Teater Utan Kayu, 5 Maret 2005
Nara Sumber: Ulil Abshar-Abdalla, M Jadul Maula, Fachry Ali, Amin Abdullah
Moderarator Luthfi Assyaukanie
Luthfi Assyaukanie
Tema diskusi malam ini adalah masa depan pemikiran islam di Indonesia. Tema ini merupakan salah tema yang sangat seksis dan berbahaya karena di dalam wacana pemikiran Arab kontemporer misalnya istilah tafkir itu bertukar kata dengan takfir. Jika tafkir berarti pemikiran, maka takfir artinya pengkafiran. Nashr Hamir Abu Zaid adalah satu contoh orang yang selalu berfikir yang kemudian dikafirkan karena pemikirannya itu. Ia menulis buku dengan titel Al-tafkir fi Zaman al-Takfir (Pemikiran pada Zaman Pengkafiran). Menurut Zaid, zaman pengkafiran terhadap orang yang menggerakkan pemikiran demikian kuat.
Saya pernah memberikan kata pengantar untuk buku Albert Hourani, “Pemikiran Liberal di Dunia Arab”. Saya menyebutkan bahwa pengkafiran merupakan sebuah fenomena belakangan, persisnya tahun 1930-an yang terjadi setelah gagalnya era liberal. Hourani membagi tiga zaman. Pertama, awal abad 19 sampai tahun 1920-an, Kedua, dari tahun 1920-an sampai tahun 1930-an. Ketiga, dari tahun 1930-an sampai tahun 1940-an. Memasuki tahun 1940-an muncul berbagai isu politik yang melanda dunia Arab, terciptanya negara Israel, banyaknya tuntutan kemerdekaan. Di situ terjadi distraksi pemikiran Islam yang bernuansa liberal dan sejak saat itulah fenomena pengkafiran itu mulai marak dan puncaknya adalah dua puluh tahun belakangan. Begitu banyak kasus pengkafiran di dunia Arab dan sudah banyak memakan korban. Di Indonesia ini, Ulil Abshar Abdalla merupakan orang yang terkena korban pengkafiran, karena dia banyak berfikir maka dia masuk dalam perangkap kafir.
Saudara sekalian saya tidak ingin memperpanjang lebar karena kita memiliki banyak pembicara di sini. Sedianya saya ingin memberikan atau membahas sejarah pemikiran isalam di Indonesia dan kurang baik kalau kita tidak mengaitkan faktor sejarah pemikiran Islam di Indonesia. Saya akan memberikan kronologi pembicara, di mulai dari Ulil Abshar-Abdalla, M. Jadul Maula, Fachry Ali, dan Amin Abdullah.
Ulil Abshar-Abdalla
Pada malam hari ini, kita akan berbicara mengenai masa depan pemikiran Islam. Ada dua hal yang harus dibedakan, antara pemikiran Islam dan aksi Islam. Kita di sini berbicara mengenai aspek yang berkaitan dengan pemikiran yaitu berkaitan dengan perkembangan intelektual dan kita tidak membicarakan tentang aksi umat Islam. Memang pemikiran islam tidak bisa dipisahkan dengan aksi umat Islam. Kita sengaja membatasi pada perkembangan pemikiran atau perkembangan intelektual di kalangan Islam, sementara pembicaraan mengenai perkembangan aksi umat Islam dalam bentuk organisasi, dalam bentuk gerakan, kita carikan forum yang lain.
Kalau kita lihat kilas balik ke belakang, saya kira pemikiran Islam di Indonesia mempunyai tradisi yang cukup beragam. Di satu pihak, ada tradisi yang diinspirasikan oleh pemikiran dari Barat. Mereka ini adalah orang orang yang dididik di dalam pendidikan Barat, dalam pendidikan modern. Di pihak lain, ada tradisi pemikiran Islam yang berkembang di dalam tradisi luar Barat dalam bentuk pesantren atau tradisi yang terkait dengan sejarah intelektual di Timur Tengah. Di dalam sejarah pemikiran Islam di Indonesia, ada debat antara orang orang tamatan Barat dan yang disebut tamatan Timur Tengah. Meskipun polarisasi tidak seseru yang dibayangkan, tetapi tetap ada perbedaan atau semacam gab di antara mereka. Ada asumsi, orang orang belajar Islam di Barat dianggap kurang valid. Pengetahuan Islam di Barat bukan pengetahuan Islam yang sesungguhnya karena diajar oleh kaum orientalis dan seterusnya. Kemudian, orang orang yang di Timur Tengah merasa unggul karena mereka belajar di pusat pengetahuan Islam yang lebih murni.
Sejarah pemikiran Islam di Indonesia selain mengalami pola semacam itu, juga ada suatu perkembangan yang menarik. Tonggak pemikiran di Indonesia dimulai salah satunya dengan pembaharuan Cak Nur (panggilan akrab Nurcholish Madjid), meskipun gerakan yang dimulai Cak Nur sebetulnya akar-akarnya sudah lama. Kalau kita lihat ke belakang, pemikiran Islam liberal misalnya sudah memiliki akar yang cukup panjang pada intelektual Islam didikan Barat pada tahun 30-an, seperti Agus Salim. Walau dia tidak pernah sekolah di Barat, dia sangat akrab dengan buku-buku Barat. Seperti juga orang-orang yang tergabung dalam Young Islamitten Bond. Kemudian juga kaum intelektual Muslim tahun 1930-an yang inspirasi pemikiran Islamnya diambil dari orang orang Ahmadiyah. Sangat menarik, pada tahun 1930-an para intelektuil Islam itu lebih banyak membaca buku Islam yang dikarang Ahmadiyah yang ditulis dengan bahasa Belanda. Dan memang tradisi pemikiran yang diajukan atau dikenalkan oleh kalangan Ahmadiyah jauh lebih rasional ketimbang pemikiran Islam yang berkembang di pesantren misalnya. Pada tahun 1930, kita melihat buku yang dikarang Maulana Muhammad Ali, salah satu penerjemah Alqur`an dalam bahasa Inggris pertama oleh seorang Muslim, dengan judul The Religion of Islam. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia. Buku ini sangat terkenal di kalangan intelektual pada saat itu. Buku ini memberikan eksposisi ataupun penjelasan tentang Islam secara rasional, dan lebih tepat jika dibaca oleh kalangan terdidik pada zaman itu.
Jadi, akar pemikiran Islam liberal sudah ada pada zaman itu. Cak Nur kemudian menandai suatu periode baru ketika dia mengenalkan gerakan pembaharuan Islam yang cukup kontroversial. Tentu di sini ada dua tokoh penting selain Cak Nur, yaitu Gus Dur. Kalau boleh kita bilang, Cak Nur adalah seorang yang meletakkan landasan tradisi pemikiran Islam liberal di luar pesantren, maka Gus Dur Gus Dur telah membuka dataran pemikiran baru di kalangan pesantren. Saya kira ini dua ikon besar yang susah diulang kembali. Peran mereka sangat signifikan dan saya kira hampir semua sarjana Islam belakangan jika mau membahas tentang pemikiran Islam Indonesia, umumnya merujuk pada dua tokoh ini. Tentu di sekitar mereka ada tokoh satelit. Tapi, saya pikir dua tokoh ini yang paling penting.
Namun, menurut saya, ada satu karakter penting di dalam dua pikiran dua tokoh ini. Apa yang membedakan antara generasi saya, Jadul dan yang lain lain dengan generasi Cak Nur dan Gus Dur? Salah satu karakter penting, bahwa pada saat Cak Nur dan Gus Dur muncul sebagai pemikir, ruang publik belum bebas seperti yang kita nikmati sekarang ini. Ketika Cak Nur melontarkan kritik terhadap fundamentalisme Islam sebetulnya kalangan fundamentalis tidak menikmati ruang publik yang sama, yang bebas seperti Cak Nur. Salah seorang teman kalau tidak salah Saiful Mujani pernah menulis pada tahun 1980an di majalah Prisma. Saiful mengatakan tentang ketidak-seimbangan ruang publik tersebut. Cak Nur menikmati ruang publik yang disediakan oleh Orde Baru. Sebab, Orde Baru ketika itu secara implisit memberikan endorsement pada pemikiran yang toleran, moderat seperti Cak Nur. Sementara lawan-lawanya, yang disebut Cak Nur dengan kalangan fundamentalis, tidak menikmati ruang yang sama. Oleh karena itu, ada situasi yang tidak setara antara Cak Nur dan Gus Dur di satu pihak dengan kalangan fundamentalis di pihak lain. Gus Dur dan Cak Nur menikmati ruang publik yang disediakan Orde Baru. Ruang publik tidak diperbolekhkan dimasuki kalangan fundamentalis. Mereka ditekan dan dipinggirkan.
Nah, generasi saya dan Jadul sekarang ini berbeda. Kita menghadapi ruang publik yang berbeda. kalangan fundamentalis yang dulunya dilarang masuk ke ruang publik itu, sekarang bebas menikmati ruang publik. Orang-orang Hizbut Tahrir, FPI MMI, dll mempunyai status legal yang sama dengan Jaringan Islam Liberal. Bahkan, dalam beberapa hal, mereka menikmati keuntungan yang lebih baik ketimbang kami. Saya tidak bisa membayangkan orang-orang Hizbut Tahrir dan MMI bisa berdiri pada tahun 1970-an, 1980-an. Jadi saya kira ada ruang publik yang berbeda atau karakter yang berbeda antara peride saya dengan periode Cak Nur. Sekarang rung publiknya jauh lebih terbuka, lebih egaliter, demokratis. Semua kelompok diberi kesempatan untuk berbicara.
Oleh karena itu, tantangan yang dialami generasi pasca-Cak Nur jauh lebih menantang. Saya tidak mengatakan jauh lebih berat, karena Cak Nur dan Gus Dur menghadapi tantangannya sendiri dan tentu juga berat. Tetapi, menurut saya ruang publik sekarang ini lebih menantang ketimbang periode Cak Nur dan Gus Dur. Kita menghadapi bukan saja kelompok kelompok yang bawah tanah tetapi juga kelompok-kelompok lain yang semuanya legal. Isu-isunya makin mangalami ramifisasi atau pencabangan kepada hal-hal yang lebih kecil. Kalau boleh saya memakai suatu periodesasi yang agak longgar, maka generasi Cak Nur dan Gus Dur berada dalam periode nation building. Mereka menghadapi isu-isu isu besar yang bersifat ideologis. Misalnya, persoalan besar yang menjadi perhatian umat Islam pada zaman Cak Nur adalah apakah Islam bisa menjadi dasar suatu partai; apakah Islam bisa menjadi ideologi yang setara dengan ideologi sosialisme dan yang lain lain. Itu masalah yang dihadapi Cak Nur. Masalah besar yang kemudian direspon oleh Gus Dur adalah masalah hubungan Islam dengan ideologi negara. Menurut saya kontribusi penting pada zaman itu adalah ketika mereka berhasil memberikan suatu argumen teologis keagamaan yang bisa memungkinkan orang Islam menerima Pancasila.
Generasi pasca-Gus Dur dan Cak Nur itu lain. Sekarang, isu yang kita hadapi bukan isu besar yang bersifat ideologis. Yang kita hadapi adalah isu yang jauh lebih kecil, yang bersifat mikroskopik. Persoalan ideologi Islam tidak ada lagi atau kurang menjadi perhatian umat Islam. Isu tentang hubungan antara negara dan agama tidak menjadi isu yang serius seperti pada generasi Gus Dur. Isu yang menjadi debat di kalangan umat Islam adalah lebih detil, misalnya tentang formalisasi syariat Islam, sebuah isu yang menurut saya benar-benar baru, karena tidak pernah dihadapi oleh generasi Muhammad Natsir tahun 50-an, dan generasi Cak Nur dan Gus Dur pada tahun 1970-an.
Formalisasi syariat Islam adalah isu khas yang kita hadapi sekarang ini. Isu penting yang berkaitan dengan itu misalnya adalah Counter Legal Draft yang disusun oleh sejumlah team di Departemen Agama. Isu tentang detail-detail hukum keluarga. Oleh karena isu-isu yang berkembang terkait dengan detail-detail agama, maka mau tidak mau para pemikir Islam liberal diharuskan untuk berbicara pada lefel yang spesifik. Poin inilah yang bisa menjelaskan kemunculan teman-teman seperti teman saya sendiri di Jaringan Islam Liberal, Abdul Moqsith Ghazali. Saudara Moqsith ini orang tamatan pesantren dan orang seperti dia itu cukup banyak di belakangnya. Dia mencoba berhadapan dengan isu-isu detail seperti isu hukum keluarga itu, Kompilasi Hukum islam itu. Moqsith terpaksa harus masuk dalam isu-isu yang kecil dan harus merumuskan suatu kaidah atau ushul fikih baru. Jadi, perkembangan pemikiran Islam terakhir ini mulai menyentuh aspek yang berkaitan dengan metodologi ushul fiqh yang pada generasi Cak Nur dan Gus Dur tidak pernah disentuh. Memang Gus Dur atau Cak Nur sering mengunakan kaidah fiqh, tetapi ushul fiqh sebagai suatu tradisi legal teori yang menjadi landasan hukum Islam tidak pernah disentuh sama sekali. Baru sekarang ini orang mulai bicara tentang perlunya memperbaharui Ushul Fiqh.
Saya kira, kalau saya boleh berbangga bahwa sumbangan penting yang diberikan oleh generasi saya dan di bawahnya sekarang ini adalah tentang pentingnya merumuskan suatu ushul fiqh baru. Ini isunya sangat detail sekali, saya tidak bisa membicarakan secara detail disini tetapi buktinya bahwa ushul fiqh inilah yang menjadi batu sandungan kenapa hukum Islam yang selama ini beredar di kalangan umat Islam dianggap sakral dan dianggap sebagai sesuatu yang kedudukannya permanen dan harus dilaksanakan dalam segala zaman.
Abu Bakar Ba’asyir melalui grupnya MMI pernah mengajukan usulan tentang syariat Islam. Amat mengagetkan, sebab hampir semua pasal yang dicantumkan diambil secara mentah dari literatur fiqh lama, tanpa melalui penelaahan ulang. Itulah yang menjelaskan kenapa misalnya kalau kita lihat usulan hukum kriminal yang dibuat oleh MMI itu persis seperti usulan yang dibuat Malaysia. Hal semacam ini tidak pernah dihadapi oleh generrasi Gus Dur. Nah, bagaimana kita berhadapan dengan itu? Kalau kita mau menghadapi kelompok kelompok semacam ini, maka tidak bisa tidak kkita harus menghadapi masalah ini dengan cara yang mereka gunakan. Artinya kita harus berani melayani mereka di level yang sama yaitu pada level hukum Islam klasik itu sendiri. Dan ini berarti kita harus berani menelaah ushul fiqh lama.
Terakhir, saya akan sampaikan bahwa tentu masa depan pemikiran Islam cukup panjang. Tetapi tantangan di dalam pemikiran Islam ke depan lebih banyak berkaitan dengan isu-isu kecil semacam ini. Di dalam parlemen masih ada banyak sekali undang undang antri untuk disahkan, salah satunya isu yang akan menyita perhatian di masa depan adalah isu yang berkaitan dengan penyempurnaan KUHP. Di situ ada pasal tentang definisi zina. Juga ada pasal pasal yang berkaitan dengan penghinaan atas agama. Di Aceh ada kanon yang sudah dipersiapkan tetapi belum dibahas dan disahkan keburu ada sunami. Juga tentang pornografi. Artinya tantangan masa depan Islam adalah bagaimana memenangkan pertaraungan di level legal formal. Itu penting sekali, sebab di era demokrasi pada akhirnya semua kelompok bebas menyatakan pendapatnya dan arena pertarungan di arena demokrasi tidak bisa lain kecuali parlemen. Oleh karena itu, pertarungan paling penting adalah pertarungan menentukan suatu undang undang atau hukum.
Luthfi Assyaukanie
Tadi Ulil sudah memberikan banyak sekali nuansa dalam pemikiran Islam di Indonesia. Dia menjelaskan akar-akar historis dari pemikiran Islam yang di antaranya bersumber pada dan Timur Tengah. Kalau kita melihat pemikiran Islam sejak masa kebangkitan atau awal abab 19 misalnya, maka kita menemukan sebuah keutuhan yang unik. Ini berkaitan dengan klaim keislaman dalam pemikiran Islam itu sendiri.
Dan saya kira tidak hanya dalam pemikiran Islam, di dalam pemikiran Barat pun itu kadang sebuah sumber pemikiran menghasilkan banyak percikan, yang satu sama lain saling berbeda. Kalau kita lihat sejarah filsafat modern juga begitu. Hegel itu menurunkan dua mazhab yang saling bertolak belakang, Hegel kanan dan hegel kiri. Muhammad Abduh sebagai ikon penting pemikiran Islam abad 20 juga menghasilkan duz madzhab, yaitu Abduh kiri dan Abduh kanan. Abduh kiri diwakili oleh Ali Abdul Roziq yang kemudian memperkenalkan gagasan gagasan liberal dan termasuk gagasan sekulerisme. Sayyid Qutb semakin hari semakin ke kanan. Begitu juga dalam konteks Indonesia, kalau kita menganggap Muhammad Natsir sebagai salah satu ikon pemikiran pemikiran Islam pada awal kemerdekaan. Dari Muhammad Natsir misalnya telah lahir dua madzhab yang kontras. Cak Nur yang dahulu dijuluki sebagai Natsir muda mewakili Natsir kiri dan orang-orang yang di Dewan Dakwah yang mewakili Natsir Kanan.
Pembica selanjutnya adalah M. Jadul Maula. Saya berharap ia bisa mengelaborasi atau menjawab pertanyaan ini.
M. Jadul Maula
Sebelum saya menjawab pertanyaan Saudara Luthfi, saya ingin memberikan respons atas apa yang disampaikan Ulil menyangkut ruang publik yang berbeda antara periode Cak Nur-Gus Dur dan generasi Ulil dan kita sekarang. Ruang publik generasi sekarang memang lebih luas dan terbuka. Generasi sekarang tidak menghadapi isu dan ideologi besar, melainkan menghadapi isu yang mikroskopik, isu-isu kecil yang seolah olah berdiri sendiri.
Saya berbeda dengan Ulil. Justru dalam periode sekarang saya merasakan bahwa kita menghadapi isu besar, menyangkut nasib manusia per manusia yang riil menyangkut rasa rasa keadilannya. Kita merasa ruang publik demikian terbuka, padahal ada dominasi pasar di sana. Menurut saya, persoalan kenaikan BBM adalah sesuatu yang menyangkut rasa keadilan orang per orang. Saya yakin, ketika SBY kampanye dulu menyampaikan penaikan harga BBM ini, pasti ia tidak akan terpilih sebagai Presiden. Ini juga permasalahan yang dihadapi oleh pemikir Islam sekarang ini
Saya mempunyai isu lain yang cukup penting dan perlu didiskusikan, yaitu mengenai perkembangan pemikiran Islam ke depan. Basis metodologi dan epistemologi sejarah pemikiran Islam Indonesia harus betul-betul dicari. Misalnya pertanyaan yang sederhana, kapan sebenarnya masa pembentukan pemikiran Indonesia (‘ashrut takwin). Kalau Timur Tengah jelas memiliki asrut takwin pada abad ke 6 H-7 H. atau abad 11 M.-12M. Sehingga kalau mau merumuskan satu nalar Islam Arab, mereka akan merujuk pada teks teks otoritatif yang ditulis dan dicetak pada masa masa itu. Nah, Islam Indonesia kapan ‘ashrut takwinnya dan teks-teks otoritatif apa yang mesti dirujuk ketika kita ingin mendefinisikan dan merekontruksi pemikiran Islam Indonesia. Bagaimana metodologinya.
Kita akan sulit mengembangkan pemikiran ke depan ketika kita belum berhasil dan menemukan kaki pemikiran Islam Indonesia. Kaki pemikiran ini mseti ditemukan sehingga islam Indonesia dapat berdialog secara kreatif dan produktif dengan ilmu ilmu lain, yang mungkin dari Barat, China, Arab, India, atau lainnya. Ketika IAIN Jogjakarta mau diubah menjadi UIN, maka pengembangan pemikiran lebih diarahkan pada dialog antara dua sumber, yaitu Barat dan Arab. Selalu dibilang bahwa ramuannya hanya dua itu. Saya bertanya, basis Indonesianya mana? Tidak mempunyai kaki ke-indonesia-an. Dan sumbernya pun cukup terbatas pada Arab dan Barat, tidak dicoba untuk dicarikan di tempat-tempat lain. Padahal, Hamzah Fanshuri yang dari Aceh itu ketika menjelaskan hadits “uthlubul ilma walau Bisshin” (tuntuntulah ilmu walau ke negeri China) ditandai dengan “uthlubul ilma walau bisshin wal bulgaria” (Carilah ilmu walau samapi ke negeri China dan Bulgharia). Hamzah Fausuri juga memikirkan dialog Islam Aceh, Nusantara, China, dan Bulgaria yaitu negara dekat Asia Tengah yang memberikan aspirasi besar buat perkembangan Islam Indonesia. Tokoh Islam dari Asia tengah ini salah satunya adalah Syaih Ibrahim al-Shamad atau al-Shamarra. Jadi, semejak abad abad 15 sebenarnya sudah ada dialog yang kuat antara pemikiran nusantara dan daerah-daerah lain yang mungkin kita tidak kenalnya. Dalam kaitan itu sebenarnya menarik, saya ingin memberikan salah satu contoh untuk menentukan ‘ashrut takwin.
Saya kira, satu kata penting yang berpengaruh dalam membentuk dan mengkreasi gerakan pemikiran Islam Indonesia adalah wihdatul wujud. Saya beberapa waktu yang lalu mendapatkan satu naskah yang ditulis oleh Samsudin Al-Sumatrani. Kitab ini mau menjelaskan tentang muwahhid (orang yang bertauhid) dan mulhid (yang tidak bertauhid). Di dalam kitab itu juga dijelaskan tentang wihdatul wujud. Wihdatul wujud ini sebenarnya masuk ke Indonesia merupakan inspirasi dari kitab-kitab yang ditulis oleh Ibnu Arabi, Abdul Karil Al-Jili dan seterusnya.
Jadi ketika al-Jabiri berbicara tentang takwinul aqli al-Arab al-Islami (pembentukan nalar Islam Arab), dia mengatakan bahwa abad abad 12 itu merupakan masa bangkrutnya spirit jiwa nalar Islam yang tumbuh dilingkungan peradaban Arab yang disebut sebagai masa jatuh. Al Jabiri mengatakan, disebut masa jatuh karena terjadi pertikaian yang berlarut-larut antar-berbagai jenis sistem pengetahuaan; bayani, burhani, dan ‘irfani. Sistem bayani yaitu sistem pengetahuan yang bekerja untuk memaknai teks membaca teks Qur`an, Hadits, Fikih, Ushul Fikih. Mereka mengambil makna dari Qur`an dan Hadits, lalu bertikai merebut makna itu. Kelompok bayani ini juga bertikai dengan kelompok burhani, yaitu satu kelompok yang mengambil satu kesimpulan berdasarkan logika. Kedua kelompok ini kemudian bersitegang dengan kelompok ‘irfani. Sistem ‘irfani ini mengambil kesimpulan bukan dari teks, logika tetapi langsung dari Tuhan dengan menggunakan intiusi atau mukasyafah.
Ketiga sistem ini terjebak dalam pertikaiaan walau pada akhirnya ada kompromi. Celakanya, demikian al-Jabiri, pada perkembangan kemudian di Arab telah terjadi koalisi antara ‘irfani dan bayani dengan tokohnya al-Ghazali. Al-Ghazali yang mem-bayani-kan yang ‘irfani. Tasawuf ditaklukan dalam sistem bayani. Hasil koalisi ini kemudian dapat mengalahkan yang burhani sehingga burhani berpindah ke Eropa yang dikembangkan oleh orang-orang seperti Ibnu Rusyd. Yang lupa untuk dibicarakan adalah Ibnu Arabi. Bahwa ketika menulis kitab al-Futuhat al-Makiyah, Ibnu Arabi telah melakukan satu sintensi yang sangat berani dan kreatif serta produktif dan menurut saya sangat inspiratif terhadap semua pertikaian nalar itu; burhani, bayani dan ‘irfani. Dalam perkembangannya pemikiran Ibnu Arabi mengalami diaspora hingga sampai ke Nusantara. Yang salah satu buktinya terdapat di teks Samsudin Al-Sumatrani. Saya akan mengajukan satu tesis bahwa produk eksperimentasi dari wahdatul wujud Indonesia yang berlangsung pada abad 15, 16, dan 17 telah mengahasilkan kumpulan naskah. Disini kita bisa merumuskan nalar Islam Indonesia.
Fachry Ali
Saya mau menyatakan bahwa yang sebenarnaya menjadi pelopor dari gagasan gagasan liberal di Indonesia ini adalah mereka yang punya basis keislaman dan budaya yang kuat dan harus saya katakan itu dari kalangan NU atau kaum Nahdhiyin.
Memang saya sering mengatakan bahwa Muhamadiyah akar budayanya itu adalah perkotaan dan pertumbuhan Muhammadiyah itu juga merupakan refleksi dari--menurut hipotesa saya bahkan mungkin dari Mas Dawam Raharjo--sebuah usaha masyarakat kota untuk menunjukan sikap paguyuban baru. Muhamadiyah itu refleksi dari gagasan itu. Persoalannya bahwa di wilayah perkotaan selalu saja budaya itu tidak pernah mendekam lama. Salah satu contohnya adalah pada budaya Betawi yang tidak bisa berkembang. Inilah yang menjadi persoalan struktural yang dihadapi Muhamadiyah. Sebaliknya, di kalangan nahdhiyin seluruh peradaban Islam itu tersangkut dan terpendam lama di dalam masyarakat dalam bentuk tradisi dan sebagainya. Mereka yang hidup di dunia nahdhiyyin atau dunia pesantren pada umumnya sudah merengguk begitu banyak gagasan spekulatif. Mereka menguasai bahasa Arab dengan sangat baik sehingga mengalami persambungan dengan sejarah pemikiran Islam yang klasik. Inilah yang kita lihat pada sosok Nurcholish Majid, Abdurrahman Wahid, hingga generasi Ulil Abshar-Abdalla, dan Ahmad Sahal. Ilmu spekulatif yang ada di pesantren itu kemudian mengalami pencanggihan setelah mereka berhijrah ke kota seperti Jakarta, maka muncullah Jaringan Islam Liberal.
Pikiran-pikiran yang berkembang di kalangan anak-anak NU itu tidak muncul dalam Muhammadiyah yang mengembangkan organisasi dengan sangat ketat, menerapkan daya kontrol terhadap anggotanya. Ini berbeda dengan NU yang pada dasarnya luwes, ada otonomi individual. Mereka dapat menyerap sekian banyak pikiran-pikiran spekulatif dalam sejumlah kitab kuning, sehingga dapat memperkaya khazanah, imajinasi. Maka, ketika terjadi perbenturan pemikiran mereka sudah memiliki modal. Inilah, menurut saya, mengapa orang seperti Ulil Abshar-Abdalla yang baru datang ke Jakarta itu tiba-tiba ketemu dengan panggung yang pas nan luas.
Ini yang pertama yang ingin saya katakan. Yang kedua, saya sebenarnya ingin juga mempertanyakan dasar struktural dari gerakan Islam liberal. Saya tidak sempat mengikuti perkembangan pemikiran Islam yang liberal itu. Di dalam proposal dikatakan bahwa setelah empat tahun JIL berdiri sekaranglah saatnya menunjukan kepada publik bahwa kelompok Islam moderat bisa mengajukan gagasan. Gagasan demokratisasi dan HAM dikembangkan. Sayangnya, tokohnya adalah Amerika dan bukan JIL. Dan saya tidak pernah melihat komentar JIL tentang Amerika; apakah ada komentarnya tentang keadilan.
Amin Abdullah
Saya tidak akan memberikan klarifikasi terhadap pernyataan Fachry. Itu tidak perlu karena teks kalau sudah dilempar akan punya kaki sendiri. Fenomena JIL dan JIMM merupakan gerakan Post NU dan Post Muhammadiyah. Jadi, kalau uraiannya masih dalam kaca mata NU dan Muhammadiyah, saya kira sudah out of date. Di benak generasi muda Islam kini tidak ada lagi ide NU atau Muhammadiyah. Mereka telah membaca buku-buku yang tidak pernah dibaca generasi yang lebih tua, baik di NU maupun Muhammadiyah. Mereka hidup dalam era post-Muhammadiyah dan NU.
Hanya memiliki dua catatan terhadap JIL ini, pertama adalah terhadap kata sekuler dan kedua adalah kata liberal. Dua kata yang banyak disuarakan anak-anak JIL. Pertama, kata sekuler pertama kali diarabisasi oleh Jamaludin Al-Afghani dengan al-dahriyyun yang kemudian ditentang oleh Ahmad Khan dari India. Kata Jamaludin al-Afghani, yang ada itu adalah al-dahriyyun. Dalilnya adalah hal ataa ‘ala al-insan hinun min al-dahri. Lima puluh tahun kemudian ketika muncul Sayid Quthb, sekuler tidak lagi al-dahriyyun, tetapi diterjemahkan dengan alla-diniyyah, tidak terkait dengan agama. Pertanyaannya, apa benar sekuler itu tidak terkait dengan agama? Ini problem. Faktanya, sebagian orang sekuler itu beragama. Anehnnya lagi, sekarang tidak lagi al-dahriyyun dan tidak juga alla-diniyyah kemudian berubah menjadi al-‘ilmaniyyah. Apa artinya? Kita yang mau mentransfer ide sekuler itu bingung menerjemahkannya ke dalam kultur kita. Untuk itu saya usul kepada kedutaan Perancis, karena dia yang mempunya ide sekuler itu dulu, untuk mengadakan seminar yang serius pos-30 tahun Cak Nur menyampaikan tentang sekularisme. Sudah tenggang waktu 30 tahun, saatnya kita benar-benar memahami itu dengan baik, gimana sejarah sekularisme.
Yang kedua, adalah kata liberal. Saya setuju saja dengan the idea of progress dari JIL ini. The idea of progress itu salah satu rukun dari liberalisme. Kemudian demokrasi, demokarasi itu memang problematik tapi memang itulah kenyataannya. Dan Indonesisa dikatakan paling bagus intitusi demokrasi umat Islam setelah Pakistan. Kemudian human rights. Sebenarnya rights dalam Islam tidak ada, yang ada adalah kewajiban. Pertanyaan saya, kenapa menggunakan kata liberal. Saya tidak tahu, apa itu kesalahan mengambil dari Binder dan Kurzman? Karena titelnya enak, maka dipakailah Islam liberal. Dalam katolik terjemahnya agak beda. Yaitu liberation theology dan bukan liberal theology. Liberation itu bermakna liberate, membebaskan dan transformasi. Kita mesti membebaskan diri dari dua dominasi, yaitu kapitalisme dan neo-kapitalisme bahkan dominasi dari lingkungan agama. Ini untuk direnungkan oleh teman-teman JIL.
Kenapa begitu? Arkoun mengatakan, apa ada religious concept, islamic concept? Jawabnya, tidak ada. Semua kata, dulunya adalah political concept. Political concept yang diagamakan, disublimasi sedemikian rupa sehingga seakan menjadi agama, biar lebih lebih kharismatik. Umpamanya taubat. Taubat itu akar-akarnya supaya kembali kepada kepemimpinan Nabi. Jangan menjadi desersi. Jadi harus dikembalikan kepada ketaatan kepada pimpinan. Itu taubat. Begitu juga dengan munafik. Munafik sebenarnya orang yang tidak sepenuhnya sejalan dengan ide kita, golongan kita. Jadi sebetulnnya ada social interactions dan political interactions.
Politik Islam ini, mungkin juga di dalam Katolik, Protestan, bahwa yang paling pokok itu adalah akidah. Akidah dalam Islam itu kombinasinya dengan ghanimah, ekonomi atau materi. Baru kemudian persoalan kabilah, sekte. Pertemuan antara akidah (ideologi), ghanimah (ekonomi), akan melahirkan kepemimpinan poltik yang hegemonik.
Luthfi Assyaukanie
Kita telah mendengarkan empat pembicara. Kalau saya ringkas dari semuanya maka pertanyaan pertama saya adalah bagaimana kta melihat karakter Islam. Kita melihat dari Ulil bahwa sumber-sumber Islam itu berasal dari Barat dan Timur, lebih sefesisfik lagi dari Timur Tengah. Kalau kita melihat jawaban Jadul, maka Jadul mengatakan bahwa sumber-sumber itu harus dari ‘ashru tadwin dalam Islam Indonesia. Bang Fachri menyebutkan bahwa sumber-sumber liberal itu ada di dalam komunitas NU. Sementara Amin Abdullah menyanggah dan merujuk kepada post Muhamadiyah dan post NU. Saya kira post-Muhamadiyah dan post-NU merujuk kepada unsur unsur yang telah dijelaskan oleh tiga pembicara sebelumnya. Silakan yang mau memberikan tanggapan atau respon.
Franky Maramis
Saya dari Front Pemberdayaan Indonesia Timur. Kalau melihat dari dialog-dialog ini saya berkesimpulan bahwa melihat bahwa sistem kemasyaraktan di Madinah itu sistem modern yang penuh aspirasi. Demokratisasi dan penancapan HAM itulah yang islami.
Saefuddin
Salam damai utuk kita sekalian. Memang mengikuti pemikiran orang-orang disini setengah mati. Inti yang saya tangkap, mestinya Islam selalu berfungsi sebagai rahmatan lil alamin.
Ulil Albab
Saya dari Ulumul Qur`an Institute. Ada beberapa point yang dapat saya tangkap dari beberapa ungkapan yang tadi dipresentasikan oleh para nara sumber. Tadi ada pandangan-pandangan untuk membongkar epistemologi, membuat ushul fikih baru, karena problem yang dihadapi oleh masyarakat yang hidup belakangan jauh berbeda dengan problem masyarakat terdahulu.
Sarifuddin
Saya dari Makasar. Pertanyaan saya tujukan pada Ulil dan Amin Abdullah; apakah mungkin memberikan gambaran yang dapat dijadikan acuan untuk menilai aksi atu pemikiran itu sebagai islami atau tidak. Contoh konkrit misalanya menaikan BBM. Bagaimana saya bisa menangkap persoalan itu Islami atau tidak.
Ulil Abshar-Abdalla
Saya sebenarnya lebih suka sebagai tuan rumah, mendengarkan para tamu berbicara. Tetapi oke lah. Beberapa minggu lalu, saya mendapatkan sebuah email dari seorang mahasiswi Surabaya jurusan arsitektur interior. Dia ingin menulis skripsi tentang spa yang Islami. Belum tahu spa kan? Spa adalah suatu tempat semacam rileksasi gitu. Dia akan menulis tentang spa yang Islami.Dia bilang, ”tolong Mas Ulil bagaimana definisi tentang spa yang Islami itu?” Saya tidak tahu, tapi saya jawab begini. Apakah pantas kita ini menyeret seluruh kata Islam ke dalam seluruh persoalan ? Maksud saya, apa ada spa Islami, HP Islami, ada JIL yang Islami ada yang tidak, dan macam-macam. Tapi memang kriteria sesuatu dianggap sebagai islami atau tidak memang menjadi obsesi semua orang dan menghantui banyak orang.
Nah kita bisa berdebat tentang jawaban masalah ini. Tapi menurut saya, yang menjadi pokok atau pangkal masalah, apakah semua kelompok dalam Islam itu bisa mencapai kata sepakat dengan kata islami. Menurut saya, tetap susah karena setiap kelompok mengambil pendekatan dan cara pandang yang berbeda-beda. Misalnya dulu di NU itu, tahun 1930-an memakai celana dianggap tidak Islami, yang Islami itu sarung. Tetapi ketika putranya Kiai Hasyim Asy’ari, Wahid Hasyim, menjadi menteri, dia memaki celana dan berdasi, maka persoalan menjadi berubah. Dan sesungguhnya masalah islami dan tidak Islami itu perkara yang kontekstual, berkembang dan masing kelompok mempunyai pandangan yang berbeda. Kemudian untuk masalah BBM, saya tidak bisa membahasnya disini, dan kita bisa berbeda pendapat tentang masalah ini. Intinya, kriteria tentang islami dan tidak islami adalah salah satu yang menjadi perjuangan JIL. JIL memang menginginkan bahwa di dalam ruang publik ini, ada kemungkinan semua kelompok menyampaikan pendapatnya dan tidak usah khawatir disebut tidak Islami. Justru yang menjadi concern JIL adalah kalau ada suatu kecenderungan dalam suatu kelompok dengan mudah mengatakan tidak Islami, dan tadi disebut saudara Luthfi di awal pembukaan diskusi ini, bahwa ada kecenderungan antara tafkir dan takfir, antara berpikir dan kekafiran. Itu yang ingin kira hindari. Perlu dihindari mengidentikan antara tafkir dan takfir; berfikir dan kekafiran.
Yang kedua yang hendak saya jawab adalah apakah JIL berkampanye pada liberalisme pemikiran keagamaan saja atau juga berkampanye liberalisme politik atau sekaligus liberalisme ekonomi? Ini pertanyaan ynag sering sekali ditujukan kepada JIL. Banyak orang menuduh bahwa dengan menggunakan nama liberal JIL berarti turut menyetujui proyek neoliberaisme Internasional. Saya tadi siang diskusi dengan Romo Magnis Suseno di Ciputat tentang buku yang ditulis Isaiah Berlin. Anda tahu bahwa Romo Magnis adalah salah satu yang ikut menandatangani iklan pro-kenaikan BBM. Di dalam diskusi itu ia mengatakan bahwa di dalam liberalisme politik terdapat liberalisme agama. Saya kira perjuangan JIL sebagian besar diarahkan pada isu ini.
Kita mendukung liberalisme politik yang unsur-unsurnya adalah kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebesan berkumpul buat semua warga negara. Dan kalau kita baca sesungguhnya fokus pemikiran dari kalangan liberal dunia Islam kebanyakan tercurah pada liberalisme pemikiran Islam yang berkaitan dengan isu-isu politik. Coba perhatikan pemikiran-pemikiran Arkoun dan Abu Zaid, itu banyak menyangkut kebebasan yang berkaitan dengan politik. Oleh kaena itu, Abu Zaid merasa perlu mengarang buku al-Takfir fiy Zaman al-Tafkir. Dengan buku itu, ia sebenarnya ingin mengatakan bahwa di dunia Islam telah berlangsung satu kondisi yang membatasi kebebasan berfikir. Alhamdulilah kita di Indonesia dapat menikmati suatu sistem politik yang lebih demokratis ketimbang Timur Tengah. Delapan puluh prosen memang dunia Islam masih dikuasai oleh sistem yang otoriter. Namun, ada sedikit berita gembira bahwa Mesir akan mengadakan pemilihan presiden secara langsung, meskipun kita sudah tahu bahwa yang akan terpilih tetap Husni Mubarok. Tapi, itu tetap perkembangan yang menarik.
Di dalam sistem politik, saya kira seluruh pemikir Muslim liberal bisa bersetuju tentang liberalisme politik. Kini demokrasi telah diterima secara konsensus oleh umat Islam. Kalau kita melihat hasil survai di Indonesia, misalanya yang terakhir dilakukan oleh Saiful Mujani, menujukan bahwa 74% populasi Muslim Indonesia itu menyetujui sistem demokrasi. Demokrasi telah diterima sebagai sistem yang paling rasional.
Sementara di dalam pemikiran ekonomi ada perbedaaan yang cukup banyak. Luthfi misalnya setuju liberalisme di bidang ekonomi. Kalau anda baca misalnya tulisan-tulisan Nashr Hamid Abu Zaid yang diangap yang menjadi salah satu ikon pemikir Islam liberal saat ini. Saya kira dia mempunyai pemikiran yang lebih bernuaansa. Dia mempunyai kritik tajam terhaap kapitalisme global. Tapi, ada juga pemikir Muslim yang sangat liberal menyangkut isu-isu keagamaan tapi tidak liberal dalam pemikiran ekonomi. Kalau kita lihat tulisan-tulisan Chandra hampir semua isinya adalah kutukan terhadap Amerika. Bahkan, oleh sebagian kalangan ia diposisikan sebagai intelektual yang anti globalisasi, anti kapitalisme dunia. Farid Esack adalah pemikir yang sangat liberal (ia lebih suka disebut progresif) dalam bertafsir, tapi tidak liberal dalam ekonomi. Jadi, melihat Islam liberal tidak bisa digeneralisasi.
M. Jadul Maula
Kalau kita melihat organisasi yang didirikan para orang tua, NU atau Muhamadiyah, mereka tidak menyebut kata Islam. Mereka bikin saja NU dan Muhammadiyah, tidak seperti sekarang; ada Islam liberal, Islam kiri, dan sebagainya. Itu kearifan mereka. Nabi Muhammad membangun identitas pun dari dalam bukan dari luar. Nah di dalam akar Indonesia yang disebut wahdatul wujud, itu sebetulnya yang dipentingnkan bukan identitas, tapi sejauh mana suatu pikiran itu mengantarkan manusia kepada Tuhan? Bisa manunggal atau tidak? Jangan lupa, ini bukan sesuatu yang mistik, tetapi sesuatu yang sangat masuk akal. Apakah manusia bisa menjadi manusia yang sempurna atau tidak. Itu ukurannya apakah dia bisa mencapai suatu dzat yang di dalamnya berkumpul semua potensi atau bagaimana. Jadi Allah itu ismul jami’. Itu luar biasa. Menurut saya, semakin ia bisa menyatu dengan Tuhan ia semakin kreatif, karena syahadat yang mengingkari adanya tuhan-tuhan lain selain Dia. Di dalam babad, ajaran Syeh Siti Jenar sama dengan ajaran Sunan Kali Jogo. Syahadatnya, “saya bersaksi di dalam dzat saya, tidak ada Tuhan selain aku, dan Muhammad itu utusanku, dst”. Ini menurut saya suatu maqom kesaksian yang sebetulnya.
Jadi ketika Muhammad bangkit di Arab lahir suatu bangsa Arab . Ketika kita masuk ke Jawa lahir bangsa Jawa, ketika kita masuk ke Aceh lahir bangsa Aceh. Jadi ada Islam Jawa, Islam Aceh, ada Islam Bugis, Islam Makassar, dst. Jadi yang dibangun itu adalah identitas. Identitas suatu bangsa dibangun dari perciptaan pertama yang berkualitas insan kamil.
Fachry Ali
Persoalan islami dan tidak islami adalah soal bagaimana kita memaknai. Memainkan logika. Jadi orang-orang yang ada di JIL itu jangan memandang orang lain sebagai tidak islami. Begitu juga sebaliknya. Orang-orang yang tergabung dalam Front Pembela Islam mengidentifikasiakn diri sebagai Islam juga. Ini hanya soal, dimana sesungguhnya nilai-nilai itu terinternalisasikan pada diri seseorang. Ketika tahun 1999 dan 1999 hukum banyak yang tidak berjalan, maka Ja’far Umar Thalib kemudian menerapkan hukum rajam terhadap para pelaku zina, dan banyak orang yang gembira. Jadi, Islam Afaganistan pun, kalau kita mau konsisten dengan pemikiran Ulil yang liberal itu, juga jenis Islam. Kita juga harus mengatakan bahwa orang yang mau menegakan syariat Islam, dia punya hak asal secara konstitusional. Misalnya, PKS menang, maka mereka punya hak untuk mengajukan klausul hukum tertentu.
Saya ingin kembali pada soal kekayaan budaya kaum nahdhiyyin. Mereka memiliki kecerdasan untuk menyerap banyak informasi dari mana-mana. Kemunculan LkiS, saya kira adalah bukti untuk itu. Lihatlah buku-buku terbitan LkiS. Hanya orang-orang yang berlatar budaya yang luar biasa yang yang mampu menetukan pilihan dan tema-tema semacam itu . Di Muhammadiyah pun sudah muncul JIMM (Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah). Walaupun tetap saja agak beda, gagasan yang muncul dari Muhammadiyah lebih kering ketimbang yang muncul dari NU. Ini tidak terlepas dari penyikapan Muhammadiyah terhadap tradisi. Coba perhatikan tulisan Abdurrahman Wahid di Majalah Prisma tentang hukum Islam jauh lebih bernuansa. Tampak bahwa Gus Dur sangat menguasai pelbagai khazanah keislaman yang klasik yang kemudian diramu dengan pengetahuannya kemodernan. Belakangan kita telah melihat lahirnya generasi seperti Masdar F Mas’udi, Ulil Abshar Abdalla, dan lain-lain.
Amin Abdullah
Ia saya kira nggak ada seleseinya kita bicara ini, ekonomi saya nggak tau komentar seperti apa tapi fenomena-femonomena kapitalisme seperti MC Donaald, KFC, dan sebagainya.
Memang menarik tentang sistem ekonomi dalam Islam. Ada orang seperti Dawam Raharjo yang menyatakan bahwa Islam itu sosialis. Ada yang berkata sebaliknya bahwa Islam itu kapitalis. Ada orang yang mengatakan bahwa Islam berada antara kapitalis dan sosialis. Menyangkut pengembangan ekonomi, dunia Islam sangat tertinggal jauh dibanding dengan dunia Barat. Karena itu, perlu ada usaha untuk mengembangkan perekonomian dalam Islam.
Berikutnya, persoalan tari dan jilbab. Ini memang soal yang tidak kunjung selesai di dalam tubuh umat Islam sendiri. Menurut saya, tari itu natural saja. Tidak ada yang namanya tari Islam dan bukan Islam. Kalau diam saja, tidak bergerak karena khawatir menimbulkan syahwat, itu namanya bukan tari lagi. Begitu juga menyangkut jilbab. Orang Aisyiyah Muhammadiyah hanya pakai kerudung saja, tidak memakai jilbab seperti yang sekarang lagi semarak. Bahwa belakangan ada fenomena orang memakai jilbab itu lebih karena interaksi internasional umat Islam yang tidak bisa ditunda. Perkembangan-perkembangn dan interaksi Internasional ini juga turut membentuk cara berpikir kita dan kita itu anak jaman dari itu.
Dengan itu, maka selalu dimungkinkan adanya perubahan-perubahan hukum akibat perubahan situasi dan kondisi. Bahkan, secara lebih jauh, Muhammad Syahrur mengatakan bahwa hukum juga bisa berubah karena perubahan epistemologi yang mendasarinya. Wassalamu’alaikum Wr. Wb