Apakah Allooh Memiliki Wajah?




Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muroja’ah: Ustadz Aris Munandar

Allooh Ta’ala berfirman tentang diri-Nya,
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuura: 11)
Syaikh Abdurrahman bin Naashir As-Sa’di rahimahullooh mengatakan di dalam kitab tafsirnya, “[Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya] maknanya tidak ada yang menyerupai Allooh Ta’ala dan tidak ada satu makhluk pun yang mirip dengan-Nya, baik dalam Zat, nama, sifat maupun perbuatan-perbuatan-Nya. Hal ini karena seluruh nama-Nya adalah husna (paling indah), sifat-sifatNya adalah sifat kesempurnaan dan keagungan……”
Beliau melanjutkan, “[dan Dia Maha Mendengar] maknanya Dia Maha Mendengar segala macam suara dengan bahasa yang beraneka ragam dengan berbagai macam kebutuhan yang diajukan. [Dia Maha Melihat] maknanya Allooh bisa melihat bekas rayapan semut hitam di dalam kegelapan malam di atas batu yang hitam……”
Beliau melanjutkan, “Ayat ini dan ayat yang semisalnya merupakan dalil Ahlu Sunnah wal Jamaah untuk menetapkan sifat-sifat Allooh dan meniadakan keserupaan sifat Allooh dengan sifat makhluk. Di dalam ayat ini terdapat bantahan bagi kaum musyabbihah (kelompok yang menyerupakan sifat Allooh dengan sifat makhluk -ed) yaitu dalam firman-Nya:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya.”
Juga bantahan bagi kaum mu’aththilah (kelompok yang menolak penetapan sifat Allooh -ed) dalam firman-Nya
وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِيرُ
“Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.”
(Taisir Karimir Rahman)
Tidak Ada Sesuatu Pun yang Serupa Dengannya
Saudaraku, ayat ini adalah ayat yang sangat penting yang dijadikan para ulama sebagai pedoman dalam hal keimanan terhadap nama-nama dan sifat-sifat Allooh. Perlu kita ketahui bersama bahwa dalam mengimani nama-nama dan sifat Allooh, kita harus bersikap sebagaimana sikap seorang muslim yang baik. Imam Syafi’i mengatakan, “Aku beriman kepada Allooh dan segala berita yang datang dari Allooh sesuai dengan maksud Allooh. Aku beriman kepada Rasulullooh dan berita yang datang dari Rasulullooh sesuai dengan maksud Rasulullooh.” (lihat Lum’atul I’tiqad, Imam Ibnu Qudamah). Oleh sebab itu yang kita jadikan pegangan dalam memahami ayat ataupun hadits adalah petunjuk dari Allooh dan Rasul-Nya. Bukankah Allooh Ta’ala telah menerangkan bahwa al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa. Allooh juga menerangkan bahwa Nabi Muhammad benar-benar menunjukkan kepada jalan yang lurus. Oleh karena itu marilah kita cermati ayat di atas dengan seksama.
Pada penggalan ayat yang pertama Allooh menyatakan (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ ). Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya. (المِثْل) dalam bahasa Arab bermakna Asy-Syibhu wan Nadhiir (serupa dan sepadan) (lihat Mu’jamul Wasiith, cet Maktabah Islamiyah, hal. 854). Maka arti dari ayat ini adalah tidak ada sesuatu pun yang serupa dan sepadan dengan Allooh. Pada penggalan ayat yang kedua Allooh menyatakan (وَهُوَ السَّمِيعُ البَصِي) Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (السَّمِيعُ) berasal dari kata (سَمِعَ) yang artinya mendengar. Sedangkan (البَصِيرُ) berasal dari kata (بَصَرَ ) yang artinya melihat. Nah, perhatikanlah terjemahan ayat ini dengan baik dan simaklah soal jawab berikut ini.
Bukankah di dalam ayat ini Allooh menyatakan tidak ada sesuatu pun yang serupa dan sepadan dengan-Nya? Anda tentu akan menjawab iya
Bukankah di dalam ayat ini Allooh menyatakan bahwa Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat? Anda tentu akan menjawab iya
Nah, sekarang apakah kemampuan mendengar yang dimiliki Allooh sama dengan kemampuan mendengar yang dimiliki makhluk? Tentu Anda akan menjawab tidak
Apakah kemampuan melihat yang dimiliki Allooh sama dengan kemampuan melihat yang dimiliki makhluk? Tentu Anda akan menjawab tidak
Apakah makhluk memiliki sifat mendengar dan melihat? Anda tentu menjawab iya.
Apakah sifat mendengar dan melihat yang ada pada makhluk serupa dengan sifat mendengar dan melihat yang ada pada Allooh ? Anda tentu menjawab tidak.
Apakah letak kesamaan antara sifat Allooh dan sifat makhluk itu? Jawabnya adalah sama namanya, akan tetapi hakikatnya berbeda.
Nah, dari sini, maka kalau Allooh menyebutkan di dalam ayat atau hadits bahwa Allooh memiliki sebuah sifat tertentu yang nama sifat tersebut sama dengan nama sifat yang ada pada makhluk, apakah kita akan mengatakan bahwa sifat Allooh itu sama dengan sifat makhluk? Tentunya tidak. Karena sama nama belum tentu hakikatnya sama. Manusia punya kaki, gajah punya kaki. Akan tetapi hakikat kaki gajah berbeda dengan kaki manusia. Sesama makhluk saja bisa terjadi sama nama dengan hakikat yang berbeda. Maka antara makhluk dengan Allooh tentu jauh lebih berbeda. Makhluk disifati dengan berbagai kekurangan sedangkan Allooh disifati dengan berbagai kesempurnaan. Apakah sama Zat yang sempurna dengan yang penuh kekurangan? Tentu tidak! Maka demikian pula dalam menyikapi sifat wajah. Allooh telah menyebutkan di dalam Al Quran maupun As Sunnah bahwa Dia memiliki wajah maka kita katakan pula bahwa wajah Allooh tidak sama dengan wajah makhluk, meskipun sama namanya yaitu wajah. Lalu apa susahnya (mengakui bahwa Allooh memiliki wajah -ed)?
Dalil dari Al-Qur’an
Kalau kita mencermati ayat-ayat al-Qur’an maka niscaya akan kita temukan sekian banyak ayat yang menyebutkan tentang wajah Allooh. Di antaranya adalah:
وَمَا تُنفِقُونَ إِلاَّ ابْتِغَاء وَجْهِ اللّهِ
“… Dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari wajah Allooh.” (QS. Al-Baqarah: 272)
وَالَّذِينَ صَبَرُواْ ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِمْ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلاَنِيَةً وَيَدْرَؤُونَ بِالْحَسَنَةِ السَّيِّئَةَ أُوْلَئِكَ لَهُمْ عُقْبَى الدَّارِ
“Dan orang-orang yang sabar karena mencari wajah Tuhannya, mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau terang-terangan serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang Itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)” (QS. Ar-Ra’d: 22)
فَآتِ ذَا الْقُرْبَى حَقَّهُ وَالْمِسْكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ ذَلِكَ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Maka berikanlah kepada Kerabat yang terdekat akan haknya, demikian (pula) kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari wajah Allooh; dan mereka Itulah orang-orang beruntung.” (QS. Ar-Ruum: 38)
وَمَا آتَيْتُم مِّن رِّبًا لِّيَرْبُوَ فِي أَمْوَالِ النَّاسِ فَلَا يَرْبُو عِندَ اللَّهِ وَمَا آتَيْتُم مِّن زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَجْهَ اللَّهِ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُونَ
“Dan sesuatu Riba (tambahan) yang kamu berikan agar Dia bertambah pada harta manusia, Maka Riba itu tidak menambah pada sisi Allooh. dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mengharapkan wajah Allooh, Maka (yang berbuat demikian) Itulah orang-orang yang melipat gandakan (pahalanya).” (QS. Ar-Ruum: 39)
وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ
“Dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan.” (QS. Ar-Rahman: 27)
إِلَّا ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَى
“Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari wajah Tuhannya yang Maha tinggi.” (QS. Al-Lail: 20)
Dalil dari As-Sunnah
Kalau kita membuka hadits-hadits Nabi shallalloohu ‘alaihi wa sallam maka niscaya akan kita dapatkan sekian banyak hadits yang menyebutkan tentang keberadaan wajah Allooh, diantaranya adalah: HR. Bukhari : 54, 407, 431, 113, 1197, 1213, 2917, 3153, 3608, 3623, 3643, 3741, 3773, 3990, 3991, 4057, 4982, 5236, 5599, 5635, 5817, 5861, 5896, 5943, 5967, 6236, 6425, HR. Muslim : 828, 1052, 1562, 1759, 1760, 3076, 5297 (karena hadits yang berbicara tentang hal ini terlalu banyak maka kami mencukupkan diri untuk menyebutkan nomor haditsnya saja, itupun yang ada dalam Shahih Bukhari dan Muslim saja belum ditambah dengan referensi dari kitab-kitab yang lainnya)
Penjelasan Ulama
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin menjelaskan: “Wajah (Allooh) merupakan sifat yang terbukti keberadaannya berdasarkan dalil Al-Kitab, As-Sunnah dan kesepakatan ulama salaf.” Kemudian beliau menyebutkan ayat ke-27 dalam surat Ar-Rahman… (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 48) Beliau menjelaskan di dalam kitabnya yang lain: “Nash-nash yang menetapkan wajah dari Al-Kitab dan As-Sunnah tidak terhitung banyaknya, semuanya menolak ta’wil kaum mu’aththilah yang menafsirkan wajah dengan arah, pahala atau dzat. Sedangkan keyakinan yang dipegang oleh para pengikut al-haq yaitu menetapkan bahwasanya wajah adalah sifat dan bukan dzat. Dan penetapan sifat tersebut tidaklah melahirkan konsekuensi dzat Allooh Ta’ala tersusun dari berbagai anggota tubuh (seperti makhluk -pent) sebagaimana yang dikatakan oleh kaum Mujassimah. Akan tetapi sifat itu benar-benar sifat Allooh yang sesuai dengan keagungan-Nya. Wajah-Nya tidak menyerupai wajah apapun. Dan wajah apapun tidak ada yang menyerupai wajah-Nya…” (lihat Syarah ‘Aqidah Wasithiyah)
Apakah Kata Wajah Itu Bermakna Hakiki ?
Ketahuilah saudaraku, sesungguhnya hukum asal suatu kata di dalam ayat maupun hadits harus dimaknai dengan makna hakiki. Tidak boleh menyimpangkan makna hakiki kepada makna lainnya kecuali apabila ada dalilnya yang tepat. Demikian pula hukum asal kata dalam ayat atau hadits adalah dimaknai sebagaimana adanya (zhahir nash). Tidak boleh menta’wilnya kecuali apabila ada dalilnya yang tepat. (silakan baca kitab-kitab Ushul Fiqih) Oleh sebab itu kita katakan bahwa kata wajah adalah bermakna wajah yang sebenarnya, bukan majas dan bukan makna yang lainnya.
Kalau muncul pertanyaan:
“Bukankah kalau kita menetapkan Allooh punya wajah berarti kita telah menyerupakan Allooh dengan makhluk? Bukankah Allooh berfirman laisa kamitsilihi syai’un ?!”
Maka kami jawab:
Apakah dalam pandangan kalian, Allooh melihat dan mendengar? Kalau kalian menjawab iya. Karena Allooh sendiri menyatakan wahuwas samii’ul bashiir.
Maka kami tanyakan:
Apakah sifat mendengar dan melihat yang Allooh miliki sama dengan makhluk? Maka kalian akan menjawab: Tidak.
Kami tanyakan:
Kenapa kok tidak sama, padahal sama namanya yaitu mendengar dan melihat? Maka mungkin kalian akan menjawab: Karena sifat mendengar dan melihat yang ada pada makhluk terbatas adapun sifat mendengar dan melihat yang ada pada Allooh sempurna ?
Maka kami tanyakan:
Kenapa sifat tersebut sempurna ?
Maka kalian akan menjawab: Karena dimiliki oleh Dzat yang Maha sempurna Pencipta dan Penguasa alam semesta.
Nah, sekarang kami katakan kepada kalian:
Maka kalian pun harus bersikap yang sama dalam menerima sifat wajah yang sudah ditetapkan oleh Allooh di dalam al-Qur’an dan Sunnah.
Allooh punya wajah. Makhluk punya wajah. Akan tetapi wajah Allooh tidak sama dengan wajah makhluk. Karena wajah Allooh itu sempurna. Lalu apa susahnya kita meyakininya ? Kalau kalian tidak bersikap seperti ini maka itu artinya kalian tidak konsisten.
Oleh sebab itu orang yang menyimpangkan makna kata wajah kepada makna yang lainnya kami bantah dengan beberapa alasan :
Pertama:
Penafsiran seperti itu bertentangan dengan zhahir nash
Kedua:
Penafsiran seperti itu tidak didukung oleh dalil yang sah lagi tegas
Ketiga:
Penafsiran seperti itu bertentangan dengan kesepakatan ulama salaf
(lihat bantahan lainnya dalam Fathu Rabbil Bariyah, hal. 57-58)
Lalu bagaimana dengan ayat  كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
Arti dari ayat tersebut adalah: Segala sesuatu akan binasa kecuali wajah-Nya. (QS. Al-Qashash: 88 ) Nah, kalau memang kata wajah itu bermakna wajah yang sebenarnya lalu apakah ini artinya pada hari kiamat kelak segala sesuatu selain wajah Allooh termasuk di dalamnya tangan Allooh juga akan hancur, ah masa Allooh tidak bisa menjaga tangan-Nya sendiri dari kehancuran ?! Maka kami jawab:
Jawaban Pertama:
Ini adalah mahfum mukholafah, mafhum ini berlaku jika tidak bertentangan dengan dalil yang lain. Berdasarkan kaidah ushul fiqih yang ada kita tidak boleh menyimpangkan makna kata wajah kepada makna lainnya. Inilah hukum asalnya. Selain itu tidak ada dalil sah lagi tegas yang mendukungnya. Selain itu penafsiran semacam itu juga bertentangan dengan metode penafsiran ulama salaf.
Jawaban Kedua:
Kalau kalian beralasan bahwa apabila kita memaknai wajah Allooh sebagai wajah sebenarnya kemudian jika makna itu diterapkan pada ayat di atas maka itu artinya tangan Allooh juga ikut hancur maka sungguh ini adalah pemahaman yang sangat keliru !!!
Cobalah perhatikan ayat yang lain:
Allooh Ta’ala berfirman yang artinya: “Allooh adalah pencipta segala sesuatu”
Saya bertanya: Apakah Allooh juga menciptakan diri-Nya sendiri? Tentu tidak !! Bukankah kata ’segala sesuatu’ itu juga mencakup Allooh, lalu mengapa kalian keluarkan Allooh dari makna ayat ini ?!
Lihat ayat yang lain:
Allooh Ta’ala berfirman yang artinya: “Dan Kami ciptakan segala yang hidup dari air.”
Saya bertanya: Apakah malaikat dan jin juga termasuk yang diciptakan dari air ? Tentu saja tidak !! Lalu mengapa kalian tidak memasukkannya padahal jin dan malaikat juga termasuk cakupan istilah ’segala sesuatu’ ?!
Lihat ayat yang lain:
Allooh Ta’ala berfirman tentang bencana angin yang dikirimkan kepada kaum ‘Aad, “Angin itu menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Rabbnya.”
Saya bertanya: Apakah langit dan bumi juga ikut hancur ? Tentu saja tidak !! Bukankah langit dan bumi juga termasuk cakupan kata ’segala sesuatu’ ? Lalu mengapa kalian mengeluarkannya dari kata yang umum ini ?!!
Oleh sebab itu maka kami katakan pernyataan segala sesuatu akan hancur kecuali wajah Allooh bukanlah berarti tangan Allooh juga ikut hancur, karena hal itu bertentangan dengan dalil naqli maupun aqli.
Jawaban Ketiga:
Taruhlah makna kata wajah dalam ayat kullu syai’in haalikun illa wajhah adalah bukan wajah yang sebenarnya lalu bagaimana kalian akan memaknai hadits-hadits berikut ini:
Hadits pertama:
Nabi shallalloohu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Wa as’aluka ladzdzatan nazhari ila wajhika wasy syauqa ila liqaa’ika.” Artinya: “Dan aku memohon kenikmatan memandang wajah-Mu serta kerinduan untuk menemui-Mu.” (HR. An-Nasa’I dalam Ash-Shughra (1305), disahihkan Al-Albani dalam Takhrij As-Sunnah: 424, lihat Fathu Robbil Bariyah, hal. 57) Apakah kata wajah ini akan dimaknai pahala, atau dzat atau yang lainnya ?!!
Hadits kedua:
Ketika Rasulullooh shallalloohu ‘alaihi wa sallam menafsirkan ayat lilladziina ahsanul husna wa ziyaadah (orang-orang yang berbuat baik maka mereka akan mendapatkan tambahan) Beliau menjelaskan bahwa makna tambahan dalam ayat tersebut adalah memandang wajah Allooh (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf, 8/223 Maktabah Syamilah) Apakah kata wajah ini akan dimaknai pahala, atau dzat atau yang lainnya ?!!
Walloohu a’lam bisshawaab
LihatTutupKomentar