Ihkam, hal. 10
[17] Ibid
[18]Ibid                     
[19] ‘Ilm UshulFfiqh, hal. 11
[20] ‘Ilm UshulFfiqh, hal. 12
[21]Yang hanya memuat 114 surat dengan maksimal 6666 ayat plus Kutub at-Tis`ah (yang tidak lebih dari 100 ribu hadits tanpa tikrar dan syawahid)
LihatTutupKomentar