BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang Masalah
Tidak ada masalah yang lebih penting daripada masalah kepemimpinan. Kepemimpinan –jika diwarnai dengan kebijaksanaan–dapat menciptakan berbagai kemajuan. Sebaliknya, kepemimpinan–jika disertai dengan kebodohan–dapat menghancurkan berbagai prestasi yang telah diraih. Jika Islam menginginkan kemajuan dan kegemilangan bagi Muslimin maka ia harus menetapkan para pemimpin yang cakap, yang memiliki ilmu yang bersumber dari ilham, yang memiliki akal yang sehat, jiwa yang bersih serta akhlak yang terpuji. Dengan kebijakan pemimpin yang adil, maka potensi akal dan berbagai potensi lainnya dapat berkembang, dan umat terdorong untuk berlomba-lomba di dalam kebajikan, demi terciptanya masyarakat Islam yang maju dan beradab.
Isu mengenai kepemimpinan adalah isu yang dapat dikatakan terpopuler di dalam umat Islam. Mulai dari awal lahirnya Islam sampai sekarang pun isu mengenai kepemimpinan masih tetap menjadi pembicaraan hangat. Sebegitu krusialnya isu ini sampai-sampai ada salah satu mazhab dalam Islam yang memasukkan isu kepemimpinan dalam rukun iman mereka. Dalam sejarah Islam, masalah kepemimpinan ini telah memicu konflik yang berkepanjangan. Asy-Syahrastani, pengarang al-Milal wa an-Nihal, menyatakan bahwa tidak ada faktor pertikaian di kalangan umat Islam yang lebih besar daripada masalah kepemimpinan.[1]
Imamah atau Kepemimpinan mendapatkan perhatian istimewa dari Rasulullah. Hal ini terbukti ketika beliau berulang kali menyebutkan di dalam khotbahnya, dan topik ini telah dibicarakan dalam berbagai tempat dan waktu dengan cara yang berbeda. Bukti lainnya adalah adanya sebuah hadits yang terkenal di kalangan umat Islam yang mana Rasulullah sering kali memperingatkan secara keras, “Barangsiapa yang mati tanpa mengetahui siapa imam zamannya, ia mati sebagai seorang musyrik.”
Lebih lanjut lagi, tentunya persoalan ini secara alamiah akan dihadapai oleh kaum Muslim setelah meninggalnya Rasulullah Saw. Maka, yang menjadi pertanyaan adalah, “Siapakah yang menjadi penerus Nabi Muhammad dan bagaimana seharusnya persoalan kaum Muslim diatur?”
Sebagai pembuka, apakah kepemimpinan sepeninggal Rasulullah memang ada? Usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan ini adalah awal mula dari penelitian yang penulis lakukan. Dalam hal ini, persoalan tersebut dibuktikan dengan cara mengemukakan hadits dan kita akan menemukan bahwa imamah atau kepemimpinan sepeninggal Rasulullah Saw memang ada dan hal ini berlangsung terus sepanjang zaman.
II. Rumusan Masalah
Dalam penyusunan makalah atau penelitian, untuk mempermudah penulis dalam menyusun makalah maka penulis membuat rumusan masalah yang akan dibahas.
Perumusan masalah diperlukan guna menegaskan masalah-masalah yang hendak diteliti sehingga memudahkan dalam pengerjaannya serta dapat mencapai sasaran yang diinginkan. Berdasarkan uraian latar belakang masalah, maka penulis merumuskan permasalahan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah Imamah itu sebuah keniscayaan dan apa pengertian Imamah (kepemimpinan) dan kekhalifahan itu?
2. Bagaimanakah konsep Imamah dalam Islam dan siapa yang menjadi pengganti Rasulullah dalam memimpin umat Islam sepeninggal beliau?
3. Bagaimana konsep wilayatul Faqih buah pemikiran Imam Khomeini?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Imamah dan Kekhalifahan
Pada pembahasan kali ini, penulis akan mencoba mengetengahkan permasalahan popular di kalangan umat Islam, yaitu Imamah. Apakah imamah atau kepemimpinan Islam itu sebuah keniscayaan ataukah sebenarnya di dalam Islam tidak di kenal konsep imamah atau kepemimpinan.
Tidak diragukan lagi bahwa Islam adalah agama yang abadi sampai hari kebangkitan. Kelanjutan Islam sebagai sebuah agama yang abadi adalah prinsip yang telah ditetapkan. Keberlanjutan Islam sebagai sebuah agama abadi sebenarnya meniscayakan kebutuhan akan seorang pemimpin yang akan membimbing umat ini kepada jalan kebenaran. Ketika dahulu Rasulullah masih hidup beliau lah yang menjadi pemimpin umat ini. Beliau-lah tempat bertanya umat Islam pada saat itu. Permasalahan selanjutnya adalah siapakah yang menjadi pemimpin umat sepeninggal Nabi? Apakah sepeninggal Nabi tidak ada lagi pemimpin umat Islam?
Sebenarnya, kebutuhan akan pemimpin adalah persoalan yang disepakati oleh seluruh mazhab dalam Islam, kecuali sekelompok umat Islam yang tidak perlu diperhatikan.
Adhuddin Iji, seorang ahli fikih dan ulama Ahlulsunnah, dalam kitab Mawafiq berkata, “Umat Muslim pada tahun-tahun awal pasca wafatnya Rasulullah Saw secara mutawatir telah bersepakat bahwa tidak mungkin ada zaman tanpa seorang imam.”[2]
Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadits di dalam Mustadrak Hakim, vol. 1, hal. 77: Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mati dan tidak memiliki imam umatnya, maka ia mati sebagai seorang kafir.” Hakim menganggap hadits ini shahih.
Di dalam Musnad Ahmad pun terdapat hadits yang hampir sama bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang mati tanpa seorang imam, maka ia mati sebagai kafir.”[3]
Berdasarkan hadits di atas maka penulis dapat mengambil sebuah kesimpulan bahwa imamah atau kepemimpinan di dalam Islam adalah sebuah keniscayaan dan akan terus berlanjut setiap zamannya. Tidak mungkin ada satu zaman yang kosong dari seorang imam. Karena jika ada satu zaman yang kosong dari imam, maka umat pada zaman tersebut akan mati secara jahiliyah atau kafir.
Jika imamah atau kepemimpinan dalam Islam itu sebuah keniscayaan, lalu apa arti imamah atau kepemimpinan itu? Ada juga sebagian umat Islam yang mengistilahkan imamah dengan istilah lain, yaitu khilafah. Apa pula arti dari khilafah tersebut?
Raghib, seorang lexicographer (ahli kamus) yang terkenal, dalam kitabnya yang berjudul Mufradat menyatakan, “Seorang imam adalah seseorang yang diikuti. Ini dapat berupa orang yang perkataan dan sikapnya diikuti, atau sebuah kitab, dan lain-lain.” Ia juga berkata mengenai khalifah, “Khalifah adalah penerus.”
Imamah dan khalifah adalah penerus Rasulullah sepeninggal kewafatannya, dalam urusan agama dan sosial. Imamah dan khalifah secara praktis tidak dapat dipisahkan. Maksudnya adalah orang yang menjadi imam tentu harus pula seorang khalifah dan penerus Rasulullah Saw. Tidak mungkin untuk menganggap seseorang hanya sebagai imam saja dan yang lainnya sebagai seorang khalifah saja.
Taftazani, seorang ulama Ahlulsunnah dalam kitab Maqasid mendefinisikan imam sebagai, “Kepemimpinan masyarakat seperti khalifah dan penerus Rasulullah Saw dalam urusan agama dan sosial.”[4]
Qushji, seorang teolog besar Ahlulsunnah, memberikan definisi yang sama.[5] Ulama Ahlulsunnah yang lain mengemukakan definisi yang sama atau hampir sama mengenai imamah.
Jadi, Imamah dari segi bahasa berarti kepemimpinan; Imam berarti pemimpin. Dari segi istilah (Islam), Imamah berarti kekuasaan mutlak atas umat Islam dalam semua urusan agama dan duniawi sebagai pengganti nabi. Imam berarti seorang lelaki sebagai pengganti nabi yang mempunyai hak dengan kekuasaan mutlak atas umat Islam dalam semua urusan agama dan duniawi. Lelaki di situ menunjukkan bahwa wanita tidak boleh menjadi Imam. Kekuasaan mutlak tidak termasuk orang-orang yang memimpin dalam sembahyang; mereka dikenali sebagai Imam sembahyang, tetapi tidak mempunyai kekuasaan mutlak.
Khilafah berarti penggantian jika khalifah bermaksud pengganti. Dari segi istilah, Khilafah dan Khalifah memiliki arti yang sama seperti Imamah dan Imam. Agak menarik untuk diterangkan di sini bahwa para nabi yang terdahulu adalah juga menjadi khalifah dari para nabi yang mendahului mereka sebelumnya.
Oleh sebab itu, mereka adalah Nabi dan Khalifah sekaligus; sedangkan nabi-nabi lain (yang membawa syariat baru) bukanlah Khalifah dari para nabi; dan terdapat khalifah-khalifah nabi yang mereka itu bukan nabi.
2. Konsep Imamah
Konsep Imamah dalam Mazhab Syi’ah dan Ahlulsunnah
Persoalan Imamah dan Khilafah telah memecah belah umat Islam dan telah mempengaruhi pemikiran dan falsafah pelbagai kelompok dengan begitu kuatnya sehingga bahkan kepercayaan kepada Allah dan Rasul tidak terlepas daripada perselisihan pendapat. Persoalan ini merupakan persoalan utama yang dibahas dalam teologi Islam (bidang pemikiran Islam). Orang-orang Islam telah menulis beribu-ribu kitab tentang imamah dan Khilafah.
Mazhab Syi’ah dan Ahlusunnah dalam hal ini berbeda pandangan dalam definisi imamah, kriteria seorang imam, metode penentuan imam, legitimasi imam, individu-individu imam, dan lain sebagainya. Secara umum, Ahlulsunnah memandang imamah identik dengan khilafah dan membatasi ruang lingkupnya hanya pada ranah politik, sementara Syi’ah memberikan ruang lingkup yang jauh lebih besar kepada imamah.
Menurut Ahlulsunnah bahwa seorang imam atau khalifah adalah seorang pemimpin politik yang hanya bertugas memerintah dan mengatur tatanan sosial-politik. Maka wajar saja jika pemimpin politik yang biasa disebut dengan khalîfah ini tidak perlu terlalu tinggi dalam hal keilmuan atau ketakwaan, melainkan cukup memiliki sifat adil (‘adâlah). Sebagai pemimpin politik sudah sepantasnya imam ini dipilih secara demokratis melalui musyawarah. Musyawarah menyangkut urusan “sosial-politik” ini ditegaskan dalam firman Allah yang berbunyi: “…dan urusan mereka (diputuskan) melalui musyawarah di antara mereka.” (QS 42: 38). Jadi, karena seorang imam ini tidak lebih daripada khalifah yang dipahami sebagai “pemegang kekuasaan politik”, maka syarat “adil” dan “dipilih secara musyawarah” sudah cukup untuk membuat siapa saja mengajukan diri sebagai calon imam.
Berbeda dengan mazhab Syi’ah. Menurut mazhab Syi’ah bahwa imamah memiliki dimensi spiritual yang jauh lebih penting dibandingkan dengan dimensi politiknya. Dimensi spiritual ini menjadi sebuah dasar, sedangkan dimensi politik adalah cabangnya. Seseorang dapat menjadi imam dikarenakan maqâm spiritualnya yang tinggi di sisi Allah dan kualitas keimanannya sempurna di mata Allah. Karena itu, untuk mengetahui imam dalam pengertian ini, mau tidak mau, kita mesti mengacu kepada nash dan petunjuk Allah. Legitimasi seorang imam juga tidak diperoleh lewat musyawarah atau baiat. Imam dalam arti yang demikian menjadi imam bukan karena pengakuan atau kesepakatan orang, melainkan karena kedudukannya yang tinggi di sisi Allah.
Sebenarnya persoalan imamah ini tidak dapat kita kaitkan dengan musyawarah atau kesepakatan publik. Para nabi dan rasul terdahulu tidak mendapatkan kedudukan mereka melalui musyawarah atau pemungutan suara, melainkan melalui penunjukan dari Allah dan ketinggian spiritualnya. Contoh lain misalnya para pakar dalam bidang-bidang keilmuan juga tidak mendapatkan kepakaran mereka melalui kesepakatan dan pengakuan publik, melainkan melalui proses ikhtiar belajar dan penelitian. Jadi, wilayah imamah secara primer bukanlah wilayah publik dimana kesepakatan dan pengakuan memiliki peran esensial, melainkan termasuk dalam wilayah agama yang meliputi wilayah publik.
Imam bukan hanya khalifah yang hanya berperan menggantikan tampuk kekuasaan politik sepeninggal Nabi Muhammad, melainkan juga¾seperti tercantum dalam pelbagai hadits Nabi¾mereka adalah para pemberi syafa’at, wasilah menuju Allah, pendamping Al-Quran, penjaga agama, pintu menuju Allah, pilar kehidupan di bumi, penopang kebenaran, dan tidak dapat dibandingkan dengan manusia biasa.[6] Mereka ini adalah wali-wali Allah yang berperan sebagai pintu-pintu dan perantara-perantara menuju Allah.
Menurut pandangan Syi’ah, hubungan antara nubuwah dan imamah bersifat irisan (intersection). Yakni, sebagian nabi sekaligus juga imam, tapi tidak semua imam menerima wahyu layaknya seorang nabi. Nubuwah berakhir dengan Baginda Muhammad saww, tetapi imamah tidak berakhir dengan beliau.
Salah satu nash yang dengan jelasnya berbicara mengenai imamah terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 124: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim diuji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan larangan), lalu Ibrahim menyempurnakannya. Allah berfirman: Aku akan menjadikanmu sebagai imam bagi manusia. Ibrahim berkata: (Dan aku memohon juga) dan dari keturunanku. Allah berfirman: Janji-Ku tidak mencakup orang-orang yang zalim.” Menurut para mufasir, Nabi Ibrahim ditetapkan Allah sebagai imam setelah beliau menjadi nabi, sehingga status imamah dan nubuwah bergabung pada diri Ibrahim a.s.[7]
Dalam ayat di atas, Al-Qur’an menyebutkan bahwa imamah Nabi Ibrahim as diperoleh setelah beliau melewati pelbagai cobaan dan ujian. Selain menunjukkan ketinggian status imamah, ayat 124 itu juga menunjukkan bahwa seseorang tidak menjadi imam kecuali dengan bersabar menghadapi pelbagai ujian. Dan masalah kesabaran menghadapi ujian ini ditegaskan juga dalam ayat lain: “Dan kami jadikan di antara mereka (Bani Israil) imam-imam yang memberikan petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka bersabar. Dan mereka adalah orang-orang yang meyakini ayat-ayat Kami.” (QS 32: 24).
Dalam ayat di atas, selain masalah kesabaran, Al-Qur’an juga menyebutkan keyakinan sebagai syarat lain seseorang mencapai maqam imamah. Masalah keyakinan ini secara khusus pernah diminta oleh Nabi Ibrahim dalam upayanya mencapai maqam imamah. Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata: ‘Wahai Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.’ Allah berfirman: ‘Apakah kamu belum percaya?’ Ibrahim menjawab: ‘Aku sudah percaya, namun agar semakin tentram hatiku.’…” (QS 2: 260). Keinginan mendapat ketentraman batin ini kemudian diberikan oleh Allah kepada Nabi Ibrahim. Allah berfirman: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi, agar dia termasuk dalam golongan orang-orang yang yakin.” (QS 6: 75).
Melalui kualitas kesabaran dan keyakinan itulah seorang imam memperoleh kemaksuman (’ishmah), kesucian dan penyucian dari Allah (QS 33: 33). Kemaksuman adalah keadaan terbebas dari segala dosa dan kezaliman dalam pelbagai tingkatannya seperti disiratkan dalam surah al-Baqarah ayat 124 di atas “…janji-Ku tidak mencakup orang-orang yang zalim.” Tentu saja, kemaksuman ini tidak diperoleh oleh sembarang orang lewat sembarang cara. Kemaksuman juga bukan merupakan semata-mata anugerah dari Allah. Melainkan kemaksuman diperoleh lewat gerak ikhtiari dengan cara sabar dalam menghadapi pelbagai ujian dalam menuju Allah dan lewat keyakinannya yang mendalam.
Sejujurnya, apabila imam itu kita pahami hanya sebagai seorang pemimpin atau penguasa politik, maka akidah Syi’ah mengenai kemaksuman para imam ini jelas berlebih-lebihan. Dengan mudah orang akan menunjukkan bukti-bukti rasional maupun pragmatis bahwa seorang penguasa atau kepala pemerintahan tidak harus maksum, melainkan cukuplah baginya sifat adil. Namun, masalahnya berbeda bilamana imam ini kita pahami sebagaimana yang termuat dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi yang menuturkan mengenai imam dan imamah.
Selain soal kemaksuman, berdasarkan hadits-hadits yang sedemikian banyak, Syi’ah juga meyakini bahwa alam semesta tidak akan pernah kosong dari imam, baik ia tampak secara indrawi maupun gaib. Puluhan hadits seperti ini sejalan juga dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa para imam bagaikan perahu Nabi Nuh[8], bintang-bintang yang menerangi bumi[9], tiang-tiang alam raya dan lain sebagainya. Lantaran kedudukan yang sedemikian penting itu, kita tidak bisa menganggap imamah ibarat lembaga-lembaga sosial-politik yang tercipta berdasarkan kesepakatan dan dapat berakhir juga bersadarkan kesepakatan. Berbeda dengan presiden yang bisa naik dan bisa turun, seorang imam tidak bisa turun atau diturunkan oleh masyarakat.
Dalam konteks seperti itulah kita bisa mengerti mengapa Rasulullah saw bersabda bahwa siapa yang mati tanpa (memiliki atau mengenali) imam zamannya, maka matinya bagaikan mati dalam keadaan jahiliah. Dalam versi lain, Rasul bersabda: “Siapa yang mati tanpa memberikan baiat kepada imam, maka ia akan mati dalam keadaan jahiliah.”
Jelas, bahwa kebergantungan dan kebutuhan manusia kepada para imam yang suci itu terus berlanjut secara abadi. Kecintaan kita kepada Rasul dan para imam itu menjadi ikatan yang akan terus menjaga kita walaupun tubuh kita telah hancur berkalang tanah. Ikatan inilah yang disebut oleh Rasulullah sebagai asas Islam.
Imam Berjumlah Dua belas dan Semuanya dari Golongan Quraisy
Pernah penulis berdiskusi dengan beberapa aktivis Islam di kampus mengenai konsep imamah. Kebetulan aktivis Islam tersebut adalah aktivis Islam yang mengusung slogan “Tegakkan khilafah Islamiyah”. Diskusi kami sampai pada pembahasan mengenai konsep imamah. Muncul pertanyaan di tengah-tengah diskusi, di antaranya adalah “Berapa jumlah khalifah/imam sepeninggal Nabi?” “Apakah orang Jawa atau Sunda atau Arab atau Persia boleh menjadi khalifah?”
Aktivis Islam tersebut berpendapat bahwa jumlah khalifah/imam sepeninggal Nabi Saw itu berjumlah banyak dan setiap orang berhak untuk menjadi khalifah. Seorang muslim dapat menjadi khalifah/imam walaupun dia berasal dari Suku Jawa atau Suku Kalimantan atau Suku Arab atau Suku Aborigin. Ketika muslim itu memiliki syarat-syarat menjadi seorang khalifah, maka dia berhak untuk menjadi seorang khalifah.
Ketika mendengar pendapat aktivis Islam tersebut, penulis jadi teringat dengan sebuah hadits Nabi yang saya yakin ia ketahui tetapi nampaknya ia berusaha menyembunyikan dan mengingkari hadits tersebut.
Di dalam Shahih Bukhari diriwayatkan dari Jabir berkata, “Aku mendengar Rasulullah Saw bersabda, ‘Akan ada dua belas pemimpin dan khalifah.’ Kemudian beliau menambahkan sesuatu yang tidak bisa kudengar. Ayahku berkata bahwa Rasulullah bersabda, ‘Semuanya dari golongan Quraisy.’”[10]
Muslim pun meriwayatkannya di dalam Shahih Muslim, Jabir meriwayatkan, “Aku dan ayahku pergi menemui Rasulullah Saw. Kami mendengarnya bersabda, ‘Persoalan ini (kekhalifahan) tidak akan berakhir sampai datang dua belas khalifah.’ Kemudian beliau menambahkan sesuatu yang tidak kudengar. Aku menanyakan pada ayahku apa yang Rasulullah sabdakan. Beliau bersabda, ‘Semuanya dari golongan Quraisy.’”[11]
Dapat disimpulkan dari hadits-hadits di atas bahwa para Imam atau khalifah sepeninggal Rasulullah memang banyak jumlahnya seperti yang disebutkan dalam hadits Nabi bahwa khalifah sepeninggal beliau itu banyak jumlahnya. Tetapi sebetulnya masih ada hadits lain yang menerangkan lebih spesifik bahwa khalifah sepeninggal Nabi Saw itu berjumlah dua belas khalifah dan kesemuanya dari golongan Quraisy, bukan berasal dari Jawa, bukan pula dari Suku Aborigin. Jadi nampaknya aktivis Islam itu telah mengkhianati prinsip keilmiahan dalam berargumen.
Pemimpin Sepeninggal Nabi
Kita tinggalkan aktivis Islam itu. Biarlah dia tetap berada pada keyakinannya yang tidak ilmiah itu. Sekarang kita akan mencoba membahas permasalahan lain yaitu siapakah pemimpin selepas wafatnya Nabi Saw? Seperti kita ketahui bersama bahwa Islam terbagi menjadi dua mazhab besar, yaitu mazhab Syi’ah dan mazhab Ahlulsunnah. Di antara keduanya terdapat perbedaan yang mendasar, antara lain mengenai dua peninggalan Rasulullah dan siapakah pemimpin sepeninggal Rasulullah. Kali ini kita hanya akan membahas sebenarnya siapakah pemimpin sepeninggal Rasulullah? Apakah pemimpin versi Syi’ah ataukah pemimpin versi Ahlulsunnah?
Ahlulsunnah menganggap bahwa pemimpin atau khalifah sepeninggal Nabi adalah Abu Bakar berdasarkan musyawarah di sebuah tempat bernama Saqifah. Jadi, belum sempat jenazah Rasulullah dikuburkan, Kaum Anshar berkumpul di Saqifah untuk mengangkat seorang pemimpin di antara mereka. Kabar tersebut diketahui oleh Abu Bakar dan Umar. Akhirnya mereka berdua bersama Abu Ubaidah dan beberapa orang lain mendatangi Saqifah. Mereka menemukan kaum Anshar sedang berbincang-bincang. Didatangi dalam kondisi demikian, air muka Saad bin Ubadah berubah dan apa yang ada di tangan mereka terjatuh. Perasaan malu dan salah tingkah menghantui mereka. Abu Bakar, Umar dan Abu Ubaidah berhasil menguasai keadaan. Mereka mengenal betul titik-titik lemah yang dimiliki oleh kaum Anshar, dan dengan itu mereka mampu menguasai suasana. Akhirnya terjadilah perdebatan di sana yang ternyata menghasilkan sebuah keputusan mengangkat Abu Bakar sebagai khalifah sepeninggal Nabi.
Sedikit sekali dari kalangan umat Islam yang paham betul mengenai sejarah pengangkatan Abu Bakar tersebut. Mereka mengira bahwa musyawarah yang terjadi pada saat itu adalah musyawarah yang sehat. Padahal jika kita menelisik lebih jauh lagi, apa yang terjadi di Saqifah tidak lebih dari sebuah pertengkaran orang-orang Arab yang haus akan kekuasaan. Bahkan fenomena adu jotos dan orang terinjak-injak pun terjadi juga. Pada saat yang sama keluarga Nabi memisahkan diri dari kelompok yang haus akan kekuasaan karena mereka sedang sibuk mengurus jenazah suci Rasulullah. Apakah ini yang dinamakan sebuah musyawarah sedangkan keluarga Nabi tidak berpartisipasi di dalamnya.
Ada sebagian ulama Ahlulsunnah yang berpendapat bahwa sebenarnya Rasulullah telah memilih Abu Bakar untuk menjadi khalifah sepeninggal beliau seperti dilaporkan di dalam shahih bukhari. Tetapi menurut penulis, argumen ini pun sangat lemah. Kalau memang Abu Bakar merasa telah dipilih oleh Rasulullah untuk menjadi khalifah sepeninggal beliau, lalu mengapa ketika terjadi perdebatan di Saqifah Abu Bakar tidak berargumen dengan hadits itu? Padahal jika Abu Bakar berargumen dengan hadits itu, dia akan dapat dengan mudah melegitimasi kekuasaannya. Tetapi ternyata Abu Bakar berargumen dengan argumen yang lain. Abu Bakar berargumen bahwa yang berhak untuk menjadi khalifah Nabi adalah orang-orang yang dekat hubungan kekerabatannya dengan Nabi dan paling dahulu masuk Islam. Seperti dilaporkan dalam kitab-kitab sejarah, ketika Abu Bakar berargumen dengan argumen itu, ada sebagian orang yang berteriak-teriak memanggil nama Ali bin Abi Thalib. Mungkin mereka merasa bahwa Ali memenuhi kedua persyaratan tadi. Ali adalah orang yang paling dahulu masuk Islam.[12] Ali adalah orang yang dekat hubungan kekerabatannya dengan Nabi. Bahkan Nabi telah mempersaudarakan dirinya dengan Ali di hari persaudaraan[13] sedangkan Abu Bakar dipersaudarakan oleh Nabi dengan Umar bin Khattab.
Lalu bagaimana dengan pemimpin versi syi’ah? Menurut Syi’ah bahwa pemimpin atau khalifah sepeninggal Nabi adalah Ali bin Abi Thalib berdasarkan nash dari Allah dan Rasul-Nya. Seorang Imam sudah pasti seorang khalifah. Khalifah berarti pengganti. Maka sudah barang tentu seorang khalifah akan menggantikan tugas Nabi di tengah-tengah umatnya. Apa tugas Nabi itu? Di antaranya adalah memimpin umat secara kenegaraan, menafsirkan ayat Al-Qur’an, menjadi penjelas terhadap ajaran agama yang masih bersifat umum, membimbing umat menuju jalan kebenaran. Dengan adanya kesamaan tugas, maka hal itu menuntut juga adanya persamaan kriteria. Khalifah memiliki kriteria yang sama dengan Nabi kecuali mendapatkan wahyu. Salah satu di antara sekian banyak kriteria seorang Nabi adalah ma’shum atau terjaga dari kesalahan dan dosa. Dan menurut Al-Qur’an orang yang telah dijaga oleh Allah dari kesalahan dan dosa adalah Ahlulbayt atau keluarga Nabi seperti yang tertuang dalam surat Al-Ahzab ayat 33:
“Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya.” (QS. Al-Ahzab : 33)
Dari Umar ibn Abi Salamah, anak tiri Nabi Saw, pernah menuturkan bahwa ayat ini–yakni: Sesungguhnya Allah bermaksud menghilangkan dosa dari kalian, wahai Ahlulbayt dan membersihkan kalian sebersih-bersihnya–turun kepada Nabi Saw di rumah Ummu Salamah. Lalu Nabi memanggil Fatimah, Hasan, dan Husein. Rasulullah Saw pun memberikan pakaian kepada mereka sementara Ali berada di belakang beliau. Beliau kemudian berdoa, ‘Ya Allah, mereka adalah Ahlubaytku. Hilangkanlah dosa-dosa dari diri mereka dan bersihkanlah mereka sebersih-bersihnya.[14]
Jadi khalifah sepeninggal Rasulullah haruslah orang-orang yang ma’shum dan mengerti akan Al-Qur’an dan agama Islam. Mereka itu adalah Ahlulbayt Nabi atau keluarga Nabi yang terdiri dari Ali, Fatimah, Hasan, dan Husein.
Ibnu Hajar berkata, “Hadits-hadits yang menyuruh dan meyakinkan umat untuk berpegang teguh pada Ahlulbayt as menunjukkan adanya kehadiran yang terus-menerus seorang yang saleh dari Ahlulbayt as yang berhak untuk diikuti sampai tibanya Hari Kebangkitan. Hal yang sama juga berlaku untuk kitab suci Al-Qur’an, yang tetap berada dalam kebenaran sampai hari akhir. Dan oleh karena itu, Ahlulbayt as adalah keselamatan bagi makhluk bumi. [15]
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi riwayat shahih Muslim bahwa Zaid bin Arqam berkata bahwa suatu hari Rasulullah Saw berhenti di tepi telaga Khum antara Mekkah dan Madinah, untuk menyampaikan khotbah. Setelah memuji Allah dan menasehati umat, beliau bersabda, “Wahai Manusia! Aku hanyalah seorang manusia seperti juga engkau, yang dalam waktu dekat akan pergi bersama utusan Allah (Malaikat maut). Akan kutinggalkan dua pusaka berharga untukmu. Pertama, Kitab suci Allah yang di dalamnya terdapat cahaya dan petunjuk, maka berpegang teguhlah.” Beliau kemudian terus menekankah kitab Allah dan menambahkan, “Dan juga Ahlulbaytku, kuperingatkan engkau, demi Allah, tentang Ahlulbaytku. Kuperingatkan engkau, demi Allah, tentang Ahlulbaytku. Kuperingatkan engkau, demi Allah, tentang Ahlulbaytku.”[16]
Di dalam Kanz al-’Ummal pun diriwayatkan hadits yang serupa. Jabir mengutip Rasulullah Saw bersabda, “Kutinggalkan sesuatu untukmu, engkau tidak akan tersesat jika berpegang teguh terhadapnya yaitu Kitab suci Allah dan keluargaku, Ahlulbaytku.”[17]
Ibnu Hajar berkata, “Rasulullah Saw menyebut al-Qur’an dan Ahlulbaytnya sebagai ‘tsaql’, karena sesuatu yang berharga untuk disimpan dinamakan ‘tsaql’, dan begitu pula kedua hal ini (Al-Qur’an dan Ahlulbayt). Keduanya adalah sumber ilmu pengetahuan Ilahi, rahasia dan kebijakan yang berharga, dan perintah-perintah Islam. Inilah yang menyebabkan Rasulullah meyakinkan secara tegas untuk mengikuti dan mereguk pengetahuan dari mereka. [18]
Beliau menambahkan, “Hanya mereka yang dari golongan Ahlulbayt-lah yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci Allah dan hadits Rasulullah Saw (Sunnah) yang menjadi subjek perhatian dan kepercayaan Rasulullah Saw, karena mereka tidak akan terpisah dari kitab suci Allah sampai berada dalam telaga Al-Haud di surga.[19] Setelah menyatakan beberapa kalimat, Beliau bersabda, “Ini karena Allah Yang Maha Besar telah menjauhkan mereka dari dosa dan kejahatan dan menjadikan mereka suci dan bersih.[20]
Berbeda dengan Ahlulsunnah, Syi’ah berpendapat bahwa pemimpin sepeninggal Rasulullah adalah Ali bin Abi Thalib berdasarkan nash-nash yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Hadits Nabi. Puluhan hadits yang berkaitan dengan kedudukan Ali sebagai pengganti Nabi tersebar baik di kitab hadits Syi’ah maupun Ahlulsunnah.
Salah satu ayat Al-Qur’an yang mengabarkan kepada kita semua bahwa Ali bin Abi Thalib adalah khalifah sepeninggal Nabi adalah Surat Al-Ma’idah ayat 55
“Sesungguhnya penolong kamu adalah Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan yang menunaikan zakat seraya mereka tunduk kepada Allah (dalam keadaan ruku’).” (QS. Al-Ma’idah : 55)
Abu Ishaq ats-Tsa’labi dalam kitab tafsirnya meriwayatkan hadits dari Abu Dzar Al-Ghifari yang berkata: “Aku mengerjakan shalat bersama Rasulullah pada waktu Dzuhur, lalu ada seorang pengemis di masjid meminta-minta dan tidak ada seorangpun yang memberi. Kemudian si pengemis tersebut mengangkat kedua tangannya ke langit sambil berdoa: “Ya Allah, saksikanlah aku meminta di masjid Muhammad Saw Nabi-Mu dan tidak ada seorangpun yang memberikan kepadaku sesuatu.” Saat itu Imam Ali sedang melaksanakan shalat dalam keadaan ruku’ lalu beliau mengisyaratkan pada pengemis tersebut agar mengambil cincin yang ada di jari kelingking kanannya, sehingga pengemis itu mendekati Ali dan mengambil cincinnya. Kejadian itu disaksikan langsung oleh Rasul Saw. Kemudian beliau berdoa: “Ya Allah, Tuhan kami, sesungguhnya saudaraku Musa memohon kepada-Mu seraya berkata, ‘Ya Tuhanku, lapangkanlah untukku dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku supaya mereka mengerti perkataanku dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, yaitu Harun saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku dan jadikanlah dia sekutu dalam urusanku.’ (QS. Thaha : 25-32). Lalu Engkau menurunkan Firman-Mu, “Kami akan kuatkan engkau dnegan saudaramu dan Kami akan menjadikan untukmu berdua kekuasaan Diana mereka tidak dapat sampai kepada kamu berdua.” Ya Allah, sesungguhnya aku Muhammad, Nabi-Mu dan pilihan-Mu, maka lapangkanlah untukku dadaku dan mudahkanlah untukku urusanku dan jadikanlah untukku pembantu dari keluargaku, yaitu Ali serta teguhkanlah dengan dia kekuatanku.” Abu Dzar berkata: “Belum selesai Rasul berdoa, Jibril turun atas perintah Allah untuk membawakan satu ayat pada Rasul seraya berkata: “Wahai Muhammad, bacalah “Sesungguhnya pemimpin kamu adalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman yang mendirikan shalat dan yang menunaikan zakat seraya mereka tunduk kepada Allah (dalam keadaan ruku’).”
Banyak kalangan ahli tafsir menyampaikan riwayat berkenaan dengan kejadian tersebut, di antara mereka Ath-Thabari dalam kitab tafsirnya, juz 6, halaman 165 dari jalur Ibnu Abbas dan Utbah bin Abi Hakim serta Mujahid, Al-Wahidi pun menyebutnya dalam kitab Asbabun Nuzul, halaman 148 dari dua jalur, Ar-Razi dalam kitab tafsirnya, juz 3, halaman 431 dari ‘Atha’ dari Abdullah bin Salam dan Ibnu Abbas dan juga hadits Abu Dzar di atas, dan lain-lain.
Di dalam kitab-kitab hadits Ahlulsunnah pun terdapat riwayat yang menunjukkan bahwa Ali bin Abi Thalib-lah yang menjadi pemimpin sepeninggal Nabi. Hadits ini biasa dikenal dengan nama Hadits Ghadir Khum. Hadits ini diucapkan Nabi ketika beliau kembali dari mengerjakan Haji wada’ atau Haji Perpisahan pada 18 Dzulhijjah tahun 10 Hijrah. Hadits yang memusatkan pembahasan pada konsep imamah sepeninggal beliau ini diucapkan di hadapan lebih dari seratus ribu para sahabat.[21]
Rasulullah bersabda, “Allah adalah maulaku. Dan aku adalah maula bagi setiap mukminin dan aku harus didahulukan oleh mereka ketimbang diri mereka sendiri. Siapa yang aku adalah maulanya, maka ini Ali adalah maulanya juga.[22] Ya Allah cintailah siapa yang mencintainya dan musuhilah siapa yang memusuhinya.”
Hadits di atas adalah Hadits Ghadir Khum. Ada tiga pendapat mengenai hadits ini. Ibnu Taimiyah menganggap bahwa hadits Ghadir Khum adalah hadits yang dho’if. Menurut Abul A’la Al-Maududi bahwa hadits Ghadir Khum itu shahih. Tetapi maula di situ bukan berarti pemimpin–seperti perkataan orang syi’ah. Maula di situ berarti yang dikasihi dan dicintai. Sedangkan Menurut Syi’ah bahwa maula pada hadits tersebut berarti pemimpin.
Tetapi kalau saya boleh berpendapat bahwa saya tidak setuju dengan ketiganya. Saya lebih cenderung menafsirkan maula adalah orang yang didahulukan di atas kepentingan siapapun di kalangan kaum Mukminin. Seperti hadits Nabi, “Allah adalah maulaku. Dan aku adalah maula bagi setiap mukminin dan aku harus didahulukan oleh mereka ketimbang diri mereka sendiri. Siapa yang aku adalah maulanya, maka ini Ali adalah maulanya juga.” Kita punya kepentingan dalam agama ini. Allah dan Rasul-Nya punya kepentingan. Maka kita harus dahulukan apa yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya ketimbang kepentingan diri kita sendiri. Itulah yang disebut dengan maula.
Ada seorang ahli kritik hadits yang bernama Al-Dzahabi. Ia menulis buku Mizan al-I’tidal yang isinya mendho’ifkan hampir kebanyakan hadits-hadits. Ia orang yang sangat keras di dalam ilmu hadits. Apa komentar Al-Dzahabi tentang hadits Ghadir Khum?
Kata Al-Dzahabi, hadits Ghadir Khum adalah hadits yang berisikan sabda Nabi: “Siapa yang menjadikan aku sebagai maulanya, hendaknya menjadikan Ali sebagai maulanya.” Kata Al-Dzahabi hadits man kuntu maula fa’aliyun maulahu itu mutawatir. Artinya banyak sekali yang meriwayatkannya sehingga tidak dimungkinkan ada orang yang mendustakannya. “Dan,” kata Al-Dzahabi, “Aku yakin, bahwa Rasulullah pasti bersabda tentang hadits ini.”
Jadi, sebenarnya hadits Ghadir Khum ini hadits yang mutawatir dan ini merupakan hujjah yang kuat guna melegitimasi kepemimpinan Ali bin Abi Thalib sepeninggal Rasulullah Saw.
Ada sebagian dari kaum Muslimin yang mempertanyakan keabsahan hadits tersebut. Mereka berkata jikalau memang hadits itu benar ada dan hadits itu menunjukkan bahwa Ali adalah khalifah sepeninggal Rasulullah, tentunya hadits itu tidak akan mungkin dilupakan oleh para sahabat. Mana buktinya bahwa para sahabat memang mengetahui akan hadits tersebut?
Ahmad meriwayatkan dari Abu Thufail dia berkata: Ali mengumpulkan sejumlah orang di Rahbah, kemudian dia berkata: Demi Allah, saya menyeru kepada orang-orang yang menyaksikan Rasulullah saat bersabda di Hari Ghadir Khum untuk bersaksi. Maka berdirilah tiga puluh orang dari orang yang ada di tempat itu. Mereka menyatakan kesaksian bahwa Rasulullah bersabda, “Barang siapa yang menjadi aku sebagai pemimpinnya maka Ali adalah pemimpinnya. Ya Allah cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”[23]
Tetapi pada akhirnya sebagian besar sahabat Nabi membaiat Abu Bakar setelah terjadi suatu perdebatan di Saqifah. Ada sebagian dari kalangan kaum Muslimin yang bertanya lagi, “Kalau memang benar Ali merasa bahwa dirinya berhak atas kekhalifahan, mengapa ketika Abu Bakar menjadi khalifah Ali tidak melakukan perlawanan untuk merebut kembali haknya sebagai khalifah? Apakah Ali itu seorang yang pengecut?”
Inilah pertanyaan yang sering diajukan sebagian kaum Muslimin yang menolak keyakinan Syi’ah mengenai imamah. Sebenarnya pertanyaan seperti itu mudah untuk di jawab. Bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda, “Wahai Ali kedudukanmu dihadapanku sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa hanya saja tidak ada Nabi setelahku.”[24]
Jika kita membaca kembali Al-Qur’an maka kita akan paham bagaimana kedudukan Harun di sisi Musa dan bagaimana sejarah Nabi Musa dan Nabi Harun. Jadi suatu saat Nabi Musa pergi menemui Tuhannya. Lalu Nabi Musa menunjuk Harun sebagai pengganti dirinya di tengah-tengah umatnya. Ketika Nabi Musa pergi, ada salah satu pengikut Nabi Musa yang melakukan penyelewengan. Dia bernama Samiri. Dia berusaha mengajak pengikut Nabi Musa yang lainnya untuk mengikuti dirinya. Nabi Harun yang melihat penyimpangan tersebut ternyata hanya berdiam diri saja. Beliau tidak memperingatkan Samiri dan sebagian dari umat Nabi Musa yang telah menyimpang. Sekembalinya Nabi Musa dari bertemu dengan Tuhannya, Nabi Musa melihat penyimpangan yang ternyata telah menyebar luas di kalangan umatnya. Nabi Musa langsung naik darah dan marah kepada Nabi Harun sampai-sampai janggut Nabi Harun dijambak olehnya. Apa yang dikatakan oleh Nabi Harun? Kurang lebihnya bahwa Nabi Musa tidak seharusnya marah kepada dirinya. Nabi Harun selama ini hanya berdiam diri saja karena beliau tidak ingin melihat umat Nabi Musa terpecah belah ketika Nabi Harun mengingatkan pengikut Musa yang telah menyimpang.
Hal ini nampak sesuai dengan janji Rasulullah bahwa kedudukan Ali disisi beliau sama dengan kedudukan Harun di sisi Musa. Ali dengan terpaksa harus bersabar diri tidak melakukan perlawanan dikarenakan Ali khawatir umat Islam yang masih muda yang baru saja ditinggal oleh Nabinya akan berpecah belah. Itulah alasan mengapa Ali tidak melakukan perlawanan. Bukan berarti Ali seorang pengecut, tetapi keputusan Ali tersebut lebih kepada memperhatikan pertimbangan kondisi sosial politik yang sedang berkembang pada saat itu.
Kita kembali lagi pada keyakinan Syi’ah mengenai imamah. Seperti penulis sebutkan pada pembahasan sebelumnya bahwa Syi’ah meyakini khalifah atau imam sepeninggal Nabi berjumlah dua belas, diawali oleh Imam Ali bin Abi Thalib dan di akhiri oleh Imam Mahdi yang saat ini sedang ghaib.
Seorang Yahudi memanggil Na’tsal untuk datang menemui Rasulullah Saw dan berkata, “Wahai Muhammad! Aku memiliki beberapa pertanyaan yang telah lama kusimpan. Jika kau menjawabnya, maka aku akan memeluk Islam dengan pertolonganmu.” Rasulullah bersabda, “Wahai Abu Amarah! Engkau dapat menanyakannya padaku!” Ia bertanya, “Wahai Muhammad! Beritahukanlah kepadaku penerus-penerusmu, karena tidak ada rasul tanpa penerus. Rasul kami Musa bin Imran as menetapkan Yusya (Joshua) bin Nun sebagai penerusnya.” Rasulullah Saw yang suci menjawab, “Penerusku adalah Ali bin Abi Thalib dan setelahnya adalah kedua cucuku Hasan dan Husain yang setelahnya akan ada sembilan imam dari keturunan Husain yang datang secara berurutan.” “Katakan nama mereka, wahai Muhammad, “pintanya. Rasulullah Saw menyatakan, “Setelah Husain akan ada putranya Ali (Sajjad), setelah Ali putranya Muhammad (Baqir), setelah Muhammad putranya Ja’far (Shadiq), setelah Ja’far putranya Musa (Kazim), setelah Musa putranya Ali (Ridha), setelah Ali putranya Muhammad (Jawad), setelah Muhammad putranya Ali (Hadi), setelah Ali putranya Hasan (‘Askari), dan setelah Hasan putranya Hujjah Muhammad Mahdi. Maka jumlah mereka adalah dua belas.”[25]
Rasulullah bersabda, “Bumi akan dipenuhi dengan ketidakadilan dan penindasan, dan kemudian seseorang dari keluargaku akan muncul. Ia akan memerintah bumi selama tujuh atau sembilan tahun dan memenuhinya dengan keadilan.”[26]
Rasulullah Saw juga bersabda, “Mahdi adalah dari Ahlulbaytku. Allah akan memenangkannya dalam semalam.”[27]
Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana ketika Imam Mahdi sedang ghaib. Lalu bagaimana dengan tugas pembimbingan umat kepada jalan kebenaran? Siapakah yang melaksanakan tugas itu? Maka pembahasan itu akan dibahas pada poin selanjutnya.
3. Konsep Wilayatul Faqih
Perbincangan mengenai konsep wilayatul faqih cukup marak akhir-akhir ini. Akan tetapi sebagian barangkali tidak memahaminya dengan baik. Pada saat yang sama, musuh-musuh Islam sengaja melakukan penafsiran yang menyimpang dan bertentangan dengan konsep aslinya. Karena itu adalah sangat perlu bagi kita memahami konsep ini dengan benar, baik dari segi ilmiah maupun dari segi fiqhiyyah-nya, supaya kita dapat melihat betapa bermaknanya konsep ini.
Dalam memahami konsep wilayatul faqih ini kita juga perlu memahami landasan utama konsep ini, yaitu prinsip al-wilayah al-ilahiyyah al-ammah atau otoritas umum Tuhan, wilayatun-Nabi, otoritas Nabi, dan wilayah al-aimmah, otoritas para Imam. Selain itu kita perlu memahami dengan benar peran konstruktif wilayatul faqih dalam sebuah Negara Islam.
Pembahasan mengenai kepemimpinan Islam dalam Syi’ah bertolak dari konsep wilayah atau imamah. Wilayah adalah konsep luas yang meliputi juga imamah dan wilayah bathiniyyah, sedangkan imamah adalah kepemimpinan, pemerintahan dalam urusan dunia dan agama, yang terdapat pada diri Nabi Saw dan para imam sesudah Nabi.
Menurut Murtadha Muthahhari, kata wala, walayah, wilayah, wali, maula, dan derivate lainnya, banyak sekali disebut dalam Al-Qur’an. Sebagai kata kerja disebut 124 kali, dan sebagai kata benda disebut 112 kali. Ini menunjukkan betapa pentingnya Al-Qur’an memandang masalah wilayah.
Di dalam Islam, kepemimpinan di dasarkan atas empat dasar falsafi:
Pertama, Allah adalah hakim mutlak seluruh alam semesta dan segala isinya.
Allah adalah pemegang kedaulatan, pemilik kekuasaan, pemberi hokum. Manusia harus dipimpin dengan kepemimpinan Ilahiah. Sistem hidup yang bersumber pada hal ini disebut system Islam, sedangkan system hidup yang bukan bersumber pada kepemimpinan Ilahiah disebut kepemimpinan Jahiliah.
Kedua, Kepemimpinan manusia yang mewujudkan hakimiyah Allah di bumi ialah nubuwwah.
Nabi tidak saja menyampaikan al-qanun al-ilahi dalam bentuk kitab Allah, tetapi juga pelaksana qanun itu. “Seperangkat hokum saja tidak cukup untuk memperbaiki masyarakat. Supaya hukum sanggup menjamin kebahagiaan dan kebaikan manusia, diperlukan adanya kekuatan eksekutif atau pelaksana.[28]
Ketiga, garis imamah melanjutkan garis nubuwah dalam memimpin umat. Setelah zaman para Nabi berakhir dengan wafatnya Rasulullah Saw, kepemimpinan umat dilanjutkan oleh para imam yang diwasiatkan oleh Rasulullah dan Ahlulbaytnya. Setelah zaman para Nabi, datang zaman para imam. Jumlah imam ada dua belas. Yang pertama adalah Ali bin Abi Thalib, dan yang terakhir adalah Muhammad bin Al-Hasan Al-Mahdi Al-Muntadzar, yang sekarang ini sedang dalam keadaan ghaib. Imam Mahdi mengalami dua ghaibah: ghaibah shughra, yakni ketika ia bersembunyi di dunia fisik, dan mewakilkan kepemimpinannya kepada wakil imam; dan ghaibah kubra, yaitu setelah Ali bin Muhammad wafat, sampai kedatangannya kembali pada akhir zaman. Pada ghaibah kubra inilah kepemimpinan dilanjutkan oleh para faqih.
Keempat, para faqih adalah khalifah para imam dan kepemimpinan umat dibebankan kepada mereka. Hal ini sesuai dengan hadits Nabi, “Ulama adalah pewaris para Nabi.”
Kepemimpinan Islam adalah kepemimpinan yang berdasarkan hukum Allah. Oleh karena itu, pemimpin haruslah orang yang paling tahu tentang hukum Ilahi. Setelah para imam tiada, kepemimpinan harus dipegang oleh para faqih yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
Faqih adalah muslim yang sudah mencapai tingkat tertentu dalam ilmu dan kesalehan. Seorang faqih disyaratkan “harus mengetahui semua peraturan Allah, mampu membedakan sunnah yang shahih dan yang palsu, yang mutlak dan yang terbatas, yang umum dan yang khusus. Ia juga harus mampu menggunakan akalnya untuk membedakan hadits dari situasi lain, situasi taqiyah, serta memahami kriteria yang telah ditetapkan.”
Secara terperinci, seorang faqih, antara lain harus mencukupi syarat-syarat berikut:
1) Faqahah: mencapai derajat mujtahid muthlaq yang sanggup melakukan istinbath hukum dari sumber-sumbernya.
2) ‘adalah: memperlihatkan ketinggian kepribadian, dan bersih dari watak buruk. Hal ini ditunjukkan dengan sifat istiqamah, al-Shalah, dan tadayyun.
3) Kafa’ah: memiliki kemampuan untuk memimpin umat; mengetahui ilmu yang berkaitan dengan pengaturan masyarakat, cerdas, matang, secara kejiwaan dan ruhani.
Lalu apa kewajiban para Ulama? Kewajiban para Ulama diantaranya adalah:
1) Tugas intelektual: ia harus mengembangkan berbagai pemikiran sebagai rujukan umat. Ia dapat mengembangkan pemikiran ini dengan mendirikan majelis-majelis ilmu, pesantren, atau hauzah; menyusun kitab-kitab yang bermanfaat bagi manusia yang meliputi Al-Qur’an, hadits, aqaid, fiqh, ushul fiqh, ilmu-ilmu ‘aqliyah, matematika, tarikh, ilmu bahasa, kedokteran, biologi, kimia, dan fisika, serta membuka perpustakaan-perpustakaan ilmiah.
2) Tugas bimbingan keagamaan: ia harus menjadi rujukan dalam menjelaskan halal dan haram. Ia mengeluarkan fatwa tentang berbagai hal yang berkenaan dengan hukum-hukum Islam.
3) Tugas komunikasi dengan umat: ia harus dekat dengan umat yang dibimbingnya. Akses pada umat diperolehnya melalui hubungan langsung, mengirimkan wakil ke setiap daerah secara permanent, atau menyampaikan khutbah.
4) Tugas menegakkan syiar Islam: ia harus memelihara, melestarikan, dan menegakkan berbagai manifestasi ajaran Islam.
5) Tugas mempertahankan hak-hak umat: ia harus tampil sebagai pembela kepentingan umat bila hak-hak mereka dirampas.
6) Tugas berjuang melawan musuh-musuh Islam dan kaum Muslimin: ulama adalah mujahidin yang siap menghadapi lawan-lawan Islam, tidak saja dengan pena dan lidah, tetapi juga dengan tangan dan dadanya.
Dengan melihat kedudukan, sifat, dan kewajiban ulama seperti dalam system falsafi wilayatul Faqih, kita memahami betapa beratnya tantangan yang dihadapi para fukaha Syi’ah. Mereka harus menjadi faqih, intelektual, pemimpin politik, pelindung umat, dan bahkan pemimpin militer.
Menurut Murtadha Muthahhari seorang wali harus mengingatkan manusia akan musuh-musuhnya dan menanamkan semangat berjuang dan melawan penindas, menanamkan kecintaan kepada keindahan Ilahiyah, menanamkan kepada manusia kebencian akan maksiat dan dosa, menunjukkan asal mula perintah, petunjuk, dan hukum yang harus dipatuhi, melatih manusia untuk melindungi dan memelihara benteng ideology di atas dengan segala resikonya, mengajari manusia untuk memegang teguh dan menjaga syariat setelah memerangi dan menundukkan nafsu-nafsunya yang rendah, dan menanamkan pada diri manusia hasrat untuk taqarrub kepada Allah, berkhidmat kepada manusia, berbuat baik dan penyayang pada semua makhluk Allah.[29]
Dalam konsep Syi’ah, kepemimpinan manusia bersumber pada kepemimpinan Ilahiah. Allah memilih manusia sebagai khalifah di bumi. Untuk keselamatan manusia, dipilih-Nya manusia yang sudah mencapai kesempurnaan dalam sifat dan perkembangan kepribadiannya. Manusia-manusia ini adalah para nabi yang menjadi Imam dalam urusan agama, dan pemimpin dalam urusan kemasyarakatan. Para Nabi dilanjutkan oleh para aushiya. Dan para aushiya dilanjutkan oleh para faqih. Kepemimpinan manusia, dengan demikian, merupakan keberadaan kepemimpinan Allah atas manusia.
BAB III
PENUTUP
I. Kesimpulan
Ø Isu kepemimpinan adalah isu yang bisa dikatakan popular di kalangan umat Islam. Isu ini tidak habisnya dibahas di berbagai kajian-kajian keislaman.
Ø Kepemimpinan Islam adalah sebuah keniscayaan guna keberlangsungan Islam sebagai agama yang abadi.
Ø Imamah dari segi bahasa berarti kepemimpinan. Dari segi istilah (Islam), Imamah berarti kekuasaan mutlak atas umat Islam dalam semua urusan agama dan duniawi sebagai pengganti nabi.
Ø Persoalan imamah ini tidak dapat kita kaitkan dengan musyawarah atau kesepakatan publik. Para nabi dan rasul terdahulu tidak mendapatkan kedudukan mereka melalui musyawarah atau pemungutan suara, melainkan melalui penunjukan dari Allah dan ketinggian spiritualnya.
Ø Imam atau pemimpin sepeninggal Rasulullah berjumlah dua belas imam dari Ahlulbayt Nabi, diawali dari Imam Ali bin Abi Thalib sampai dengan yang terakhir yaitu Imam Mahdi.
Ø Imam Mahdi saat ini sedang mengalami ghaib kubra, maka dari itu, fungsi pembimbing umat menuju jalan kebenaran diserahkan kepada para ulama yang memenuhi syarat-syarat tertentu.
II. Proyeksi
Mengingat begitu pentingnya kepemimpinan dalam Islam, sudah seharusnya kita memiliki seorang pemimpin yang benar-benar sesuai dengan tuntunan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Rasulullah juga bersabda bahwa siapa yang meninggal dengan keadaan tidak mengenal siapa imam zamannya, maka ia mati secara jahiliah. Sudahkah kita memiliki seorang pemimpin? Jika belum, kapankah kita akan memiliki pemimpin? Apakah ketika nafas ini sudah tidak berhembus lagi?
Bukankah di dalam Al-Qur’an ada ayat yang intinya mengatakan bahwa kelak di akhirat kita akan dibangkitkan bersama dengan para pemimpin kita. Lalu siapakah orang yang akan kita baiat sebagai seorang pemimpin? Apakah orang yang bisa saja berbuat salah dan dosa atau orang yang karena ikhtiarnya dapat meraih maqam mulia di sisi Allah SWT? Terserah Anda.
Apa yang penulis coba sajikan di atas belum dapat dianggap benar seratur persen. Artinya bahwa masih banyak dari pembahasan yang penulis sajikan untuk kemudian dapat dikritisi. Masalah kepemimpinan ini amatlah sangat penting, oleh sebab itu mau tidak mau kita harus mendiskusikannya. Umat ini membutuhkan sosok pemimpin ideal. Umat ini membutuhkan seorang pemimpin yang dapat menyatukan seluruh umat dalam barisan ukhuwah Islamiyah. Kapankah pemimpin itu akan muncul?
DAFTAR PUSTAKA
Al-Amini, Syaikh Abdul Husain, Ali bin Abi Thalib: Sang Putra Ka’bah, Jakarta: Al-Huda,2003
Al-Ashify, Syaikh Muhammad Mahdi, Muatan Cinta Ilahi dalam Doa-Doa Ahlul Bayt, Bandung: Pustaka Hidayah, 1996
As-Suyuthi, Imam Jalaluddin, 105 Keutamaan Ahlul Bait, Hasyimi Press, 2001.
, Tarikh Khulafa’, Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar, 2002.
Al-Tabarsi, Al-‘Allamah, Al-Ihtijaj: Dialog Imamah, Selangor, Malaysia: Al-Wahdah Publications, 1995.
Modarrese, Mohammad Reza, Syi’ah Dalam Sunnah, Jakarta: Penerbit Citra, 2005.
Muhammad Jawad, Muhammad Kadzim, Mengapa Kita Mesti Mencintai Keluarga Nabi Saw, Jakarta: Penerbit Lentera, 1992.
Rakhmat, Jalaluddin, Islam Alternatif Ceramah-Ceramah di Kampus, Bandung: Penerbit Mizan, 1986.
Yamani, Antara Al-Farabi dan Khomeini: Filsafat Politik Islam, Bandung: Penerbit Mizan, 2002.
[1] Al-Syahrastani, al-Milal wa an-Nihal , Kairo, 1968, jilid I, hal. 99.
[2] Syarh al-Mawafiq, edisi pertama tahun 1419, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, Beirut, Vol. 8, hal. 377.
[3] Musnad Ahmad, vol. 4, hal. 96
[4] Syarh Maqashid, Vol. 5, hal. 232.
[5] Syarh Tajrid, hal. 399
[6] Lebih lanjut, rujuk Muhammad ar-Rasysyahri, Ahlul Bait fil al-Kitab wa as-Sunnah, Muassasah, Dar al-Hadits, tanpa tahun.
[7] Sayyid Kamal Al-Haydari, Bahtsun Haul Al-Imamah, Dar al-Shadiqin, Qum, 1999, hal. 93
[8] Al-Hakim, Mustadrak al-Shahihain 2:343; Kanz al-‘Ummal 6:216
[9] Al-Hakim, Mustadrak al-Shahihain 3:149
[10] Shahih Bukhari, Vol. 4, hal. 168
[11] Shahih Muslim, Vol. 6, hal.3
[12] Mustadrak Al-Hakim, Juz 3, Hal. 136.
[13] Tarikhul Khulafa, hal. 114
[14] Hadits ini dikeluarkan oleh Imam At-Turmudzi dalam Sunan-nya dan kitab tafsir al-Qur’an, bab surat al-Ahzab, hadits nomor 3205.
[15] As-Shawa’iq Al-Muhriqah
[16] Shahih Muslim, Vol. 7, Hal. 122
[17] Kanz al-‘Ummal, Vol. 1, Hal. 167
[18] As-Sawa’iq al-Muhriqah, Hal. 40
[19] Ibid.
[20] Ibid.
[21] Lihat Umpamanya Al-Khatib, Tarikh Baghdad, Baghdad 1950, VIII, hlm. 290; Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, Cairo 1340 H, hlm. 130.
[22] Al-Suyuti, Tarikh Khulafa’, Pustaka Al-Kautsar, hlm.196
[23] Imam As-Suyuti, Tarikh Khulafa’, Pustaka Al-Kautsar, Hal. 196
[24] Imam Jalaluddin as-Suyuthi, 105 Hadits Keutamaan Ahlulbayt, Hasyimi Press, Hal. 86-87
[25] Al-Hafiz Sulaiman bin Ibrahim al-Qanduzi al-Hanafi, Yanabi a-Mawaddah, edisi ke-VIII. Dar al-Kutub al-Iraqiyyah 1385, Bab 76, hal. 440.
[26] Musnad Ahmad, Vol. 3, Hal. 28
[27] Musnad Ahmad, Musnad al-Asyrah, no. 610. Juga Sunan Ibn Majah, Kitab al-Fitan, no. 4075.
[28] Salim Azzam (Ed.), Beberapa Pandangan tentang Pemerintahan Islam, Bandung: Mizan, 1983, hal. 122.
[29] Dalam buku Al-Wala wa Al-Wilayah