Al-Ushul min 'Ilmil Ushul

Al-Ushul min 'Ilmil Ushul

Penulis
Asy-Syaikh al-'Allamah Muhammad bin Sholeh al-'Utsaimin

Judul Dalam Bahasa Indonesia
Prinsip Ilmu Ushul Fiqih

Penerjemah
Abu SHilah & Ummu SHilah

Layout & Design Sampul
Abu SHilah

Disebarkan melalui :
http://tholib.wordpress.com 
 Jumadi ats-Tsaniyah 1428 H / Juni 2007 M


* ajiyoid@yahoo.com 


Diperbolehkan menyebarkan / memperbanyak terjemahan ini
selama bukan untuk tujuan komersial
DIGITAL LIBRARYUshul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  1 
ﻣ ﹶﻘ ﺪ ﻣ ﹸﺔ ﹾ ﻟﺍ  ﻤ ﺆ ﱢﻟ ِﻒ 
MUQODDIMAH PENULIS

ﻦﻣ ﷲﺎﺑ ﺫﻮﻌﻧﻭ ،ﻪﻴﻟﺇ ﺏﻮﺘﻧﻭ ،ﻩﺮﻔﻐﺘﺴﻧﻭ ،ﻪﻨﻴﻌﺘﺴﻧﻭ ،ﻩﺪﻤﳓ ﷲ ﺪﻤﳊﺍ    ،ﺎﻨﺴﻔﻧﺃ ﺭﻭﺮﺷ
 ﻥﺃ ﺪﻬﺷﺃﻭ ،ﻪﻟ ﻱﺩﺎﻫ ﻼﻓ ﻞﻠﻀﻳ ﻦﻣﻭ ﻪﻟ ﻞﻀﻣ ﻼﻓ ﷲﺍ ﻩﺪﻬﻳ ﻦﻣ ،ﺎﻨﻟﺎﻤﻋﺃ ﺕﺎﺌﻴﺳ ﻦﻣﻭ
             ﻪﻟﻮﺳﺭﻭ ﻩﺪﺒﻋ ﹰ ﺍﺪﻤﳏ ﻥﺃ ﺪﻬﺷﺃﻭ ،ﻪﻟ ﻚﻳﺮﺷ ﻻ ﻩﺪﺣﻭ ﷲﺍ ﻻﺇ ﻪﻟﺇ ﻻ     ،ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﻠﺻ ،
ﹰ ﺎﻤﻴﻠﺴﺗ ﻢﻠﺳﻭ ﻦﻳﺪﻟﺍ ﻡﻮﻳ ﱃﺇ ﻥﺎﺴﺣﺈﺑ ﻢﻬﻌﺒﺗ ﻦﻣﻭ ،ﻪﺑﺎﺤﺻﺃﻭ ﻪﻟﺁ ﻰﻠﻋﻭ  . ﺪﻌﺑ ﺎﻣﺃ : 

Ini  adalah  Tulisan  singkat  dalam  Ushul  Fiqih  yang  kami  tulis  sesuai
  kurikulum yang  telah disepakati untuk tahun ketiga Tsanawiyah di  ma’had-
  ma’had ilmiyyah, dan kami menamakannya:

ِ ﻝ ﻮ ﺻُ ﻷﺍ ِ ﻢﹾ ﻠِﻋ  ﻦِﻣ ﹸ ﻝ ﻮ ﺻُ ﻷﺍ
(al-Ushul min 'Ilmil Ushul)

Aku  memohon  kepada  Allah  agar  menjadikan  ilmu  kami  ikhlas  karena
Allah  dan  bermanfaat  bagi  hamba-hamba  Allah,  sesungguhnya  Allah  Maha
Dekat dan Maha Mengabulkan Doa. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  2 
ﹸﺃ ﺻ ﹸ ﻝﻮ   ِ ﻔﻟﺍ ِ ﻪـﹾﻘ 
USHUL FIQIH

DEFINISINYA:

Ushul Fiqih didefinisikan dengan 2 tinjauan:

Pertama  :  tinjauan  dari  2  kosa  katanya  yaitu  dari  tinjauan  kata (ﹲ ﻝ ﻮ ﺻﹸﺃ)  dan
kata ( ﻪﹾ ﻘِﻓ).

Ushul (ﹸ ﻝ ﻮ ﺻُ ﻷﺍ)  adalah  bentuk  jamak  dari "al-Ashl" (ﹲ ﻞ ﺻﹶﺃ)  yaitu  apa  yang
dibangun  di  atasnya  yang  selainnya,  dan  diantaranya  adalah  'pokoknya
tembok'  (ﺭﺍ ﺪِ ﳉﺍ  ﹸ ﻞ ﺻﹶﺃ)  yaitu  pondasinya,  dan  'pokoknya  pohon'  (ِ ﺓ ﺮ ﺠ ﺸﻟﺍ  ﹸ ﻞ ﺻﹶﺃ)  yang
bercabang darinya ranting-rantingnya. Allah berfirman:

ﹶﻛ  ﹰ ﻼﹶ ﺜﻣ   ﻪﱠ ﻠﻟﺍ   ﺏ ﺮﺿ   ﻒ ﻴﹶﻛ   ﺮﺗ   ﻢﹶ ﻟﹶﺃ  ﻲِﻓ  ﺎ ﻬ ﻋ ﺮﹶ ﻓﻭ   ﺖِ ﺑﺎﹶﺛ  ﺎ ﻬﹸ ﻠ ﺻﹶﺃ  ٍ ﺔ ﺒ ﻴﹶﻃ  ٍ ﺓ ﺮ ﺠ ﺸﹶﻛ  ﹰ ﺔ ﺒ ﻴﹶﻃ  ﹰ ﺔ ﻤِﻠ
ِ ﺀﺎ ﻤ ﺴﻟﺍ 

"Tidakkah  kamu  perhatikan  bagaimana  Allah  telah  membuat
perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan
cabangnya (menjulang) ke langit" [QS. Ibrohim : 24]

Dan Fiqih ( ﻪﹾ ﻘِ ﻔﻟﺍ) secara bahasa adalah pemahaman ( ﻢ ﻬﹶ ﻔﻟﺍ), diantara dalilnya
adalah firman Allah :
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  3 
ﻲِ ﻧﺎ ﺴِﻟ  ﻦِﻣ ﹰ ﺓ ﺪﹾ ﻘﻋ ﹾ ﻞﹸ ﻠ ﺣﺍﻭ 

"dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku." (QS Thohaa : 27)

Dan secara istilah:
 
 ﺸﻟﺍ ِ ﻡﺎﹶ ﻜﺣَ ﻷﺍ ﹸ ﺔﹶ ﻓِ ﺮ ﻌﻣ ِ ﺔ ﻴِ ﻠ ﻴِ ﺼﹾ ﻔ ﺘﻟﺍ ﺎ ﻬِ ﺘﱠ ﻟِ ﺩﹶ ﺄِﺑ ِ ﺔ ﻴِ ﻠ ﻤ ﻌﻟﺍ ِ ﺔ ﻴِ ﻋﺮ 

"Mengetahui  hukum-hukum  syar'i  yang  bersifat  amaliyyah  dengan  dalil-
dalilnya yang terperinci."

Maka yang dimaksud dengan perkataan kami :  ) ﹸ ﺔﹶ ﻓِ ﺮ ﻌﻣ (  " Mengetahui" adalah
Ilmu  dan  persangkaan.  Karena  mengetahui  hukum-hukum  fiqih  terkadang
bersifat  yakin  dan  terkadang  bersifat  persangkaan,  sebagaimana  banyak
dalam masalah-masalah fiqih.

Dan yang dimaksud dengan perkataan kami  :  ) ﹸ ﺔ ﻴِ ﻋ ﺮ ﺸﻟﺍ   ﻡﺎﹶ ﻜﺣَ ﻷﺍ (  "Hukum-hukum
syar'i"  adalah  hukum-hukum  yang  diambil  dari  syari'at,  seperti  wajib  dan
haram, maka keluar darinya (yakni Hukum-hukum syar'i) hukum-hukum akal;
seperti mengetahui  bahwa  keseluruhan  lebih  besar  daripada  sebagian;  dan
hukum-hukum  adat  (kebiasaan);  seperti  mengetahui  turunnya  embun  di
malam yang dingin jika cuaca cerah. 

Yang dimaksud dengan perkataan kami  :  ) ﹸ ﺔ ﻴِ ﻠ ﻤ ﻌﻟﺍ (  "Amaliah" adalah apa-apa
yang tidak berhubungan dengan aqidah, seperti sholat dan zakat. Maka tidak
termasuk  darinya  (Amaliah)  apa-apa  yang  berhubungan  dengan  aqidah; Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  4 
seperti mentauhidkan Allah, dan mengenal nama-nama dan  sifat-Nya; maka
yang demikian tidak dinamakan Fiqih secara istilah.

Yang  dimaksud  dengan  perkataan  kami  :  ) ِ ﺔ ﻴِ ﻠ ﻴِ ﺼﹾ ﻔ ﺘﻟﺍ  ﺎ ﻬِ ﺘﱠ ﻟِ ﺩﹶ ﺄِﺑ (  "dengan  dalil-
dalilnya  yang  terperinci"  adalah  dalil-dalil  fiqh  yang  berhubungan  dengan
masalah-masalah fiqh yang terperinci, maka tidak termasuk di dalamnya ilmu
Ushul  Fiqih  karena  pembahasan  di  dalamnya  hanyalah  mengenai  dalil-dalil
fiqih yang umum.

Kedua  : dari  tinjauan keberadaannya sebagai  julukan pada bidang  tertentu,
maka Ushul Fiqih didefinisikan dengan : 

 ﻦﻋ ﹸ ﺚ ﺤ ﺒﻳ  ﻢﹾ ﻠِﻋ ِ ﺪ ﻴِ ﻔ ﺘ ﺴ ﻤﹾ ﻟﺍ ِ ﻝﺎ ﺣﻭ ﺎ ﻬ ﻨِﻣ ِ ﺓ ﺩﺎﹶ ﻔِ ﺘ ﺳِ ﻹﺍ ِ ﺔ ﻴِ ﻔ ﻴﹶ ﻛﻭ ِ ﺔ ﻴِ ﻟﺎ ﻤ ﺟِ ﻹﺍ ِ ﻪﹾ ﻘِ ﻔﻟﺍ ِ ﺔﱠ ﻟِ ﺩﹶﺃ  

"Ilmu  yang membahas  dalil-dalil  fiqih  yang  umum  dan  cara mengambil
faidah darinya dan kondisi orang yang mengambil faidah."

Yang  dimaksud  dengan  perkataan  kami  ) ِ ﺔ ﻴِ ﻟﺎ ﻤ ﺟِ ﻹﺍ (  "yang  umum/mujmal",
kaidah-kaidah  umum;  seperti  perkataan  : "perintah  menunjukkan  hukum
wajib", "larangan  menunjukkan  hukum  haram", "sah-nya  suatu  amal
menunjukkan amal tersebut telah terlaksana  (yakni,  ia  tidak dituntut untuk
mengulangi, pent)". Maka  tidak  termasuk dari "yang umum": dalil-dalil  yang
terperinci.  Dalil-dalil  terperinci  tersebut  tidaklah  disebutkan  dalam  ilmu
Ushul Fiqih kecuali sebagai contoh (dalam penerapan) suatu kaidah. 

Yang dimaksud dari perkataan kami :  ) ﹶ ﻛﻭ ﺎ ﻬ ﻨِﻣ ِ ﺓ ﺩﺎﹶ ﻔِ ﺘ ﺳِ ﻹﺍ ِ ﺔ ﻴِ ﻔﻴ (  "dan cara mengambil
faidah  darinya"  yaitu mengetahui  bagaimana mengambil  faidah  hukum  dari
dalil-dalilnya dengan mempelajari hukum-hukum  lafadz dan penunjukkannya Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  5 
seperti umum,  khusus, muthlaq, muqoyyad, nasikh, mansukh, dan  lain-lain.
Maka  dengan  menguasainya  (yakni  cara  mengambil  faidah  dari  dalil-dalil
umum) seseorang bisa mengambil faidah hukum dari dalil-dalil fiqih.
 
Diinginkan  dengan  perkataan  kami  :  ) ِ ﺪ ﻴِ ﻔ ﺘ ﺴ ﻤﹾ ﻟﺍ  ِ ﻝﺎ ﺣﻭ (   "kondisi  orang  yang
mengambil faidah", yaitu mengetahui kondisi/keadaan orang yang mengambil
faidah,  yaitu  mujtahid.  Dinamakan  orang  yang  mengambil  faidah ( ﺪ ﻴِ ﻔ ﺘ ﺴﻣ)
karena  ia  dengan  dirinya  sendiri  dapat mengambil  faidah  hukum  dari  dalil-
dalilnya karena  ia telah mencapai derajat  ijtihad. Maka mengenal mujtahid,
syarat-syarat  ijtihad,  hukumnya  dan  yang  semisalnya  dibahas  dalam  ilmu
Ushul Fiqih.

FAIDAH USHUL FIQIH:

Ilmu Ushul  Fiqih adalah  ilmu  yang  agung  kedudukannya,  sangat  penting
dan  banyak  sekali  faidahnya.  Faidahnya  adalah  kokoh  dalam  menghasilkan
kemampuan  yang  seseorang  mampu  dengan  kemampuan  itu  mengeluarkan
hukum-hukum syar'i dari dalil-dalilnya dengan landasan yang selamat. 

Dan yang pertama kali mengumpulkannya menjadi suatu bidang tersendiri
adalah al-Imam asy-Syafi'i Muhammad bin  Idris rohimahulloh, kemudian para
'ulama  sesudahnya mengikutinya  dalam  hal  tersebut. Maka mereka menulis
dalam  ilmu  Ushul  Fiqih  tulisan-tulisan  yang  bermacam-macam.  Ada  yang
berupa  tulisan,  sya'ir,  tulisan  ringkas,  tulisan  yang  panjang,  sampai  ilmu
Ushul Fiqih ini menjadi bidang tersendiri keberadaannya dan kelebihannya.

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  6 
َ ﻷﺍ ﺣ ﹶﻜ  ﻡﺎــ 
HUKUM-HUKUM

Al-Ahkam  ) ﹾﺍ َ ﻷ ﺣ ﹶﻜ  ﻡﺎ (   adalah  bentuk  jamak  dari  hukum ( ﹾ ﻜﺣ ﻢ ),  secara  bahasa
maknanya adalah keputusan/ketetapan ( ﹶ ﻘﻟﺍ ﻀ ُ ﺀﺎ ).

Dan secara istilah : 

ﻣ  ﺘﹾ ﻗﺍ ﺎ ﻀ  ﻩﺎ ِ ﺧ  ﹶ ﻄ  ﺏﺎ  ﺸﻟﺍ  ﺮ ِ ﻉ ﹸ ﳌﺍ  ﺘ ﻌ ﱢﻠ  ﻖ ِﺑ  ﹶ ﺄ ﹾﻓ ﻌ ِ ﻝﺎ ﹸ ﳌﺍ  ﹶﻜ ﱠﻠ ِﻔ ﻴ ﻦ ِﻣ  ﻦ ﹶﻃ  ﹶﻠ ٍ ﺐ ﹶﺃ ، ﻭ ﺗ   ﺨ ِﻴ ﻴ ٍﺮ ﹶﺃ ، ﻭ ﻭ  ﺿ ٍ ﻊ 

 "Apa-apa yang ditetapkan oleh seruan syari'at yang berhubungan dengan
perbuatan mukallaf (orang yang dibebani syari'at) dari tuntutan atau pilihan
atau peletakan."

Dan yang dimaksud dari perkataan kami :  ) ِ ﺧ ﹶ ﻄ  ﺏﺎ    ﺸﻟﺍ ﺮ ِ ﻉ (  "seruan syari'at" : Al-
Qur'an dan as-Sunnah.

Dan  yang  dimaksud  dari  perkataan  kami  :  ) ﹸ ﳌﺍ ﺘ ﻌ ﱢﻠ  ﻖ ِﺑ  ﹶ ﺄ ﹾﻓ ﻌ ِ ﻝﺎ ﹸ ﳌﺍ  ﹶﻜ ﱠﻠ ِﻔ ﻴ ﻦ (  "yang
berhubungan  dengan  perbuatan  mukallaf":  apa-apa  yang  berhubungan
dengan  perbuatan  mereka  baik  itu  perkataan  atau  perbuatan,  melakukan
sesuatu atau meninggalkan sesuatu.

Maka  keluar  dari  perkataan  tersebut  apa-apa  yang  berhubungan  dengan
aqidah, maka tidak dinamakan hukum secara istilah.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  7 
Yang dimaksud dari perkataan kami : ( ﹸ ﳌﺍ ﹶﻜ ﱠﻠ ِﻔ ﻴ ﻦ ) "mukallaf" : siapa saja yang
keadaannya dibebani syari'at, maka mencakup anak kecil dan orang gila.

Yang  dimaksud  dari  perkataan  kami  : ( ِﻣ ﻦ ﹶﻃ  ﹶﻠ ٍ ﺐ ) "dari  tuntutan":  perintah
dan larangan, baik itu sebagai keharusan ataupun keutamaan.

Yang dimaksud dari perkataan kami  : ( ﹶﺃ ﻭ ﺗ   ﺨ ِﻴ ﻴ ٍﺮ )  "atau pilihan": mubah  (hal-
hal yang dibolehkan) 

Yang dimaksud dari perkataan kami :  ) ﹶﺃ ﻭ ﻭ  ﺿ ٍ ﻊ (  "atau peletakan": Sah, rusak,
dan  yang  lainnya  yang  diletakkan  oleh  pembuat  syari'at  dari  tanda-tanda,
atau sifat-sifat untuk ditunaikan atau dibatalkan.
 
PEMBAGIAN HUKUM SYARI'AT:

Hukum  syari'at  dibagi  menjadi  dua  bagian  :  Taklifiyyah  (Pembebanan)
dan Wadh'iyyah (Peletakan). 
 
Al-Ahkam  at-Taklifiyyah  ada  lima : Wajib, mandub  (sunnah),  harom,
makruh, dan mubah.
 
1. Wajib (ﺐﺟﺍﻮﻟﺍ) secara bahasa : (ﻡﺯﻼﻟﺍﻭ ﻂﻗﺎﺴﻟﺍ) "yang  jatuh dan harus".

Dan  secara istilah : 

ﻣ ﹶﺃ ﺎ ﻣ ﺮ ِﺑ  ِﻪ  ﺸﻟﺍ  ِ ﺭﺎ  ﻉ ﻋ  ﹶﻠ ﻭ ﻰ  ﺟ ِﻪ ﹾﺍ  ِ ﻹ ﹾﻟ  ﺰ ِ ﻡﺍ 

"Apa-apa  yang  diperintahkan  oleh  pembuat  syari'at  dengan  bentuk
keharusan", seperti sholat lima waktu. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  8 
Maka  keluar  dari  perkataan  kami  : )  ﻉﺭﺎﺸﻟﺍ  ﻪﺑ  ﺮﻣﺃ  ﺎﻣ (   "Apa-apa  yang
diperintahkan oleh pembuat syari'at", yang haram, makruh dan mubah.

Dan  keluar  dari  perkataan  kami  :  ) ﻡﺍﺰﻟﻹﺍ  ﻪﺟﻭ  ﻰﻠﻋ (   "dengan  bentuk
keharusan", yang mandub.

Dan  suatu  yang  wajib  itu  pelakunya  diganjar  jika  ia  melakukannya
untuk  mendapatkan  pahala  (ikhlas),  dan  orang  yang  meninggalkannya
berhak mendapatkan adzab.

Dan dinamakan juga : ( ﻡﺯﻻﻭ ﹰ ﺎﻤﺘﺣﻭ ﺔﻀﻳﺮﻓﻭ ﹰ ﺎﺿﺮﻓ ﺍ ).
  
2. Mandub (ﺏﻭﺪﻨﳌﺍ) secara bahasa : ( ﻮﻋﺪﳌﺍ) "yang diseru".

Dan secara istilah :
 
ﻣ ﹶﺃ ﺎ ﻣ ﺮ ِﺑ  ِﻪ  ﺸﻟﺍ  ِ ﺭﺎ  ﻉ ﹶﻻ  ﻋ  ﹶﻠ ﻭ ﻰ  ﺟ ِﻪ ﹾﺍ  ِ ﻹ ﹾﻟ  ﺰ ِ ﻡﺍ 

"Apa-apa yang diperintahkan oleh pembuat syari'at tidak dalam bentuk
keharusan", seperti sholat rowatib.

Maka  keluar  dari  perkataan  kami : )  ﻉﺭﺎﺸﻟﺍ  ﻪﺑ  ﺮﻣﺃ  ﺎﻣ  ( "Apa-apa  yang
diperintahkan oleh pembuat syari'at", yang haram, makruh dan mubah.

Dan  keluar  dari  perkataan  kami  :  ) ﻡﺍﺰﻟﻹﺍ  ﻪﺟﻭ  ﻰﻠﻋ  ﻻ (   "tidak  dengan  bentuk
keharusan", yang wajib. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  9 

Dan  suatu  yang mandub  itu  pelakunya  diganjar  jika  ia melakukannya
untuk mendapatkan pahala (ikhlas), dan orang yang meninggalkannya tidak
mendapatkan adzab.

Dan dinamakan juga : (ﻼﻔﻧﻭ ﹰ ﺎﺒﺤﺘﺴﻣﻭ ﹰ ﺎﻧﻮﻨﺴﻣﻭ ﺔﻨﺳ ً ).
 
3. Haram (ﻡﺮﶈﺍ) secara bahasa : (ﻉﻮﻨﻤﳌﺍ) "yang dilarang".

Dan secara istilah :
 
ﻣ ﻧ ﺎ ﻬ ﻋ ﻰ ﻨ ﻪ  ﺸﻟﺍ  ِ ﺭﺎ  ﻉ ﻋ  ﹶﻠ ﻭ ﻰ  ﺟ ِﻪ ﹾﺍ  ِ ﻹ ﹾﻟ  ﺰ ِ ﻡﺍ ِﺑ   ﺘﻟﺎ ﺮ ِ ﻙ 

"Apa-apa yang dilarang oleh pembuat syari'at dalam bentuk keharusan
untuk ditinggalkan", seperti durhaka kepada orang tua.

Maka keluar dari perkataan kami : )  ﻉﺭﺎﺸﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﻰ ﺎﻣ  ( "Apa-apa yang dilarang
oleh pembuat syari'at", yang wajib, sunnah dan mubah.

Dan  keluar  dari  perkataan  kami  :  ) ﻙﺮﺘﻟﺎﺑ  ﻡﺍﺰﻟﻹﺍ  ﻪﺟﻭ  ﻰﻠﻋ (   "dalam  bentuk
keharusan untuk ditinggalkan", yang makruh.

Dan  suatu  yang haram  itu pelakunya diganjar  jika  ia meninggalkannya
untuk  mendapatkan  pahala  (ikhlas),  dan  orang  yang  melakukannya
berhak mendapatkan adzab.

Dan dinamakan juga : ( ﻋﻮﻨﳑ ﻭﺃ ﹰ ﺍﺭﻮﻈﳏ ﹰﺎ ) Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  10 
 4. Makruh (ﻩﻭﺮﻜﳌﺍ) secara bahasa : (ﺾﻐﺒﳌﺍ) "yang dimurkai".

Dan secara istilah :
 
ﻣ ﻧ ﺎ ﻬ ﻋ ﻰ ﻨ ﻪ  ﺸﻟﺍ  ِ ﺭﺎ  ﻉ ﹶﻻ  ﻋ  ﹶﻠ ﻭ ﻰ  ﺟ ِﻪ ﹾﺍ  ِ ﻹ ﹾﻟ  ﺰ ِ ﻡﺍ ِﺑ   ﺘﻟﺎ ﺮ ِ ﻙ 

"Apa-apa  yang  dilarang  oleh  pembuat  syari'at  tidak  dalam  bentuk
keharusan  untuk  ditinggalkan",  seperti mengambil  sesuatu  dengan  tangan
kiri dan memberi dengan tangan kiri.

Maka keluar dari perkataan kami : )  ﻉﺭﺎﺸﻟﺍ ﻪﻨﻋ ﻰ ﺎﻣ (   "Apa-apa yang dilarang
oleh pembuat syari'at", yang wajib, sunnah dan mubah.

Dan keluar dari perkataan kami :  ) ﻙﺮﺘﻟﺎﺑ ﻡﺍﺰﻟﻹﺍ ﻪﺟﻭ ﻰﻠﻋ ﻻ (  "tidak dalam bentuk
keharusan untuk ditinggalkan", yang haram.

Dan suatu yang makruh itu pelakunya diganjar jika ia meninggalkannya
untuk  mendapatkan  pahala  (ikhlas),  dan  orang  yang  melakukannya
tidak  mendapatkan adzab.
 
5. Mubah (ﺡﺎﺒﳌﺍ) secara bahasa : (ﻪﻴﻓ ﻥﻭﺫﺄﳌﺍﻭ ﻦﻠﻌﳌﺍ) "yang diumumkan dan diizinkan
dengannya". 

Dan secara istilah :
 
ﻣ ﹶﻻ ﺎ ﻳ  ﺘ ﻌ ﱠﻠ  ﻖ ِﺑ  ِﻪ ﹶﺃ  ﻣ ﺮ ﻭ ، ﹶﻻ ﻧ  ﻬ ﻲ ِﻟ  ﹶ ﺬ ِ ﺗﺍ ِﻪ 

"Apa-apa yang tidak berhubungan dengan perintah dan larangan secara
asalnya". Seperti makan pada malam hari di bulan Romadhon. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  11 
Dan  keluar  dari  perkataan  kami  : (   ﻖﻠﻌﺘﻳ  ﻻ  ﺎﻣ ﺮﻣﺃ  ﻪﺑ )  "apa-apa  yang  tidak
berhubungan dengan perintah", wajib dan mandub.

Dan keluar dari perkataan kami : (ﻲ ﻻﻭ) "dan pula larangan", haram dan
makruh.

Dan  keluar  dari  perkataan  kami  : (ﻪﺗﺍﺬﻟ)  "pada  asalnya",  apa-apa  yang
seandainya  ada  kaitannya  dengan  perintah  karena  keberadaannya  (yakni
suatu  yang  mubah)  sebagai  wasilah  (yang  menghantarkan)  terhadap  hal
yang  diperintahkan,  atau  ada  kaitannya  dengan  larangan  karena
keberadaannya  sebagai wasilah  terhadap hal yang dilarang; maka bagi hal
yang  mubah  tersebut  hukumnya  sesuai  dengan  apa-apa  ia  (yang  mubah
tersebut) menjadi wasilah baginya, dari hal  yang diperintahkan atau  yang
dilarang. Dan yang demikian tidak mengeluarkannya (yakni hal yang mubah)
dari keberadaannya sebagai sesuatu yang hukumnya mubah pada asalnya.

Dan mubah yang  senantiasa berada pada  sifat mubah  (boleh), maka  ia
tidak mengakibatkan ganjaran dan tidak pula adzab.

Dan dinamakan juga : (ﹰﺍﺰﺋﺎﺟﻭ ﹰ ﻻﻼﺣ).
 
AL-AHKAM AL-WADH'IYYAH (ﺔﻴﻌﺿﻮﻟﺍ ﻡﺎﻜﺣﻷﺍ) :

Al-Ahkam al-wadh'iyyah adalah :
 
ﻣ ﻭ ﺎ ﺿ ﻌ ﻪ  ﺸﻟﺍ  ِ ﺭﺎ  ﻉ ِﻣ  ﻦ ﹶﺃ  ﻣ  ﺭﺎ ٍ ﺕﺍ ِﻟ ، ﹸﺜ ﺒ ﻮ ٍﺕ ﹶﺃ  ﻭ  ﻧﺍ  ِﺘ ﹶﻔ ٍ ﺀﺎ ﹶﺃ ، ﻭ ﻧ  ﹸﻔ ﻮ ٍﺫ ﹶﺃ ، ﻭ ِﺇ  ﹾﻟ ﻐ ٍ ﺀﺎ 

"Apa-apa  yang diletakkan oleh pembuat  syari'at dari  tanda-tanda untuk
menetapkan atau menolak, melaksanakan atau membatalkan." Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  12 
Dan diantaranya adalah sah (ﺔﺤﺼﻟﺍ) dan rusak(ﺩﺎﺴﻔﻟﺍ)/tidak sah-nya sesuatu.

1. Sah (ﺢﻴﺤﺼﻟﺍ) secara bahasa : (ﺽﺮﳌﺍ ﻦﻣ ﻢﻴﻠﺴﻟﺍ) yang selamat dari penyakit.

Secara istilah :
 
ﻣ ﺗ ﺎ ﺮ ﺗ ﺒ ﺖ ﹶ ﺛﺁ   ﺭﺎ ِﻓ  ﻌ ِﻠ ِﻪ ﻋ  ﹶﻠ ﻴ ِﻪ ِﻋ  ﺒ  ﺩﺎ ﹶﻛ ﹰﺓ ﹶ ﻥﺎ ﹶﺃ  ﻡ ﻋ  ﹾﻘ ﹰ ﺍﺪ 

"apa-apa  yang  pengaruh  perbuatannya  berakibat  padanya,  baik  itu
ibadah ataupun akad."

Maka  sah  dalam  ibadah  :  apa-apa  yang  beban  terlepas  dengannya
(yakni ibadah yang sah) dan tuntutan gugur dengannya.

Dan  sah  dalam  akad  :  apa-apa  yang  pengaruh  adanya  akad  tersebut
berakibat  terhadap  keberadaannya,  seperti  pada  suatu  akad  jual  beli
berakibat kepemilikan.

Dan tidaklah sesuatu  itu menjadi sah kecuali dengan menyempurnakan
syarat-syaratnya dan tidak ada penghalang-penghalangnya.

Contohnya dalam ibadah : seseorang mendatangi sholat pada waktunya
dengan menyempurnakan syarat-syaratnya, rukun-rukunnya dan kewajiban-
kewajibannya.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  13 
Contohnya  dalam  akad  :  seseorang melakukan  akad  jual  beli  dengan
menyempurnakan  syarat-syaratnya  yang  telah  diketahui  dan  tidak  adanya
penghalang-penghalangnya.

Jika  hilang  satu  syarat  dari  syarat-syarat  yang  ada,  atau  adanya
penghalang dari penghalang-penghalangnya maka tidak dikatakan sah.

Contoh hilangnya syarat dalam ibadah : seseorang sholat tanpa bersuci.

Contoh hilangnya  syarat dalam akad  :  seseorang menjual barang  yang
bukan miliknya.

Contoh  adanya  penghalang  dalam  ibadah  :  seseorang  sholat  sunnah
mutlak pada waktu larangan.

Contoh  adanya  penghalang  dalam  akad  :  seseorang  menjual  sesuatu
kepada orang yang wajib baginya sholat jum'at, sesudah adzan jum'at yang
kedua dari sisi yang tidak dibolehkan.
 
2. Rusak / Fasid (ﺪﺳﺎﻔﻟﺍ) secara bahasa : yang pergi dengan hilang dan rugi.

Dan secara istilah : 

ﻣ ﹶﻻ ﺎ ﺗ  ﺘ ﺮ ﺗ  ﺐ ﹶ ﺛﺁ   ﺭﺎ ِﻓ  ﻌ ِﻠ ِﻪ ﻋ  ﹶﻠ ﻴ ِﻪ ِﻋ  ﺒ  ﺩﺎ ﹶﻛ ﹰﺓ ﹶ ﻥﺎ ﹶﺃ  ﻡ ﻋ  ﹾﻘ ﹰ ﺍﺪ 

"apa-apa yang pengaruh perbuatannya tidak berakibat kepadanya, baik
itu ibadah atu akad."
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  14 
Fasid dalam ibadah : apa-apa yang beban tidak terlepas dengannya dan
tuntutan tidak gugur dengannya; seperti sholat sebelum waktunya.

Fasid  dalam  akad  :  apa-apa  yang  pengaruh  akad  tersebut  tidak
berakibat padanya  (tidak memiliki dampak);  seperti menjual  sesuatu yang
belum ditentukan.

Dan  semua  yang  fasid  (rusak)  dalam  ibadah,  akad  dan  syarat-syarat
maka  itu  adalah  haram.  Karena  yang  demikian  termasuk  melampaui
batasan-batasan Allah dan menjadikan ayat-ayat-Nya  sebagai olok-olokan,
dan  karena  Nabi  shollallohu  alaihi  wa  sallam  mengingkari  orang  yang
mensyaratkan syarat-syarat yang tidak ada dalam kitabullah (al-Qur'an).
 
Fasid dan batil memiliki makna yang sama kecuali dalam dua tempat:

Yang  pertama:  dalam  ihrom,  para  'ulama  membedakan  keduanya,
bahwa yang fasid adalah apabila  seorang yang  ihrom menyetubuhi  istrinya
sebelum tahallul awal; dan yang batil adalah apabila seseorang murtad dari
Islam.

Yang kedua : dalam nikah; para 'ulama membedakan keduanya, bahwa
yang  fasid  adalah  apa-apa  yang  diperselisihkan  para  'ulama  dalam
kerusakannya,  seperti  nikah  tanpa  wali;  dan  batil  adalah  apa-apa  yang
disepakati kebatilannya seperti menikahi wanita yang masih dalam `iddah-
nya. 

***
  Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  15 
ﹾ ﻠِ ﻌﻟﺍ ﻢ 
ILMU

Definisinya:

Ilmu adalah :

ِﺇ ﺩ ﺭ  ﻙﺍ  ﺸﻟﺍ  ﻲ ِﺀ ﻋ  ﹶﻠ ﻣ ﻰ ﻫ ﺎ ﻮ ﻋ  ﹶﻠ ﻴ ِﻪ ِﺇ  ﺩ ﺭ  ﺟ ﹰ ﺎﻛﺍ ِ ﺯﺎ ﹰ ﺎﻣ 

"Mengetahui sesuatu sesuai dengan apa adanya (yakni sesuai dengan yang
sebenarnya) dengan pasti/yakin"

Misalnya  mengetahui  bahwa  keseluruhan  itu  lebih  besar  daripada
sebagian, dan bahwa niat merupakan syarat dari ibadah.

Maka keluar dari perkataan kami : ( ﻙﺍﺭﺩﺇ   ﺀﻲﺸﻟﺍ ) "mengetahui sesuatu" adalah
tidak  mengetahui  sesuatu  secara  menyeluruh,  dan  dinamakan  "kebodohan
yang  ringan" ( ﻞﻬﳉﺍ   ﻂﻴﺴﺒﻟﺍ ),  misalnya  seseorang  ditanya:  "kapankah  terjadinya
perang Badar?" Lalu dia menjawab "saya tidak tahu". 

Dan  keluar  dari  perkataan  kami: (ﻪﻴﻠﻋ  ﻮﻫ  ﺎﻣ  ﻰﻠﻋ) "sesuai  dengan  yang
sebenarnya"  adalah mengetahui  sesuatu  dari  segi  yang menyelisihi  keadaan
yang  sebenarnya  dan  dinamakan ( ﻞﻬﳉﺍ   ﺐﻛﺮﳌﺍ )  "kebodohan  yang  bertingkat",
misalnya  seseorang  ditanya  :  "kapankah  terjadinya  perang  badar?",  Lalu  dia
menjawab : "pada tahun ketiga Hijriah".
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  16 
Dan  keluar  dari  perkataan  kami  : ( ﹰ ﺎﻛﺍﺭﺩﺇ   ﹰ ﺎﻣﺯﺎﺟ ) "dengan  pengetahuan  yang
pasti/yakin"  adalah  mendapatkan  pengetahuan  tentang  sesuatu  dengan
pengetahuan  yang  tidak  pasti/yakin  dari  segi  ada  kemungkinan  padanya
(bahwa  yang  benar)  tidak  sesuai  dengan  apa  yang  ia  ketahui,  maka  tidak
dinamakan  sebagai  ilmu.  Kemudian  jika  kuat  padanya  dari  salah  satu
kemungkinan tersebut, maka yang kuat disebut  sebagai (ﻦﻇ) dan yang  lemah
disebut  sebagai (ﻢﻫﻭ),  dan  jika  kedua  kemungkinan  itu  sama maka  disebut
sebagai (ﻚﺷ). 

Dengan  hal  ini  jelaslah  bahwa  hubungan  tentang  pengetahuan  terhadap
sesuatu itu adalah seperti berikut :

1.  Ilmu (ﻢﻠﻋ)  :  yaitu   mengetahui  sesuatu  sesuai  dengan  yang  sebenarnya
dengan pasti/yakin.

2.  Jahil Basith ( ﻞﻬﺟ   ﻂﻴﺴﺑ )  : yaitu  tidak mengetahui sesuatu  secara menyeluruh
(yakni mengetahui sesuatu secara sebagian saja, pent).

3.  Jahil Murokkab ( ﻞﻬﺟ   ﺐﻛﺮﻣ )  :  yaitu mendapat  pengetahuan  tentang  sesuatu
dari segi yang menyelisihi apa yang sebenarnya.

4.  Dzonn (ﻦﻇ)  :  yaitu  mendapat  pengetahuan  tentang  sesuatu  dengan
kemungkinan adanya (pendapat) lainnya yang marjuh/lemah.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  17 
5.  Wahm (ﻢﻫﻭ)  :  yaitu  mendapat  pengetahuan  tentang  sesuatu  dengan
kemungkinan adanya (pendapat) lainnya yang rojih/kuat.

6.  Syakk (ﻚﺷ)  :  yaitu  mendapat  pengetahuan  tentang  sesuatu  dengan
kemungkinan adanya (pendapat) lainnya yang sama kuat.

PEMBAGIAN ILMU :

Ilmu terbagi menjadi dua macam : (ﻱﺭﻭﺮﺿ) "Dhoruri" dan (ﻱﺮﻈﻧ) "Nadzori".

1.  Ilmu Dhoruri adalah apa-apa yang pengetahuan tentangnya sudah diketahui
secara  pasti,  yaitu  sudah  pasti  padanya  tanpa  butuh  pemeriksaan  dan
pendalilan,  seperti  ilmu  tentang  bahwa  keseluruhan  itu  lebih  besar
daripada  sebagian,  bahwa  api  itu  panas,  dan  bahwa  Nabi  Muhammad
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah utusan Allah subhanahu wa ta'ala.  

2.  Ilmu  Nadhori  adalah  apa-apa  yang  (untuk mengetahuinya) membutuhkan
pemeriksaan  dan  pendalilan,  seperti  pengetahuan  tentang  wajibnya  niat
dalam sholat.

   *** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  18 
ﹶ ﻜﻟﺍ ﹶ ﻼـ ﻡ 
KALAM

Definisi :

Kalam secara bahasa :
 
ﹾ ﻟﺍ ﱠﻠ ﹾﻔ ﹸ ﻆ ﹾ ﻟﺍ  ﻤ ﻮ ﺿ ﻮ  ﻉ ِﻟ  ﻤ ﻌ ﲎ 

"Lafadh yang diletakkan untuk suatu makna."

Dan secara istilah : 

ﹾﺍ ﱠ ﻠﻟ ﹾﻔ ﹸ ﻆ ﹸ ﳌﺍ  ِﻔ ﻴ ﺪ 

"Lafadh yang berfaidah (memiliki makna)", 

Misalnya : (   ﻴﺒﻧ ﺪـﻤﳏﻭ ﺎﻨﺑﺭ ﷲﺍ   ﺎـﻨ ) "Allah adalah Robb kita dan Muhammad adalah
Nabi kita".

Dan  suatu  kalam minimal  tersusun dari dua  kata benda; atau  satu  kata
kerja dan satu kata benda.

Contoh yang pertama : (   ﷲﺍ ﻝﻮـﺳﺭ ﺪـﻤﳏ) "Muhammad adalah Rosullullah" dan
contoh yang kedua adalah (ﺪﻤﳏ ﻡﺎﻘﺘﺳﺍ) "Muhammad berdiri".
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  19 
Dan  satu bagian dari  kalam disebut kata yaitu  : Lafadh yang diletakkan
untuk  suatu makna  tunggal, yaitu kadang-kadang berupa kata benda (isim),
kata kerja (fi'il), atau huruf (harf).  

Isim (kata benda) :
 
ﻣ ﺩ ﺎ ﱠﻝ ﻋ  ﹶﻠ ﻣ ﻰ ﻌ ﲎ ِﻓ  ﻲ ﻧ  ﹾﻔ ِﺴ ِﻪ ِﻣ  ﻦ ﹶ ﻏ  ﻴ ِﺮ ِﺇ  ﺷ ﻌ ٍ ﺭﺎ ِﺑ   ﺰ ﻣ ٍﻦ 

"apa-apa  yang  menunjukkan  makna  pada  dirinya  sendiri  dengan  tidak
menunjukkan waktu tertentu."

Dan isim ada tiga macam :

Pertama : Apa-apa yang menunjukkan keumuman misalnya kata sambung.

Kedua  :  Apa-apa  yang  menunjukkan  kemutlakan  misalnya  nakiroh  dalam
konteks penetapan.

Ketiga : Apa-apa yang menunjukkan kekhususan misalnya nama orang.

Fi'il (kata kerja): 

ﻣ ﺩ ﺎ ﱠﻝ ﻋ  ﹶﻠ ﻣ ﻰ ﻌ ﲎ ِﻓ  ﻲ ﻧ  ﹾﻔ ِﺴ ِﻪ ﻭ ، ﹶﺃ ﺷ ﻌ ﺮ ِﺑ  ﻬ ﻴ ﹶﺌ ِﺘ ِﻪ ِﺑ  ﹶ ﺄ ﺣ ِﺪ ﹾﺍ  َ ﻷ  ﺯ ِﻣ ﻨ ِﺔ ﻟﺍ  ﱠﺜ ﹶﻼ ﹶﺛ ِﺔ 

"Apa-apa yang menunjukkan makna pada dirinya sendiri, dan keadaannya
menunjukkan salah satu dari tiga waktu." 
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  20 
Yaitu fi'il madhi  seperti (   ﻢـِ ﻬﹶﻓ), fi'il mudhori' seperti (   ﻢـ ﻬﹾ ﻔﻳ) atau fi'il amr
seperti ( ﻢ ﻬﹾ ﻓِﺍ). 

Dan  fi'il  dengan  pembagiannya  tersebut  memberikan  faidah  mutlaq,
bukan umum.

Harf adalah :

ﻣ ﺩ ﺎ ﱠﻝ ﻋ  ﹶﻠ ﻣ ﻰ ﻌ  ﻨ ِﻓ ﻰ ﹶ ﻏ ﻲ ﻴ ِﺮ ِﻩ 

"Apa-apa yang menunjukkan makna pada yang selainnya" 

Diantaranya :

1.  Wawu (  ﻭﺍﻮـﻟﺍ)  :  datang  sebagai  'athof  (penyambung), maka memberikan
faidah  penggabungan  dua  hal  yang  saling  bersambung  di  dalam  sebuah
hukum,  tidak  menunjukkan  urutan  dan  tidak  menafikannya  kecuali
dengan dalil.

2.  Fa' (ﺀﺎﻔﻟﺍ) : datang sebagai 'athof (penyambung), maka memberikan faidah
penggabungan  dua  hal  yang  saling  bersambung  di dalam hukum dengan
berurutan dan beriringan dan datang dengan sebab, dan memberi faidah
ta'lil (alasan).

3.   (   ﺓ ﺭﺎـﳉﺍ ﻡﻼـﻟﺍ) : memiliki beberapa makna diantaranya : sebab, kepemilikan
dan kebolehan.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  21 
4.  (ﺓ ﺭﺎﳉﺍ ﻰﻠﻋ) : memiliki beberapa makna diantaranya : wajib.

JENIS-JENIS KALAM :

Kalam terbagi dari segi kemungkinan disifati benar dan tidaknya dengan dua
macam :

1) Al-Khobar (Berita): 

ﻣ ﻳ ﺎ ﻤ ِﻜ ﻦ ﹶﺃ  ﹾﻥ ﻳ  ﻮ ﺻ ﻒ ِﺑ   ﺼﻟﺎ ﺪ ِ ﻕ ﹶﺃ  ﻭ ﹶ ﻜﻟﺍ  ِ ﺬ ِﺏ ِﻟ  ﹶ ﺬ ِ ﺗﺍ ِﻪ 

"Kalam yang mungkin disifati dengan benar atau dusta pada asalnya."

Maka keluar dari perkataan kami : (ﺏﺬﻜﻟﺍﻭ ﻕﺪﺼﻟﺎﺑ ﻒﺻﻮﻳ ﻥﺃ ﻦﻜﳝ ﺎﻣ) "Apa-apa yang
mungkin disifati dengan benar atau dusta"; (ﺀﺎﺸﻧﻹﺍ) "al-insya' (yang mengandung
perintah  atau  larangan,  pent)"  karena  tidak memiliki  kemungkinan  seperti
itu,  sebab penunjukannya bukanlah  suatu pengkabaran  yang mungkin untuk
dikatakan : ia benar atau dusta.

Dan keluar dari perkataan kami : (ﻪﺗﺍﺬﻟ) "pada asalnya"; khobar yang tidak
mengandung  kebenaran,  atau  tidak  mengandung  kedustaan  dari  sisi  yang
dikabarkan.  Yang  demikian  karena  khobar  dari  sisi  yang  dikabarkan  terbagi
menjadi 3 :
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  22 
Pertama,  yang  tidak mungkin disifati dengan dusta,  seperti khobar dari
Allah dan Rasul-Nya yang telah shohih darinya.

Kedua,  yang  tidak  mungkin  disifati  dengan  kebenaran,  seperti  khobar
tentang  sesuatu yang mustahil  secara  syar'i atau  secara akal. Yang pertama
(mustahil  secara  syar'i,  pent),  seperti  seorang  yang mengaku  sebagai  Rasul
setelah Nabi  shallallahu  'alaihi wa  sallam; dan  yang  kedua  (mustahil  secara
akal,  pent),  seperti  khobar  berkumpulnya  2  hal  yang  saling  bertentangan
(yang  tidak  mungkin  ada  bersamaan  atau  hilang  bersamaan,  pent)  seperti
bergerak dan diam pada sesuatu yang satu pada waktu yang sama.

Ketiga,  yang  mungkin  disifati  dengan  benar  dan  dusta  baik  dengan
kemungkinan  yang  sama  (tidak bisa dibenarkan dan didustakan  karena  sulit
ditarjih,  pent)  atau  dengan  merojihkan  salah  satunya,  seperti  kabar  dari
seseorang tentang sesuatu yang ghoib dan yang semisalnya.

2) Al-Insya' (ﺀﺎﺸﻧﻹﺍ): 

ﻣ ﹶﻻ ﺎ ﻳ  ﻤ ِﻜ ﻦ ﹶﺃ  ﹾﻥ ﻳ  ﻮ ﺻ ﻒ ِﺑ   ﺼﻟﺎ ﺪ ِ ﻕ ﻭ  ﹾ ﻟﺍ ﹶﻜ ِ ﺬ ِﺏ 

"Kalam  yang  tidak  mungkin  disifati  dengan  benar  atau  dusta",
diantaranya adalah perintah dan larangan. Seperti firman Allah :
 
ﺎﺌ ﻴﺷ ِ ﻪِﺑ ﺍﻮﹸ ﻛِ ﺮ ﺸﺗ ﻻﻭ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﺍﻭ ﺪ ﺒ ﻋﺍﻭ 

"Sembahlah Allah dan janganlah kalian menyekutukannya dengan sesuatu
apapun." (an-Nisa : 36)
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  23 
Dan  terkadang  kalam  adalah  berupa  khobar  insya'  ditinjau  dari  2  sisi;
seperti  bentuk  akad  yang  dilafadzkan, misal  :  "aku  jual  atau  aku  terima",
karena  kalimat  ini merupakan khobar ditinjau dari penunjukannya  terhadap
apa yang ada (kehendak, pent) pada orang yang meng-akad, dan merupakan
insya' ditinjau dari sisi konsekuensi akad.

Terkadang  kalam  datang  dalam  bentuk  khobar  tapi  yang  dimaksud
dengannya adalah Insya' dan sebaliknya untuk suatu faidah.

Contoh yang pertama : Firman Allah subhanahu wa ta'ala : 

ٍ ﺀﻭ ﺮﹸ ﻗ ﹶ ﺔﹶ ﺛﻼﹶﺛ  ﻦِ ﻬِ ﺴﹸ ﻔ ﻧﹶ ﺄِﺑ  ﻦ ﺼ ﺑ ﺮ ﺘﻳ  ﺕﺎﹶ ﻘﱠ ﻠﹶ ﻄ ﻤﹾ ﻟﺍﻭ 

"Dan  perempuan-perempuan  yang  diceraikan  hendaklah menunggu  tiga
kali quru'" (al-Baqoroh : 228)

Maka firman Allah "ﻦ ﺼ ﺑ ﺮ ﺘﻳ" adalah berbentuk khobar tetapi yang dimaksud
dengannya  adalah  perintah,  dan  faidah  dari  hal  tersebut  adalah penegasan
terhadap  perbuatan  yang  diperintahkan  tersebut,  sampai  seolah-olah
perintah  tersebut  seperti  perintah  yang  telah  terjadi,  berbicara dengannya
seperti salah satu sifat dari sifat-sifat perintah.

Contoh yang sebaliknya : Firman Allah subhanahu wa ta'ala :

 ﻢﹸ ﻛﺎ ﻳﺎﹶ ﻄ ﺧ ﹾ ﻞِ ﻤ ﺤ ﻨﹾ ﻟﻭ ﺎ ﻨﹶ ﻠﻴِ ﺒﺳ ﺍﻮ ﻌِ ﺒ ﺗﺍ ﺍﻮ ﻨ ﻣﺁ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻠِﻟ ﺍﻭ ﺮﹶ ﻔﹶﻛ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗﻭ 

"Dan berkata orang-orang kafir kepada orang-orang yang beriman,  "  Ikutilah
jalan (agama) kami dan kami akan memikul kesalahan-kesalahan kamu." [QS
al-Ankabut : 12]
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  24 
Maka firman Allah "ﹾ ﻞِ ﻤ ﺤ ﻨﹾ ﻟﻭ" adalah dalam bentuk perintah tetapi yang dimaksud
dengannya adalah khobar, yaitu : dan kami akan memikul, dan faidah dari hal
tersebut  adalah  menempatkan  sesuatu  yang  dikhobarkan  tersebut  pada
tempat yang diwajibkan dan diharuskan dengannya.

HAKIKAT DAN MAJAZ

Kalam dari sisi penggunaannya terbagi menjadi hakikat dan majaz.
       
1.  Hakikat (ﺔﻘﻴﻘﳊﺍ) adalah 
       
ﱠ ﻠﻟﺍ ﹾﻔ ﹸ ﻆ ﹾ ﻟﺍ  ﻤ ﺴ ﺘ ﻌ ﻤ ﹸﻞ ِﻓ  ﻴ ﻤ ﻭ ﺎ ﺿ  ﻊ ﹶﻟ  ﻪ 
       
"Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya."
       
        Seperti : Singa (ﺪﺳﺃ) untuk suatu hewan yang buas.
       
        Maka keluar dari perkataan kami : (ﻞﻤﻌﺘﺴﳌﺍ) "yang digunakan" : yang tidak
digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz.
        
        Dan keluar dari perkataan kami : (  ﻪـﻟ ﻊﺿﻭ ﺎﻤﻴﻓ) " pada asal peletakannya" :
Majaz.
        
Dan  hakikat  terbagi menjadi  tiga macam  : Lughowiyyah,  Syar'iyyah dan
'Urfiyyah.
         Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  25 
Hakikat lughowiyyah adalah :
        
ﱠ ﻠﻟﺍ ﹾﻔ ﹾ ﻟﺍ ﻆ ﻤ ﺴ ﺘ ﻌ ﻤ ﹸﻞ ِﻓ  ﻴ ﻤ ﻭ ﺎ ِﺿ  ﻊ ﹶﻟ  ﻪ ِﻓ  ﻲ ﱡ ﻠﻟﺍ  ﻐ ِﺔ 
        
"Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara bahasa."
        
Maka keluar dari perkataan kami : (ﺔﻐﻠﻟﺍ ﰲ) "secara bahasa" : hakikat syar'iyyah
dan hakikat 'urfiyyah.
        
Contohnya : sholat, maka sesungguhnya hakikatnya secara bahasa adalah doa,
maka dibawa pada makna tersebut  menurut perkataan ahli bahasa.
        
Hakikat syar'iyyah adalah : 
        
ﱠ ﻠﻟﺍ ﹾﻔ ﹸ ﻆ ﹾ ﻟﺍ  ﻤ ﺴ ﺘ ﻌ ﻤ ﹸﻞ ِﻓ  ﻴ ﻤ ﻭ ﺎ ِﺿ  ﻊ ﹶﻟ  ﻪ ِﻓ  ﻲ  ﺸﻟﺍ  ﺮ ِ ﻉ 
        
"Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara syar'i."
        
Maka  keluar  dari  perkataan  kami  : (ﻉﺮـ ـﺸﻟﺍ ﰲ)  "secara  syar'i"  :  hakikat
lughowiyyah dan hakikat 'urfiyyah. 
        
Contohnya  :  sholat,  maka  sesungguhnya  hakikatnya  secara  syar'i  adalah
perkataan  dan  perbuatan  yang  sudah  diketahui  yang  dimulai  dengan  takbir
dan  diakhiri  dengan  salam,  maka  dibawa  pada  makna  tersebut  menurut
perkataan ahli syar'i.
         Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  26 
Hakikat 'urfiyyah adalah : 
        
ﱠ ﻠﻟﺍ ﹾﻔ ﹸ ﻆ ﹸ ﳌﺍ  ﺴ ﺘ ﻌ ﻤ ﹸﻞ ِﻓ  ﻴ ﻤ ﻭ ﺎ ِﺿ  ﻊ ﹶﻟ  ﻪ ِﻓ  ﻲ  ﻌﻟﺍ  ﺮ ِ ﻑ 
        
"Lafadz yang digunakan pada asal peletakannya secara 'urf (adat/kebiasaan)."
        
Maka keluar dari perkataan kami : (ﻑﺮﻌﻟﺍ ﰲ) "secara 'urf" : hakikat lughowiyyah
dan hakikat syar'iyyah.
        
Contohnya  :  Ad-Dabbah (  ﺔـﺑﺍﺪﻟﺍ), maka  sesungguhnya  hakikatnya  secara  'urf
adalah  hewan  yang  mempunyai  empat  kaki,  maka  dibawa  pada  makna
tersebut menurut perkataan ahli 'urf.

Dan manfaat dari mengetahui pembagian hakikat menjadi tiga macam adalah
: Agar kita membawa  setiap  lafadz pada makna hakikat dalam tempat yang
semestinya  sesuai  dengan  penggunaannya.  Maka  dalam  penggunaan  ahli
bahasa  lafadz  dibawa  kepada  hakikat  lughowiyyah  dan  dalam  penggunaan
syar'i  dibawa  kepada  hakikat  syar'iyyah  dan  dalam  penggunaan  ahli  'urf
dibawa kepada hakikat 'urfiyyah.
            
2.  Majaz (ﺯﺎﺍ) adalah
        
ﱠ ﻠﻟﺍ ﹾﻔ ﹸ ﻆ ﹸ ﳌﺍ  ﺴ ﺘ ﻌ ﻤ ﹸﻞ ِﻓ  ﻲ ﹶ ﻏ  ﻴ ِﺮ ﻣ  ﻭ ﺎ ِﺿ  ﻊ ﹶﻟ  ﻪ 
        
"Lafadz yang digunakan bukan pada asal peletakannya."
        
        Seperti : singa untuk laki-laki yang pemberani.
         Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  27 
        Maka keluar dari perkataan kami : (ﻞﻤﻌﺘﺴﳌﺍ) "yang digunakan" : yang tidak
digunakan, maka tidak dinamakan hakikat dan majaz.
        
        Dan  keluar  dari  perkataan  kami  : (     ﻪـﻟ ﻊـﺿﻭ ﺎـﻣ ﲑـﻏ ﰲ)  "bukan  pada  asal
peletakannya" : Hakikat.
        
        Dan tidak boleh membawa lafadz pada makna majaznya kecuali dengan
dalil yang shohih yang menghalangi lafadz tersebut dari maksud yang hakiki,
dan ini yang dinamakan dalam ilmu bayan sebagai qorinah (penguat).
        
        Dan disyaratkan benarnya penggunaan  lafadz pada majaznya  : Adanya
kesatuan  antara  makna  secara  hakiki  dengan  makna  secara  majazi  agar
benarnya  pengungkapannya,  dan  ini  yang  dinamakan  dalam  ilmu  bayan
sebagai  'Alaqoh  (hubungan/  penyesuaian),  dan  'Alaqoh  bisa  berupa
penyerupaan atau yang selainnya.
        
        Maka  jika  majaz  tersebut  dengan  penyerupaan,  dinamakan  majaz
Isti'arah (ﺓﺭﺎﻌﺘﺳﺍ), seperti majaz pada lafadz singa untuk seorang laki-laki yang
pemberani.
        
        Dan jika bukan dengan penyerupaan, dinamakan majaz Mursal (ﻞﺳﺮﻣ ﺯﺎﳎ)
jika majaznya dalam kata, dan dinamakan majaz 'Aqli (ﻲﻠﻘﻋ ﺯﺎﳎ) jika majaznya
dalam penyandarannya.
        
        Contohnya  dari majaz mursal  :  kamu mengatakan  : (   ﺮـﻄﳌﺍ ﺎـﻨﻴﻋﺭ)  "Kami
memelihara hujan", maka kata (  ﺮـﻄﳌﺍ) "hujan" merupakan majaz dari  rumput
(ﺐﺸﻌﻟﺍ). Maka majaz ini adalah pada kata.  Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  28 
        Dan contohnya dari majaz  'Aqli : Kamu mengatakan  : (    ﺐـﺸﻌﻟﺍ ﺮـﻄﳌﺍ ﺖـﺒﻧﺃ)
"Hujan  itu  menumbuhkan  rumput",  maka  kata-kata  tersebut  seluruhnya
menunjukkan  hakikat  maknanya,  tetapi  penyandaran  menumbuhkan  pada
hujan adalah majaz, karena yang menumbuhkan secara hakikat adalah Allah
ta'ala, maka majaz ini adalah dalam penyandarannya.  
        
        Dan diantara majaz mursal adalah  : Majaz dalam hal penambahan dan
majaz dalam hal penghapusan.
        
        Mereka  memberi  permisalan    majaz  dalam  hal  penambahan  dengan
firman Allah ta'ala :
        
ٌ ﺀ ﻲﺷ ِ ﻪِ ﻠﹾ ﺜِ ﻤﹶﻛ  ﺲ ﻴﹶﻟ   

"Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan-Nya" (QS. Asy-Syuro : 11)
        
        Maka mereka mengatakan  :  Sesungguhnya (  ﻑﺎـﻜﻟﺍ)  "huruf  kaaf"  adalah
tambahan untuk penguatan peniadaan permisalan dari Allah ta'ala.
        
        Contoh dari majaz dengan penghapusan adalah firman Allah ta'ala :
        
ﹶ ﺔ ﻳ ﺮﹶ ﻘﹾ ﻟﺍ ِ ﻝﹶ ﺄ ﺳﺍﻭ 
         
"Bertanyalah kepada desa" (QS. Yusuf : 82)
        
        Maksudnya : (    ﺔـﻳﺮﻘﻟﺍ ﻞـﻫﺃ ﻝﺄـﺳﺍﻭ) "bertanyalah pada penduduk desa", maka
penghapusan kata  )   ﻞـﻫﺃ (  "penduduk" adalah suatu majaz, dan bagi majaz ada
macam yang sangat banyak yang disebutkan dalam ilmu bayan.
         Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  29 
        Dan  hanya  saja  disebutkan  sedikit  tentang  hakikat  dan majaz  dalam
ushul  fiqh  karena  penunjukan  lafadz  bisa  jadi berupa hakikat dan bisa  jadi
berupa majaz, maka dibutuhkan untuk mengetahui keduanya dan hukumnya.
Wallahu A'lam.
        
PERINGATAN:
        
        Pembagian  kalam  menjadi  hakikat  dan  majaz  adalah  masyhur  di
kalangan sebagian besar muta'akhkhirin dalam Al-Qur'an dan yang selainnya.
Dan  berkata  sebagian  ahli  ilmu  :  "Tidak  ada  majaz  dalam  Al-Qur'an"  dan
berkata  sebagian  yang  lain  :  "Tidak  ada  majaz  dalam  Al-Qur'an  dan  yang
selainnya",  dan  ini  merupakan  pendapat  Abu  Ishaq  Al-Isfaroyin  dan  dari
kalangan  muta'akhkhirin  Muhammad  Al-Amin  Asy-Syanqithi.  Dan  Syaikhul
Islam  Ibnu  Taimiyyah  dan  muridnya  Ibnul  Qoyyim  telah  menjelaskan
bahwasanya istilah tersebut muncul setelah berlalunya tiga masa yang utama,
dan beliau menguatkan pendapat ini dengan dalil-dalil yang kuat dan banyak,
yang menjelaskan kepada orang yang menelitinya bahwa pendapat ini adalah
pendapat yang benar.
        
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  30 
َ ﻷﺍ ﻣ ﺮ 
PERINTAH

DEFINISINYA :

Perintah (ﺮﻣﻷﺍ) adalah :

ﹶ ﻗ ﻮ ﹲﻝ ﻳ  ﺘ ﻀ ﻤ ﻦ ﹶﻃ  ﹶﻠ  ﺐ ِ ﻔﻟﺍ  ﻌ ِﻞ ﻋ  ﹶﻠ ﻭ ﻰ  ﺟ ِﻪ ﹾﺍ  ِﻻ ﺳ ِﺘ ﻌ ﹶﻼ ِﺀ 

"Perkataan  yang  mengandung  permintaan  untuk  dilakukannya  suatu
perbuatan,  dalam  bentuk  al-isti'la  (dari  yang  lebih  tinggi  ke  yang  lebih
rendah, seperti Allah memerintahkan hamba-Nya. pent).

Keluar  dari  perkataan  kami  : (  ﻝﻮـﻗ)  "perkataan"  ;  Isyarat, maka  isyarat
tidak dinamakan perintah, walaupun maknanya memberi faidah perintah.

Keluar dari perkataan kami : (   ﺐـﻠﻃ     ﻞـﻌﻔﻟﺍ ) "permintaan untuk dilakukannya
suatu  perbuatan"  ;  larangan,  karena  larangan merupakan permintaan untuk
meninggalkan  sesuatu,  dan  yang  dimaksud  dengan  perbuatan  adalah
mewujudkan  sesuatu,  maka  (perbuatan  tersebut,  pent)  mencakup
perkataan/ucapan yang diperintahkan.

Keluar dari perkataan kami : (   ﻰـﻠﻋ     ﻪـﺟﻭ     ﺀﻼﻌﺘـﺳﻻﺍ ) "dalam bentuk isti'la" ; al-
iltimas  (setara/sejajar/selevel,  pent)  dan  do'a  (dari  yang  lebih  rendah
kepada yang  lebih tinggi, pent) dan yang selainnya yang diambil dari bentuk
perintah  dengan  adanya  qorinah  (yakni  konteks  kalimatnya  bukan  sebagai
perintah, pent). Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  31 
BENTUK-BENTUK PERINTAH :

Bentuk-bentuk perintah ada empat :

1. Fi'il amr ( ﻞﻌﻓ   ﺮﻣﻷﺍ ), 

Contohnya : 

ﹸ ﻞ ﺗﺍ ِ ﺏﺎ ﺘِ ﻜﹾ ﻟﺍ  ﻦِﻣ  ﻚ ﻴﹶ ﻟِﺇ  ﻲِ ﺣﻭﹸﺃ ﺎﻣ  

"Bacalah  apa-apa  yang  diwahyukan  kepadamu  dari  Al-Kitab"  [QS.  Al-
Ankabut :45]

2. Isim fi'il amr ( ﻢﺳﺍ   ﻞﻌﻓ   ﺮﻣﻷﺍ ),
 
Contohnya : 

ﺣ ﻲ ﻋ  ﹶﻠ  ﺼﻟﺍ ﻰ ﹶﻼ ِﺓ 

"Marilah kita sholat"

3. Masdar pengganti dari fi'il amr (ﺮﻣﻷﺍ ﻞﻌﻓ ﻦﻋ ﺐﺋﺎﻨﻟﺍ ﺭﺪﺼﳌﺍ), 

Contohnya : 

 ﺍﻭ ﺮﹶ ﻔﹶﻛ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ  ﻢ ﺘﻴِ ﻘﹶﻟ ﺍﹶ ﺫِ ﺈﹶﻓ  ﺏ ﺮ ﻀﹶﻓ ﺏﺎﹶ ﻗ ﺮﻟﺍ  

"Apabila  kamu  bertemu  dengan  orang-orang  kafir  (di medan  perang) maka
pancunglah batang leher mereka." [QS. Muhammad : 4]
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  32 
4. Fi'il Mudhori'  yang bersambung dengan lam amr (ﺮﻣﻷﺍ ﻡﻼﺑ ﻥﻭﺮﻘﳌﺍ ﻉﺭﺎﻀﳌﺍ), 

Contohnya : 

ﺍﻮ ﻨِ ﻣ ﺆ ﺘِﻟ ِ ﻪِ ﻟﻮ ﺳ ﺭﻭ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺎِﺑ  

"Supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya" QS. Al-Mujadalah:4]

Dan  terkadang  yang  selain bentuk perintah memberi  faidah permintaan
untuk  dilakukannya  suatu  perbuatan  seperti  suatu  perbuatan  yang  disifati
dengan  hukum  fardhu  atau  wajib  atau  mandub  (disukai)  atau  merupakan
ketaatan  atau  pelakunya  dipuji  atau  yang  meninggalkannya  dicela  atau 
mengerjakannya mendapat ganjaran atau meninggalkannya mendapat adzab.  

Yang ditunjukkan dari bentuk perintah (ﺮﻣﻷﺍ ﺔﻐﻴﺻ):

Bentuk  perintah  secara mutlak/  umum memberi  konsekuensi: wajibnya
sesuatu yang diperintahkan dan bersegera (ﺓﺭﺩﺎﺒﳌﺍ) dalam melakukannya secara
langsung.

Diantara  dalil-dalil  yang menunjukkan  bahwa  bentuk  perintah memberi
konsekuensi wajib adalah firman Allah ta'ala :

 ﻢﻴِ ﻟﹶﺃ  ﺏﺍﹶ ﺬﻋ  ﻢ ﻬ ﺒﻴِ ﺼﻳ  ﻭﹶﺃ ﹲ ﺔ ﻨ ﺘِﻓ  ﻢ ﻬ ﺒﻴِ ﺼﺗ ﹾ ﻥﹶﺃ ِ ﻩِ ﺮ ﻣﹶﺃ  ﻦﻋ ﹶ ﻥﻮﹸ ﻔِ ﻟﺎ ﺨﻳ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ِ ﺭﹶ ﺬ ﺤ ﻴﹾ ﻠﹶﻓ 

"Maka  hendaklah  orang-orang  yang  menyalahi  perintah  Rasul,  takut  akan
ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih" [QS. an-Nur : 63]
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  33 
Segi  pendalilannya  bahwasanya  Allah  memperingatkan  kepada  orang-
orang  yang menyelisihi  perintah  Rosul  shallallahu  'alaihi  wa  sallam  bahwa
mereka  akan  tertimpa  fitnah  yaitu  kesesatan  atau  mereka  akan  ditimpa
dengan  adzab  yang  pedih,  yang  demikian  itu  tidaklah  terjadi  melainkan
dengan  meninggalkan  kewajiban,  maka  ini  menunjukkan  bahwa  perintah
Rosullullah  shallallahu  'alaihi wa sallam secara mutlak/ umum menunjukkan
wajibnya perbuatan yang diperintahkan.

Dan  diantara  dalil-dalil  yang  menunjukkan  bahwa  bentuk  perintah
menunjukkan  untuk  segera  dilakukan  secara  langsung  adalah  firman  Allah
ta'ala :

ِ ﺕﺍ ﺮ ﻴ ﺨﹾ ﻟﺍ ﺍﻮﹸ ﻘِ ﺒ ﺘ ﺳﺎﹶﻓ 

"Maka berlomba-lombalah (dalam membuat) kebaikan" [QS. Al-Baqoroh :
148]

Dan  semua  yang  diperintahkan  secara  syar'i  merupakan  kebaikan,  dan
perintah  untuk  berlomba-lomba  dalam  mengerjakannya  merupakan  dalil
wajibnya bersegera.

Karena Nabi shallallahu  'alaihi wa sallam membenci ketika para sahabat
menunda-nunda  apa  yang  diperintahkan  kepada mereka  dari menyembelih
dan mencukur  rambut pada hari perjanjian Hudaibiyyah,  sampai Rosullullah
shallallahu  'alaihi wa sallam masuk mendatangi Ummu Salamah radhiyallahu
'anha maka  beliau menceritakan  kepadanya  apa  yang  beliau  dapatkan  dari
sikap  para  sahabat  (yang  menunda-nunda  perintahnya,  pent).  [HR.  Ahmad
dan Al-Bukhori].
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  34 
Dan  karena  bersegera  dalam  melakukan  suatu  perbuatan  (yang
diperintahkan,  pent)  adalah  lebih  hati-hati  dan  lebih  membebaskan  dari
tanggungan,  dan menunda-nunda melakukan  perbuatan  yang  diperintahkan
merupakan  cacat,  dan  memberi  konsekuensi  bertumpuknya  kewajiban-
kewajiban sehingga seseorang menjadi tidak sanggup mengerjakannya.
 
Dan  terkadang  perintah  keluar dari hukum wajib dan bersegera dengan
adanya  dalil  yang menunjukkan  demikian maka perintah  keluar dari hukum
wajib kepada beberapa makna (hukum), diantaranya :

1. Mandub (disukai), seperti firman Allah ta'ala : 

 ﻢ ﺘ ﻌ ﻳﺎ ﺒﺗ ﺍﹶ ﺫِﺇ ﺍﻭ ﺪِ ﻬ ﺷﹶ ﺃﻭ 

"Dan datangkanlah saksi jika kalian berjual beli" [QS. Al-Baqoroh : 282]

Perintah untuk mendatangkan  saksi atas  jual beli hukumnya adalah mandub
dengan  dalil  bahwa  Nabi  shallallahu  'alaihi  wa  sallam  membeli  kuda  dari
seorang  A'robi  (Arab  Badui)  dan  beliau  tidak  mendatangkan  saksi.  [HR.
Ahmad,  An-Nasa'i,  Abu  Dawud,  dan  pada  hadits  tersebut  terdapat  suatu
cerita].

2. Mubah (Boleh), dan kebanyakan yang terjadi adalah jika perintah tersebut
datang setelah adanya larangan atau sebagai jawaban terhadap sesuatu yang
disangka terlarang.

Contoh setelah adanya larangan : firman Allah ta'ala :
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  35 
ﺍﻭ ﺩﺎﹶ ﻄ ﺻﺎﹶﻓ  ﻢ ﺘﹾ ﻠﹶ ﻠﺣ ﺍﹶ ﺫِ ﺇﻭ 

"Jika engkau telah bertahallul maka berburulah" [QS. Al-Maidah : 2]

Perintah  untuk  berburu  tersebut  hukumnya  mubah  karena  ia  muncul
setelah adanya larangan yang ditunjukkan dari firman Allah :

ﻭ ِ ﺪ ﻴ ﺼﻟﺍ ﻲﱢ ﻠِ ﺤﻣ  ﺮ ﻴﹶ ﻏ  ﻡ ﺮﺣ  ﻢ ﺘ ﻧﹶﺃ 

"(Yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang
dalam keadaan ber-ihrom." [QS. Al-Maidah : 1]

Dan  contoh  sebagai  jawaban  terhadap  sesuatu  yang  disangka  terlarang
adalah sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam : 

ﹾ ﻓﺍ ﻌ ﹾﻞ ﻭ  ﹶﻻ ﺣ  ﺮ  ﺝ 

"Lakukanlah, tidak mengapa!" [Muttafaqun alaih]

Sebagai jawaban atas orang yang bertanya kepada beliau pada haji wada'
tentang mendahulukan amalan-amalan haji yang satu terhadap yang  lainnya
yang dikerjakan pada hari Ied.

3. Ancaman seperti pada firman Allah ta'ala :

 ﲑِ ﺼﺑ ﹶ ﻥﻮﹸ ﻠ ﻤ ﻌﺗ ﺎ ﻤِﺑ  ﻪ ﻧِﺇ  ﻢ ﺘﹾ ﺌِﺷ ﺎﻣ ﺍﻮﹸ ﻠ ﻤ ﻋﺍ 

"Berbuatlah  semau  kalian,  sesungguhnya  Allah  Maha  Melihat  terhadap
apa-apa yang kalian kerjakan." [QS. Fushshilat : 40] Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  36 
 ﻴﹾ ﻠﹶﻓ ﺀﺎﺷ ﻦ ﻣﻭ ﻦِ ﻣ ﺆ ﻴﹾ ﻠﹶﻓ ﺀﺎﺷ ﻦ ﻤﹶﻓ ﺍ ﺭﺎﻧ  ﲔِ ﻤِ ﻟﺎﱠ ﻈﻠِﻟ ﺎ ﻧ ﺪ ﺘ ﻋﹶﺃ ﺎ ﻧِﺇ  ﺮﹸ ﻔﹾﻜ 

"Maka  barangsiapa  yang  ingin  (beriman)  hendaklah  ia  beriman,  dan
barangsiapa  yang  ingin  (kafir)  biarlah  ia  kafir."  Sesungguhnya  Kami  telah
sediakan bagi orang orang zalim itu neraka" [QS. Al-Kahfi: 29]

Penyebutan  ancaman  setelah  adanya  perintah  yang  disebutkan  tadi
merupakan dalil bahwa perintah tersebut adalah sebagai ancaman.

Dan terkadang perintah keluar dari hukum bersegera kepada hukum boleh
ditunda (ﻲﺧﺍﺮﺘﻟﺍ).

Contohnya  :  Qodho'  puasa  romadhon,  maka  seseorang  diperintahkan
untuk menunaikannya, akan tetapi ada dalil yang menunjukkan bahwa qodho'
tersebut boleh ditunda. Dari Aisyah radhiyallahu 'anha ia berkata :

ِﻓ ﺎﱠ ﻟِﺇ  ﻪ ﻴِ ﻀﹾ ﻗﹶﺃ ﹾ ﻥﹶﺃ  ﻊﻴِ ﻄ ﺘ ﺳﹶﺃ ﺎ ﻤﹶﻓ ﹶ ﻥﺎ ﻀ ﻣﺭ  ﻦِﻣ  ﻡ ﻮ ﺼﻟﺍ  ﻲﹶ ﻠﻋ ﹸ ﻥﻮﹸ ﻜﻳ ﹶ ﻥﺎﹶﻛ   ﻚِ ﻟﹶ ﺫﻭ ﹶ ﻥﺎ ﺒ ﻌﺷ ﻲ
 ﻢﱠ ﻠ ﺳﻭ ِ ﻪ ﻴﹶ ﻠﻋ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﻰﱠ ﻠﺻ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ِ ﻝﻮ ﺳﺭ ِ ﻥﺎﹶ ﻜ ﻤِﻟ 

"Aku pernah mempunyai hutang puasa romadhon, aku tidak mampu untuk
mengqodho'nya  kecuali  di  bulan  Sya'ban,  yang  demikian  adalah  karena
kedudukan Rosullullah shallallahu 'alaihi wa sallam." [HR. Al-Jama'ah]

Dan  seandainya mengakhirkannya adalah haram maka Aisyah  tidak akan
diizinkan untuk mengakhirkan qodho' tersebut.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  37 
APA  YANG  TIDAK  SEMPURNA  SESUATU  YANG  DIPERINTAHKAN  KECUALI
DENGANNYA (ﻪﺑ ﻻﺇ ﺭﻮﻣﺄﳌﺍ ﻢﺘﻳ ﻻ ﺎﻣ):

Jika  suatu  perbuatan  yang  diperintahkan  tidak  bisa  dikerjakan  kecuali
dengan  sesuatu  maka  sesuatu  tersebut  adalah  diperintahkan,  jika  yang
diperintahkan adalah wajib maka sesuatu  itu hukumnya juga wajib, dan jika
yang diperintahkan adalah mandub maka sesuatu itu hukumnya mandub.

Contoh  yang wajib  : menutup  aurat,  jika  tidak  bisa  dikerjakan  kecuali
dengan membeli pakaian, maka membeli pakaian tersebut hukumnya menjadi
wajib.

Contoh  yang  mandub  :  memakai  wewangian  untuk  sholat  jum'at,  jika
tidak  bisa  dikerjakan  kecuali  dengan  membeli  wewangian,  maka  membeli
wewangian tersebut hukumnya menjadi mandub.

Dan kaidah ini terkandung pada kaidah yang lebih umum darinya yaitu :

 ﻮﻟﺍ ﺳ ِ ﺋﺎ ﹸﻞ ﹶﻟ  ﻬ ﹶﺃ ﺎ ﺣ ﹶﻜ  ﻡﺎ ﹶ ﳌﺍ  ﹶﻘ ِ ﺻﺎ ِﺪ 

"hukum wasilah adalah sebagaimana hukum yang dituju."

Maka wasilah-wasilah  untuk  suatu  yang diperintahkan hukumnya adalah
diperintahkan  juga, dan wasilah-wasilah yang suatu yang dilarang hukumnya
adalah dilarang.
 
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  38 
 ﻲـ ﻬ ﻨﻟﺍ
LARANGAN 

DEFINISINYA :

Larangan (ﻲﻬﻨﻟﺍ) adalah :
 
ﹶ ﻗ ﻮ ﹲﻝ ﻳ  ﺘ ﻀ ﻤ ﻦ ﹶﻃ  ﹶﻠ  ﺐ ﻟﺍ  ﹶﻜ ﻒ ﻋ  ﹶﻠ ﻭ ﻰ  ﺟ ِﻪ ﹾﺍ  ِﻻ ﺳ ِﺘ ﻌ ﹶﻼ ِﺀ ِﺑ  ِ ﺼ ﻴ ﻐ ٍﺔ ﻣ   ﺨ  ﺼ ﻮ ﺻ ٍﺔ ِﻫ  ﻲ ﹸ ﳌﺍ  ﻀ ِ ﺭﺎ  ﻉ ﹶ ﳌﺍ  ﹾﻘ ﺮ ﻭ ﹸﻥ ِﺑ  ﹶﻼ 
 ﻨﻟﺍ ِ ﻫﺎ ﻴ ِﺔ 

"Perkataan yang mengandung permintaan untuk menahan diri dari  suatu
perbuatan  dalam  bentuk  isti'la'  (dari  atas  ke  bawah)  dengan  bentuk  khusus
yaitu fi'il mudhori' yang didahului dengan 'la nahiyah' (ﺔﻴِ ﻫﺎ ﻨﻟﺍ ﹶﻻ) (Yakni [ﻻ] yang
bermakna larangan, pent)."

Seperti firman Allah : 

ﹶ ﻥﻮ ﻤﹶ ﻠ ﻌﻳ ﻻ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ َ ﺀﺍ ﻮ ﻫﹶﺃ  ﻊِ ﺒ ﺘﺗ ﻻﻭ

"Dan  janganlah  engkau  mengikuti  hawa  nafsu  orang-orang  yang
mendustakan  ayat-ayat  kami  dan  orang-orang  yang  tidak  beriman  kepada
akhirat." [QS. Al-An'am:105]
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  39 
Keluar  dari  perkataan  kami  : (ﻝﻮﻗ)  "perkataan"  :  isyarat (ﺓﺭﺎﺷﻹﺍ),  maka
isyarat  tidak  dinamakan  sebagai  larangan  walaupun  maknanya  memiliki
faidah sebagai larangan.

Keluar dari perkataan kami : ( ﺐﻠﻃ   ﻒﻜﻟﺍ ) "permintaan untuk menahan diri
dari  suatu  perbuatan":  perintah (ﺮﻣﻷﺍ),  karena  perintah  adalah  permintaan
untuk melakukan suatu perbuatan."  

Keluar  dari  perkataan  kami  : ( ﻰﻠﻋ   ﻪﺟﻭ   ﺀﻼﻌﺘﺳﻻﺍ )  "dalam  bentuk  isti'la'"  :
sejajar (ﺱﺎﻤﺘﻟﻻﺍ)  dan  doa (ﺀﺎﻋﺪﻟﺍ),  dan  yang  selainnya  yang  memberi  faidah
larangan dengan adanya qorinah.

Keluar dari perkataan kami : ( ﺔﻐﻴﺼﺑ   ﺔﺻﻮﺼﳐ   ﻲﻫ   ﻉﺭﺎﻀﳌﺍ   ﻥﻭﺮﻘﳌﺍ   ﻼﺑ   ﺔﻴﻫﺎﻨﻟﺍ ) "dengan
bentuk khusus yaitu fi'il mudhori' yang didahului dengan la nahiyah" : apa-apa
yang menunjukkan atas permintaan menahan diri dari sesuatu dengan bentuk
perintah ( ﺔﻐﻴﺻ   ﺮﻣﻷﺍ ),  seperti  : (ﻉﺩ)  "tinggalkan", (ﻙﺮﺗﺍ)  "tinggalkan", (ﻒﻛ)
"cukup",  dan  yang  selainnya,  maka  walaupun  ini  mengandung  permintaan
untuk menahan diri dari sesuatu, tapi fi'il-fi'il tersebut dalam bentuk perintah
(ﺮﻣﻷﺍ ﺔﻐﻴﺻ), maka fi'il-fi'il tersebut adalah bermakna perintah, bukan larangan.

Dan  terkadang  yang  selain  bentuk  larangan ( ﺔﻐﻴﺻ   ﻲﻬﻨﻟﺍ )  memberi  faidah
permintaan untuk menahan diri dari suatu perbuatan seperti suatu perbuatan Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  40 
yang  disifati  dengan  keharoman,  larangan  atau  keburukan,  atau  atau
pelakunya dicela, atau mengerjakannya mendapat adzab.  

APA-APA YANG MENJADI KOSEKUENSI BENTUK LARANGAN (ﻲﻬﻨﻟﺍ ﺔﻐﻴﺻ):

Bentuk  larangan  secara  mutlak  menunjukkan  keharoman  dan  rusaknya
sesuatu yang dilarang tersebut.

Diantara  dalil-dalil  bahwa  larangan  itu menunjukkan  keharoman  adalah
firman Allah ta'ala :

ﺍﻮ ﻬ ﺘ ﻧﺎﹶﻓ  ﻪ ﻨﻋ  ﻢﹸ ﻛﺎ ﻬﻧ ﺎ ﻣﻭ  ﻩﻭﹸ ﺬ ﺨﹶﻓ ﹸ ﻝﻮ ﺳ ﺮﻟﺍ  ﻢﹸ ﻛﺎ ﺗﺁ ﺎ ﻣﻭ

"Apa-apa (perintah) yang datang kepada kalian dari Rosul maka ambillah
(kerjakanlah)  dan  apa-apa  yang  dilarang  oleh  Rosul  maka  berhentilah
(tinggalkanlah)" [QS. Al-Hasyr : 7]

Maka  perintah  untuk  berhenti  (meninggalkan  dari  apa  yang  dilarang)
menunjukkan  wajibnya  berhenti,  dan  konsekuensinya  adalah  haramnya
mengerjakan perbuatan tersebut.

Diantara  dalil-dalil  bahwa  larangan  itu  menunjukkan  rusaknya  suatu
perbuatan adalah sabda Nabi Shollallahu 'alaihi wa sallam adalah :

ﻣ ﻦ ﻋ  ِﻤ ﹶﻞ ﻋ  ﻤ ﹶﻟ ﹰﻼ ﻴ  ﺲ ﻋ  ﹶﻠ ﻴ ِﻪ ﹶﺃ  ِﻣ ﺮ ﻧ ﹶﻓ ﺎ ﻬ ﻮ ﺭ   ﺩ 

"Barang siapa yang mengerjakan suatu perbuatan yang tidak ada padanya
perintah kami maka perbuatan tersebut tertolak." Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  41 
Yakni ditolak (ﺩﻭﺩﺮﻣ), dan apa-apa yang Nabi shollallahu alaihi wa sallam
melarang  dari  mengerjakannya,  maka  tidak  ada  padanya  perintah  Nabi
shollallahu  alaihi  wa  sallam,  sehingga  perbuatan  tersebut  merupakan
perbuatan yang ditolak.  

Demikian  dan  dalam  kaidah  al-madzhab  (maksudnya  adalah  madzhab
hambali,  pent)  dalam  perbuatan  yang  dilarang;  apakah  perbuatan  tersebut
menjadi  batal  atau  tetap  sah  dengan  adanya  pengharaman  (terhadap
perbuatan tersebut)? adalah sebagai berikut :

1.  Bahwa  larangan  tersebut  kembali  pada  dzat  yang  dilarang  atasnya atau
syaratnya maka sesuatu itu menjadi batal.

2.  Bahwa  larangan  tersebut  kembali  pada  perkara  luar  yang  tidak
berhubungan  dengan  dzat  yang  dilarang  atasnya  dan  tidak  pula
berhubungan dengan syaratnya maka sesuatu itu tidak menjadi batal.

Misal  larangan  yang  kembali  pada  dzat  yang  dilarang  dalam  masalah
ibadah adalah : Larangan untuk berpuasa pada dua hari Ied.

Misal  larangan  yang  kembali  pada  dzat  yang  dilarang  dalam  masalah
mu'amalah adalah  : Larangan untuk berjual beli  setelah adzan  sholat  jum'at
yang kedua bagi orang-orang yang wajib sholat jum'at.

Misal  larangan  yang  kembali  pada  syaratnya  dalam  masalah  ibadah
adalah: Larangan bagi laki-laki untuk memakai pakaian dari sutera, menutup
aurat adalah syarat sahnya sholat, jika dia menutupnya dengan pakaian yang
dilarang atasnya, maka sholatnya tidak sah karena larangan tersebut kembali
pada syaratnya. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  42 
Misal  larangan  yang  kembali  pada  syaratnya  dalam masalah mu'amalah
adalah: Larangan untuk berjual beli dengan suatu binatang yang masih berada
dalam  perut  induknya,  maka  pengetahuan  tentang  sesuatu  yang  akan
diperjual belikan adalah  syarat  sahnya  jual beli,  jika  seseorang berjual beli
dengan  suatu binatang yang masih berada dalam perut  induknya, maka  jual
beli tersebut tidak sah karena larangan tersebut kembali pada syaratnya.

Misal  larangan  yang  kembali  pada  perkara  luar  dalam  masalah  ibadah
adalah  :  larangan bagi  laki-laki untuk memakai  imamah dari  sutera,  jika dia
sholat dan memakai  imamah dari  sutera maka  sholatnya  tidak batal, karena
larangan tidak kembali kepada dzatnya sholat dan syaratnya.

Misal larangan yang kembali pada perkara luar dalam masalah mu'amalah
adalah  :  larangan  untuk menipu, maka  jika  seseorang melakukan  jual  beli
sesuatu dengan menipu,  jual beli tersebut tidak batal karena  larangan tidak
kembali pada dzatnya jual beli dan syaratnya.

Dan  terkadang  suatu  larangan  keluar  dari  hukum  haram  kepada  hukum
lain dengan dalil yang menunjukkan hal itu, diantaranya :

1.  Makruh,  mereka  (ulama  ushul  fiqh,  pent)  memberi  permisalan  hal  itu
dengan sabda Nabi shollallahu alahi wa sallam :

ﹶﻻ ﻳ  ﻤ ﺴ ﹶﺃ ﻦ ﺣ ﺪ ﹸﻛ ﻢ ﹶﺫ  ﹶﻛ ﺮ ﻩ ِﺑ  ﻴ ِﻤ ﻴ ِﻨ ِﻪ   ﻭ ﻫ ﻮ ﻳ  ﺒ ﻮ ﹸﻝ 

"Janganlah  salah  seorang  diantara  kalian  menyentuh  kemaluannya
dengan tangan kanan ketika sedang kencing."
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  43 
Maka  jumhur  ulama  mengatakan  :  "Sesungguhnya  larangan  disini
adalah  menunjukkan  kemakruhan,  karena  kemaluan  adalah  salah  satu
bagian  tubuh  manusia,  dan  hikmah  dari  larangan  tersebut  adalah
mensucikan tangan kanan." 

2.  Sebagai arahan, misalnya sabda Nabi shollallahu alaihi wa sallam kepada
Mu'adz  :"  Janganlah  kamu meninggalkan  untuk membaca  disetiap  akhir
sholat : 

 ﻚِ ﺗ ﺩﺎ ﺒِﻋ ِ ﻦ ﺴ ﺣﻭ  ﻙِ ﺮﹾ ﻜ ﺷﻭ  ﻙِ ﺮﹾ ﻛِﺫ ﻰﹶ ﻠﻋ ﻲ ﻨِ ﻋﹶﺃ  ﻢ ﻬﱠ ﻠﻟﺍ 

"Ya  Allah,  tolonglah  aku  untuk  berdzikir  kepada-Mu,  bersyukur
kepada-Mu dan untuk memperbaiki ibadahku kepada-Mu."

ORANG YANG MASUK DALAM PEMBICARAAN PERINTAH DAN LARANGAN :

Orang  yang  masuk  dalam  pembicaraan  perintah  dan  larangan  adalah
Mukallaf, yaitu orang yang telah baligh dan berakal.

Maka keluar dari perkataan kami : "orang yang telah baligh": anak kecil,
maka  dia  tidak  dibebani  perintah  dan  larangan  dengan  pembebanan  yang
sama  sebagaimana  beban orang  yang  telah  baligh,  tetapi  dia  diperintahkan
untuk melakukan  ibadah  setelah mencapai  tamyiz,  sebagai  latihan  baginya
dalam  ketaatan dan melarang dari  kemaksiatan, agar  terbiasa menahan diri
darinya.

Dan keluar dari perkataan kami : "orang yang berakal" : orang gila, maka
dia  tidak  dibebani  perintah  dan  larangan,  tetapi  dia  dicegah  dari  apa-apa
yang melampaui  batas  terhadap orang  lain  atau  dari melakukan  kerusakan, Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  44 
dan  seandainya  dia  melakukan  sesuatu  yang  diperintahkan  atasnya,  maka
perbuatan tersebut tidak  sah, karena  tidak ada maksud untuk melaksanakan
perintah Allah didalamnya.

Dan  tidak  termasuk atas hal  ini diwajibkannya  zakat dan hak-hak harta
bagi  harta  anak  kecil  dan  orang  gila,  karena  kewajiban  atas  hal  ini  terikat
dengan sebab yang tertentu, kapan didapatkan sebab itu (misalnya : haul dan
nishob sebagai sebab wajibnya zakat mal, pent) maka ditetapkan hukumnya,
maka sesungguhnya masalah ini dilihat pada sebabnya bukan pada pelakunya!

Dan taklif (pembebanan) dengan perintah dan larangan mencakup untuk
orang  Islam  dan orang  kafir,  tetapi orang  kafir  tidak  sah  jika  ia melakukan
perbuatan  yang diperintahkan disebabkan  kekafirannya, berdasarkan  firman
Allah ta'ala :

ﻪِ ﻟﻮ ﺳ ﺮِ ﺑﻭ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺎِﺑ ﺍﻭ ﺮﹶ ﻔﹶﻛ  ﻢ ﻬ ﻧﹶﺃ ﺎﱠ ﻟِﺇ  ﻢ ﻬ ﺗﺎﹶ ﻘﹶ ﻔﻧ  ﻢ ﻬ ﻨِﻣ ﹶ ﻞ ﺒﹾ ﻘﺗ ﹾ ﻥﹶﺃ  ﻢ ﻬ ﻌ ﻨﻣ ﺎ ﻣﻭ

"Dan  tidak  ada  yang menghalangi mereka  untuk  diterima  dari mereka
nafkah-nafkahnya  melainkan  karena  mereka  kafir  kepada  Allah  dan
RasulNya" [QS. At-Taubah : 54]

Dan  ia  tidak  diperintahkan  untuk meng-qodho'nya  seandainya  ia masuk
islam, berdasarkan firman Allah ta'ala :

 ﻒﹶ ﻠﺳ  ﺪﹶ ﻗ ﺎﻣ  ﻢ ﻬﹶﻟ  ﺮﹶ ﻔ ﻐﻳ ﺍﻮ ﻬ ﺘ ﻨﻳ ﹾ ﻥِﺇ ﺍﻭ ﺮﹶ ﻔﹶﻛ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻠِﻟ ﹾ ﻞﹸ ﻗ

"Katakanlah  kepada  orang-orang  yang  kafir  itu:  "Jika mereka  berhenti
(dari  kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka  tentang dosa-
dosa mereka yang sudah lalu" [QS. Al-Anfal : 38] Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  45 
Dan sabda Nabi Shollallohu alaihi wa sallam kepada Amr bin al-Ash :

 ﺖ ﻤِ ﻠﻋ ﺎ ﻣﹶﺃ   ﻳ ﻋ ﺎ ﻤ ﺮ ﻭ ﹶﻛ ﺎﻣ  ﻡِ ﺪ ﻬﻳ  ﻡﺎﹶ ﻠ ﺳِ ﺈﹾ ﻟﺍ ﱠ ﻥﹶﺃ   ﻪﹶ ﻠ ﺒﹶ ﻗ ﹶ ﻥﺎ 

"Apakah  kamu  tidak  mengetahui  wahai  Amr,  bahwa  islam  menghapus
apa-apa (dosa-dosa, pent) yang telah lalu" 

Dan  hanya  saja  dia  akan  disiksa  disebabkan  ia  meninggalkannya
(perintah, pent) jika ia mati dalam kekafiran, berdasarkan firman Allah ta'ala
sebagai jawaban kepada orang-orang yang berdosa ketika mereka ditanya :

  ﺎ ﻨﹸ ﻛﻭ  ﲔِ ﻜ ﺴِ ﻤﹾ ﻟﺍ  ﻢِ ﻌﹾ ﻄﻧ  ﻚﻧ  ﻢﹶ ﻟﻭ  ﲔﱢ ﻠ ﺼ ﻤﹾ ﻟﺍ  ﻦِﻣ  ﻚﻧ  ﻢﹶﻟ ﺍﻮﹸ ﻟﺎﹶ ﻗ  ﺮﹶ ﻘﺳ ﻲِﻓ  ﻢﹸ ﻜﹶ ﻜﹶ ﻠﺳ ﺎﻣ
 ﺘﺣ ِ ﻦﻳ ﺪﻟﺍ ِ ﻡ ﻮ ﻴِﺑ  ﺏﱢ ﺬﹶ ﻜﻧ ﺎ ﻨﹸ ﻛﻭ  ﲔِ ﻀِ ﺋﺎ ﺨﹾ ﻟﺍ  ﻊﻣ ﺽﻮ ﺨﻧ  ﲔِ ﻘ ﻴﹾ ﻟﺍ ﺎ ﻧﺎ ﺗﹶﺃ ﻰ 

"Apakah  yang  memasukkan  kamu  ke  dalam  Saqar  (neraka)?"  Mereka
menjawab:  "Kami  dahulu  tidak  termasuk  orang-orang  yang  mengerjakan
shalat, dan kami tidak (pula) memberi makan orang miskin, dan adalah kami
membicarakan  yang  bathil,  bersama  dengan  orang-orang  yang
membicarakannya,  dan  adalah  kami  mendustakan  hari  pembalasan,hingga
datang kepada kami kematian"" [QS. Al-Muddatsir : 32-37]

Penghalang-Penghalang Taklif (ﻒﻴﻠﻜﺘﻟﺍ ﻊﻧﺍﻮﻣ) :

Taklif  (pembebanan  syari'at)  memiliki  penghalang-penghalang,
diantaranya  :  Kebodohan (ﻞﻬﳉﺍ),  lupa (ﻥﺎﻴﺴﻨﻟﺍ)  dan  keterpaksaan (ﻩﺍﺮﻛﻹﺍ),
berdasarkan sabda Nabi Shollallahu alaihi wa sallam :
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  46 
ِ ﻪ ﻴﹶ ﻠﻋ ﺍﻮ ﻫِ ﺮﹾ ﻜ ﺘ ﺳﺍ ﺎ ﻣﻭ ﹶ ﻥﺎ ﻴ ﺴ ﻨﻟﺍﻭ ﹶ ﺄﹶ ﻄ ﺨﹾ ﻟﺍ ﻲِ ﺘ ﻣﹸﺃ  ﻦﻋ  ﺯ ﻭﺎ ﺠﺗ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﱠ ﻥِﺇ 

"Sesungguhnya  Allah  telah  memaafkan  pada  ummatku  kesalahan,  lupa
dan apa-apa yang mereka dipaksa atasnya." [HR Ibnu Majah dan Baihaqi] dan
hadits  ini  memiliki  penguat-penguat  dari  Al-Kitab  dan  As-Sunnah  yang
menunjukkan atas keshohihannya. 

Kebodohan (ﻞﻬﳉﺍ)  adalah  tidak  adanya  ilmu, maka  kapan  saja  seorang
mukallaf melakukan  suatu perbuatan yang haram karena  tidak  tahu  tentang
keharomannya maka  ia  tidak  berdosa,  seperti  orang  yang  berbicara  dalam
sholat karena tidak tahu tentang keharoman berbicara (dalam sholat, pent).
Dan  jika  seseorang meninggalkan  suatu  perbuatan  yang wajib  karena  tidak
tahu  tentang wajibnya perbuatan  tersebut, maka  tidak wajib baginya untuk
mengqodho'nya  jika waktunya  telah  berlalu,  dengan  dalil  bahwasanya  Nabi
Shollallohu alaihi wa  Sallam  tidak memerintahkan  kepada orang  yang  jelek
dalam  sholatnya  -yang  dia  tidak  tuma'ninah  dalam  sholatnya-,  Nabi  tidak
memerintahkan  kepadanya  untuk  mengganti  apa  yang  telah  berlalu  dalam
sholat-sholatnya,  dan  hanya  saja  Nabi  memerintahkan  kepadanya  untuk
mengerjakan  (yakni  mengulang,  pent)  sholat  yang  masih  pada  waktunya
berdasarkan sisi yang disyari'atkan.

Lupa (ﻥﺎﻴﺴﻨﻟﺍ)  :  adalah  lalainya  hati  terhadap  sesuatu  yang  diketahui,
maka  jika  seseorang  mengerjakan  sesuatu  perbuatan  yang  haram  karena
lupa,  maka  ia  tidak  berdosa,  seperti  orang  yang  makan  dalam  keadaan
berpuasa disebabkan  lupa. Dan  jika  seseorang meninggalkan perbuatan yang
yang wajib karena lupa maka tidak ia tidak berdosa pada saat ia lupa. Tetapi Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  47 
dia  wajib  mengerjakannya  ketika  dia  ingat,  berdasarkan  sabda  Nabi
Shollallohu alaihi wa Sallam :

ﻣ ﻦ ﻧ  ِﺴ ﻲ ﺻ  ﹶﻼ ﹰﺓ ﹶﻓ  ﹾﻠ ﻴ  ﺼ ﱢﻠ ﻬ ِﺇ ﺎ ﹶﺫ ﹶﺫ ﺍ ﹶﻛ ﺮ ﻫ ﺎ 

"Barang  siapa  yang  lupa  mengerjakan  sholat,  maka  hendaknya  ia
mengerjakannya ketika ia mengingatnya."

Keterpaksaan (ﻩﺍﺮﻛﻹﺍ) : dipaksanya seseorang mengerjakan sesuatu yang
tidak ia ingink an, maka barang siapa yang dipaksa untuk melakukan sesuatu
yang  haram,  maka  ia  tidak  berdosa,  seperti  orang  yang  dipaksa  dalam
kekafiran dan hatinya tetap dalam keimanan. Dan barang siapa yang dipaksa
untuk meninggalkan  kewajiban maka  ia  tidak berdosa pada  saat  ia dipaksa,
dan  wajib  baginya  untuk  mengqodho'nya  ketika  sudah  tidak  ada  paksaan,
seperti  orang  yang  dipaksa  untuk  meninggalkan  sholat  sampai  keluar
waktunya, maka  sesungguhnya dia wajib untuk mengqodho'nya  ketika  sudah
tidak ada paksaan. 

Dan  hanya  saja  pencegah-pencegah  ini  berhubungan  dengan  hak  Allah,
karena  hal  ini  dibangun  atas  ampunan  dan  rahmat-Nya,  adapun  dalam  hak-
hak sesama makhluk maka tidaklah dicegah dari menanggung apa yang wajib
untuk  ditanggungnya  jika  orang  yang  memiliki  hak  tersebut  tidak  ridho
dengan gugurnya (hak tersebut, pent), Wallohu a'lam. 

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  48 
 ﻌﻟﺍ  ﻡﺎ 
UMUM

DEFINISINYA :

Umum (ﻡﺎﻌﻟﺍ) secara bahasa : (ﻞﻣﺎﺸﻟﺍ) Yang mencakup.

Dan secara istilah : 

ﺮﺼﺣ ﻼﺑ ﻩﺩﺍﺮﻓﺃ ﻊﻴﻤﳉ ﻕﺮﻐﺘﺴﳌﺍ ﻆﻔﻠﻟﺍ

"Lafadz yang mencakup untuk semua anggotanya tanpa ada pembatasan"

Contohnya :
  
ٍ ﻢﻴِ ﻌﻧ ﻲِ ﻔﹶﻟ  ﺭﺍ ﺮ ﺑﹶ ﺄﹾ ﻟﺍ ﱠ ﻥِﺇ

"Sesungguhnya  orang-orang  yang  banyak  berbakti (   ﺭﺍ ﺮ ﺑﹶ ﺄـﹾ ﻟﺍ)  benar-benar
berada  dalam  syurga  yang penuh  kenikmatan."  [QS. Al-Infithor  : 13 dan Al-
Muthoffifin : 22]

Maka keluar dari perkataan kami :  ) ﻩﺩﺍﺮﻓﺃ ﻊﻴﻤﳉ ﻕﺮﻐﺘﺴﳌﺍ (  "yang mencakup untuk
semua anggotanya" : apa-apa yang tidak mencakup kecuali satu, seperti nama
sesuatu  dan  Isim  Nakiroh  dalam  konteks  untuk  penetapan (ﺕﺎﺒﺛﻹﺍ  ﻕﺎﻴﺳ  ﰲ  ﺓﺮﻜﻨﻟﺍ)
sebagaimana firman Allah ta'ala :
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  49 
ٍ ﺔ ﺒﹶ ﻗﺭ  ﺮ ﻳِ ﺮ ﺤ ﺘﹶﻓ

"Maka bebaskanlah seorang budak (ٍ ﺔ ﺒﹶ ﻗﺭ)" [QS. Al-Mujadalah : 3]

Karena  ayat  ini  tidak mencakup  semua  anggotanya  secara menyeluruh,
dan  hanya  saja  ayat  ini  mencakup  satu  dari  anggotanya  yang  tidak
ditentukan.

Dan keluar dari perkataan kami  :  ) ﺮﺼﺣ ﻼﺑ (   "tanpa ada pembatasan"  : apa-
apa  yang mencakup  seluruh  anggotanya  dengan  pembatasan,  seperti  nama-
nama bilangan: ratusan, ribuan dan yang semisal keduanya. 
 
BENTUK-BENTUK UMUM (ﻡﻮﻤﻌﻟﺍ ﻎﻴﺻ)

Bentuk-bentuk umum ada tujuh :

1. Apa-apa yang menunjukkan atas keumumannya dengan alat-alatnya  (yang
menunjukkan keumuman, pent), contohnya : (ﹼ ﻞﹸﻛ), (ﻊ ﻴِ ﻤ ﺟ), (ﺔﱠ ﻓﺎﹶﻛ), (ﺔ ﺒِ ﻃﺎﹶ ﻗ), dan (ﺔ ﻣﺎﻋ)

Sebagaimana firman Allah ta'ala :

ِﺇ ٍ ﺭ ﺪﹶ ﻘِﺑ  ﻩﺎ ﻨﹾ ﻘﹶ ﻠ ﺧ ٍ ﺀ ﻲﺷ ﱠ ﻞﹸﻛ ﺎﻧ 

"Sesungguhnya  segala  sesuatu (ٍ ﺀ ﻲﺷ  ﱠ ﻞﹸﻛ)  Kami  ciptakan  menurut  ukuran"
[QS. Al-Qomar : 49]

 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  50 
2. Kata-kata syarat (ﻁﺮﺸﻟﺍ ﺀﺎﲰﺃ), sebagaimana firman Allah ta'ala :

ﻣ ﻪِ ﺴﹾ ﻔ ﻨِ ﻠﹶﻓ ﹰ ﺎﺤِ ﻟﺎﺻ ﹶ ﻞِ ﻤﻋ ﻦ 

"Barangsiapa  yang  mengerjakan  amal  sholeh,  maka  itu  adalah  untuk
dirinya sendiri" [QS. Al-Jatsiyah : 15]
 
ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ  ﻪ ﺟﻭ  ﻢﹶ ﺜﹶﻓ ﺍﻮﱡ ﻟ ﻮﺗ ﺎ ﻤ ﻨ ﻳﹶ ﺄﹶﻓ

"Maka  kemanapun  kamu  menghadap  di  situlah  wajah  Allah"  [QS.  Al-
Baqoroh : 115]

3. Kata-kata tanya (ﻡﺎﻬﻔﺘﺳﻻﺍ ﺀﺎﲰﺃ), sebagimana firman Allah ta'ala :

ٍ ﲔِ ﻌﻣ ٍ ﺀﺎ ﻤِﺑ  ﻢﹸ ﻜﻴِ ﺗﹾ ﺄﻳ  ﻦ ﻤﹶﻓ

"Maka siapakah yang akan mendatangkan air yang mengalir bagimu?" [QS.
Al-Mulk : 30]

 ﲔِ ﻠ ﺳ ﺮ ﻤﹾ ﻟﺍ  ﻢ ﺘ ﺒ ﺟﹶﺃ ﺍﹶ ﺫﺎﻣ

"Apakah jawabanmu kepada para Rosul?" [QS. Al-Qoshosh : 65]

ﹶ ﻥ ﻮ ﺒ ﻫﹾ ﺬﺗ  ﻦ ﻳﹶ ﺄﻓ

"Maka kemanakah kamu akan pergi?" [QS. At-Takwir : 26]


 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  51 
4. Kata-kata sambung (ﺔﻟﻮﺻﻮﳌﺍ ﺀﺎﲰﻷﺍ), sebagaimana firman Allah ta'ala :

ﹶ ﻥﻮﹸ ﻘ ﺘ ﻤﹾ ﻟﺍ  ﻢﻫ  ﻚِ ﺌﹶ ﻟﻭﹸﺃ ِ ﻪِﺑ  ﻕ ﺪ ﺻﻭ ِ ﻕ ﺪ ﺼﻟﺎِﺑ َ ﺀﺎ ﺟ ﻱِ ﺬﱠ ﻟﺍﻭ

"Dan  orang  yang  membawa  kebenaran  (Muhammad)  dan  mem-
benarkannya, mereka itulah orang-orang yang bertakwa." [QS.Az-Zumar :33]

 ﻨ ﻳِ ﺪ ﻬ ﻨﹶﻟ ﺎ ﻨﻴِﻓ ﺍﻭ ﺪ ﻫﺎ ﺟ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍﻭ  ﺎ ﻨﹶ ﻠ ﺒﺳ  ﻢﻬ 

"Dan orang-orang yang berjihad untuk  (mencari keridhaan) Kami, benar-
benar  akan  Kami  tunjukkan  kepada  mereka  jalan-jalan  Kami."  [QS.  Al-
Ankabut : 69]

ﻰ ﺸ ﺨﻳ  ﻦ ﻤِﻟ ﹰ ﺓ ﺮ ﺒِ ﻌﹶﻟ  ﻚِ ﻟﹶﺫ ﻲِﻓ ﱠ ﻥِﺇ

"Sesungguhnya  pada  yang  demikian  itu  terdapat  pelajaran  bagi  orang
yang takut (kepada Tuhannya)." [QS. An-Nazi'at : 26]

ﺽ ﺭﹶ ﺄﹾ ﻟﺍ ﻲِﻓ ﺎ ﻣﻭ ِ ﺕﺍ ﻭﺎ ﻤ ﺴﻟﺍ ﻲِﻓ ﺎﻣ ِ ﻪﱠ ﻠِ ﻟﻭ

"Kepunyaan Allah apa-apa yang ada di langit dan yang ada di bumi." [QS.
Ali Imron : 109]

5.  Isim Nakiroh dalam konteks peniadaan,  larangan, syarat, atau pertanyaan
yang maksudnya adalah pengingkaran (ﻱﺭﺎﻜﻧﻹﺍ ﻡﺎﻬﻔﺘﺳﻻﺍﻭﺃ ﻁﺮﺸﻟﺍﻭﺃ ﻲﻬﻨﻟﺍﻭﺃ ﻲﻔﻨﻟﺍ ﻕﺎﻴﺳ ﰲ ﺓﺮﻜﻨﻟﺍ),
sebagaimana firman Allah ta'ala :

 ﱠ ﻻﺇ ٍ ﻪﹶ ﻟِﺇ  ﻦِﻣ ﺎ ﻣﻭ ﷲﺍ    Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  52 
"Dan tidaklah ada Sesembahan (yang berhak disembah) selain Allah" [QS.
Ali-Imron : 62]

ﹰ ﺎﺌ ﻴﺷ ِ ﻪِﺑ ﺍﻮﹸ ﻛِ ﺮ ﺸﺗ ﻻﻭ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﺍﻭ ﺪ ﺒ ﻋﺍﻭ

"Sembahlah  Allah  dan  janganlah  kamu  mempersekutukan-Nya  dengan
sesuatupun" [QS. An-Nisa' : 36]

ﻴِ ﻠﻋ ٍ ﺀ ﻲﺷ ﱢ ﻞﹸ ﻜِﺑ ﹶ ﻥﺎﹶﻛ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﱠ ﻥِ ﺈﹶﻓ  ﻩﻮﹸ ﻔ ﺨﺗ  ﻭﹶﺃ ﹰ ﺎﺌ ﻴﺷ ﺍﻭ ﺪ ﺒﺗ ﹾ ﻥِﺇ ﹰ ﺎﻤ 

"Jika  kamu melahirkan  sesuatu atau menyembunyikannya, maka  sesung-
guhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu." [QS. Al-Ahzab : 54]
 
ﹶ ﻥﻮ ﻌ ﻤ ﺴﺗ ﻼﹶ ﻓﹶﺃ ٍ ﺀﺎ ﻴِ ﻀِﺑ  ﻢﹸ ﻜﻴِ ﺗﹾ ﺄﻳ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ  ﺮ ﻴﹶ ﻏ  ﻪﹶ ﻟِﺇ  ﻦﻣ

"Siapakah  Tuhan  selain  Allah  yang  akan  mendatangkan  sinar  terang
kepadamu? Maka apakah kamu tidak mendengar?" [QS. Al-Qoshosh : 71]

6. Yang dima'rifatkan dengan  idhofah baik tunggal ataupun jama' ( ﺔﻓﺎﺿﻹﺎﺑ ﻑ ﺮﻌﳌﺍ
ﹰ ﺎﻋﻮﻤﳎ ﻡﺃ ﻥﺎﻛ ﹰ ﺍﺩﺮﻔﻣ), sebagaimana firman Allah ta'ala :

ﻟﺍ ﹶ ﺔ ﻤ ﻌِﻧ ﺍﻭ ﺮﹸ ﻛﹾ ﺫﺍﻭ  ﻢﹸ ﻜ ﻴﹶ ﻠﻋ ِ ﻪﱠﻠ 

"Dan ingatlah nikmat Allah atas kalian" [QS. Ali Imron : 103 dan al-Ma'idah : 7]

ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ َ ﺀﺎﹶﻟَ ﺁ ﺍﻭ ﺮﹸ ﻛﹾ ﺫﺎﹶﻓ

"maka ingatlah nikmat-nikmat Allah." [QS. al-A'rof : 74]
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  53 
7.  Yang  dima'rifatkan  dengan  alif-lam  al-Istighroqiyyah ( ﻗﺍﺮﻐﺘﺳﻻﺍ  ﻝﺍ ﺔﻴ   ,  alif-lam
yang  menunjukkan  umum,  pent)  baik  tunggal  maupun  jama',  sebagaimana
firman Allah ta'ala :

ﹰ ﺎﻔﻴِ ﻌﺿ ﹸ ﻥﺎ ﺴ ﻧِ ﺈﹾ ﻟﺍ  ﻖِ ﻠ ﺧﻭ

"Dan manusia dijadikan bersifat lemah." [QS. An-Nisa':28]

ِ ﺫﹾ ﺄ ﺘ ﺴ ﻴﹾ ﻠﹶﻓ  ﻢﹸ ﻠ ﺤﹾ ﻟﺍ  ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ ﹸ ﻝﺎﹶ ﻔﹾ ﻃﹶ ﺄﹾ ﻟﺍ ﹶ ﻎﹶ ﻠﺑ ﺍﹶ ﺫِ ﺇﻭ ﻢِ ﻬِ ﻠ ﺒﹶ ﻗ  ﻦِﻣ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﹶ ﻥﹶ ﺫﹾ ﺄ ﺘ ﺳﺍ ﺎ ﻤﹶﻛ ﺍﻮﻧ 

"Dan  apabila  anak-anakmu  telah  sampai  umur  baligh,  maka  hendaklah
mereka  meminta  izin,  seperti  orang-orang  yang  sebelum  mereka  meminta
izin" [QS. An-Nuur : 59]

Adapun  yang  dima'rifatkan  dengan  alif-lam  al-ahdiyyah (ﺔﻳﺪﻬﻌﻟﺍ  ﻝﺍ,  alif-lam
untuk sesuatu yang sudah diketahui) maka hal ini tergantung dari isim yang sudah
diketahui  tersebut  (yakni  yang  dimasuki  alif-lam  al-ahdiyyah,  pent),  jika  ia
umum  maka  yang  dima'rifatkan  juga  umum,  dan  jika  ia  khusus  maka  yang
dima'rifatkan juga khusus.  Contoh dari yang umum adalah firman Allah ta'ala :

ٍ ﲔِﻃ  ﻦِﻣ ﹰ ﺍﺮ ﺸﺑ  ﻖِ ﻟﺎ ﺧ ﻲ ﻧِﺇ ِ ﺔﹶ ﻜِ ﺋﻼ ﻤﹾ ﻠِﻟ ﻚ ﺑﺭ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ ﹾ ﺫِﺇ  .   ﻲِ ﺣﻭﺭ  ﻦِﻣ ِ ﻪﻴِﻓ  ﺖ ﺨﹶ ﻔ ﻧﻭ  ﻪ ﺘ ﻳ ﻮﺳ ﺍﹶ ﺫِ ﺈﹶﻓ
 ﻦﻳِ ﺪِ ﺟﺎﺳ  ﻪﹶﻟ ﺍﻮ ﻌﹶ ﻘﹶﻓ  . ﻬﱡ ﻠﹸﻛ ﹸ ﺔﹶ ﻜِ ﺋﻼ ﻤﹾ ﻟﺍ  ﺪ ﺠ ﺴﹶﻓ ﻢ   ﹶ ﻥﻮ ﻌ ﻤ ﺟﹶﺃ 

"(Ingatlah)  ketika  Tuhanmu  berfirman  kepada  para  malaikat (ِ ﺔﹶ ﻜِ ﺋﻼ ﻤﹾ ﻠِﻟ):
"Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka apabila telah
Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya roh (ciptaan)Ku; maka
hendaklah  kamu  tersungkur  dengan  bersujud  kepadanya."  Lalu  seluruh
malaikat-malaikat (ﹸ ﺔﹶ ﻜِ ﺋﻼ ﻤﹾ ﻟﺍ) itu bersujud semuanya." [QS. Ash Shod : 71-73] Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  54 
Contoh dari yang khusus adalah firman Allah ta'ala :

ﹶ ﻝﻮ ﺳ ﺮﻟﺍ ﹸ ﻥ ﻮ ﻋ ﺮِﻓ ﻰ ﺼ ﻌﹶﻓ ﻻﻮ ﺳﺭ ﹶ ﻥ ﻮ ﻋ ﺮِﻓ ﻰﹶ ﻟِﺇ ﺎ ﻨﹾ ﻠ ﺳ ﺭﹶﺃ ﺎ ﻤﹶﻛ ﹰ ﻼﻴِ ﺑﻭ ﹰﺍﺬ ﺧﹶﺃ  ﻩﺎ ﻧﹾ ﺬ ﺧﹶ ﺄﹶﻓ  

"Sesungguhnya Kami telah mengutus kepada kamu (hai orang kafir Mekah)
seorang  Rasul,  yang  menjadi  saksi  terhadapmu,  sebagaimana  Kami  telah
mengutus  (dahulu)  seorang  Rasul  kepada  Fir'aun. Maka  Fir'aun mendurhakai
Rasul (  ﺮﻟﺍ ﹶ ﻝﻮﺳ )  itu,  lalu  Kami  siksa  dia  dengan  siksaan  yang  berat."  [QS.  Al-
Muzammil : 15-16]

Adapun  yang  dima'rifatkan  dengan  Alif-lam  untuk  menjelaskan  jenis,
maka tidak bersifat umum kepada setiap anggotanya, jika kamu berkata :
 
ﺓﺃﺮﳌﺍ ﻦﻣ ﲑﺧ ﻞﺟﺮﻟﺍ 

"Laki-laki itu lebih baik daripada wanita", atau 

ﺀﺎﺴﻨﻟﺍ ﻦﻣ ﲑﺧ ﻝﺎﺟﺮﻟﺍ 

"Kaum laki-laki lebih baik daripada kaum wanita"

Maka maksudnya  bukanlah  bahwa  setiap  perorangan  dari  laki-laki  lebih
baik  daripada  setiap  perorangan  dari  wanita.  Dan  hanya  saja  maksudnya
adalah bahwa  jenis  ini  (laki-laki,pent)  lebih baik daripada  jenis  ini  (wanita,
pent).  Dan  kadang-kadang  dijumpai  seseorang  dari  wanita  yang  lebih  baik
dari sebagian laki-laki. 
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  55 
BERAMAL DENGAN DALIL YANG UMUM

Wajib  beramal  dengan  keumuman  lafadz  dalil  yang  umum  sampai  ada
dalil  shohih yang mengkhususkannya, karena beramal dengan nash-nash dari
Al-Kitab  dan  As-Sunnah  adalah  wajib  berdasarkan  yang  ditunjukkan  oleh
penunjukannya, sampai ada dalil yang menyelisihinya.

Jika  ada  suatu  dalil  umum  dengan  sebab  yang  khusus,  maka  wajib
beramal sesuai keumumannya. Karena yang menjadi ibroh (sandaran) adalah
umumnya lafadz bukan kekhususan sebab (   ﺐﺒـﺴﻟﺍ ﺹﻮـﺼﲞ ﻻ ﻆﻔﻠﻟﺍ ﻡﻮﻤﻌﺑ ﺓﱪﻌﻟﺍ) kecuali
jika  ada  dalil  yang  menunjukkan  pengkhususan  dalil  yang  umum  tersebut
dengan  apa  yang  menyerupai  keadaan  sebab  (asbabun  nuzul  atau  wurud,
pent)  yang  dalil  itu  turun  karenanya,  maka  dikhususkan  dengan  yang
menyerupai sebab tersebut.

Contoh  yang  tidak  ada  dalil menunjukkan  atas  pengkhususannya  :  Ayat
tentang  zhihar  (yakni  seorang  suami  mengatakan  kepada  isrinya  :  "bagiku
kamu  seperti  punggung  ibuku",  pent),  sebab  turunnya  adalah  perbuatan
zhihar  yang  dilakukan  Aus  bin  Shomit,  dan  hukumnya  umum  untuknya  dan
untuk yang selainnya.

Contoh  yang ada dalil  yang menunjukkan atas pengkhususannya  :  Sabda
Rosullulloh shollallohu alaihi wa sallam : 

ﺮﻔﺴﻟﺍ ﰲ ﻡﺎﻴﺼﻟﺍ ﱪﻟﺍ ﻦﻣ ﺲﻴﻟ

"Bukanlah termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar." 
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  56 
Sebabnya  adalah  ketika  Nabi  shollallohu  alaihi  wa  sallam  dalam  suatu
safar, beliau melihat keramaian dan ada seseorang yang diberi naungan (dari
terik matahari, pent) lalu Rosullulloh bersabda : 

" ؟ﺍﺬﻫ ﺎﻣ  " ﺍﻮﻟﺎﻗ  : ﻢﺋﺎﺻ  . ﻝﺎﻘﻓ " : ﺮﻔﺴﻟﺍ ﰲ ﻡﺎﻴﺼﻟﺍ ﱪﻟﺍ ﻦﻣ ﺲﻴﻟ " 

"Ada apa  ini?" Mereka berkata  :  "Dia orang yang  sedang berpuasa."  Lalu
Rosullulloh bersabda : "Bukanlah termasuk kebaikan, berpuasa ketika safar."

Ini  merupakan  dalil  umum  yang  khusus  untuk  orang  yang  menyerupai
kondisi  orang  ini,  yakni  berat  baginya  puasa  ketika  safar.  Dan  dalil  yang
menunjukkan  pengkhususannya  bahwa  Nabi  shollallohu  alaihi  wa  sallam
pernah  berpuasa  ketika  safar  dimana  hal  itu  tidak  memberatkannya,  dan
Rosullullah  shollallohu  alaihi  wa  sallam  tidak  melakukan  sesuatu  kecuali
kebaikan.

***
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  57 
ﹶ ﳋﺍ ﺹﺎ 
KHUSUS

DEFINISINYA :

Khusus (ﺹﺎ ﺨﹾ ﻟﺍ) secara bahasa : (ِ ﻡﺎ ﻌﹾ ﻟﺍ  ﺪِﺿ) Lawan dari umum.

Dan secara istilah :

ِ ﺩ ﺪ ﻌﻟﺍﻭ ِ ﺓ ﺭﺎ ﺷِ ﻹﺍﻭ ِ ﻡﹶ ﻼﻋَ ﻷﹾﺍ ِ ﺀﺎ ﻤ ﺳﹶ ﺄﹶﻛ ،ٍ ﺩ ﺪﻋ  ﻭﹶﺃ ٍﺺ ﺨ ﺸِﺑ ٍ ﺭ ﻮ ﺼ ﺤﻣ ﻰﹶ ﻠﻋ ﱡ ﻝﺍ ﺪﻟﺍ ﹸ ﻆﹾ ﻔﹶ ﻠﹾ ﻟﺍ

"Suatu  lafadz  yang  menunjukkan  atas  sesuatu  yang  terbatas  dengan
orang  tertentu  atau   bilangan  tertentu,  seperti  nama-nama  ,  isyarat  dan
jumlah."

Keluar dari perkataan kami : (ٍ ﺭ ﻮ ﺼ ﺤﻣ ﻰﹶ ﻠﻋ) "atas sesuatu yang terbatas" : ( ﻡﺎ ﻌﻟﺍ) umum.

Pengkhususan (ﺺ ﻴِ ﺼ ﺨ ﺘﻟﺍ) secara bahasa : (  ﺪِﺿ   ِ ﻢ ﻴِ ﻤ ﻌ ﺘﻟﺍ ) lawan dari pengumuman.

Secara istilah : 

ِ ﻡﺎ ﻌﻟﺍ ِ ﺩﺍ ﺮﹾ ﻓﹶﺃ ِﺾ ﻌﺑ  ﺝﺍ ﺮ ﺧِﺇ

"Mengeluarkan sebagian anggota yang umum."

Dan  yang mengkhususkan (ﺺ ﺼ ﺨﹸ ﳌﺍ)  :  Pelaku  pengkhususan  yaitu  pembuat
syariat,  dan  dimutlakkan  sebagai  dalil  yang  dihasilkan  dengannya
pengkhususan. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  58 
Dalil takhsis ada dua macam : Muttashil (ﹲ ﻞِ ﺼ ﺘﻣ) dan Munfashil (ﹲ ﻞِ ﺼﹶ ﻔ ﻨﻣ).

Muttashil (bersambung) : yang tidak bisa berdiri sendiri.

Munfashil (terpisah) : yang bisa berdiri sendiri.

Di antara Mukhoshshis Muttasil (ﻞﺼﺘﳌﺍ ﺺﺼﺨﳌﺍ) :

Pertama : pengecualian/istitsna' (ُ ﺀﺎ ﻨﹾ ﺜِ ﺘ ﺳِ ﻻﺍ) yaitu secara bahasa : berasal dari kata
(ﲏﺜﻟﺍ),  yaitu  mengembalikan  sebagian  dari  sesuatu  kepada  sebagian  yang  lain,
seperti ( ﲏﺜﻛ   ﻞﺒﳊﺍ ) mengembalikan sebagian dari tali kepada sebagian yang lain. 

Secara  istilah  :  "mengeluarkan  sebagian  anggota  sesuatu  yang  umum
dengan illa (ﻻﺇ) atau salah satu saudara-saudaranya, seperti firman Alloh :

ﻭ ِ ﺕﺎ ﺤِ ﻟﺎ ﺼﻟﺍ ﺍﻮﹸ ﻠِ ﻤ ﻋﻭ ﺍﻮ ﻨ ﻣﺁ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﺎﱠ ﻟِﺇ ٍ ﺮ ﺴ ﺧ ﻲِ ﻔﹶﻟ ﹶ ﻥﺎ ﺴ ﻧِ ﺄﹾ ﻟﺍ ﱠ ﻥِﺇ   ﺍ ﻮ ﺻﺍ ﻮ ﺗﻭ  ﻖ ﺤﹾ ﻟﺎِﺑ ﺍ ﻮ ﺻﺍ ﻮﺗ
ِ ﺮ ﺒ ﺼﻟﺎِﺑ

"Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang
yang beriman dan mengerjakan amal sholeh dan saling berwasiat untuk mentaati
kebenaran dan saling berwasiat untuk menetapi kesabaran." [QS. al-'Ashr : 2-3]

Keluar dari perkataan kami : ( ﻻﺈﺑ   ﻭﺃ     ﻯﺪـﺣﺇ     ﺎـﺍﻮﺧﺃ ) "dengan illa (kecuali) atau
salah satu saudara-saudaranya" : takhshih dengan syarat dan yang lainnya.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  59 
SYARAT ISTITSNA' (PENGECUALIAN) :

Benarnya istitsna' disyaratkan dengan beberapa syarat, diantaranya :

[1]  Bersambungnya  dengan  yang  dikecualikan (ﲎﺜﺘﺴﳌﺍ),  secara  hakiki  atau
secara hukum.

Muttashil  secara  hakiki  :  yang  langsung  bersambung  dengan  yang
dikecualikan dari sisi keduanya tidak dipisah dengan suatu pemisah.

Muttashil  secara  hukum  :  yang  dipisahkan  antara  sesuatu  yang  umum
dengan yang dikecualikan darinya dengan pemisah yang tidak mungkin untuk
dicegah, seperti batuk atau bersin.

Jika  antara  keduanya  terpisah  dengan  suatu  pemisah  yang  mungkin
dicegah  atau  dengan  diam, maka  istitsna'-nya  tidak  sah.  Seperti  seseorang
mengatakan : ( ﻱﺪﻴﺒﻋ   ﺭﺍﺮﺣﺃ ) "Semua budak-budakku bebas" kemudian ia diam atau
berbicara dengan pembicaraan  yang  lain  lalu mengatakan  : ( ﻻﺇ   ﹰ ﺍﺪﻴﻌﺳ )  "kecuali
Sa'id", maka istitsna'-nya tidak sah dan semuanya budaknya bebas.

Dan dikatakan :  istitsna' dengan diam atau ada pemisah adalah sah, jika
masih  dalam  satu  pembicaraan  yang  sama,  berdasarkan  hadits  Ibnu  Abbas
rodhiyallohu anhuma:

ﺔﻜﻣ ﺢﺘﻓ ﻡﻮﻳ ﻝﺎﻗ ﻢﹼ ﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﹼ ﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﻥﺃ " :   ﻖﻠﺧ ﻡﻮﻳ ﷲﺍ  ﻪﻣﺮﺣ ﺪﻠﺒﻟﺍ ﺍﺬﻫ ﻥﺇ
ﻩﻼﺧ ﻰﻠﺘﳜ ﻻﻭ ﻪﻛﻮﺷ ﺪﻀﻌﻳ ﻻ ،ﺽﺭﻷﺍﻭ ﺕﺍﻮﻤﺴﻟﺍ " ﺱﺎﺒﻌﻟﺍ ﻝﺎﻘﻓ ،  :   ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ
ﻝﺎﻘﻓ ،ﻢﻮﻴﺑﻭ ﻢﻬﻨﻴﻘﻟ ﻪﻧﺈﻓ ﺮﺧﹼ ﺫﻹﺍ ﻻﺇ " : ﺮﺧﺫﻹﺍ ﻻﺇ " 
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  60 
Bahwa  Nabi  shollallohu  alaihi  wa  sallam  berkata  pada  hari  fat-hul
Makkah  (penaklukan  Makkah)  : "Sesungguhnya  Allah  telah  mengharamkan
negri  ini  pada  hari  ketika  Dia  menciptakan  langit  dan  bumi,  tidak  boleh
dipotong  durinya  dan  tidak  boleh  dipotong  ranting-rantingnya"  al-Abbas
berkata  :  "wahai Rasululloh, kecualikan  idzkhir, karena  idzkhir adalah untuk
kebutuhan mereka  dan  rumah mereka",  lalu  Rasululloh  bersabda  : "kecuali
idzkhir".  Dan  pendapat  ini  lebih  rojih  berdasarkan  penunjukkan  hadits  ini
atasnya.

[2]  Yang  dikecualikan (ﻰ ﻨﹾ ﺜ ﺘ ﺴ ﻤﹾ ﻟﺍ)  tidak  lebih  banyak  dari  setengah  yang
dikecualikan  darinya ( ﻪ ﻨِﻣ  ﻰ ﻨﹾ ﺜ ﺘ ﺴ ﻤﹾ ﻟﺍ),  seandainya  dikatakan  : (ﺔﺘﺳ  ﻻﺇ  ﻢﻫﺍﺭﺩ  ﺓﺮﺸﻋ   ﻲﻠﻋ  ﻪﻟ)
"Saya memiliki  hutang  terhadapnya  sepuluh  dirham  kecuali  enam",  istitsna'-
nya tidak sah dan ia harus mengeluarkan 10 seluruhnya.

Dan dikatakan : yang demikian tidak disyaratkan sehingga istitsna'-nya sah,
walaupun  yang  dikecualikan  lebih  banyak  dari  setengah, maka  pada  contoh
yang tadi tidak mengharuskannya untuk mengeluarkan kecuali hanya 4 saja.

Adapun  jika  dikecualikan  semuanya,  maka  tidak  sah  berdasarkan  dua
pendapat tadi. Jika  seseorang mengatakan  : ( ﻪﻟ   ﻲﻠﻋ   ﺓﺮﺸﻋ   ﻻﺇ   ﺓﺮﺸﻋ )  "Saya memiliki
hutang  terhadapnya  sepuluh  kecuali  sepuluh", mengharuskannya membayar
sepuluh seluruhnya.

Dan syarat  ini adalah jika  istitsna'nya dalam bentuk jumlah, adapun jika
dalam bentuk sifat maka sah walaupun dikeluarkan semua atau kebanyakan,
misalnya : firman Alloh ta'ala kepada iblis : 
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  61 
 ﻦﻳِ ﻭﺎ ﻐﹾ ﻟﺍ  ﻦِﻣ  ﻚ ﻌ ﺒ ﺗﺍ ِ ﻦﻣ ﺎﱠ ﻟِﺇ ﹲ ﻥﺎﹶ ﻄﹾ ﻠﺳ  ﻢِ ﻬ ﻴﹶ ﻠﻋ  ﻚﹶﻟ  ﺲ ﻴﹶﻟ ﻱِ ﺩﺎ ﺒِﻋ ﱠ ﻥِﺇ

"Sesungguhnya  hamba-hamba-Ku  tidak  ada  kekuasaan  bagimu  terhadap
mereka, kecuali orang-orang yang mengikutimu dari orang-orang yang sesat."
[QS. al-Hijr : 42]

Dan  pengikut  iblis  dari  kalangan  anak  adam  adalah  lebih  banyak  dari
separuh  jumlah mereka,  seandainya  aku mengatakan  : (ﺀﺎﻴﻨﻏﻷﺍ  ﻻﺇ ﺖﻴﺒﻟﺍ  ﰲ  ﻦﻣ ﻂﻋﺃ)
"Berikanlah kepada siapa yang di rumah  itu kecuali orang-orang yang kaya.",
lalu diketahui bahwa semua yang ada di rumah  itu adalah orang kaya, maka
istitsna'nya sah dan mereka tidak diberi apa-apa.
  
Yang  kedua  :  yang  termasuk mukhoshshish muttashil ( ﺺﺼﺨﳌﺍ   ﻞﺼﺘﳌﺍ )  :  syarat,
yaitu secara bahasa : ( ﻼﻌﻟﺍ ﺔﻣ ) tanda.

Dan yang dimaksud dengannya di sini : 

ﺎﺍﻮﺧﺃ ﻯﺪﺣﺇ ﻭﺃ ﺔﻴﻃﺮﺸﻟﺍ ﻥﺈﺑ ﹰ ﺎﻣﺪﻋ ﻭﺃ ،ﹰ ﺍﺩﻮﺟﻭ ﺀﻲﺸﺑ ﺀﻲﺷ ﻖﻴﻠﻌﺗ

"menggantungkan  sesuatu  dengan  sesuatu  yang  lain  adanya  atau  tidak
adanya dengan ( ﻥﺇ   ﺔﻴﻃﺮﺸﻟﺍ ) atau salah satu dari saudara-saudaranya."

Dan  syarat  merupakan  mukhoshshish  (yang  mengkhususkan),  baik
diletakkan di depan atau diakhirkan.

Contoh yang diletakkan di depan adalah firman-Nya ta'ala kepada orang-
orang musyrik : Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  62 
 ﻬﹶ ﻠﻴِ ﺒﺳ ﺍﻮﱡ ﻠ ﺨﹶﻓ ﹶ ﺓﺎﹶ ﻛ ﺰﻟﺍ ﺍ ﻮ ﺗﺁﻭ ﹶ ﺓﻼ ﺼﻟﺍ ﺍﻮ ﻣﺎﹶ ﻗﹶ ﺃﻭ ﺍﻮ ﺑﺎﺗ ﹾ ﻥِ ﺈﹶﻓ ﻢ 

"Jika  mereka  bertaubat  dan  mendirikan  sholat  dan menunaikan  zakat,
maka berilah kebebasan kepada mereka untuk berjalan" [QS. at-Taubah : 5]

Dan contoh yang diakhirkan adalah firman-Nya ta'ala :

 ﻤ ﻳﹶﺃ ﺖﹶ ﻜﹶ ﻠﻣ ﺎ ﻤِﻣ  ﺏﺎ ﺘِ ﻜﹾ ﻟﺍ ﹶ ﻥﻮ ﻐ ﺘ ﺒﻳ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍﻭ ﺍﺮ ﻴ ﺧ  ﻢِ ﻬﻴِﻓ  ﻢ ﺘ ﻤِ ﻠﻋ ﹾ ﻥِﺇ  ﻢ ﻫﻮ ﺒِ ﺗﺎﹶ ﻜﹶﻓ  ﻢﹸ ﻜ ﻧﺎ 

"Dan  budak-budak  yang  kamu  miliki  yang  memginginkan  perjanjian,
hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka,  jika kamu mengetahui ada
kebaikan pada mereka" [QS. an-Nur : 33]

Yang ketiga : (ﺔﻔﺼﻟﺍ) Sifat, yaitu : 

ﻝﺎﺣ ﻭﺃ ﻝﺪﺑ ﻭﺃ ﺖﻌﻧ ﻦﻣ ﻡﺎﻌﻟﺍ ﺩﺍﺮﻓﺃ ﺾﻌﺑ ﻪﺑ ﺺﺘﳜ ﲎﻌﲟ ﺮﻌﺷﺃ ﺎﻣ

"Yang memberikan  kesan  suatu makna  yang menjadi  khusus  dengannya
sebagian anggota yang umum dari na'at atau badal atau haal."

Misal dari na'at (ﺖﻌﻧ) adalah firman-Nya ta'ala :

ِ ﻤﹶﻓ   ﻦِﻣ  ﻢﹸ ﻜ ﻧﺎ ﻤ ﻳﹶﺃ ﺖﹶ ﻜﹶ ﻠﻣ ﺎﻣ ﻦ  ﻢﹸ ﻜِ ﺗﺎ ﻴ ﺘﹶﻓ   ِ ﺕﺎ ﻨِ ﻣ ﺆ ﻤﹾ ﻟﺍ 

"Maka dari yang kamu miliki dari budak-budak wanita yang beriman" [QS.
an-Nisa' : 25]

Misal dari badal (ﻝﺪﺑ) adalah firman-Nya ta'ala :
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  63 
 ﻰﹶ ﻠﻋ ِ ﻪﱠ ﻠِ ﻟﻭ ِ ﺱﺎ ﻨﻟﺍ  ِ ﺖ ﻴ ﺒﹾ ﻟﺍ ﺞِﺣ  ﹶ ﻄ ﺘ ﺳﺍ ِ ﻦﻣ ﹰ ﻼﻴِ ﺒﺳ ِ ﻪ ﻴﹶ ﻟِﺇ  ﻉﺎ 

"Atas  manusia  ada  kewajiban  terhadap  Allah  untuk  haji  ke  Baitulloh,
yaitu bagi orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke sana" [QS. Ali Imron
: 97]

Misal dari haal (ﻝﺎﺣ) adalah firman-Nya ta'ala :

 ﹰ ﺎﻨِ ﻣ ﺆﻣ ﹾ ﻞ ﺘﹾ ﻘﻳ  ﻦ ﻣﻭ  ﻌ ﺘﻣ ﹰ ﺍﺪﻤ ﺎ ﻬﻴِﻓ ﹰ ﺍﺪِ ﻟﺎ ﺧ  ﻢ ﻨ ﻬ ﺟ  ﻩ ﺅﺍ ﺰ ﺠﹶﻓ  

"Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka
balasannya ialah Jahannam, ia kekal di dalamnya" [QS. an-Nisa' : 93]

MUKHOSHSHISH MUNFASIL (ﻞﺼﻔﻨﳌﺍ ﺺﺼﺨﳌﺍ)

Mukhoshshish Munfasil adalah  : Mukhoshshish  yang berdiri  sendiri, yaitu
ada tiga hal : perasaan, akal dan syari'at.

Contoh  takhshish  dengan  perasaan  adalah  firman  Alloh  ta'ala  tentang
angin untuk kaum 'Aad :

ﺎ ﻬ ﺑﺭ ِ ﺮ ﻣﹶ ﺄِﺑ ٍ ﺀ ﻲﺷ ﱠ ﻞﹸﻛ  ﺮ ﻣ ﺪﺗ 

"yang menghancurkan segala sesuatu dengan perintah Tuhannya" [QS. Al-
Ahqof : 25] 

Maka perasaan menunjukkan bahwa angin tersebut tidak menghancurkan
langit dan bumi. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  64 
Contoh takhshish dengan akal adalah firman Alloh ta'ala :

ﺮﻳِ ﺪﹶ ﻗ ٍ ﺀ ﻲﺷ ﱢ ﻞﹸﻛ ﻰﹶ ﻠﻋ  ﻪ ﻧِﺇ 

"Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." [QS. al-Ahqof : 33]

Maka akal menunjukkan bahwa Dzat Alloh ta'ala bukanlah makhluk.

Dan  diantara  'ulama  ada  yang  berpendapat  bahwa  apa-apa  yang
dikhususkan  dengan  perasaan  dan  akal  bukanlah  sesuatu  yang  umum  yang
dikhususkan,  akan  tetapi  merupakan  umum  yang  dimaksudkan  dengannya
sesuatu yang khusus. 

Adapun  takhshish  dengan  syari'at,  maka  al-Qur'an  dan  as-Sunnah
dikhususkan dengan yang semisalnya dan dengan ijma' dan qiyas.

Contoh Takhshish al-Qur'an dengan al-Qur'an : firman Alloh ta'ala :

ٍ ﺀﻭ ﺮﹸ ﻗ ﹶ ﺔﹶ ﺛﻼﹶﺛ  ﻦِ ﻬِ ﺴﹸ ﻔ ﻧﹶ ﺄِﺑ  ﻦ ﺼ ﺑ ﺮ ﺘﻳ  ﺕﺎﹶ ﻘﱠ ﻠﹶ ﻄ ﻤﹾ ﻟﺍﻭ

"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'" [QS. al-Baqoroh : 228]

Dikhususkan dengan firman-Nya ta'ala :

ﹶ ﻜﻧ ﺍﹶ ﺫِﺇ ﺍﻮ ﻨ ﻣﺁ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﺎﻬ ﻳﹶﺃ ﺎﻳ   ﺎ ﻤﹶﻓ  ﻦ ﻫﻮ ﺴ ﻤﺗ ﹾ ﻥﹶﺃ ِ ﻞ ﺒﹶ ﻗ  ﻦِﻣ  ﻦ ﻫﻮ ﻤ ﺘﹾ ﻘﱠ ﻠﹶﻃ  ﻢﹸﺛ ِ ﺕﺎ ﻨِ ﻣ ﺆ ﻤﹾ ﻟﺍ  ﻢ ﺘﺤ
ﺎ ﻬ ﻧﻭ ﺪ ﺘ ﻌﺗ ٍ ﺓ ﺪِﻋ  ﻦِﻣ  ﻦِ ﻬ ﻴﹶ ﻠﻋ  ﻢﹸ ﻜﹶﻟ
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  65 
"Hai  orang-orang  yang  beriman,  apabila  kamu  menikahi  perempuan-
perempuan  yang  beriman,  kemudian  kamu  ceraikan mereka  sebelum  kamu
mencampurinya  maka  sekali-sekali  tidak  wajib  atas  mereka  'iddah  bagimu
yang kamu minta menyempurnakannya." [QS. al-Ahzab : 49]

Contoh  takhshish  al-Qur'an  dengan  as-Sunnah  :  ayat  warisan,  seperti
firman-Nya ta'ala :

ﹸ ﻛِ ﺩﻻ ﻭﹶﺃ ﻲِﻓ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ  ﻢﹸ ﻜﻴِ ﺻﻮﻳ ﻦ ﻴ ﻴﹶ ﺜ ﻧﹸ ﺄﹾ ﻟﺍ ﱢ ﻆﺣ ﹸ ﻞﹾ ﺜِﻣ ِ ﺮﹶ ﻛﱠ ﺬﻠِﻟ ﻢ 

"Allah mensyari'atkan  bagimu  tentang  (pembagian warisan  untuk)  anak-
anakmu.  Yaitu  :  bagian  seorang  anak  lelaki  sama  dengan  bagian  dua  orang
anak perempuan." [QS. an-Nisa' : 11]

Dan  yang  semisal  dengan  ayat  ini  dikhususkan  dengan  sabda  Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam :

ﻢﻠﺴﳌﺍ ﺮﻓﺎﻜﻟﺍ ﻻﻭ ﺮﻓﺎﻜﻟﺍ ﻢﻠﺴﳌﺍ ﺙﺮﻳ ﻻ

"Seorang  muslim  tidak  mewarisi  orang  kafir,  dan  orang  kafir  tidak
mewarisi orang muslim."

Contoh takhshish al-Qur'an dengan Ijma' : firman Alloh ta'ala :

ﹰ ﺓ ﺪﹾ ﻠ ﺟ  ﲔِ ﻧﺎ ﻤﹶﺛ  ﻢ ﻫﻭ ﺪِ ﻠ ﺟﺎﹶﻓ َ ﺀﺍ ﺪ ﻬﺷ ِ ﺔ ﻌ ﺑ ﺭﹶ ﺄِﺑ ﺍﻮ ﺗﹾ ﺄﻳ  ﻢﹶﻟ  ﻢﹸﺛ ِ ﺕﺎ ﻨ ﺼ ﺤ ﻤﹾ ﻟﺍ ﹶ ﻥﻮ ﻣ ﺮﻳ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍﻭ

"Dan orang-orang  yang menuduh wanita-wanita  yang  baik-baik  (berbuat
zina)  dan  mereka  tidak  mendatangkan  empat  orang  saksi,  maka  deralah
mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera." [QS. an-Nur : 4]
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  66 
Dikhususkan  dengan  ijma'  bahwa  budak  yang  menuduh  hukumannya
didera  (dicambuk) 40  kali. Demikianlah  yang dijadikan  contohkan oleh para
ahli  ushul,  dan  hal  ini  perlu  diperiksa  kembali  dikarenakan  adanya  khilaf
dalam  masalah  ini,  dan  aku  belum  mendapati  contoh  yang  selamat  (dari
adanya khilaf, pent).

Contoh takhshish al-Qur'an dengan Qiyas : firman Alloh ta'ala :

ﺓ ﺪﹾ ﻠ ﺟ ﹶ ﺔﹶ ﺋﺎِﻣ ﺎ ﻤ ﻬ ﻨِﻣ ٍ ﺪِ ﺣﺍﻭ ﱠ ﻞﹸﻛ ﺍﻭ ﺪِ ﻠ ﺟﺎﹶﻓ ﻲِ ﻧﺍ ﺰﻟﺍﻭ ﹸ ﺔ ﻴِ ﻧﺍ ﺰﻟﺍ 

"Perempuan yang berzina dan  laki-laki yang berzina, maka deralah  tiap-
tiap seorang dari keduanya seratus dali dera." [QS. an-Nur : 2]

Dikhususkan dengan mengqiyaskan budak  laki-laki yang berzina terhadap
budak perempuan yang berzina dalam menjadikan hukumannya separuh, dan
dikurangi menjadi lima puluh dera, menurut pendapat yang masyhur. 

Dan  contoh  takhshish  As-Sunnah  dengan  Al-Qur'an  :  sabda  Nabi
shollallohu alaihi wa sallam :

" ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﹰ ﺍﺪﻤﳏ ﻥﺃﻭ ﷲﺍ ﻻﺇ ﻪﻟﺇ ﻻ ﻥﺃ ﺍﻭﺪﻬﺸﻳ ﱴﺣ ﺱﺎﻨﻟﺍ ﻞﺗﺎﻗﺃ ﻥﺃ ﺕﺮﻣﺃ "...  ،
 ﺚﻳﺪﳊﺍ . 

Aku  diperintahkan  untuk  memerangi  manusia  sampai  mereka  bersaksi
bahwasanya  tiada  sesembahan  yang  berhak  disembah  selain  Alloh  dan
bahwasanya Muhammad adalah utusan Alloh…." Al-Hadits.

Dikhususkan dengan firman Alloh ta'ala : Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  67 

  ﻪﹸ ﻟﻮ ﺳ ﺭﻭ   ﻪﱠ ﻠﻟﺍ   ﻡ ﺮﺣ  ﺎﻣ  ﹶ ﻥﻮ ﻣ ﺮ ﺤﻳ ﻻﻭ  ِ ﺮِ ﺧﺂﹾ ﻟﺍ  ِ ﻡ ﻮ ﻴﹾ ﻟﺎِﺑ ﻻﻭ  ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺎِﺑ  ﹶ ﻥﻮ ﻨِ ﻣ ﺆﻳ ﻻ   ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ  ﺍﻮﹸ ﻠِ ﺗﺎﹶ ﻗ
 ﻌﻳ ﻰ ﺘﺣ   ﺏﺎ ﺘِ ﻜﹾ ﻟﺍ  ﺍﻮ ﺗﻭﹸﺃ   ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍ   ﻦِﻣ   ﻖ ﺤﹾ ﻟﺍ   ﻦﻳِﺩ  ﹶ ﻥﻮ ﻨﻳِ ﺪﻳ ﻻﻭ   ﻢ ﻫﻭ  ٍ ﺪﻳ   ﻦﻋ  ﹶ ﺔ ﻳ ﺰِ ﺠﹾ ﻟﺍ  ﺍﻮﹸ ﻄ
ﹶ ﻥﻭ ﺮِ ﻏﺎﺻ 

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula)
kepada  hari  kemudian,  dan  mereka  tidak  mengharamkan  apa  yang
diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang
benar  (agama  Allah),  (yaitu  orang-orang)  yang  diberikan  Al-Kitab  kepada
mereka,  sampai  mereka  membayar  jizyah  dengan  patuh  sedang  mereka
dalam keadaan tunduk." [At-Taubah : 29]

Dan  contoh  takhshish  As-Sunnah  dengan  As-Sunnah  :  sabda  Rosul
shollallohu alaihi wa sallam :

" ﺮﺸﻌﻟﺍ ﺀﺎﻤﺴﻟﺍ ﺖﻘﺳ ﺎﻤﻴﻓ " 

"Apa-apa (pertanian, pent) yang diairi dengan air hujan zakatnya adalah
sepersepuluh"

Dikhususkan dengan sabdanya shollallohu alaihi wa sallam :

ﺔﻗﺪﺻ ﻖﺳﻭﺃ ﺔﺴﲬ ﻥﻭﺩ ﺎﻤﻴﻓ ﺲﻴﻟ 

"Tidak ada zakat bagi (hasil pertanian, pent) yang di bawah 5 wisq".

Dan  aku  (asy-Syaikh  Ibnul  'Utsaimin,  pent)  belum  menemukan  contoh
takhshish As-Sunnah dengan ijma'.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  68 
Dan  contoh  takhshish As-Sunnah  dengan  qiyas  :  sabda  Rosul  shollallohu
alaihi wa sallam :

ﻡﺎﻋ ﺐﻳﺮﻐﺗﻭ ﺔﺌﻣ ﺪﻠﺟ ﺮﻜﺒﻟﺎﺑ ﺮﻜﺒﻟﺍ 

"Laki-laki yang belum menikah dan perempuan yang belum menikah (yang
berzina, pent) didera seratus kali dan diasingkan selama 1 tahun."

Dikhususkan dengan mengqiyaskan budak laki-laki yang berzina terhadap
budak perempuan yang berzina dalam menjadikan hukumannya separuh, dan
dikurangi menjadi lima puluh dera, menurut pendapat yang masyhur. 

***
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  69 
ﹾ ﻟﺍ ﹾ ﻄﻤ  ﻖﹶﻠ ِﻭ  ﹾ ﻟﺍ ﻤ  ﺪ ﻴﹶﻘ 
MUTLAK DAN MUQOYYAD

DEFINISI MUTLAK (ﻖﻠﻄﳌﺍ):

Mutlak (ﻖﻠﻄﳌﺍ) secara bahasa adalah : ( ﺪﺿ   ﺪﻴﻘﳌﺍ ) lawan dari Muqoyyad.

Dan secara istilah : 
ﺪﻴﻗ ﻼﺑ ﺔﻘﻴﻘﳊﺍ ﻰﻠﻋ ﻝﺩ ﺎﻣ 

"Apa-apa yang menunjukkan atas hakikat tanpa ikatan"

Sebagaimana firman Alloh ta'ala :

ﺎ ﺳﺎ ﻤ ﺘﻳ ﹾ ﻥﹶﺃ ِ ﻞ ﺒﹶ ﻗ  ﻦِﻣ ٍ ﺔ ﺒﹶ ﻗﺭ  ﺮﻳِ ﺮ ﺤ ﺘﹶﻓ 

"Maka  (wajib  atasnya)  memerdekakan  seorang  budak  sebelum  kedua
suami isteri itu bercampur" [QS. al-Mujadilah : 3]

Maka  keluar  dari  perkataan  kami  : ( ﺎﻣ   ﻝﺩ   ﻰﻠﻋ   ﺔﻘﻴﻘﳊﺍ )  "apa-apa  yang
menunjukkan  atas  hakikat":  umum (ﻡﺎﻌﻟﺍ),  karena  umum  menunjukkan  atas
keumuman, bukan mutlak hakikat saja.

Maka keluar dari perkataan kami : ( ﻼﺑ   ﺪﻴﻗ ) "tanpa ikatan" : Muqoyyad (ﺪﻴﻘﳌﺍ).
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  70 
DEFINISI MUQOYYAD (ﺪﻴﻘﳌﺍ) :

Muqoyyad (ﺪﻴﻘﳌﺍ)  secara  bahasa  adalah  : ( ﺎﻣ   ﻞﻌﺟ   ﻪﻴﻓ   ﺪﻴﻗ   ﻦﻣ   ﲑﻌﺑ   ﻩﻮﳓﻭ )  Apa  yang
dijadikan padanya suatu ikatan dari unta dan yang semisalnya.

Dan secara istilah :

ﺪﻴﻘﺑ ﺔﻘﻴﻘﳊﺍ ﻰﻠﻋ ﻝﺩ ﺎﻣ 

"Apa-apa yang menunjukkan hakikat dengan ikatan"

Sebagaimana firman Alloh ta'ala :

ﻳِ ﺮ ﺤ ﺘﹶﻓ ٍ ﺔ ﻨِ ﻣ ﺆﻣ ٍ ﺔ ﺒﹶ ﻗﺭ ﺮ 

"(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman" [QS.
an-Nisa' : 92]

Maka keluar dari perkataan kami : (ﺪﻴﻘﺑ) "dengan ikatan" : Mutlak (ﻖﻠﻄﳌﺍ).

BERAMAL DENGAN NASH YANG MUTLAK :

Wajib  beramal  dengan  nash  yang  mutlak  berdasarkan  kemutlakannya
kecuali  jika  ada  dalil  yang men-taqyid-nya  (mengikatnya),  karena  beramal
dengan nash-nash dari Al-Kitab dan As-Sunnah adalah wajib berdasarkan atas
apa-apa  yang menjadi  konsekuensi  penunjukkan-penunjukannya  sampai  ada
dalil yang menyelisihi hal itu.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  71 
Jika terdapat nash yang mutlak dan nash yang muqoyyad, wajib mengikat
nash  yang mutlak  tersebut dengan nash yang muqoyyad  jika hukumnya  satu
(dalam satu permasalahan, pent), dan jika tidak, maka setiap nash diamalkan
berdasarkan apa-apa yang ada padanya, dari mutlak atau muqoyyad.  

Contoh yang hukum keduanya satu : firman Alloh ta'ala : 

ﺎ ﺳﺎ ﻤ ﺘﻳ ﹾ ﻥﹶﺃ ِ ﻞ ﺒﹶ ﻗ  ﻦِﻣ ٍ ﺔ ﺒﹶ ﻗﺭ  ﺮﻳِ ﺮ ﺤ ﺘﹶﻓ 

"maka  (wajib  atasnya)  memerdekakan  seorang  budak  sebelum  kedua
suami isteri itu bercampur" [QS. al-Mujadalah : 3]

Dan firman Alloh dalam kafarot membunuh :

ٍ ﺔ ﻨِ ﻣ ﺆﻣ ٍ ﺔ ﺒﹶ ﻗﺭ  ﺮﻳِ ﺮ ﺤ ﺘﹶﻓ 

"(hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman" [QS.
an-Nisa' : 92]

Contoh yang hukum keduanya tidak satu : Firman Alloh ta'ala :

 ﻕِ ﺭﺎ ﺴﻟﺍﻭ ﺎ ﻤ ﻬ ﻳِ ﺪ ﻳﹶﺃ ﺍﻮ ﻌﹶ ﻄﹾ ﻗﺎﹶﻓ ﹸ ﺔﹶ ﻗِ ﺭﺎ ﺴﻟﺍﻭ  

"Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan
keduanya" [QS. al-Ma'idah : 38]

Dan firman Alloh dalam ayat wudhu' :

ﻖِ ﻓﺍ ﺮ ﻤﹾ ﻟﺍ ﻰﹶ ﻟِﺇ  ﻢﹸ ﻜ ﻳِ ﺪ ﻳﹶ ﺃﻭ  ﻢﹸ ﻜ ﻫﻮ ﺟﻭ ﺍﻮﹸ ﻠِ ﺴﹾ ﻏﺎﹶﻓ 
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  72 
"Maka  basuhlah  mukamu  dan  tanganmu  sampai  dengan  siku"  [QS.  al-
Ma'idah : 6]

Maka  hukumnya  berbeda,  yang  pertama  memotong  dan  yang  kedua
membasuh,  maka  ayat  yang  pertama  tidak  bisa  diikat  dengan  ayat  yang
kedua,  bahkan  tetap  pada  kemutlakannya,  sehingga  pemotongan  adalah
sampai pergelangan tangan dan membasuh sampai siku.  
 
*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  73 
ﻦ ﻴ ﺒﻤـﻟﺍﻭ ﹸ ﻞ ﻤ ﺠ ﻤـﻟﺍ
MUJMAL DAN MUBAYYAN

DEFINISI MUJMAL (ﻞﻤﺍ) :

Mujmal  secara  bahasa  : ( ﻢﻬﺒﳌﺍ   ﻉﻮﻤﺍﻭ ) mubham  (yang  tidak  diketahui)  dan
yang terkumpul.

Secara istilah : 

ﻩﺭﺍﺪﻘﻣ ﻭﺃ ﻪﺘﻔﺻ ﻥﺎﻴﺑ ﻭﺃ ﻪﻨﻴﻴﻌﺗ ﰲ ﺎﻣﺇ ،ﻩﲑﻏ ﻰﻠﻋ ﻪﻨﻣ ﺩﺍﺮﳌﺍ ﻢﻬﻓ ﻒﻗﻮﺘﻳ ﺎﻣ

"Apa yang dimaksud darinya ditawaqqufkan terhadap yang selainnya, baik
dalam ta'yinnya (penentuannya) atau penjelasan sifatnya atau ukurannya."

Contoh yang membutuhkan dalil  lain dalam ta'yin/penentuannya: Firman
Alloh ta'ala:

 ﺑ ﺮ ﺘﻳ  ﺕﺎﹶ ﻘﱠ ﻠﹶ ﻄ ﻤﹾ ﻟﺍﻭ ٍ ﺀﻭ ﺮﹸ ﻗ ﹶ ﺔﹶ ﺛﻼﹶﺛ  ﻦِ ﻬِ ﺴﹸ ﻔ ﻧﹶ ﺄِﺑ  ﻦ ﺼ 

"Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'" [QS. Al-Baqoroh : 228]

Quru' (ﺀﺮﻘﻟﺍ)  adalah  lafadz  yang  musytarok  (memiliki  beberapa  makna,
pent)  antara  haidh  dan  suci,  maka  menta'yin  salah  satunya  membutuhkan
dalil.

Contoh yang membutuhkan dalil  lain dalam penjelasan sifatnya : Firman
Alloh ta'ala : Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  74 

ﺓﻼ ﺼﻟﺍ ﺍﻮ ﻤﻴِ ﻗﹶ ﺃﻭ 

"Dan dirikanlah sholat" [QS. Al-Baqoroh : 43]

Maka tata cara mendirikan sholat tidak diketahui (hanya dengan ayat ini,
pent), membutuhkan penjelasan.

Contoh  yang  membutuhkan  dalil  lain  dalam  penjelasan  ukurannya  :
Firman Alloh ta'ala :

ﹶ ﺓﺎﹶ ﻛ ﺰﻟﺍ ﺍﻮﺗَ ﺁﻭ

"Dan tunaikanlah zakat" [QS. Al-Baqoroh : 43]

Ukuran  zakat  yang wajib  tidak diketahui  (hanya dengan ayat  ini, pent),
maka membutuhkan penjelasan.

DEFINISI MUBAYYAN (ﻦ ﻴﺒﳌﺍ) :

Mubayyan  secara  bahasa  : (ﺢﺿﻮﳌﺍﻭ  ﺮﻬﻈﳌﺍ)  yang  ditampakkan  dan  yang
dijelaskan.

Secara istilah : 

ﲔﻴﺒﺘﻟﺍ ﺪﻌﺑ ﻭﺃ ﻊﺿﻮﻟﺍ ﻞﺻﺄﺑ ﺎﻣﺇ ،ﻪﻨﻣ ﺩﺍﺮﳌﺍ ﻢﻬﻔﻳ ﺎﻣ

"Apa  yang  dapat  difahami  maksudnya,  baik  dengan  asal  peletakannya
atau setelah adanya penjelasan."
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  75 
Contoh  yang  dapat  difahami  maksudnya  dengan  asal  peletakannya  :
lafadz  :  langit (ﺀﺎﲰ),  bumi (ﺽﺭﺃ),  gunung (ﻞﺒﺟ),  adil (ﻝﺪﻋ),  dholim (ﻢﻠﻇ),  jujur
(ﻕﺪﺻ).  Maka  kata-kata  ini  dan  yang  semisalnya  dapat  difahami  dengan  asal
peletakannya,  dan  tidak  membutuhkan  dalil  yang  lain  dalam  menjelaskan
maknanya.

Contoh  yang  dapat  difahami  maksudnya  setelah  adanya  penjelasan  :
firman Alloh ta'ala :

ﹶ ﺓﺎﹶ ﻛ ﺰﻟﺍ ﺍﻮ ﺗﺁﻭ 

"Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat" [QS. Al-Baqoroh : 43]

Maka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, keduanya adalah mujmal,
tetapi  pembuat  syari'at  (Alloh  ta'ala)  telah  menjelaskannya,  maka  lafadz
keduanya menjadi jelas setelah adanya penjelasan. 

BERAMAL DENGAN DALIL YANG MUJMAL:

Seorang  mukallaf  wajib  bertekad  untuk  beramal  dengan  dalil  yang
mujmal ketika telah datang penjelasannya. 

Nabi shollallohu alaihi wa sallam telah menjelaskankan semua syari'atnya
kepada  umatnya  baik  pokok-pokoknya maupun  cabang-cabangnya,  sehingga
beliau meninggalkan ummat  ini di atas  syari'at  yang putih bersih malamnya
seperti  siangnya,  dan  beliau  tidak  pernah  sama  sekali  meninggalkan
penjelasan (terhadap syari'at, pent) ketika dibutuhkan.

Dan  penjelasan Nabi  shollallohu  alaihi wa  sallam  itu  berupa  perkataan
atau perbuatan atau perkataan dan sekaligus perbuatan. 
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  76 
Contoh penjelasan beliau shollallohu alaihi wa sallam dengan perkataan :
Pengkhobaran  beliau  tentang  nishob-nishob  dan  ukuran  zakat,  sebagaimana
dalam sabdanya shollallohu alaihi wa sallam : 
 
ﺮﺸﻌﻟﺍ ﺀﺎﻤﺴﻟﺍ ﺖﻘﺳ ﺎﻤﻴﻓ

"Apa-apa  (hasil  pertanian,  pent)  yang  diairi  dengan  air  hujan  zakatnya
adalah 1/10"

Sebagai penjelasan dari firman Alloh ta'ala yang mujmal :

ﹶ ﺓﺎﹶ ﻛ ﺰﻟﺍ ﺍﻮ ﺗﺁﻭ 

"Dan tunaikanlah zakat" [QS. Al-Baqoroh : 43]

Contoh penjelasan beliau shollallohu alaihi wa sallam dengan perbuatan:
perbuatan beliau dalam manasik di hadapan ummat sebagai penjelasan dari
firman Alloh ta'ala yang mujmal :

ﺖ ﻴ ﺒﹾ ﻟﺍ ﺞِﺣ ِ ﺱﺎ ﻨﻟﺍ ﻰﹶ ﻠﻋ ِ ﻪﱠ ﻠِ ﻟﻭ 

"Mengerjakan  haji  adalah  kewajiban  manusia  terhadap  Allah"  [QS.  Ali
Imron :97]

Dan demikian  juga  sholat  kusuf  (gerhana bulan) dengan  sifat  sholatnya,
dalam  kenyataannya  hal  ini  merupakan  penjelasan  terhadap  sabdanya
shollallohu alaihi wa sallam yang mujmal :
 
ﺍﻮﻠﺼﻓ ﹰ ﺎﺌﻴﺷ ﺎﻬﻨﻣ ﻢﺘﻳﺃﺭ ﺍﺫﺈﻓ Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  77 

"Jika kalian melihat sesuatu darinya maka sholatlah". [Muttafaqun alaihi]

Contoh penjelasan beliau shollallohu alaihi wa sallam dengan perkataan
dan  sekaligus  perbuatan  :  penjelasan  beliau  shollallohu  alaihi  wa  sallam
tentang  tata  cara  sholat,  sesungguhnya  pejelasan  beliau  adalah  dengan
perkataan  dalam  hadits  al-musi'  fi  sholatihi  (orang  yang  jelek  dalam
sholatnya), dimana beliau shollallohu alaihi wa sallam bersabda :
 
ﱪﻜﻓ ﺔﻠﺒﻘﻟﺍ ﻞﺒﻘﺘﺳﺍ ﰒ ،ﺀﻮﺿﻮﻟﺍ ﻎﺒﺳﺄﻓ ،ﺓﻼﺼﻟﺍ ﱃﺇ ﺖﻤﻗ ﺍﺫ ... 

"Jika  engkau  akan  sholat  maka  sempurnakanlah  wudhu,  kemudian
menghadaplah ke qiblat lalu bertakbirlah….", al-hadits.

Dan  penjelasan  beliau  adalah  dengan  perbuatan  juga,  sebagaimana
dalam  hadits  Sahl  bin  Sa'ad  As-Sa'idi  rodhiyallohu  anhu  bahwa  Nabi
shollallohu alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar  lalu bertakbir (takbirotul
ihrom,  pent),  dan  orang-orangpun  bertakbir  di  belakang  beliau  sedangkan
beliau  berada  di  atas  mimbar….,  Al-Hadits,  dan  dalam  hadits  tersebut  :
"kemudian beliau menghadap kepada orang-orang dan berkata :
 
ﰐﻼﺻ ﺍﻮﻤﻠﻌﺘﻟﻭ ،ﰊ ﺍﻮﲤﺄﺘﻟ ؛ﺍﺬﻫ ﺖﻠﻌﻓ ﺎﳕﺇ

"hanya  saja  aku melakukan  ini  supaya  kalian mengikuti  gerakanku  dan
supaya kalian mengetahui sholatku".  

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  78 
 ﺮِ ﻫﺎﱠ ﻈﻟﺍ ِﻭ  ﹾ ﻟﺍ ﻤ ﹸ ﻝ ﻭﺆ 
DZOHIR DAN MU'AWWAL

DEFINISI DZOHIR (ﺮﻫﺎﻈﻟﺍ) :

Dzohir secara bahasa : Yang terang (ﺢﺿﺍﻮﻟﺍ) dan yang jelas (ﲔﺒﻟﺍ).

Secara istilah : 

ﻩﲑﻏ ﻝﺎﻤﺘﺣﺍ ﻊﻣ ﺢﺟﺍﺭ ﲎﻌﻣ ﻰﻠﻋ ﻪﺴﻔﻨﺑ ﻝﺩ ﺎﻣ 

"Apa-apa  yang  menunjukkan  atas  makna  yang  rojih  dengan  lafadznya
sendiri dengan adanya kemungkinan makna lainnya."
 
Misalnya sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam :

ﻞﺑﻹﺍ ﻡﻮﳊ ﻦﻣ ﺍﻭﺆﺿﻮﺗ 

"Berwudhulah kalian karena memakan daging unta!" 

Maka sesungguhnya yang dzohir dari yang dimaksud dengan wudhu adalah
membasuh anggota badan yang empat dengan  sifat yang  syar'i bukan wudhu
yang berarti membersihkan diri.

Keluar  dari  perkataan  kami  :  "apa-apa  yang  menunjukkan  atas  makna
dengan  lafadznya  sendiri" (ﲎﻌﻣ  ﻰﻠﻋ  ﻪﺴﻔﻨﺑ  ﻝﺩ  ﺎﻣ)  :  Mujmal,  karena mujmal  tidak
menunjukkan makna dengan lafadznya sendiri.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  79 
Keluar  dari  perkataan  kami  :  "rojih" (ﺢﺟﺍﺭ)  :  Mu'awwal,  karena  ia
menunjukkan atas makna yang marjuh jika tanpa qorinah.

Keluar  dari  perkataan  kami  :  "dengan  adanya  kemungkinan  makna
lainnya" ( ﻊﻣ   ﻩﲑﻏ ﻝﺎﻤﺘﺣﺍ ) : Nash yang tegas, karena ia tidak memiliki kemungkinan
kecuali hanya satu makna.

BERAMAL DENGAN DALIL YANG DZOHIR :

Beramal dengan dalil yang dzohir adalah wajib kecuali jika ada dalil yang
memalingkannya dari makna dzohirnya. Karena  ini merupakan  jalannya para
salaf,  dan  karena  ini  lebih  hati-hati  dan  lebih melepaskan  tanggungan,  dan
lebih kuat dalam ta'abbud dan ketundukan.

DEFINISI MU'AWWAL (ﻝﻭﺆﳌﺍ):

Mu'awwal secara bahasa : dari kata "al-Awli" (ﻝﻭَ ﻷﺍ) yakni kembali (ﻉﻮﺟﺮﻟﺍ).

Secara istilah : 

ﺡﻮﺟﺮﳌﺍ ﲎﻌﳌﺍ ﻰﻠﻋ ﻪﻈﻔﻟ ﻞﲪ ﺎﻣ 

"Apa-apa yang lafadznya dibawa pada makna yang marjuh."

Keluar dari perkataan  kami  :  "pada makna  yang marjuh" ( ﻰﻠﻋ ﺡﻮﺟﺮﳌﺍ ﲎﻌﳌﺍ  )  :
Nash dan Dzohir.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  80 
Adapun  nash,  karena  ia  tidak mengandung  kemungkinan  kecuali  hanya
satu makna, dan adapun dzohir, karena ia dibawa kepada makna yang rojih.

Ta'wil ada dua macam : Shohih diterima dan Rusak ditolak. 

1.  Ta'wil  yang  shohih  :  yang  ditunjukkan  atas makna  tersebut  dengan  dalil
yang shohih, seperti ta'wil terhadap firman Alloh ta'ala : 

ﹶ ﺔ ﻳ ﺮﹶ ﻘﹾ ﻟﺍ ِ ﻝﹶ ﺄ ﺳﺍﻭ ...  

"bertanyalah kepada desa..." [QS. Yusuf : 82] 

Kepada makna "bertanyalah kepada penduduk desa" (ﺔﻳﺮﻘﻟﺍ ﻞﻫﺃ ﻝﺄﺳﺍﻭ), karena
desa tidak mungkin untuk diberi pertanyaan kepadanya.

2.  Ta'wil  yang  rusak  :  yang  tidak  ada  dalil  yang  shohih  yang menunjukkan
makna  tersebut,  seperti  ta'wil  orang-orang  mu'aththilah  (ahli  ta'thil)
terhadap firman Alloh ta'ala :

 ﺮﻟﺍ ﹶ ﻠﻋ  ﻦ ﻤﺣ ﻯ ﻮ ﺘ ﺳﺍ ِ ﺵ ﺮ ﻌﹾ ﻟﺍ ﻰ 

"Ar-Rohman bersemayam di atas arsy" [QS. Thoha : 5]

Kepada  makna  istaula (ﱃﻮﺘﺳﺍ  /  menguasai),  dan  yang  benar  bahwa
maknanya adalah ketinggian dan menetap, tanpa takyif dan tamtsil.

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  81 
 ﺦـ ﺴ ﻨﻟﺍ
AN-NASKH

DEFINISINYA :

Naskh secara bahasa : Penghilangan (ﺔﻟﺍﺯﻹﺍ) dan Pemindahan (ﻞﻘﻨﻟﺍ).

Secara istilah : 

ﺔﻨﺴﻟﺍﻭ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻦﻣ ﻞﻴﻟﺪﺑ ﻪﻈﻔﻟ ﻭﺃ ﻲﻋﺮﺷ ﻞﻴﻟﺩ ﻢﻜﺣ ﻊﻓﺭ

"Terangkatnya (dihapusnya, pent) hukum suatu dalil syar'i atau lafadznya
dengan dalil  dari Al-Kitab dan As-Sunnah."

Yang dimaksud dengan perkataan kami  : ( ﻊﻓﺭ   ﻢﻜﺣ )  " Terangkatnya hukum"
yakni  :  perubahannya  dari wajib menjadi mubah  atau  dari mubah menjadi
haram misalnya.

Keluar dari hal  tersebut perubahan hukum karena hilangnya  syarat atau
adanya  penghalang,  misalnya  terangkatnya  kewajiban  zakat  karena
kurangnya  nishob  atau  kewajiban  sholat  karena  adanya  haid,  maka  hal
tersebut tidak dinamakan sebagai naskh.

Dan  yang  dimaksud  dengan  perkataan  kami  : ( ﻭﺃ   ﻪﻈﻔﻟ )  "atau  lafadznya"  :
lafadz suatu dalil syar'i, karena naskh bisa terjadi pada hukumnya saja tanpa
lafadznya,  atau  sebaliknya,  atau  pada  keduanya  (hukum  dan  lafadznya)
secara bersamaan sebagaimana yang akan datang.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  82 
Keluar dari perkataan kami : ( ﻞﻴﻟﺪﺑ   ﻦﻣ   ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ   ﺔﻨﺴﻟﺍﻭ ) "dengan dalil dari Al-Kitab
dan As-Sunnah" : apa yang selain keduanya dari dalil-dalil syar'i, seperti ijma'
dan qiyas maka suatu dalil tidak bisa di-naskh dengan keduanya. 

NASKH ITU MUNGKIN TERJADI SECARA AKAL DAN TERJADI SECARA SYAR'I.

Adapun kemungkinannya  secara akal  : karena di  tangan Alloh-lah  semua
perkara, dan milik-Nyalah hukum, karena Dia adalah Ar-Robb Al-Malik, maka
Alloh berhak mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya apa-apa yang menjadi
konsekuensi hikmah dan  rahmat-Nya. Apakah  tidak masuk akal  jika al-Malik
memerintahkan kepada yang dimiliki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya?
Kemudian konsekuensi hikmah dan rahmat Alloh ta'ala kepada hamba-hamba-
Nya  adalah  Dia  mensyariatkan  kepada  mereka  dengan  apa-apa  yang
diketahui-Nya bahwa di dalamnya dapat tegak maslahat-maslahat agama dan
dunia mereka. Dan maslahat-maslahat berbeda-beda  tergantung  kondisi dan
waktu,  terkadang  suatu  hukum  pada  suatu waktu  atau  kondisi  adalah  lebih
bermaslahat  bagi  para  hamba,  dan  terkadang  hukum  yang  lain  pada waktu
dan  kondisi  yang  lain adalah  lebih bermaslahat, dan Alloh Maha Mengetahui
dan Maha Bijaksana.

Adapun terjadinya naskh secara syar'i, dalil-dalilnya adalah :

1. Firman Alloh ta'ala:

ﻣ ﺎ ﻬِ ﻠﹾ ﺜِﻣ  ﻭﹶﺃ ﺎ ﻬ ﻨِﻣ ٍ ﺮ ﻴ ﺨِﺑ ِ ﺕﹾ ﺄﻧ ﺎ ﻬِ ﺴ ﻨﻧ  ﻭﹶﺃ ٍ ﺔ ﻳﺁ  ﻦِﻣ  ﺦ ﺴ ﻨﻧ ﺎ 

"Ayat  mana  saja  yang  Kami  naskh,  atau  Kami  jadikan  (manusia)  lupa
kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya." [QS. al-Baqoroh : 106]  Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  83 
2. Firman Alloh ta'ala:

ﹾ ﻟﺍ ﻢﹸ ﻜ ﻨﻋ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ  ﻒﱠ ﻔ ﺧ ﹶﻥﺂ 

"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu" [QS. al-Anfal : 66]

   ﹶﻥﺂﹾ ﻟﺎﹶﻓ  ﻦ ﻫﻭ ﺮِ ﺷﺎﺑ 

"Maka sekarang campurilah mereka" [QS. al-Baqoroh : 187]

Maka  ini  adalah  nash  tentang  terjadinya  perubahan  hukum  yang
sebelumnya.

3. Sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam:

ﹸﻛ ﻨ ﺖ ﻧ  ﻬ ﻴ ﺘ ﹸﻜ ﻢ ﻋ  ﻦ ِ ﺯ  ﻳ  ﺭﺎ ِﺓ ﹾ ﻟﺍ  ﹸﻘ ﺒ ﻮ ِﺭ ﹶﻓ   ﺰ ﻭ ﺭ ﻭ ﻫ ﺎ 

"Aku  dahulu melarang  kalian  untuk menziarahi  kubur, maka  (sekarang)
berziarahlah" [HR. Muslim]

Ini merupakan nash tentang dinaskh-nya larangan menziarahi kubur.

DALIL YANG TIDAK BISA DI-NASKH 

Naskh tidak bisa terjadi pada beberapa hal berikut ini :

1.  Al-Akhbar  (Khobar-khobar),  karena  naskh  tempatnya  adalah  dalam
masalah hukum dan karena me-naskh salah satu di antara dua khobar berarti
melazimkan bahwa salah satu di antara kedua khobar tersebut adalah dusta.
Dan  kedustaan  adalah  suatu  hal  yang mustahil  bagi  khobar  dari  Alloh  dan Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  84 
Rosul-Nya,  kecuali  apabila  hukum  tersebut  datang  dalam  bentuk  khobar,
maka tidak mustahil untuk di-naskh, sebagaimana firman Alloh ta'ala :

ِ ﻦ ﻴ ﺘﹶ ﺋﺎِﻣ ﺍﻮ ﺒِ ﻠ ﻐﻳ ﹶ ﻥﻭ ﺮِ ﺑﺎﺻ ﹶ ﻥﻭ ﺮ ﺸِﻋ  ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ  ﻦﹸ ﻜﻳ ﹾ ﻥِﺇ 

"Jika ada dua puluh orang yang  sabar diantaramu, niscaya mereka akan
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh." [QS. Al-Anfal : 65]

Maka  sesungguhnya  ayat  ini  adalah  khobar  yang  maknanya  adalah
perintah, oleh karena itu naskh-nya datang pada ayat yang berikutnya, yaitu
firman Alloh ta'ala :

 ﺍﻮ ﺒِ ﻠ ﻐﻳ  ﹲ ﺓ ﺮِ ﺑﺎﺻ  ﹲ ﺔﹶ ﺋﺎِﻣ   ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ   ﻦﹸ ﻜﻳ  ﹾ ﻥِ ﺈﹶﻓ  ﹰ ﺎﻔ ﻌﺿ   ﻢﹸ ﻜﻴِﻓ  ﱠ ﻥﹶﺃ   ﻢِ ﻠ ﻋﻭ   ﻢﹸ ﻜ ﻨﻋ   ﻪﱠ ﻠﻟﺍ   ﻒﱠ ﻔ ﺧ  ﹶﻥﺂﹾ ﻟﺍ
ِ ﻦ ﻴ ﺘﹶ ﺋﺎِﻣ 

"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui
bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang
sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir." [QS.
Al-Anfal : 66]

2.  Hukum-hukum  yang maslahatnya  berlaku  di  setiap  waktu  dan  tempat  :
seperti  tauhid,  pokok-pokok  keimanan,  pokok-pokok  ibadah,  akhlaq-akhlaq
yang mulia  seperti  kejujuran  dan  kesucian,  kedermawanan  dan  keberanian
dan yang semisalnya. Maka tidak mungkin me-naskh perintah terhadap hal-hal
tersebut, dan begitu pula tidak mungkin me-naskh  larangan tentang apa-apa
yang  tercela di  setiap waktu dan  tempat,  seperti  syirik,  kekufuran, akhlaq-
akhlaq  yang buruk  seperti dusta, berbuat  fujur  (dosa), bakhil, penakut dan Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  85 
yang  semisalnya,  karena  syari'at-syari'at  semuanya  adalah  untuk
kemaslahatan para hamba dan mencegah mafsadat dari mereka.  

SYARAT-SYARAT NASKH

Disyaratkan  dalam me-naskh  apa  yang mungkin  untuk  di-naskh  dengan
syarat-syarat di antaranya :

1.  Tidak  mungkinnya  dilakukan  jama'  (penggabungan  makna)  antara  kedua
dalil, apabila memungkinkan untuk di-jama' maka tidak boleh di-naskh karena
memungkinkannya untuk beramal dengan kedua dalil tersebut.

2.  Pengetahuan  tentang  lebih  terbelakangnya  (lebih  akhir  datangnya,  pent)
dalil  yang me-naskh (naasikh)  dan  hal  tersebut  bisa  diketahui  dengan  nash
atau khobar dari sahabat atau dengan tarikh (sejarah).

Contoh yang diketahui lebih akhirnya yang me-naskh dengan nash adalah
sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam : 

ِ ﺔ ﻣﺎ ﻴِ ﻘﹾ ﻟﺍ ِ ﻡ ﻮﻳ ﻰﹶ ﻟِﺇ  ﻚِ ﻟﹶﺫ  ﻡ ﺮﺣ  ﺪﹶ ﻗ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﱠ ﻥِ ﺇﻭ ِ ﺀﺎ ﺴ ﻨﻟﺍ  ﻦِﻣ ِ ﻉﺎ ﺘ ﻤِ ﺘ ﺳﺎِ ﻟﺍ ﻲِﻓ  ﻢﹸ ﻜﹶﻟ  ﺖ ﻧِ ﺫﹶﺃ  ﺖ ﻨﹸﻛ 

"Dahulu aku mengizinkan kalian untuk nikah mut'ah dengan wanita, maka
sesungguhnya Alloh telah mengharomkannya sampai hari kiamat".

Contoh  yang  diketahui  dengan  khobar  sahabat  adalah  perkataan  Aisyah
rodhiyallohu anha : 

ٍ ﺕﺎ ﻌ ﺿﺭ   ﺮ ﺸﻋ  ِ ﻥﺁ ﺮﹸ ﻘﹾ ﻟﺍ   ﻦِﻣ  ﹶ ﻝِ ﺰ ﻧﹸﺃ  ﺎ ﻤﻴِﻓ  ﹶ ﻥﺎﹶﻛ  ٍ ﺲ ﻤ ﺨِﺑ   ﻦ ﺨِ ﺴﻧ   ﻢﹸﺛ   ﻦ ﻣ ﺮ ﺤﻳ  ٍ ﺕﺎ ﻣﻮﹸ ﻠ ﻌﻣ
ٍ ﺕﺎ ﻣﻮﹸ ﻠ ﻌﻣ  Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  86 
"Dahulu  dalam  apa  yang  diturunkan  dari  Al-Qur'an  adalah  sepuluh  kali
persusuan  menjadikan  mahrom,  kemudian  dihapus  menjadi  lima  kali
persusuan".

Contoh yang diketahui dengan tarikh adalah firman Alloh ta'ala : 

 ﻢﹸ ﻜ ﻨﻋ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ  ﻒﱠ ﻔ ﺧ ﹶﻥﺂﹾ ﻟﺍ 

"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu" [QS. Al-Anfal : 66]

Kata (ﻥﻵﺍ)  "sekarang", menunjukkan atas  lebih akhirnya hukum  tersebut.
Dan demikian  juga  jika disebutkan bahwa Nabi  shollallohu alaihi wa  sallam
menghukumi  sesuatu  sebelum  hijroh,  kemudian  setelah  itu  beliau
menghukumi dengan  yang menyelisihinya, maka  yang  kedua  (setelah hijroh,
pent) adalah sebagai naasikh (yang me-naskh). 
  
3. Naasikh-nya Shohih, dan  jumhur mensyaratkan bahwa naasikh harus  lebih
kuat  dari  yang mansukh  (yang  di-naskh)  atau  semisal/sederajat  dengannya,
sehingga menurut mereka  dalil  yang mutawatir  tidak  bisa  di-naskh  dengan
dalil yang ahad, walaupun dalil ahad tersebut shohih. Dan yang rojih adalah
bahwasanya  naasikh  tidak  disyaratkan  harus  lebih  kuat  dari  yang mansukh
atau  sederajat dengannya,  karena  tempatnya naskh adalah masalah hukum,
dan dalam penetapan hukum tidak disyaratkan derajatnya harus mutawatir.

MACAM-MACAM AN-NASKH :

Naskh ditinjau dari nash yang mansukh terbagi menjadi tiga macam :
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  87 
1.  Apa  yang  di-naskh  hukumnya  dan  tertinggal  lafadznya,  dan  ini  banyak
dalam Al-Qur'an.

Contohnya : dua ayat Al-Mushobaroh yakni firman Alloh ta'ala :

ِ ﻦ ﻴ ﺘﹶ ﺋﺎِﻣ ﺍﻮ ﺒِ ﻠ ﻐﻳ ﹶ ﻥﻭ ﺮِ ﺑﺎﺻ ﹶ ﻥﻭ ﺮ ﺸِﻋ  ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ  ﻦﹸ ﻜﻳ ﹾ ﻥِﺇ 

"Jika ada dua puluh orang yang sabar di antaramu, niscaya mereka akan
dapat mengalahkan dua ratus orang musuh." [QS. Al-Anfal : 65]

Hukumnya di-naskh dengan firman Alloh ta'ala :

            ِﻣ  ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ  ﻦﹸ ﻜﻳ ﹾ ﻥِ ﺈﹶﻓ ﹰ ﺎﻔ ﻌﺿ  ﻢﹸ ﻜﻴِﻓ ﱠ ﻥﹶﺃ  ﻢِ ﻠ ﻋﻭ  ﻢﹸ ﻜ ﻨﻋ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ  ﻒﱠ ﻔ ﺧ ﹶﻥﺂﹾ ﻟﺍ      ﺍﻮـ ﺒِ ﻠ ﻐﻳ ﹲ ﺓ ﺮِ ﺑﺎـﺻ ﹲ ﺔﹶ ﺋﺎ
ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ِ ﻥﹾ ﺫِ ﺈِﺑ ِ ﻦ ﻴﹶ ﻔﹾ ﻟﹶﺃ ﺍﻮ ﺒِ ﻠ ﻐﻳ  ﻒﹾ ﻟﹶﺃ  ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ  ﻦﹸ ﻜﻳ ﹾ ﻥِ ﺇﻭ ِ ﻦ ﻴ ﺘﹶ ﺋﺎِﻣ ِ ﻦ ﻴ ﺘﹶ ﺋﺎِﻣ    ﻦﻳِ ﺮِ ﺑﺎ ﺼﻟﺍ  ﻊﻣ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍﻭ 

"Sekarang Allah telah meringankan kepadamu dan dia telah mengetahui
bahwa padamu ada kelemahan. Maka jika ada diantaramu seratus orang yang
sabar, niscaya mereka akan dapat mengalahkan dua ratus orang kafir. Dan
jika diantaramu ada  seribu orang  (yang  sabar), niscaya mereka akan dapat
mengalahkan dua ribu orang, dengan seizin Allah. Dan Allah beserta orang-
orang yang sabar." [QS. Al-Anfal : 66]

Dan  hikmah  di-naskhnya  hukum  tanpa  lafadznya  adalah  tetap  adanya
pahala  membacanya  dan  mengingatkan  ummat  tentang  hikmah  naskh
tersebut.

2.  Apa  yang  di-naskh  lafadznya  dan  hukumnya  tetap  berlaku  seperti  ayat
rajam,  dan  telah  shohih  dalam "Ash-Shohihain"  dari  hadits  Ibnu  Abbas Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  88 
rodhiyallohu  anhuma  dari Umar  bin  Al-Khoththob  rodhiyallohu  anhu,  ia
berkata : 
 ﻰﱠ ﻠﺻ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ  ﹸ ﻝﻮ ﺳﺭ  ﻢ ﺟﺭ ﺎ ﻫﺎ ﻨ ﻴ ﻋ ﻭﻭ ﺎ ﻫﺎ ﻨﹾ ﻠﹶ ﻘ ﻋﻭ ﺎ ﻫﺎ ﻧﹾ ﺃ ﺮﹶ ﻘﹶﻓ ِ ﻢ ﺟ ﺮﻟﺍ  ﹸ ﺔ ﻳﺁ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﹶ ﻝ ﺰ ﻧﹶﺃ ﺎ ﻤِﻣ ﹶ ﻥﺎﹶﻛ
 ﺎﻣ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍﻭ ﹲ ﻞِ ﺋﺎﹶ ﻗ ﹶ ﻝﻮﹸ ﻘﻳ ﹾ ﻥﹶﺃ ﹲ ﻥﺎ ﻣ ﺯ ِ ﺱﺎ ﻨﻟﺎِﺑ ﹶ ﻝﺎﹶﻃ ﹾ ﻥِﺇ ﻰ ﺸ ﺧﹶ ﺄﹶﻓ  ﻩ ﺪ ﻌﺑ ﺎ ﻨ ﻤ ﺟ ﺭﻭ  ﻢﱠ ﻠ ﺳﻭ ِ ﻪ ﻴﹶ ﻠﻋ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ
 ِ ﺏﺎ ﺘِﻛ ﻲِﻓ  ﻢ ﺟ ﺮﻟﺍﻭ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﺎ ﻬﹶ ﻟ ﺰ ﻧﹶﺃ ٍ ﺔ ﻀﻳِ ﺮﹶﻓ ِ ﻙ ﺮ ﺘِﺑ ﺍﻮﱡ ﻠِ ﻀ ﻴﹶﻓ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ِ ﺏﺎ ﺘِﻛ ﻲِﻓ ِ ﻢ ﺟ ﺮﻟﺍ ﹶ ﺔ ﻳﺁ  ﺪِ ﺠﻧ
ﻋ  ﻖﺣ  ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ  ﹶ ﻥﺎﹶﻛ   ﻭﹶﺃ  ﹸ ﺔ ﻨ ﻴ ﺒﹾ ﻟﺍ  ﺖ ﻣﺎﹶ ﻗ  ﺍﹶ ﺫِﺇ  ِ ﺀﺎ ﺴ ﻨﻟﺍﻭ  ِ ﻝﺎ ﺟ ﺮﻟﺍ   ﻦِﻣ   ﻦِ ﺼ ﺣﹸﺃ  ﺍﹶ ﺫِﺇ ﻰ ﻧ ﺯ   ﻦﻣ ﻰﹶﻠ
 ﻑﺍ ﺮِ ﺘ ﻋﺎِ ﻟﺍ  ﻭﹶﺃ ﹸ ﻞ ﺒ ﺤﹾ ﻟﺍ 

"Dahulu diantara ayat yang Alloh turunkan adalah ayat rajam, maka kami
membacanya, memahaminya, dan  menghafalnya. Dan Rosullulloh shollallohu
alaihi  wa  sallam  melakukan  hukum  rajam  dan  kamipun  melakukan  hukum
rajam setelah beliau, maka aku khawatir seandainya manusia telah melewati
waktu  yang  panjang,  seseorang  akan  berkata  :  Demi  Alloh,  kami  tidak
menemukan  ayat  rajam  dalam  kitab  Alloh,  maka  mereka  menjadi  sesat
dengan  meninggalkan  kewajiban  yang  telah  diturunkan  oleh  Alloh,
sesungguhnya  rajam  dalam  Kitabulloh  adalah  hak  terhadap  orang  yang
berzina,  jika  laki-laki dan perempuan  itu adalah muhshon  (pernah menikah,
pent)  dan  kejelasan  (persaksian)  telah  ditegakkan  atau  hamil  atau  adanya
pengakuan."

Dan hikmah di-naskhnya lafadz tanpa hukumnya adalah sebagai ujian bagi
ummat dalam mengamalkan apa yang mereka  tidak mendapatkan  lafadznya
dalam Al-Qur'an, dan menguatkan iman mereka terhadap apa yang diturunkan
Alloh  ta'ala,  kebalikan  dari  keadaan  orang  yahudi  yang  berusaha
menyembunyikan nash rajam dalam Taurot.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  89 
3.  Apa yang di-naskh hukum dan lafadznya, seperti di-naskhnya sepuluh kali
persusuan dari hadits Aisyah rodhiyallohu anha yang telah lalu.
   
Naskh ditinjau dari yang me-naskh dibagi menjadi empat macam :

1.  Di-naskhnya  Al-Qur'an  dengan  Al-Qur'an,  contohnya  adalah  dua  ayat  al-
Mushobaroh.

2.  Di-naskhnya Al-Qur'an dengan As-Sunnah, aku belum menemukan contoh
yang selamat/ shohih.

3.  Di-naskhnya  As-Sunnah  dengan  Al-Qur'an,  contohnya  adalah  di-naskhnya
hukum  (sholat) menghadap  Baitul Maqdis  yang  telah  shohih  dengan  As-
Sunnah  dengan  hukum  menghadap  Ka'bah  yang  telah  shohih  dengan
firman Alloh ta'ala :

 ﺤﹾ ﻟﺍ ِ ﺪِ ﺠ ﺴ ﻤﹾ ﻟﺍ  ﺮﹾ ﻄﺷ  ﻚ ﻬ ﺟﻭ ﱢ ﻝ ﻮﹶﻓ ﻩ ﺮﹾ ﻄﺷ  ﻢﹸ ﻜ ﻫﻮ ﺟﻭ ﺍﻮﱡ ﻟ ﻮﹶﻓ  ﻢ ﺘ ﻨﹸﻛ ﺎﻣ ﹸ ﺚ ﻴ ﺣﻭ ِ ﻡﺍﺮ 

"Palingkanlah  mukamu  ke  arah  Masjidil  Haram.  Dan  dimana  saja
kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya." [Al-Baqoroh : 144]

4.  Di-naskhnya  As-Sunnah  dengan  As-Sunnah,  contohnya  sabda  Nabi
shollallohu alaihi wa sallam :
 
ﹸﻛ ﻨ ﺖ ﻧ  ﻬ ﻴ ﺘ ﹸﻜ ﻢ ﻋ  ِﻦ  ﻨﻟﺍ  ِﺒ ﻴ ِ ﺬ ِﻓ  ﻲ ﹾﺍ  َ ﻷ ﻭ ِﻋ ﻴ ِﺔ ﹶﻓ ،  ﺷﺎ ﺮ ﺑ ِﻓ ﺍﻮ ﻴ ﻤ ِﺷ ﺎ ﹾﺌ ﺘ ﻢ ﻭ ، ﹶﻻ ﺗ  ﺸ ﺮ ﺑ ﻣ ﺍﻮ ﺴ ِﻜ ﹰ ﺍﺮ 

"Dahulu  aku  melarang  kalian  dari  meminum  nabidz  yang  disimpan  di
tempat-tempat, maka  (sekarang) minumlah  sesuai  dengan  kehendak  kalian,
dan jangan kalian meminum sesuatu yang memabukkan." Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  90 
HIKMAH NASKH :

Naskh mempunyai banyak hikmah diantaranya :

1.  Memelihara maslahat-maslahat  para  hamba  dengan  disyariatkannya  apa
yang  lebih  bermanfaat  bagi  mereka  dalam  urusan  agama  dan  dunia
mereka.

2.  Berkembangnya  syari'at  sedikit  demi  sedikit  hingga  mencapai
kesempurnaan.

3.  Ujian  bagi  para  mukallaf  terhadap  kesiapan  mereka  untuk  menerima
perubahan  suatu  hukum  kepada  yang  lain,  dan  keridho'an  mereka
terhadap hal tersebut.

4.  Ujian  bagi  para mukallaf  untuk menegakkan  tugas  bersyukur  jika  naskh
itu kepada hukum yang lebih ringan, dan tugas untuk bersabar jika naskh
itu kepada hukum yang lebih berat.

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  91 
َ ﻷﺍ  ﺧ ﺒ  ﺭﺎ 
AL-AKHBAR

DEFINISI KHOBAR :

Khobar (ﱪﳋﺍ) secara bahasa : berita (ﺄﺒﻨﻟﺍ).

Yang dimaksud di sini adalah : 

ﻒﺻﻭ ﻭﺃ ﺮﻳﺮﻘﺗ ﻭﺃ ﻞﻌﻓ ﻭﺃ ﻝﻮﻗ ﻦﻣ ﻢﹼ ﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﹼ ﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﱃﺇ ﻒﻴﺿﺃ ﺎﻣ 

"Apa-apa yang disandarkan kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam dari
perkataan atau perbuatan atau taqrir atau sifat."

Dan telah berlalu penjelasan tentang ahkam lebih dari sekali.

Adapun perbuatan, maka sesungguhnya perbuatan Rosullulloh shollallohu
alaihi wa sallam ada beberapa macam :

Yang  pertama  :  yang  dilakukannya  berupa  kebiasaan,  seperti  makan,
minum, dan  tidur, maka  secara dzatnya perbuatan  ini  tidak ada hukumnya,
akan  tetapi  terkadang  perbuatan  yang  sifatnya  kebiasaan  tersebut
diperintahkan atau dilarang karena suatu sebab, dan terkadang memiliki sifat
yang  dituntut  seperti  makan  dengan  tangan  kanan,  atau  larangan  seperti
makan dengan tangan kiri.

Yang  kedua  :  apa  yang  dilakukan  sesuai  dengan  adat,  seperti  sifat
pakaian  maka  hal  ini  mubah  dalam  batasan  dzatnya,  dan  terkadang  hal
tersebut diperintahkan atau dilarang karena suatu sebab. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  92 
Yang ketiga : apa yang dilakukan Nabi shollallohu alaihi wa sallam dalam
bentuk khushushiyyah (kekhususan), maka hal itu khusus bagi beliau, seperti
puasa wishol dan nikah dengan menghibahkan diri.

Dan  tidaklah  sesuatu perbuatan dihukumi dengan khushushiyyah kecuali
dengan  dalil  (yang  menunjukkan  bahwa  hal  tersebut  adalah  kekhususan
beliau, pent), karena hukum asalnya adalah mengikutinya.
 
Yang  keempat  :  apa  yang  dilakukan  Nabi  shollallohu  alaihi wa  sallam
secara  ta'abbudi,  maka  ini  wajib  bagi  beliau  sampai  perbuatan  tersebut
disampaikan  karena wajibnya menyampaikan,  kemudian  hukumnya menjadi
mandub  (mustahab/sunnah,  pent)  bagi  beliau  dan  bagi  kita  berdasarkan
perkataan yang rojih, hal tersebut dikarenakan bahwa perbuatan beliau yang
ta'abuddiyah  menunjukkan  atas  disyari'atkannya  perbuatan  tersebut,  dan
pada asalnya tidak ada dosa bagi yang meninggalkannya, maka perbuatan itu
disyari'atkan dan  tidak ada dosa dalam meninggalkannya,  ini adalah hakikat
mandub.

Contoh  dari  hal  tersebut  adalah  :  hadits  Aisyah  rodhiyallohu  anha
bahwasanya dia ditanya tentang dengan apa Nabi shollallohu alaihi wa sallam
memulai masuk rumahnya? Ia berkata : "dengan siwak", tidaklah siwak ketika
masuk  rumah  kecuali  hanya  sekedar  perbuatan  beliau,  maka  perbuatan
tersebut menjadi mandub. 

Contoh  yang  lain  adalah  :  Nabi  shollallohu  alaihi  wa  sallam menyela-
nyela  jenggotnya  di  dalam  berwudhu.  Maka  menyela-nyela  jenggot  tidak
masuk dalam membasuh wajah,  sehingga hal  ini menjadi penjelas  terhadap
sesuatu yang mujmal dan hanya saja hal tersebut sekedar perbuatan beliau,
maka perbuatan tersebut adalah mandub. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  93 
Yang  kelima  :  apa-apa  yang  dilakukan  beliau  sebagai  penjelas  dari
kemujmalan (keumuman) nash-nash al-Kitab dan as-Sunnah, maka perbuatan
tersebut  wajib  atas  beliau  sampai  perbuatan  tersebut  dijelaskan  karena
wajibnya  menyampaikannya,  kemudian  hukum  nash  tersebut  menjadi
mubayyan  bagi  beliau  dan  bagi  kita,  jika  hukumnya wajib maka  perbuatan
tersebut  hukumnya  wajib  dan  jika  hukumnya  mandub  maka  perbuatan
tersebut hukumnya mandub.

Contoh  yang  wajib  adalah  :  perbuatan-perbuatan  dalam  sholat  yang
sifatnya wajib yang Nabi shollallohu alaihi wa sallam melakukannya sebagai
penjelas terhadap firman Alloh ta'ala :

ﹶ ﺓﻼ ﺼﻟﺍ ﺍﻮ ﻤﻴِ ﻗﹶ ﺃﻭ 

"Dan dirikanlah sholat" [QS. Al-Baqoroh : 43]

Dan  contoh  yang mandub  :  sholatnya Nabi  shollallohu alaihi wa  sallam
dua  rokaat  di  belakang maqom  Ibrohim  setelah  selesai dari  thowaf  sebagai
penjelas firman Alloh ta'ala :

 ﻰﹼ ﻠ ﺼﻣ  ﻢﻴِ ﻫﺍ ﺮ ﺑِﺇ ِ ﻡﺎﹶ ﻘﻣ  ﻦِﻣ ﺍﻭﹸ ﺬِ ﺨ ﺗﺍﻭ 

"Dan  jadikanlah  sebagian  maqom  Ibrahim  tempat  shalat."  [QS.  Al-
Baqoroh : 125]

Yang mana Nabi shollallohu alaihi wa sallam mendatangi maqom Ibrohim
dan  beliau membaca  ayat  ini, maka  sholat  dua  roka'at  di belakang maqom
Ibrohim adalah sunnah.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  94 
Adapun  taqrir  (persetujuan)  Nabi  Shollallohu  alaihi  wa  sallam  atas
sesuatu maka hal tersebut menunjukkan atas bolehnya perbuatan itu dari sisi
yang beliau setujui, baik berupa perkataan ataupun perbuatan.

Contoh persetujuan beliau atas perkataan : persetujuan beliau terhadap
seorang  budak wanita  yang  beliau  bertanya  kepadanya  :  "Dimana Alloh?"  ia
berkata : "Di atas langit".

Contoh  persetujuan  beliau  atas  perbuatan  adalah  :  persetujuan  beliau
terhadap orang yang ikut berperang yang membaca Al-Qur'an dalam sholatnya
untuk teman-temannya kemudian ia mengakhirinya dengan bacaan: "   ﻪـﱠ ﻠﻟﺍ  ﻮﻫ ﹾ ﻞﹸ ﻗ
   ﺪـ ﺣﹶﺃ" [QS.  Al-Ikhlash  :  1], maka Nabi  shollallohu  alaihi wa  sallam  berkata  :
"bertanyalah kepadanya, kenapa  ia melakukannya?" kemudian para shohabat
menanyainya, maka ia menjawab : "karena dalam ayat tersebut ada sifat Ar-
Rohman dan aku senang membacanya" Lalu Nabi shollallohu alaihi wa sallam
berkata : "kabarkan kepadanya bahwa Alloh mencintainya".

Contoh  yang  lain  :  persetujuan  beliau  terhadap  orang-orang  Habasyah
yang bermain-main di masjid, dengan tujuan man-ta'lif mereka kepada Islam.

Adapun  perbuatan-perbuatan  yang  terjadi  di  zaman  beliau  shollallohu
alaihi wa sallam dan tidak diketahuinya maka hal tersebut tidak dinisbatkan
kepada  beliau,  tetapi  hal  itu  sebagai  hujjah  atas  taqrir  Alloh  terhadap
perbuatan  tersebut,  dan  oleh  karena  itu  para  sahabat  rodhiyallohu  anhum
berdalil  atas  bolehnya  melakukan  'azl  dengan  pendiaman  Alloh  terhadap
mereka atas hal itu. Jabir rodhiyallohu anhu berkata : 
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  95 
ﹸﻛ ﻨ ﻧ ﺎ ﻌ ِ ﺰ ﹸﻝ ﻭ  ﹾ ﻟﺍ ﹸﻘ ﺮ ﹸ ﻥﺁ ﻳ  ﻨ ِ ﺰ ﹸﻝ 

"Dahulu  kami  melakukan  'azl  sedangkan  Al-Qur'an  sedang  diturunkan"
[Muttafaqun alaihi]. 

Muslim menambahkan : berkata Sufyan : Seandainya sesuatu itu dilarang
maka Al-Qur'an sungguh akan melarang kami melakukannya.

Dan  yang  menunjukkan  bahwa  pendiaman  Alloh  (terhadap  suatu
perbuatan)  merupakan  hujjah  adalah  perbuatan-perbuatan  mungkar  yang
disembunyikan  oleh  orang-orang munafiq,  Alloh  ta'ala menjelaskannya  dan
mengingkarinya, maka ini menunjukkan bahwa apa yang didiamkan oleh Alloh
hukumnya adalah boleh.

Pembagian khobar ditinjau dari sisi kepada siapa penyandarannya :

Khobar ditinjau dari penyandarannya dibagi menjadi tiga bagian : marfu',
mauquf, dan maqtu'.

1. Marfu'   (  ﻉﻮـﻓﺮﳌﺍ): Apa  yang disandarkan  kepada Nabi  shollallohu alaihi wa
sallam secara hakiki atau secara hukum.

Marfu'  secara  hakiki  adalah  :  sabda  Nabi  shollallohu  alaihi wa  sallam,
perbuatan dan taqrirnya/persetujuannya.

Marfu' secara hukum adalah : apa yang disandarkan kepada sunnah beliau
shollallohu  alaihi  wa  sallam,  zamannya,  dan  yang  semisalnya  yang  tidak
menunjukkan secara langsung dari beliau.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  96 
Dan di antaranya adalah perkataan  sahabat  : "kami diperintahkan" atau
"kami  dilarang"  atau  yang  semisalnya.  Sebagaimana  perkataan  Ibnu  Abbas
rodhiyallohu anhuma : 

ِﺾِ ﺋﺎ ﺤﹾ ﻟﺍ  ﻦﻋ  ﻒﱢ ﻔ ﺧ  ﻪ ﻧﹶﺃ ﺎﱠ ﻟِﺇ ِ ﺖ ﻴ ﺒﹾ ﻟﺎِﺑ  ﻢِ ﻫِ ﺪ ﻬﻋ  ﺮِ ﺧﺁ ﹶ ﻥﻮﹸ ﻜﻳ ﹾ ﻥﹶﺃ  ﺱﺎ ﻨﻟﺍ  ﺮِ ﻣﹸﺃ 

"Telah  diperintahkan  kepada  manusia  agar  mengakhiri  ibadah  hajinya
(dengan  thowaf,  pent)  di  Baitulloh,  namun  diberi  kelonggaran  bagi wanita
haidh."

Dan perkataan Ummu Athiyah : 

ﺎ ﻨ ﻴﹶ ﻠﻋ  ﻡ ﺰ ﻌﻳ  ﻢﹶ ﻟﻭ ِ ﺰِ ﺋﺎ ﻨ ﺠﹾ ﻟﺍ ِ ﻉﺎ ﺒ ﺗﺍ  ﻦﻋ ﺎ ﻨﻴِ ﻬﻧ 

"Kami dilarang untuk mengiringi jenazah, namun tidak dikeraskan atas kami"

2. Mauquf (ﻑﻮﻗﻮﳌﺍ): apa-apa yang disandarkan kepada shohabat dan tidak tetap
baginya hukum marfu'. Dan ini merupakan hujjah berdasarkan pendapat yang
rojih,  kecuali  jika menyelisihi nash atau perkataan  shohabat yang  lain,  jika
menyelisihi  nash  maka  diambil  nashnya,  dan  jika  menyelisihi  perkataan
shohabat yang lain maka diambil yang rojih di antara keduanya.

Shohabat adalah : orang yang berkumpul bersama Nabi shollallohu alaihi
wa  sallam  dalam  keadaan  beriman  kepada  beliau  dan  meninggal  dalam
keadaan beriman.

3. Maqtu' (  ﻉﻮـﻄﻘﳌﺍ): apa-apa yang disandarkan kepada tabi'in dan yang setelah
mereka. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  97 
Tabi'in adalah : orang yang berkumpul bersama shohabat dalam keadaan
beriman kepada Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam dan meninggal dalam
keadaan beriman.

Pembagian khobar ditinjau dari jalan-jalannya :

Khobar ditinjau dari jalan-jalannya dibagi menjadi : mutawatir dan ahad.

1.  Mutawatir  :  apa-apa  yang  diriwayatkan  oleh  banyak  rowi,  yang  secara
adat mustahil bagi mereka bersepakat dengan sengaja dalam kebohongan dan
menyandarkannya kepada sesuatu yang dapat dirasakan.

Contohnya adalah sabda Nabi shollallohu alaihi wa sallam :
 
ﻣ ﻦ ﹶﻛ  ﹶ ﺬ ﺏ ﻋ  ﹶﻠ ﻣ ﻲ ﺘ ﻌ ﻤ ﹶﻓ ﹰ ﺍﺪ ﹾﻠ ﻴ ﺘ ﺒ ﻮ ﹾﺃ ﻣ  ﹾﻘ ﻌ ﺪ ﻩ ِﻣ  ﻦ  ﻨﻟﺍ  ِ ﺭﺎ 

"Barang siapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka ambillah
tempat duduknya di neraka."  

2.  Ahad  :  apa-apa  yang  selain  mutawatir  (yakni  tidak  sampai  derajat
mutawatir, pent).

Dan  dari  segi  tingkatannya  hadits  ahad  terbagi  menjadi  tiga  bagian  :
shohih, hasan, dan dho'if.

Shohih  :  apa  yang  dinukil  oleh  rowi  yang  'adl,  sempurna
dhobit/hapalannya, dengan sanad yang bersambung, terlepas dari sifat syadz
dan 'illah yang merusak.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  98 
Hasan :  apa yang dinukil oleh rowi yang  'adl, dhobitnya ringan, dengan
sanad  yang  bersambung,  terlepas  dari  sifat  syadz  dan  'illah  yang merusak.
Dan bisa naik ke derajat shohih jika jalannya berbilang (lebih dari satu, pent)
dan dinamakan shohih li ghoirihi.

Dho'if : yang tidak memenuhi syarat hadits shohih dan hasan.

Dan  bisa  naik  ke  derajat  hasan  jika  jalannya  berbilang  (yakni  jika
kedhoifannya muhtamal/  ringan,  pent),  yang  saling menguatkan  satu  sama
lain dan dinamakan hasan li ghoirihi.

Dan semua jenis hadits ini merupakan hujjah kecuali hadits dho'if, maka
ia  bukan  hujjah  akan  tetapi  tidak  mengapa  menyebutkannya  sebagai
syawahid dan yang semisalnya. 

BENTUK-BENTUK PENYAMPAIAN :

Dalam hadits terdapat pengambilan dan penyampaian.

Pengambilan (ﻞﻤﺤﺘﻟﺍ):  mengambil hadits dari orang lain.

Penyampaian (ﺀﺍﺩﻷﺍ): menyampaikan hadits kepada orang lain.

Penyampaian memiliki bentuk-bentuk, di antaranya :

1.  Haddatsani (ﲏﺛﺪـ ـﺣ)  /  "telah  menceritakan  kepadaku":  yang  syaikhnya
membacakan hadits kepadanya.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  99 
2.  Akhbaroni (ﱐﱪــﺧﺃ)  /  "telah  mengabarkan  kepadaku":  yang  syaikhnya
membacakan  hadits  kepadanya,  atau  dia  yang  membacakan  kepada
syaikhnya.

3.  Akhbaroni  ijazatan (   ﱐﱪـﺧﺃ     ﺓﺯﺎـﺟﺇ ) /  "telah mengabarkan kepadaku dengan
ijazah" atau ajaza li ( ﺯﺎﺟﺃ   ﱄ ) / "telah memberikan kepadaku ijazah " : yang
meriwayatkan dengan ijazah (tertulis, pent) tanpa membacakan. 

Dan  ijazah  :  izin  yang  diberikan  syaikh  kepada  muridnya  untuk
meriwayatkan  darinya  apa-apa  yang  telah  diriwayatkannya,  walaupun
bukan dengan jalan pembacaan.

4.  'An'anah (ﺔﻨﻌﻨﻌﻟﺍ): meriwayatkan hadits dengan lafadz 'an (ﻦﻋ) / "dari".

Dan hukum 'an'anah adalah bersambung sanadnya, kecuali dari orang yang
ma'ruf  dengan  sifat  tadlis, maka  sanadnya  tidak  dihukumi  bersambung
kecuali ia menegaskan dengan lafadz tahdits.

Dan pembahasan tentang masalah hadits dan riwayatnya banyak jenisnya
dalam  ilmu  mustholah,  dan  yang  telah  kami  isyaratkan  sudah  mencukupi
insyaAlloh ta'ala.

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  100 
ِ ﻹﺍ  ﺟ ﻤ  ﻉﺎ 
IJMA'

DEFINISINYA :

Ijma' secara bahasa : (ﻕﺎﻔﺗﻻﺍﻭ ﻡﺰﻌﻟﺍ) Niat yang kuat dan Kesepakatan.

Dan secara istilah : 

ﻠﻋ ﻢﹼ ﻠﺳﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﷲﺍ ﻰﹼ ﻠﺻ ﱯﻨﻟﺍ ﺪﻌﺑ ﺔﻣﻷﺍ ﻩﺬﻫ ﻱﺪﻬﺘﳎ ﻕﺎﻔﺗﺍ ﻲﻋﺮﺷ ﻢﻜﺣ ﻰ 

"Kesepakatan  para mujtahid  ummat  ini  setelah  wafatnya  Nabi  Shallallahu
'alaihi wa sallam terhadap suatu hukum syar'i."

       Maka keluar dari perkataan kami : (  ﻕﺎـﻔﺗﺍ)  "kesepakatan" : adanya khilaf
walaupun dari satu orang, maka tidak bisa disimpulkan sebagai ijma'.

       Dan keluar dari perkataan kami :  )   ﻱﺪـﻬﺘﳎ (  "Para mujtahid" : Orang awam
dan  orang  yang  bertaqlid,  maka  kesepakatan  dan  khilaf  mereka  tidak
dianggap.

       Dan  keluar  dari perkataan  kami  : (   ﻩﺬـﻫ     ﺔـﻣﻷﺍ )  "Ummat  ini"  :  Ijma'  selain
mereka (ummat Islam), maka ijma' selain mereka tidak dianggap. 

       Dan keluar dari perkataan kami : ( ﺪﻌﺑ   ﱯﻨﻟﺍ   ﻰﹼ ﻠﺻ   ﷲﺍ   ﻪﻴﻠﻋ   ﻢﹼ ﻠﺳﻭ ) "Setelah wafatnya
Nabi  Shallallahu  'alaihi wa  sallam  :  Kesepakatan mereka  pada  zaman Nabi
Shallallahu  'alaihi  wa  sallam,  maka  tidak  dianggap  sebagai  ijma'  dari  segi
keberadaannya  sebagai  dalil,  karena  dalil  dihasilkan  dari  sunnah  nabi Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  101 
Shallallahu  'alaihi wa sallam baik dari perkataan atau perbuatan atau taqrir
(persetujuan), oleh karena  itu jika seorang shahabat berkata : "Dahulu kami
melakukan",  atau  "Dahulu mereka melakukan  seperti  ini  pada  zaman  Nabi
Shallallahu  'alaihi  wa  sallam  ",  maka  hal  itu  marfu'  secara  hukum,  tidak
dinukil sebagai ijma'.

       Dan keluar dari perkataan kami : ( ﻰﻠﻋ   ﻢﻜﺣ     ﻲﻋﺮـﺷ ) "terhadap hukum syar'i" :
Kesepakatan mereka dalam hukum akal atau hukum kebiasaan, maka hal itu
tidak termasuk disini, karena pembahasan dalam masalah ijma' adalah seperti
dalil dari dalil-dalil syar'i.
  
Ijma merupakan hujjah, dengan dalil-dalil diantaranya :

1. Firman Allah :

ﻭ ِ ﺱﺎ ﻨﻟﺍ ﻰﹶ ﻠﻋ َ ﺀﺍ ﺪ ﻬﺷ ﺍﻮ ﻧﻮﹸ ﻜ ﺘِﻟ ﹰﺎﻄ ﺳﻭ ﹰ ﺔ ﻣﹸﺃ  ﻢﹸ ﻛﺎ ﻨﹾ ﻠ ﻌ ﺟ  ﻚِ ﻟﹶ ﺬﹶﻛ 

       "Dan demikian  (pula) Kami telah menjadikan kamu  (umat  Islam), umat
yang  adil  dan  pilihan  agar  kamu menjadi  saksi  atas  (perbuatan) manusia."
[QS. Al-Baqoroh : 143]
       
Maka  firmanNya  : "Saksi  atas  manusia",  mencakup  persaksian  terhadap
perbuatan-perbuatan mereka dan hukum-hukum dari perbuatan mereka, dan
seorang saksi perkataannya diterima.
 
2. Firman Allah :

ﻰﹶ ﻟِﺇ  ﻩﻭ ﺩ ﺮﹶﻓ ٍ ﺀ ﻲﺷ ﻲِﻓ  ﻢ ﺘ ﻋ ﺯﺎ ﻨﺗ ﹾ ﻥِ ﺈﹶﻓ ِ ﻝﻮ ﺳ ﺮﻟﺍﻭ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ  
        Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  102 
"Jika kalian berselisih tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan
Rasul-Nya." [QS. An-Nisa' : 59]

Menunjukkan  atas  bahwasanya  apa-apa  yang  telah mereka  sepakati  adalah
benar.

3. Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
 
ﹶﻻ ﺗ  ﺠ ﺘ ِﻤ  ﻊ ﹸﺃ  ﻣ ِﺘ ﻲ ﻋ  ﹶﻠ ﺿ ﻰ ﹶﻼ ﹶﻟ ٍﺔ 
       
"Umatku tidak akan bersepakat diatas kesesatan"

4. Kami mengatakan  :  Ijma' umat atas  sesuatu bisa jadi benar dan bisa jadi
salah,  jika  benar  maka  ia  adalah  hujjah,  dan  jika  salah  maka  bagaimana
mungkin  umat  yang  merupakan  umat  yang  paling  mulia  disisi  Allah  sejak
zaman Nabinya  sampai hari kiamat bersepakat  terhadap  suatu perkara yang
batil yang  tidak diridhoi oleh Allah?  Ini merupakan  suatu kemustahilan yang
paling besar.

MACAM-MACAM IJMA' :

Ijma' ada dua macam : Qoth'i dan Dzonni.
 
1.  Ijma' Qoth'i  :  Ijma'  yang  diketahui  keberadaannya  di  kalangan  umat  ini
dengan  pasti,  seperti  ijma'  atas wajibnya  sholat  lima waktu  dan  haramnya
zina. Ijma' jenis ini tidak ada seorangpun yang mengingkari ketetapannya dan
keberadaannya sebagai hujjah, dan dikafirkan orang yang menyelisihinya jika
ia bukan termasuk orang yang tidak mengetahuinya. 
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  103 
2.  Ijma'  Dzonni  :  Ijma'  yang  tidak  diketahui  kecuali  dengan  dicari  dan
dipelajari (tatabbu'  &  istiqro').  Dan  para  ulama  telah  berselisih  tentang
kemungkinan tetapnya ijma' jenis ini, dan perkataan yang paling rojih dalam
masalah  ini adalah pendapat Syaikhul  Islam  Ibnu Taimiyah yang mengatakan
dalam Al-Aqidah Al-Wasithiyyah : "Dan ijma' yang bisa diterima dengan pasti
adalah  ijma'nya  as-salafush-sholeh,  karena  yang  setelah  mereka  banyak
terjadi ikhtilaf dan umat ini telah tersebar."

       Ketahuilah  bahwasanya  umat  ini  tidak  mungkin  bersepakat  untuk
menyelisihi  suatu  dalil  yang  shohih  dan  shorih  serta  tidak mansukh  karena
umat  ini  tidaklah  bersepakat  kecuali  diatas  kebenaran.  Dan  jika  engkau
mendapati  suatu  ijma'  yang  menurutmu  menyelisihi  kebenaran,  maka
perhatikanlah!  Mungkin  dalilnya  yang  tidak  shohih  atau  tidak  shorih  atau
mansukh  atau  masalah  tersebut  merupakan  masalah  yang  diperselisihkan
yang kamu tidak mengetahuinya.

SYARAT-SYARAT IJMA' :

Ijma' memiliki syarat-syarat, diantaranya :

1.  Tetap  melalui  jalan  yang  shohih,  yaitu  dengan  kemasyhurannya
dikalangan 'ulama atau yang menukilkannya adalah orang yang tsiqoh dan
luas pengetahuannya.

2.  Tidak didahului oleh  khilaf  yang  telah  tetap  sebelumnya,  jika didahului
oleh  hal  itu maka  bukanlah  ijma'  karena  perkataan  tidak  batal  dengan
kematian yang mengucapkannya.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  104 
       Maka  ijma'  tidak  bisa membatalkan  khilaf  yang  ada  sebelumnya,  akan
tetapi  ijma' bisa mencegah  terjadinya  khilaf.  Ini merupakan pendapat  yang
rojih  karena  kuatnya pendalilannya. Dan dikatakan  :  tidak disyaratkan yang
demikian,  maka  bisa  ditetapkan  atas  salah  satu  pendapat  yang  ada
sebelumnya pada masa berikutnya, kemudian  ia menjadi hujjah bagi ummat
yang setelahnya. Dan menurut pendapat jumhur, tidak disyaratkan berlalunya
zaman  orang-orang  yang  bersepakat,  maka  ijma'  ditetapkan  dari  ahlinya
(mujtahidin)  hanya  dengan  kesepakatan mereka  (pada  saat  itu  juga,  pent)
dan tidak boleh bagi mereka atau yang selain mereka menyelisihinya setelah
itu,  karena  dalil-dalil  yang menunjukkan  bahwa  ijma'  adalah  hujjah,  tidak
ada padanya pensyaratan berlalunya zaman terjadinya ijma' tersebut. Karena
ijma'  dihasilkan  pada  saat  terjadinya  kesepakatan mereka, maka  apa  yang
bisa membatalkannya? 

       Dan  jika  sebagian  mujtahid  mengatakan  sesuatu  perkataan  atau
mengerjakan  suatu pekerjaan dan hal  itu masyhur di  kalangan ahlul  Ijtihad
dan tidak ada yang mengingkarinya dengan adanya kemampuan mereka untuk
mengingkari hal  tersebut, maka dikatakan : hal tersebut menjadi  ijma', dan
dikatakan  : hal  tersebut menjadi hujjah bukan  ijma', dan dikatakan : bukan
ijma'  dan  bukan  pula  hujjah,  dan  dikatakan  :  jika  masanya  telah  berlalu
sebelum  adanya  pengingkaran maka  hal  itu merupakan  ijma',  karena  diam
mereka  (mujtahidin)  secara  terus-menerus  sampai berlalunya masa padahal
mereka  memiliki  kemampuan  untuk  mengingkari  merupakan  dalil  atas
kesepakatan mereka, dan ini merupakan pendapat yang paling dekat kepada
kebenaran.

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  105 
ِ ﻘﻟﺍ ﻴ  ﺱﺎ 
Qiyas

DEFINISINYA :

Qiyas secara bahasa : Pengukuran (ﺮﻳﺪﻘﺘﻟﺍ) dan Penyamaan (ﺓﺍﻭﺎﺴﳌﺍ).

Secara istilah :
 
ﺎﻤﻬﻨﻴﺑ ﺔﻌﻣﺎﺟ ﺔﱠ ﻠﻌﻟ ﻢﻜﺣ ﰲ ﻞﺻﺄﺑ ﻉﺮﻓ ﺔﻳﻮﺴﺗ 

"Menyamakan  cabang  dengan  yang  pokok (ashl)  di  dalam  suatu  hukum
dikarenakan berkumpulnya sebab  yang sama antara keduanya."

Cabang (ﻉﺮﻔﻟﺍ) : yang diqiyaskan (ﺲﻴﻘﳌﺍ).

Pokok/ashl (ﻞﺻﻷﺍ) : yang diqiyaskan kepadanya ( ﺲﻴﻘﳌﺍ   ﻪﻴﻠﻋ ). 

Hukum (ﻢﻜﳊﺍ) :
 
ﺎﻫﲑﻏ ﻭﺃ ،ﺩﺎﺴﻓ ﻭﺃ ،ﺔﺤﺻ ﻭﺃ ،ﱘﺮﲢ ﻭﺃ ،ﺏﻮﺟﻭ ﻦﻣ ﻲﻋﺮﺸﻟﺍ ﻞﻴﻟﺪﻟﺍ ﻩﺎﻀﺘﻗﺍ ﺎﻣ 

"Apa  yang menjadi  konsekuensi dalil  syar'i dari  yang wajib atau harom,
sah atau rusak, atau yang selainnya."

Sebab/'illah (ﺔﻠﻌﻟﺍ) : 

ﻞﺻﻷﺍ ﻢﻜﺣ ﻪﺒﺒﺴﺑ ﺖﺒﺛ ﻱﺬﻟﺍ ﲎﻌﳌﺍ 

"Sebuah makna dimana hukum ashl ditetapkan dengan sebab tersebut." Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  106 
Ini merupakan empat  rukun qiyas, dan qiyas merupakan  salah  satu dalil
yang hukum-hukum syar'i ditetapkan dengannya.

Dan sungguh al-Kitab, as-Sunnah dan perkataan sahabat telah menunjuk-
kan dianggapnya qiyas sebagai dalil syar'i. Adapun dalil-dalil dari al-Kitab :

1. Firman Alloh ta'ala :

  ﱠ ﻠﻟﺍ ﻥﺍ ﺰﻴِ ﻤﹾ ﻟﺍﻭ  ﻖ ﺤﹾ ﻟﺎِﺑ  ﺏﺎ ﺘِ ﻜﹾ ﻟﺍ ﹶ ﻝ ﺰ ﻧﹶﺃ ﻱِ ﺬﱠ ﻟﺍ ﻪ 

"Allah-lah  yang menurunkan al-Kitab dengan  (membawa) kebenaran dan
(menurunkan) mizan." [QS. Asy-Syuuro : 17]

Mizan/timbangan (  ﻥﺍ ﺰـﻴِ ﻤﹾ ﻟﺍَ ) adalah sesuatu yang perkara-perkara ditimbang
dengannya dan diqiyaskan dengannya. 

2. Firman Alloh ta'ala :
 
ﻩ ﺪﻴِ ﻌﻧ ٍ ﻖﹾ ﻠ ﺧ ﹶ ﻝ ﻭﹶﺃ ﺎ ﻧﹾ ﺃ ﺪﺑ ﺎ ﻤﹶﻛ 

"Sebagaimana  Kami  telah memulai  panciptaan  pertama  begitulah  Kami
akan mengulanginya" [QS. Al-Anbiya : 104]

     ﺡﺎ ﻳ ﺮﻟﺍ ﹶ ﻞ ﺳ ﺭﹶﺃ ﻱِ ﺬﱠ ﻟﺍ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍﻭ         ﺪـ ﻌﺑ ﺽ ﺭﹶ ﺄﹾ ﻟﺍ ِ ﻪِﺑ ﺎ ﻨ ﻴ ﻴ ﺣﹶ ﺄﹶﻓ ٍ ﺖ ﻴﻣ ٍ ﺪﹶ ﻠﺑ ﻰﹶ ﻟِﺇ  ﻩﺎ ﻨﹾ ﻘ ﺴﹶﻓ ﹰ ﺎﺑﺎ ﺤﺳ  ﲑِ ﺜ ﺘﹶﻓ
 ﺭﻮﺸ ﻨﻟﺍ  ﻚِ ﻟﹶ ﺬﹶﻛ ﺎ ﻬِ ﺗ ﻮﻣ 

"Dan  Allah-lah  yang  mengirimkan  angin,  lalu  angin  itu  menggerakkan
awan,  maka  Kami  halau  awan  itu  kesuatu  negeri  yang  mati  lalu  Kami
hidupkan  bumi  setelah matinya dengan hujan  itu. Demikianlah  kebangkitan
itu." [QS. Fathir : 9] Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  107 
Alloh  ta'ala  menyerupakan  pengulangan  penciptaan  dengan
permulaannya,  dan  menyerupakan  menghidupkan  yang  mati  dengan
menghidupkan bumi, ini adalah qiyas.

Di antara dalil-dalil sunnah :

1.  Sabda  Nabi  shollallohu  alaihi  wa  sallam  kepada  seorang  wanita  yang
bertanya kepadanya tentang berpuasa untuk ibunya setelah meninggal :
 
           ﺎ ﻬ ﻨﻋ ِ ﻚِ ﻟﹶﺫ ﻱ ﺩ ﺆﻳ ﹶ ﻥﺎﹶ ﻛﹶﺃ ِ ﻪﻴِ ﺘ ﻴ ﻀﹶ ﻘﹶﻓ  ﻦ ﻳﺩ ِ ﻚ ﻣﹸﺃ ﻰﹶ ﻠﻋ ﹶ ﻥﺎﹶﻛ  ﻮﹶﻟ ِ ﺖ ﻳﹶ ﺃ ﺭﹶﺃ ؟   ﹶ ﻗ       ﹶ ﻝﺎـﹶ ﻗ  ﻢـ ﻌﻧ ﺖﹶ ﻟﺎ
ِ ﻚ ﻣﹸﺃ  ﻦﻋ ﻲِ ﻣﻮ ﺼﹶﻓ 

"Bagaimana  pendapatmu  jika  ibumu  memiliki  hutang  lalu  kamu
membayar-nya?  Apakah  hutang  tersebut  tertunaikan  untuknya?"  Dia
menjawab : "Ya". Beliau bersabda : "Maka berpuasalah untuk ibumu."

2. Bahwa  seorang  laki-laki datang  kepada Nabi  shollallohu alaihi wa  sallam
lalu ia berkata : 

        ﺩ ﻮ ﺳﹶﺃ  ﻡﺎﹶ ﻠﹸ ﻏ ﻲِﻟ  ﺪِ ﻟﻭ ِ ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﹶ ﻝﻮ ﺳﺭ ﺎﻳ !       ٍ ﻞِ ﺑِﺇ  ﻦِﻣ  ﻚﹶﻟ ﹾ ﻞﻫ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻘﹶﻓ  ؟        ﺎـ ﻬ ﻧﺍ ﻮﹾ ﻟﹶﺃ ﺎﻣ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ  ﻢ ﻌﻧ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ
           ﹶ ﺄﹶﻓ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ  ﻢ ﻌﻧ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ  ﻕ ﺭ ﻭﹶﺃ  ﻦِﻣ ﺎ ﻬﻴِﻓ ﹾ ﻞﻫ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ  ﺮ ﻤﺣ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ    ﻚِ ﻟﹶﺫ ﻰﻧ ؟  ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ  ﻕ ﺮِﻋ  ﻪ ﻋ ﺰﻧ  ﻪﱠ ﻠ ﻌﹶﻟ ﹶ ﻝﺎﹶ ﻗ
 ﻪ ﻋ ﺰﻧ ﺍﹶ ﺬﻫ  ﻚ ﻨ ﺑﺍ ﱠ ﻞ ﻌﹶ ﻠﹶﻓ 

"Wahai Rosullulloh! Telah dilahirkan untukku seorang anak  laki-laki yang
berkulit  hitam."  Maka  Nabi  shollallohu  alaihi  wa  sallam  berkata:  "Apakah
kamu memiliki unta?  Ia menjawab: "Ya", Nabi berkata: "Apa saja warnanya?"
Ia  menjawab:  "Merah",  Nabi  berkata:  "Apakah  ada  yang  berwarna  keabu-Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  108 
abuan?" Ia menjawab: "Ya", Nabi berkata: "Mengapa demikian?" Ia menjawab:
"Mungkin  uratnya  ada  yang  salah"  Nabi  berkata:  "Mungkin  juga  anakmu  ini
terjadi kesalahan urat".

Demikian  ini  seluruh  contoh  yang  ada  dalam  kitab  dan  sunnah  sebagai
dalil  atas  kebenaran  qiyas  karena  di  dalamnya  ada  penganggapan  sesuatu
sama dengan yang semisalnya.
   
Dan di antara dalil dari perkataan sahabat : Apa yang datang dari Amirul
Mu'minin Umar bin Al-Khoththob dalam  suratnya kepada Abu Musa Al-Asy'ari
dalam hal pemutusan hukum, ia berkata : 

           ﺲﻳﺎﻗ ﰒ ،ﺔﻨﺳ ﻻﻭ ﻥﺁﺮﻗ ﰲ ﺲﻴﻟ ﺎﳑ ﻚﻴﻠﻋ ﺩﺭﻭ ﺎﳑ ،ﻚﻴﻠﻋ ﱃﺩﺃ ﺎﻤﻴﻓ ﻢﻬﻔﻟﺍ ﻢﻬﻔﻟﺍ ﰒ
        ﺗ ﺎﻤﻴﻓ ﺪﻤﻋﺍ ﰒ ،ﻝﺎﺜﻣﻷﺍ ﻑﺮﻋﺍﻭ ،ﻙﺪﻨﻋ ﺭﻮﻣﻷﺍ         ﺎﻬﻬﺒـﺷﺃﻭ ،ﷲﺍ ﱃﺇ ﺎﻬـﺒﺣﺃ ﱃﺇ ﻯﺮ
ﻖﳊﺎﺑ 

"Kemudian  fahamilah,  fahamilah  terhadap  apa  yang  diajukan  kepadamu,
kepada  apa  yang  datang  kepadamu  yang  tidak  ada  dalam  al-Qur'an  dan  as-
Sunnah,  kemudian  qiyaskanlah  perkara-perkara  yang  terjadi  padamu  tersebut
dan  ketahuilah  persamaan-persamaannya,  kemudian  sandarkanlah  pendapatmu
itu kepada apa yang paling dicintai Alloh dan paling menyerupai kebenaran."

Ibnul Qoyyim berkata : "dan ini adalah surat (dari Umar, pent) yang mulia
yang telah diterima oleh para 'ulama".

Dan Al-Muzani meriwayatkan bahwa para ahli fiqih sejak zaman sahabat
sampai zaman beliau telah bersepakat bahwa penyamaan dengan yang benar Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  109 
adalah benar dan penyamaan dengan yang bathil adalah bathil, dan mereka
menggunakan qiyas-qiyas dalam fiqh dalam seluruh hukum-hukum.

SYARAT-SYARAT QIYAS :

Qiyas memiliki syarat-syarat di antaranya : 

1.  Tidak  bertentangan  dengan  dalil  yang  lebih  kuat  darinya,  maka  tidak
dianggap  qiyas  yang  bertentangan  dengan  nash  atau  ijma'  atau  perkataan
shohabat jika kita mengatakan bahwa perkataan shohabat adalah hujjah. Dan
qiyas  yang  bertentangan  dengan  apa  yang  telah  disebutkan  dinamakan
sebagai anggapan yang rusak ( ﺪﺳﺎﻓ   ﺭﺎﺒﺘﻋﻻﺍ ).

Contohnya : dikatakan : bahwa wanita rosyidah (baligh, berakal, dan bisa
mengurus diri sendiri, pent) sah untuk menikahkan dirinya sendiri tanpa wali,
diqiyaskan kepada sahnya ia berjual-beli tanpa wali.

Ini  adalah  qiyas  yang  rusak  karena menyelisihi  nash,  yaitu  sabda  Nabi
shollallohu alaihi wa sallam :

ﹶﻻ ِﻧ  ﹶﻜ  ﺡﺎ ِﺇ  ﱠﻻ ِﺑ  ﻮ ِﻟ  ﻲ 

"Tidak ada nikah kecuali dengan wali."

2. Hukum ashl-nya tsabit (tetap) dengan nash atau ijma'. Jika hukum ashl-nya
itu tetap dengan qiyas maka tidak sah mengqiyaskan dengannya, akan tetapi
diqiyaskan dengan ashl  yang pertama, karena kembali kepada ashl  tersebut
adalah  lebih  utama  dan  juga  karena mengqiyaskan  cabang  kepada  cabang
lainnya  yang  dijadikan  ashl  kadang-kadang  tidak  shohih.  Dan  karena Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  110 
mengqiyaskan  kepada cabang, kemudian mengqiyaskan cabang kepada ashl;
menjadi panjang tanpa ada faidah.

Contohnya : dikatakan riba berlaku pada jagung diqiyaskan dengan beras,
dan  berlaku  pada  beras  diqiyaskan  dengan  gandum,  qiyas  yang  seperti  ini
tidak  benar,  akan  tetapi  dikatakan  berlaku  riba  pada  jagung  diqiyaskan
dengan gandum, agar diqiyaskan kepada ashl yang tetap dengan nash.

3.  Pada  hukum  ashl  terdapat  'illah  (sebab)  yang  diketahui,  agar
memungkinkan  untuk  dijama'  antara  ashl  dan  cabang  padanya.  Jika  hukum
ashl-nya  adalah  perkara  yang  murni  ta'abbudi  (peribadatan  yang  tidak
diketahui 'illah-nya, pent), maka tidak sah mengqiyaskan kepadanya.

Contohnya  :  dikatakan  daging  burung  unta  dapat membatalkan  wudhu
diqiyaskan  dengan  daging  unta  karena  kesamaan burung unta dengan unta,
maka dikatakan qiyas  seperti  ini adalah  tidak benar karena hukum ashl-nya
tidak  memiliki  'illah  yang  diketahui,  akan  tetapi  perkara  ini  adalah murni
ta'abbudi  berdasarkan  pendapat  yang  masyhur  (yakni  dalam  madzhab  al-
Imam Ahmad rohimahulloh, pent).
 
4. 'Illah-nya mencakup makna yang sesuai dengan hukumnya, yang penetapan
'illah  tersebut  diketahui  dengan  kaidah-kaidah  syar'i,  seperti  'illah
memabukkan pada khomer.

Jika  maknanya  merupakan  sifat  yang  paten  (tetap)  yang  tidak  ada
kesesuaian/hubungan  dengan  hukumnya, maka  tidak  sah menentukan  'illah
dengannya, seperti hitam dan putih.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  111 
Contohnya  :  Hadits  Ibnu  Abbas  rodhiyallohu  anhuma  :  bahwa  Bariroh
diberi pilihan tentang suaminya ketika ia dimerdekakan, Ibnu Abbas berkata :
"suaminya ketika itu adalah seorang budak berkulit hitam".

Perkataan  beliau  "hitam"  merupakan  sifat  yang  tetap  yang  tidak  ada
hubungannya  dengan  hukum,  oleh  karena  itu  berlaku  hukum memilih  bagi
seorang  budak wanita  jika  ia  dimerdekakan  dalam  keadaan memiliki  suami
seorang  budak  walaupun  suaminya  itu  berkulit  putih,  dan  hukum  tersebut
tidak  berlaku  jika  ia  dimerdekakan  dalam  keadaan memiliki  suami  seorang
yang merdeka walaupun suaminya itu berkulit hitam.

5. 'Illah tersebut ada pada cabang sebagaimana 'illah tersebut juga ada dalam
ashl,  seperti  menyakiti  orang  tua  dengan  memukul  diqiyaskan  dengan
mengatakan  "uf"/"ah".  Jika  'illah  (pada  ashl,  pent)  tidak  terdapat  pada
cabangnya maka qiyas tersebut tidak sah.

Contohnya  :  dikatakan  'illah  dalam  pengharoman  riba  pada  gandum
adalah karena ia ditakar, kemudian dikatakan berlaku riba pada apel dengan
diqiyaskan  pada  gandum, maka  qiyas  seperti  ini  tidak  benar,  karena  'illah
(pada  ashl-nya,  pent)  tidak  terdapat  pada  cabangnya,  yakni  apel  tidak
ditakar.  
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  112 
JENIS-JENIS QIYAS ( ﻡﺎﺴﻗﺃ   ﺱﺎﻴﻘﻟﺍ )

Qiyas terbagi menjadi Qiyas Jali ( ﻲﻠﺟ) dan Qiyas Khofi ( ﻲﻔﺧ).

1. Qiyas jali (jelas) adalah : yang tetap 'illahnya dengan nash atau ijma' atau
dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya.
 
Contoh  yang  'illah-nya  tetap  dengan  nash  :  Mengqiyaskan  larangan
istijmar (bersuci dengan batu atau yang semisalnya, pent) dengan darah najis
yang beku dengan  larangan  istijmar dengan kotoran hewan, maka  'illah dari
hukum  ashl-nya  tetap  dengan  nash  ketika  Ibnu  Mas'ud  rodhiyallohu  anhu
datang kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam dengan dua batu dan sebuah
kotoran hewan agar beliau beristinja' dengannya, kemudian beliau mengambil
dua batu tersebut dan melempar kotoran hewan tersebut dan mengatakan :
"Ini kotor ( ﺍﺬﻫ   ﺲﻛﺭ )", dan (ﺲﻛﺮﻟﺍ) adalah najis (ﺲﺠﻨﻟﺍ).

Contoh  yang  'illah-nya  tetap  dengan  ijma'  :  Nabi  shollallohu  alaihi wa
sallam melarang seorang qodhi (hakim) memutuskan perkara dalam keadaan
marah.

Maka  qiyas  dilarangnya  qodhi  yang menahan  kencing  dari memutuskan
perkara,  terhadap  larangan  qodhi  yang  sedang  marah  dari  memutuskan
perkara merupakan qiyas jali karena  'illah ashl-nya tetap dengan  ijma' yaitu
adanya gangguan pikiran dan sibuknya hati.

Contoh  yang  dipastikan  'illah-nya  dengan menafikan  perbedaan  antara
ashl  dan  cabangnya  : Qiyas diharamkannya menghabiskan harta anak  yatim
dengan membeli  pakaian,  terhadap  pengharoman menghabiskannya  dengan Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  113 
membeli  makanan  karena  kepastian  tidak  adanya  perbedaan  antara
keduanya. 

2.  Qiyas  khofi  (samar)  adalah  :  yang  'illah-nya  tetap  dengan  istimbath
(penggalian hukum) dan tidak dipastikan dengan menafikan perbedaan antara
ashl dengan cabang.

Contohnya  :  mengqiyaskan  tumbuh-tumbuhan  dengan  gandum  dalam
pengharaman  riba  dengan  'illah  sama-sama  ditakar, maka  penetapan  'illah
dengan  takaran  tidak  tetap dengan nash,  tidak pula dengan  ijma' dan  tidak
dipastikan dengan menafikan perbedaan antara ashl dan cabangnya. Bahkan
memungkinkan  untuk  dibedakan  antara  keduanya,  yaitu  bahwa  gandum
dimakan berbeda dengan tumbuh-tumbuhan.

QIYAS ASY-SYABH / KEMIRIPAN ( ﺱﺎﻴﻗ   ﻪﺒﺸﻟﺍ )

Di antara Qiyas ada yang dinamakan dengan "Qiyas asy-Syabh" yaitu suatu
cabang diragukan antara dua ashl yang berbeda hukumnya, dan pada cabang
tersebut terdapat kemiripan dengan masing-masing dari kedua ashl tersebut,
maka  cabang  tersebut  digabungkan  dengan  salah  satu  dari  kedua  ashl
tersebut yang lebih banyak kemiripannya.

Contohnya  :  apakah  seorang  budak  bisa  memiliki  dalam  keadaan  ia
dimiliki  dengan  diqiyaskan  kepada  orang  merdeka?  atau  dia  tidak  bisa
memiliki dengan diqiyaskan kepada binatang ternak?

Jika kita memperhatikan dua ashl ini, orang yang merdeka dan binatang
ternak, kita dapati bahwa budak diragukan antara keduanya. Dari sisi bahwa Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  114 
ia  adalah  seorang manusia  yang  berakal,  ia  diberi  ganjaran, diberi  siksaan,
menikah  dan menceraikan,  yang  ini mirip  dengan  orang merdeka. Dari  sisi
bahwa  ia  diperjual  belikan,  digadaikan, diwaqafkan, dihadiahkan, dijadikan
sebagai warisan, tidak ditinggalkan begitu saja, dijaminkan dengan harga dan
bisa  digunakan,  yang  hal  ini mirip  dengan binatang  ternak. Dan  kami  telah
mendapatkan  bahwa  budak  dari  sisi  penggunaan  harta  lebih  mirip  dengan
binatang ternak maka hukumnya digabungkan dengannya.

Jenis  qiyas  ini  adalah  lemah  jika  tidak ada antara  cabang dan ashl-nya
'illah  yang  sesuai,  hanya  saja  ia memiliki  kemiripan dengan  ashl-nya dalam
kebanyakan hukumnya dengan keadaan diselisihi oleh ashl yang lain.  

QIYAS AL-'AKS/ KEBALIKAN ( ﺱﺎﻴﻗ   ﺲﻜﻌﻟﺍ )

Di  antara  qiyas  ada  yang  dinamakan  dengan  "Qiyas  al-'Aks",  yaitu  :
penetapan  lawan  hukum  ashl  untuk  cabangnya,  karena  adanya  lawan  dari
'illah hukum ashl pada cabang tersebut.

Dan mereka (para ulama ahli ushul, pent) memberi contoh dengan sabda
Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam : 

"     ﺔﻗﺪﺻ ﻢﻛﺪﺣﺃ ﻊﻀﺑ ﰲﻭ  ." ﺍﻮﻟﺎﻗ  :    ﷲﺍ ﻝﻮﺳﺭ ﺎﻳ  !       ﺎﻬﻴﻓ ﻪﻟ ﻥﻮﻜﻳﻭ ﻪﺗﻮﻬﺷ ﺎﻧﺪﺣﺃ ﰐﺄﻳﺃ
  ﻝﺎﻗ ؟ﺮﺟﺃ " :        ﰲ ﺎﻬﻌـﺿﻭ ﺍﺫﺇ ﻚﻟﺬـﻜﻓ ؟ﺭﺯﻭ ﻪﻴﻠﻋ ﻥﺎﻛﺃ ﻡﺍﺮﺣ ﰲ ﺎﻬﻌﺿﻭ ﻮﻟ ﻢﺘﻳﺃﺭﺃ
ﺮﺟﺃ ﻪﻟ ﻥﺎﻛ ﻝﻼﳊﺍ " 

"Dan  pada  persetubuhan  salah  seorang  di  antara  kalian  bernilai
shodaqoh." Para  sahabat berkata  :  "Wahai Rosululloh, apakah  salah  seorang
dari  kami  menyalurkan  syahwatnya  lalu  ia  mendapat  pahala  karenanya?" Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  115 
Rosululloh  berkata  :  "Bagaimana  menurut  kalian  jika  ia  menyalurkannya
kepada yang harom, bukankah ia akan mendapat dosa? Demikian pula jika ia
menyalurkannya kepada yang halal, maka ia akan mendapat pahala."

Nabi  shollallohu  alaihi  wa  sallam  menetapkan  untuk  cabang  yaitu
persetubuhan  yang  halal  sebagai  pembatal  hukum  ashl  yaitu  persetubuhan
yang haram, karena adanya pembatal 'illah hukum ashl pada cabang tersebut,
ditetapkan  pahala  untuk  cabangnya  karena  ia  adalah  persetubuhan  yang
halal,  sebagaimana  pada  ashl-nya  ditetapkan  dosa  karena  ia  adalah
persetubuhan yang haram.

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  116 
 ﺘﻟﺍ ﻌ  ﺭﺎ ﺽ 
TA'ARUDH

Definisinya :

Ta'arudh  secara bahasa  :  Saling  berhadapan (  ﻞـﺑﺎﻘﺘﻟﺍ)  dan  saling menghalangi
(ﻊﻧﺎﻤﺘﻟﺍ).

Secara istilah : 

ﺮﺧﻵﺍ ﺎﳘﺪﺣﺃ ﻒﻟﺎﳜ ﺚﻴﲝ ﲔﻠﻴﻟﺪﻟﺍ ﻞﺑﺎﻘﺗ 

"Saling berhadapannya dua dalil dari sisi salah satunya menyelisihi yang lain."

Pembagian ta'arudh ada empat :

Yang  pertama  :  terjadi  pada  dua  dalil  yang  umum,  padanya  ada  empat
kondisi :

1.  Mungkin  umtuk  dijama'  antara  keduanya,  dari  sisi  masing-masing  dalil
tersebut bisa dibawa pada kondisi yang tidak bertentangan dengan yang lain,
maka harus dijama'.

Misalnya : Firman Alloh ta'ala kepada Nabi-Nya shollallohu alaihi wa sallam :

ٍ ﻢﻴِ ﻘ ﺘ ﺴﻣ ٍ ﻁﺍ ﺮِﺻ ﻰﹶ ﻟِﺇ ﻱِ ﺪ ﻬ ﺘﹶﻟ  ﻚ ﻧِ ﺇﻭ 

"Dan  sesungguhnya  kamu  benar-  benar memberi  petunjuk  kepada  jalan
yang lurus." [QS. Asy-Syuuro' : 52] Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  117 
Dan firman Alloh ta'ala :

 ﺖ ﺒ ﺒ ﺣﹶﺃ  ﻦﻣ ﻱِ ﺪ ﻬﺗ ﻻ  ﻚ ﻧِﺇ 

"Sesungguhnya  kamu  tidak  akan  dapat memberi petunjuk  kepada orang
yang kamu kasihi." [QS. Al-Qoshosh : 56]

Dan jama' antara keduanya adalah bahwa ayat yang pertama maksudnya
adalah hidayatud dalalah (atau yang disebut hidayatul irsyad atau hidayatul
bayan, pent) kepada al-haq, dan  sifat  ini tetap bagi Rosul shollallohu alaihi
wa sallam.

Dan ayat yang kedua maksudnya adalah hidayatut taufiq untuk beramal,
hidayatut  taufiq  ini di  tangan Alloh  ta'ala  sedangkan Rosululloh  shollallohu
alaihi wa sallam dan yang selainnya tidak memilikinya.

2.  Jika  tidak  mungkin  untuk  dijama',  maka  dalil  yang  datang  belakangan
menjadi  nasikh  (yang  menghapus  hukum  sebelumnya,  pent)  jika  tarikhnya
diketahui,  sehingga  dalil  nasikh  tersebut  diamalkan  sedangkan  dalil  yang
datang lebih dulu (mansukh) tidak diamalkan.

Misalnya : Firman Alloh ta'ala tentang puasa :

    ﻢﹸ ﻜﹶﻟ  ﺮ ﻴ ﺧ ﺍﻮ ﻣﻮ ﺼﺗ ﹾ ﻥﹶ ﺃﻭ  ﻪﹶﻟ  ﺮ ﻴ ﺧ  ﻮ ﻬﹶﻓ ﹰ ﺍﺮ ﻴ ﺧ  ﻉ ﻮﹶ ﻄﺗ  ﻦ ﻤﹶﻓ 

"Barangsiapa  yang  dengan  kerelaan  hati mengerjakan  kebajikan, maka
itulah  yang  lebih  baik  baginya.  Dan  berpuasa  lebih  baik  bagimu  jika  kamu
mengetahui." [QS. Al-Baqoroh : 184]
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  118 
Ayat  ini  memberi  faidah  bolehnya  memilih  antara  makan  dan  puasa
dengan tarjih agar berpuasa.

Dan firman Alloh ta'ala :

ﺮ ﺧﹸﺃ ٍ ﻡﺎ ﻳﹶﺃ  ﻦِﻣ ﹲ ﺓ ﺪِ ﻌﹶﻓ ٍ ﺮﹶ ﻔﺳ ﻰﹶ ﻠﻋ  ﻭﹶﺃ ﹰ ﺎﻀﻳِ ﺮﻣ ﹶ ﻥﺎﹶﻛ  ﻦ ﻣﻭ  ﻪ ﻤ ﺼ ﻴﹾ ﻠﹶﻓ  ﺮ ﻬ ﺸﻟﺍ  ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ  ﺪِ ﻬﺷ  ﻦ ﻤﹶﻓ 

"Karena  itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya)
di  bulan  itu, maka  hendaklah  ia  berpuasa  pada  bulan  itu,  dan  barangsiapa
sakit  atau  dalam  perjalanan  (lalu  ia  berbuka),  maka  (wajiblah  baginya
berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain."
[QS. Al-Baqoroh : 185]

Menunjukkan bahwa puasa harus dilakukan  bagi orang  yang  tidak  sakit
dan musafir  dan mengqodho'  sebagai  kewajiban bagi  keduanya  (orang  sakit
dan  musafir),  akan  tetapi  ayat  ini  datang  belakangan  setelah  ayat  yang
pertama tadi, sehingga ayat yang kedua adalah sebagai nasikh bagi ayat yang
pertama sebagaimana yang demikian ditunjukkan oleh hadits Salamah bin al-
Akwa'  yang  tetap dalam ash-Shohihain  (shohih al-Bukhori dan Muslim, pent)
dan yang selain keduanya.

3.  Jika  tidak  diketahui  tarikh-nya, maka  diamalkan  dengan  yang  rojih,  jika
ada dalil yang merojihkan.

Misalnya : Sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam : 

ﺄﺿﻮﺘﻴﻠﻓ ﻩﺮﻛﺫ ﺲﻣ ﻦﻣ 
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  119 
"Barang  siapa  yang  menyentuh  kemaluannya,  maka  hendaklah  ia
berwudhu." 
Dan beliau shollallohu alaihi wa sallam pernah ditanya tentang seseorang
yang menyentuh kemaluannya, apakah ia harus berwudhu? Beliau menjawab : 

ﻚﻨﻣ ﺔﻌﻀﺑ ﻮﻫ ﺎﳕﺇ ﻻ 

"Tidak, sesungguhnya (kemaluannya) itu adalah bagian dari tubuhmu". 

Maka  dirojihkan  dalil  yang  pertama  karena  pendapat  ini  lebih hati-hati
dan  juga  karena  hadits  yang  pertama  tadi  jalannya  lebih  banyak  dan  yang
menshohihkannya  juga  lebih  banyak,  dan  juga  karena  hadits  pertama  tadi
memindahkan dari hukum asal, padanya terdapat tambahan ilmu.     

4.  Jika  tidak  ada  dalil  yang  merojihkan,  maka  wajib  untuk  tawaqquf
(didiamkan), tetapi tidak didapatkan padanya contoh yang shohih.

Yang kedua  : Ta'arudh  terjadi antara dua dalil yang khusus, dalam keadaan
ini juga ada empat kondisi.

1. Mungkin untuk dijama' antara keduanya, maka wajib dijama'.

Misalnya  :  hadits  Jabir  rodhiyallohu  anhu  tentang  sifat  haji  Nabi
shollallohu alaihi wa sallam, bahwa Nabi shollallohu alaihi wa sallam sholat
dhuhur  pada  hari  an-Nahr  (idul  adha,  pent)  di Mekkah[1],  dan  hadits  Ibnu
Umar  rodhiyallohu  anhuma  bahwa Nabi  shollallohu  alaihi wa  sallam  sholat
dhuhur di Mina, maka dijama' antara keduanya bahwa beliau sholat dhuhur di Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  120 
Mekkah dan ketika keluar ke Mina beliau mengulangnya (sebagai tathowwu',
pent) dengan para sahabat yang ada di sana. 

2.  Jika  tidak  memungkinkan  untuk  dijama',  maka  dalil  yang  kedua  (yang
datangnya belakangan, pent) adalah sebagai nasikh jika diketahui tarikhnya.

Misalnya : firman Alloh ta'ala :

       ﺎـ ﻤِﻣ  ﻚ ﻨﻴِ ﻤﻳ ﺖﹶ ﻜﹶ ﻠﻣ ﺎ ﻣﻭ  ﻦ ﻫ ﺭﻮ ﺟﹸﺃ  ﺖ ﻴ ﺗﺁ ﻲِ ﺗﺎﱠ ﻠﻟﺍ  ﻚ ﺟﺍ ﻭ ﺯﹶﺃ  ﻚﹶﻟ ﺎ ﻨﹾ ﻠﹶ ﻠ ﺣﹶﺃ ﺎ ﻧِﺇ  ﻲِ ﺒ ﻨﻟﺍ ﺎﻬ ﻳﹶﺃ ﺎﻳ
ﻭ  ﻚ ﻤﻋ ِ ﺕﺎ ﻨ ﺑﻭ  ﻚ ﻴﹶ ﻠﻋ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ َ ﺀﺎﹶ ﻓﹶﺃ  ﻚِ ﺗﺎ ﻤﻋ ِ ﺕﺎ ﻨﺑ 

"Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri- isterimu
yang  telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki
yang  termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan
Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak perempuan dari saudara laki-
laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara perempuan bapakmu." [QS
Al-Ahzab : 50]

Dan firman Alloh ta'ala :

ﹶﺃ  ﻮﹶ ﻟﻭ ٍ ﺝﺍ ﻭ ﺯﹶﺃ  ﻦِﻣ  ﻦِ ﻬِﺑ ﹶ ﻝ ﺪ ﺒﺗ ﹾ ﻥﹶﺃ ﻻﻭ  ﺪ ﻌﺑ  ﻦِﻣ ُ ﺀﺎ ﺴ ﻨﻟﺍ  ﻚﹶﻟ ﱡ ﻞِ ﺤﻳ ﻻ ﻦ ﻬ ﻨ ﺴﺣ  ﻚ ﺒ ﺠﻋ 

"Tidak  halal  bagimu mengawini  perempuan-perempuan  sesudah  itu  dan
tidak  boleh  (pula)  mengganti  mereka  dengan  isteri-isteri  (yang  lain),
meskipun kecantikannya menarik hatimu" [QS Al-Ahzab : 52] 
 
Maka  ayat  yang  kedua  adalah  sebagai  nasikh  bagi  ayat  yang  pertama
menurut salah satu pendapat. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  121 

3.  Jika  tidak memungkinkan  untuk  di-naskh, maka  diamalkan  dengan  yang
rojih jika ada dalil yang merojihkan.
 
Misalnya  :  hadits  Maimunah,  bahwa  Nabi  shollallohu  alaihi  wa  sallam
menikahinya ketika ia dalam keadaan halal (setelah selesai ihrom, pent). Dan
hadits  Ibnu  Abbas  bahwa  Nabi  shollallohu  alaihi  wa  sallam  menikahi
Maimunah dalam keadaan ia sedang ihrom. 

Maka  yang  rojih  adalah  hadits  yang  pertama,  karena Maimunah  adalah
pelaku  kisah  tersebut  dan  ia  lebih mengetahui  tentang  kisahnya,  dan  juga
karena  hadits  Maimunah  tersebut  dikuatkan  dengan  hadits  Abu  Rofi'
rodhiyallohu  anhu  :  bahwa  Nabi  shollallohu  alaihi  wa  sallam menikahinya
(Maimunah) ketika dalam keadaan halal, ia (Abu Rofi') berkata : 

ﹸ ﻛﻭ ﺎﻤ ﻬ ﻨ ﻴﺑ ﹶ ﻝﻮ ﺳ ﺮﻟﺍ  ﺖﻨ 

"Ketika itu aku adalah perantara antara keduanya."

4.  Jika  tidak  ada  dalil  yang  merojihkan,  maka  wajib  ditawaqqufkan
(didiamkan) dan tidak ada pada keadaan ini contoh yang shohih.

Yang ketiga : ta'arudh terjadi antara dalil yang umum dan dalil yang khusus,
maka dalil yang umum dikhususkan dengan dalil yang khusus.

Misalnya : sabda beliau shollallohu alaihi wa sallam : 

ِﻓ ﻴ ﻤ ﺳ ﺎ ﹶﻘ ِﺖ  ﺴﻟﺍ  ﻤ ُ ﺀﺎ    ﻌﻟﺍ ﺸ ﺮ 

"(Pertanian) yang diairi dengan hujan (zakatnya adalah) sepersepuluh."  Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  122 
Dan sabda beliau : 

ﹶﻟ ﻴ  ﺲ ِﻓ  ﻴ ﻤ ﺩ ﺎ ﻭ ﹶﻥ  ﺧ  ﻤ ﺴ ِﺔ ﹶﺃ  ﻭ ﺳ ٍ ﻖ ﺻ  ﺪ ﹶ ﻗ ﹲﺔ 

"Tidak ada zakat pada (hasil pertanian) yang di bawah lima wisq". 

Maka  hadits  yang  pertama  dikhususkan  dengan  hadits  yang  kedua  dan
tidak diwajibkan zakat kecuali pada apa-apa yang sampai lima wisq.

Yang  keempat  :  ta'arudh  terjadi  antara  2  nash,  yang  salah  satunya  lebih
umum daripada yang lain dari satu sisi, dan lebih khusus dari sisi lain.

1.  Salah  satu dalil bertindak  sebagai pengkhusus dari  keumuman  salah  satu
dari kedua dalil tersebut, maka dikhususkan dengannya.

Contohnya : firman Alloh ta'ala : 

ﹰ ﺍﺮ ﺸ ﻋﻭ ٍ ﺮ ﻬ ﺷﹶﺃ ﹶ ﺔ ﻌ ﺑ ﺭﹶﺃ  ﻦِ ﻬِ ﺴﹸ ﻔ ﻧﹶ ﺄِﺑ  ﻦ ﺼ ﺑ ﺮ ﺘﻳ ﹰﺎﺟﺍ ﻭ ﺯﹶﺃ ﹶ ﻥﻭ ﺭﹶ ﺬ ﻳﻭ  ﻢﹸ ﻜ ﻨِﻣ ﹶ ﻥ ﻮﱠ ﻓ ﻮ ﺘﻳ  ﻦﻳِ ﺬﱠ ﻟﺍﻭ 

"Orang-orang  yang  meninggal  dunia  di  antaramu  dengan meninggalkan
isteri-isteri  (hendaklah  para  isteri  itu)  menangguhkan  dirinya  (ber'iddah)
empat bulan sepuluh hari." [QS. al-Baqoroh : 234]

Dan Firman-Nya:

 ﻦ ﻬﹶ ﻠ ﻤﺣ  ﻦ ﻌ ﻀﻳ ﹾ ﻥﹶﺃ  ﻦ ﻬﹸ ﻠ ﺟﹶﺃ ِ ﻝﺎ ﻤ ﺣﹶ ﺄﹾ ﻟﺍ  ﺕﻻﻭﹸ ﺃﻭ 

"Dan  perempuan-perempuan  yang  hamil, waktu  'iddah mereka  itu  ialah
sampai mereka melahirkan kandungannya." [QS. ath-Tholaq : 4]
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  123 
Ayat  yang  pertama  bersifat  khusus  pada  wanita  yang  ditinggal  mati
suaminya,  dan  bersifat  umum  pada wanita  hamil  dan  yang  selainnya.  Ayat
yang  kedua  bersifat  khusus  pada  wanita  hamil  dan  bersifat  umum  pada
wanita  yang  ditinggal mati  suaminya  dan  yang  selainnya.  Akan  tetapi  dalil
menunjukkan  pengkhususan  keumuman  ayat  pertama  dengan  ayat  kedua,
yang  demikian  karena  Subai'ah  al-Aslamiyyah  melahirkan  semalam  setelah
kematian  suaminya,  maka  Rosululloh  sholallohu  alaihi  wa  sallam
mengizinkannya  untuk menikah  lagi.  Dengan  ini, maka masa  'iddah wanita
hamil adalah sampai ia melahirkan, baik ia adalah wanita yang ditinggal mati
suaminya atau yang selainnya.

2.  Jika  tidak  ada  dalil  yang  bertindak  sebagai  pengkhusus  dari  keumuman
salah satu dari kedua dalil tersebut, maka diamalkan dalil yang rojih.

Contohnya : sabda beliau sholallohu alaihi wa sallam :

ِ ﻦ ﻴ ﺘ ﻌﹾ ﻛﺭ  ﻲﱢ ﻠ ﺼﻳ ﻰ ﺘﺣ ﺲِ ﻠ ﺠﻳ ﺎﹶ ﻠﹶﻓ  ﺪِ ﺠ ﺴ ﻤﹾ ﻟﺍ  ﻢﹸ ﻛ ﺪ ﺣﹶﺃ ﹶ ﻞ ﺧﺩ ﺍﹶ ﺫِﺇ 

"Jika  salah  seorang  di  antara  kalian masuk masjid,  janganlah  ia  duduk
sebelum ia sholat 2 roka'at."

Dan sabda beliau :

 ﺲ ﻤ ﺸﻟﺍ  ﺏ ﺮ ﻐﺗ ﻰ ﺘﺣ ِ ﺮ ﺼ ﻌﹾ ﻟﺍ  ﺪ ﻌﺑ ﹶ ﺓﺎﹶ ﻠﺻ ﺎﹶ ﻟﻭ  ﺲ ﻤ ﺸﻟﺍ  ﻊﹸ ﻠﹾ ﻄﺗ ﻰ ﺘﺣ ِ ﺢﺒﺼﻟﺍ  ﺪ ﻌﺑ ﹶ ﺓﺎﹶ ﻠﺻ ﺎﹶﻟ 

"Tidak ada  sholat  setelah  sholat  shubuh  sampai terbitnya matahari, dan
tidak ada sholat setelah sholat ashar sampai terbenamnya matahari."
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  124 
Hadits yang pertama bersifat khusus pada tahiyyatul masjid dan bersifat
umum dari  sisi waktunya. Dan dalil  yang  kedua bersifat  khusus pada waktu
dan bersifat umum dari sisi jenis sholatnya, mencakup tahiyyatul masjid dan
yang  selainnya.  Akan  tetapi  yang  rojih  adalah mengkhususkan  keumumam
hadits  kedua  dengan  hadits  pertama, maka  boleh  sholat  tahiyyatul masjid
pada  waktu-waktu  yang  dilarang  padanya  untuk  sholat  secara  umum,  dan
hanya saja kami merojihkan yang demikian karena pengkhususan keumuman
hadits kedua telah tetap pada selain tahiyyatul masjid, seperti meng-qodho'
sholat  fardhu  dan  mengulang  seholat  jama'ah,  sehingga menjadi  lemahlah
keumumannya.

3.  Dan  jika  tidak ada dalil dan  tidak pula murojjih  (dalil yang merojihkan)
untuk mengkhususkan keumuman salah satu dari keduanya, maka wajib untuk
mengamalkan  kedua  dalil  tersebut  pada  apa-apa  yang  tidak  terjadi
pertentangan  di  dalamnya,  dan  tawaqquf  (diam)  pada  bentuk  yang  kedua
dalil tersebut saling bertentangan padanya.

Akan  tetapi  tidak mungkin  terjadi  pertentangan  antara  nash-nash pada
satu masalah dari sisi yang tidak mungkin untuk di-jama', atau di-naskh, atau
ditarjih;  karena  nash-nash  tidaklah  saling  membatalkan,  dan  Rosululloh
shollallohu  alaihi  wa  sallam  telah  menjelaskan  dan  menyampaikan,  akan
tetapi terkadang yang demikian terjadi pada pendapat seorang mujtahid yang
disebabkan keterbatasannya. Wallohu A'lam.

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  125 
 ﺘﻟﺍ ﺮ ِﺗ ﻴ  ﺐ ﺑ  ﻴ ﻦ َ ﻷﺍ  ِﺩ ﱠﻟ ِﺔ 
URUTAN DI ANTARA DALIL-DALIL

Jika  dalil-dalil  yang  telah  lalu  (al-Qur'an,  as-Sunnah,  Ijma',  dan  Qiyas)
sepakat atas suatu hukum atau salah satu dalil tersebut menyendiri tanpa ada
yang  menyelisihinya  maka  wajib  untuk  menetapkan  hukumnya.  Dan  jika
terjadi  ta'arudh  dan  mungkin  untuk  dijama'  maka  wajib  untuk  dijama',
seandainya  tidak  mungkin  untuk  dijama'  maka  dilakukan  naskh  jika  telah
sempurna syarat-syarat naskh tersebut.

Dan  jika  tidak  mungkin  untuk  dilakukannya  naskh,  maka  wajib  untuk
ditarjih.

Maka lebih diutamakan dalam al-Qur'an dan as-Sunnah :

Nash daripada dzohir.

Dzohir daripada mu'awwal.

Manthuq (yang tersurat) daripada mafhum (yang tersirat).

Mutsbit (yang menetapkan) daripada nafi (yang meniadakan).

Yang memindahkan dari hukum asal ( ﻞﻗﺎﻨﻟﺍ   ﻦﻋ   ﻞﺻﻷﺍ ) daripada yang tetap di
atas hukum asal tersebut ( ﻲﻘﺒﳌﺍ   ﻰﻠﻋ   ﻞﺻﻷﺍ ), karena pada yang memindahkan dari
hukum asal terdapat tambahan ilmu.

Keumuman yang mahfudz (yakni yang tidak terkhususkan) daripada yang
tidak mahfudz. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  126 
Dalil yang memiliki sifat untuk diterima lebih banyak daripada dalil yang
memiliki sifat untuk diterima kurang darinya.

Pelaku kejadian daripada yang selainnya.

Dan didahulukan dalam ijma' : qoth'i daripada dzonni. 

Dan didahulukan dalam qiyas : jali daripada khofi.

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  127 
ِ ﺘﹾ ﻔ ﻤـﻟﺍ ِ ﺘﹾ ﻔ ﺘ ﺴ ﻤـﻟﺍﻭ ﻲ ﻲ 
MUFTI DAN MUSTAFTI

Mufti (ﱵﻔﳌﺍ) : 

ﹸ ﳌﺍ  ﺨ ِﺒ ﺮ ﻋ  ﻦ ﺣ  ﹾﻜ ٍﻢ ﺷ  ﺮ ِﻋ ٍﻲ 

"Orang yang mengabarkan/memberitahu suatu hukum syar'i."

Mustafti (ﱵﻔﺘﺴﳌﺍ) : 

 ﺴﻟﺍ ِ ﺋﺎ ﹸﻞ ﻋ  ﻦ ﺣ  ﹾﻜ ٍﻢ ﺷ  ﺮ ِﻋ ٍﻲ 

"Orang yang bertanya tentang suatu hukum syar'i."

SYARAT-SYARAT FATWA :

Disyaratkan untuk bolehnya seseorang berfatwa dengan syarat:

1.  Seorang Mufti mengetahui tentang suatu hukum dengan yakin atau dzonn
rojih  (persangkaan  kuat),  dan  jika  ia  tidak  mengetahui  maka  wajib
baginya untuk tawaqquf.

2.  Pertanyaan  digambarkan  dengan  sempurna  (jelas),  agar  lebih  kokoh
dalam menghukuminya, karena "ﻩﺭﻮﺼﺗ ﻦﻋ ﻉﺮﻓ ﺀﻲﺸﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﻢﻜﳊﺍ" (penentuan hukum
atas sesuatu merupakan cabang dari penggambarannya).
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  128 
Jika  makna  perkataan  mustafti  masih  rancu  bagi  mufti  maka  ia
bertanya kepada mustafti tentang pertanyaannya itu, jika pertanyaannya
butuh untuk dirinci maka mufti minta agar pertanyaannya dirinci, atau ia
yang  menyebutkan  jawabannya  secara  rinci.  Jika  ia  ditanya  tentang
seseorang  laki-laki  yang  mati  meninggalkan  anak  perempuan,  saudara
laki-laki dan  'am syaqiq (paman/saudara  laki-laki dari ayah yang se-ayah
dan  se-ibu,  pent),  maka  mufti  bertanya  tentang  saudara  laki-laki
tersebut,  apakah  ia  se-ibu  saja (Akh  li Umm, pent) atau  tidak? atau  ia
merinci  dalam  jawabannya;  jika  se-ibu  saja maka  tidak mendapat apa-
apa,  dan  sisanya  setelah  bagian  anak  perempuan  adalah  untuk  paman,
dan  jika  saudara  laki-laki  tersebut  tidak  hanya  se-ibu  saja  (yakni  Akh
Syaqiiq  atau Akh  li Abb,  pent), maka  sisa warisan  setelah  bagian  anak
perempuan adalah untuk saudara laki-laki tersebut.

3.  Seorang mufti dalam keadaan tenang sehingga ia mampu menggambarkan
masalah  dan  menerapkannya  pada  dalil-dalil  syar'i,  maka  janganlah
seorang berfatwa dalam keadaan pikirannya sedang sibuk dengan marah,
sedih, bosan atau yang selainnya.

DISYARATKAN DALAM WAJIBNYA BERFATWA DENGAN SYARAT-SYARAT :

1.  Telah  terjadinya  kejadian  yang ditanyakan  tersebut,  jika belum  terjadi
maka  tidak wajib  untuk  berfatwa  dikarenakan  tidak mendesak,  kecuali
jika maksud penanya adalah untuk belajar maka  tidak boleh bagi mufti
untuk menyembunyikan ilmu, bahkan ia menjawabnya kapanpun penanya
bertanya pada setiap keadaan.
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  129 
2.  Dia tidak mengetahui kondisi penanya bahwa maksudnya bertanya adalah
untuk  berlebih-lebihan,  atau  mencari-cari  rukhshoh,  atau  untuk
mempertentangkan antara pendapat para  'ulama yang satu dengan yang
lain,  atau  yang  selainnya  dari  maksud-maksud  yang  buruk.  Jika  ia
mengetahui  hal  tersebut  dari  kondisi  penanya,  maka  ia  tidak  wajib
berfatwa.

3.  Fatwa  tersebut  tidak  menimbulkan  mudhorot  yang  lebih  besar,  jika
dengan  fatwa  tersebut akan timbul mudhorot yang  lebih besar, maka  ia
wajib diam untuk menolak mafsadat yang  lebih besar dengan yang lebih
ringan.

YANG DIHARUSKAN BAGI MUSTAFTI:

Diharuskan 2 perkara bagi Mustafti:

Yang pertama :  ia menginginkan kebenaran dari pertanyaannya tersebut
dan  beramal  dengannya,  bukan  untuk  mencari-cari  rukhshoh  dan
menyudutkan mufti, dan yang selain itu dari niat-niat yang buruk.

Yang kedua :  ia tidak meminta fatwa kecuali dari orang yang tahu, atau
yang ia duga kuat bahwa orang itu mampu berfatwa.

Dan  selayaknya  ia  untuk  memilih  di  antara  2  orang  mufti  yang  lebih
berilmu dan lebih waro', dan dikatakan : yang demikian adalah wajib.

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  130 
ِ ﻹﺍ  ﺟ ِﺘ ﻬ  ﺩﺎ 
IJTIHAD

DEFINISINYA :

Ijtihad secara bahasa : 

ﺑ ﹾ ﺬ ﹸﻝ ﹾ ﻟﺍ  ﺠ ﻬ ِﺪ ِﻟ  ِﺈ ﺩ ﺭ ِ ﻙﺍ ﹶﺃ  ﻣ ٍﺮ ﺷ  ّ ٍ ﻕﺎ 

"Mengerahkan  kesungguhan  untuk  memperoleh  suatu  perkara  yang
berat."

Secara istilah : 

ﺑ ﹾ ﺬ ﹸﻝ ﹾ ﻟﺍ  ﺠ ﻬ ِﺪ ِﻟ  ِﺈ ﺩ ﺭ ِ ﻙﺍ ﺣ  ﹾﻜ ٍﻢ ﺷ  ﺮ ِﻋ ٍﻲ 

"Mengerahkan kesungguhan untuk mengetahui suatu hukum syar'i."

Mujtahid :
 
ﻣ ﻦ ﺑ  ﹶ ﺬ ﹶﻝ  ﺟ  ﻬ ﺪ ﻩ ِﻟ  ﹶ ﺬ ِﻟ ﻚ 

"Orang yang mengerahkan kesungguhannya untuk hal tersebut."

Syarat-syarat Ijtihad:

Ijtihad memiliki syarat-syarat, di antaranya :

1.  Ia mengetahui dalil-dalil syar'i yang dibutuhkan dalam ijtihadnya, seperti
ayat-ayat hukum dan hadits-haditsnya. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  131 
2.  Ia mengetahui apa-apa yang berhubungan dengan keshohihan hadits dan
kedho'ifannya,  seperti mengetahui  sanad-sanadnya  dan  para  perowinya
dan lain-lain.

3.  Ia mengetahui nasikh dan mansukh dan tempat-tempat terjadinya ijma',
sehingga  ia tidak menghukumi dengan suatu hukum yang sudah mansukh
atau menyelisihi ijma'.

4.  Ia  mengetahui  dalil-dalil  yang  diperselisihkan  hukumnya  dari
pengkhususan,  atau  taqyid,  atau  yang  semisalnya,  sehingga  ia  tidak
menghukumi dengan yang menyelisihi hal tersebut.

5.  Ia mengetahui  bahasa  ('Arab,  pent),  dan  ushul  fiqih  yang  berhubungan
dengan  penunjukkan-penunjukkan  lafadz,  seperti  umum,  khusus,
muthlaq, muqoyyad, mujmal, mubayyan, dan yang semisal  itu, sehingga
ia  menghukumi  dengan  apa  yang  menjadi  konseskuensi  penunjukkan-
penunjukkan tersebut.

6.  Ia memiliki kemampuan untuk kokoh dalam menggali hukum-hukum (ber-
istimbath) dari dalil-dalilnya.

Dan ijtihad terkadang terbagi-bagi, terkadang pada satu bab dari bab-bab
ilmu, atau pada satu permasalahan dari masalah-masalahnya.

YANG HARUS DILAKUKAN SEORANG MUJTAHID:

Seorang  mujtahid  harus  mengerahkan  kesungguhannya  dalam  mencari
yang benar, kemudian menghukumi dengan apa yang nampak baginya, jika ia
benar  maka  ia  akan  mendapat  2  ganjaran;  ganjaran  atas  ijtihadnya  dan
ganjaran  atas  mendapatkan  yang  benar,  karena  dalam  mendapatkan Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  132 
kebenaran berarti  ia  telah menampakkan yang benar dan mengamalkannya.
Dan  jika  ia  salah  maka  ia  mendapat  satu  ganjaran  dan  kesalahannya
diampuni, berdasarkan sabda Rosululloh shollallohu alaihi wa sallam : 

ﺮﺟﺃ ﻪﻠﻓ ﺄﻄﺧﺃ ﰒ ،ﺪﻬﺘﺟﺎﻓ ﻢﻜﺣ ﺍﺫﺇﻭ ،ﻥﺍﺮﺟﺃ ﻪﻠﻓ ﺏﺎﺻﺃ ﰒ ،ﺪﻬﺘﺟﺎﻓ ﻢﻛﺎﳊﺍ ﻢﻜﺣ ﺍﺫﺇ 

"Jika seorang hakim menghukumi sesuatu dan berijtihad lalu benar, maka
ia mendapat dua ganjaran. Dan jika ia menghukumi dan berijtihad lalu salah,
maka ia mendapat satu ganjaran."

Dan  jika  hukum  tersebut  belum  nampak  baginya, maka  ia wajib  untuk
tawaqquf dan boleh baginya untuk bertaqlid ketika itu karena darurat.

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  133 
ﹾ ﻘ ﺘﻟﺍ ِﻠ ْ ـ  ﺪﻴ 
TAQLID

DEFINISINYA :

Secara bahasa :

ﺓﺩﻼﻘﻟﺎﻛ ﻪﺑ ﹰﺎﻄﻴﳏ ﻖﻨﻌﻟﺍ ﰲ ﺀﻲﺸﻟﺍ ﻊﺿﻭ 

"Meletakkan sesuatu di leher dengan melilitkan padanya seperti tali kekang."

Secara istilah : 

ﺔﺠﺣ ﻪﻟﻮﻗ ﺲﻴﻟ ﻦﻣ ﻉﺎﺒﺗﺍ 

"Mengikuti perkataan orang yang perkataannya bukan hujjah."

Keluar dari perkataan kami : (    ﺔـﺠﺣ ﻪـﻟﻮﻗ ﺲﻴـﻟ ﻦﻣ) "orang yang perkataannya
bukan  hujjah"  :  ittiba'  (mengikuti)  Nabi  sholallohu  alaihi  wa  sallam,
mengikuti  ahlul  ijma',  dan  mengikuti  shahabat  jika  kita  katakan  bahwa
perkataan  shahabat  tersebut adalah hujjah, maka mengikuti  salah  satu dari
hal  tersebut  tidaklah  dinamakan  taqlid,  karena  hal  ini  merupakan  ittiba'
kepada hujjah. Akan  tetapi  terkadang disebut  sebagai  taqlid dari  sisi majaz
dan perluasan bahasa.

TEMPAT-TEMPAT TERJADINYA TAQLID (ﺪﻴﻠﻘﺘﻟﺍ ﻊﺿﺍﻮﻣ):

Taqlid dapat terjadi dalam dua tempat : Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  134 
Yang pertama : seorang yang taqlid (muqollid) adalah orang awam yang
tidak  mampu  mengetahui  hukum  (yakni  ber-istimbath  dan  istidlal,  pent)
dengan  kemampuannya  sendiri,  maka  wajib  baginya  taqlid.  Berdasarkan
firman Alloh sholallohu alaihi wa sallam :

ﺗ ﻻ  ﻢ ﺘ ﻨﹸﻛ ﹾ ﻥِﺇ ِ ﺮﹾ ﻛﱢ ﺬﻟﺍ ﹶ ﻞ ﻫﹶﺃ ﺍﻮﻟﹶ ﺄ ﺳﺎﹶﻓ ﹶ ﻥﻮ ﻤﹶ ﻠﻌ 

"Maka  bertanyalah  kepada  orang  yang  mempunyai  pengetahuan  jika
kamu tidak mengetahui." [QS. an-Nahl : 43]

Dan  hendaknya  ia mengikuti  orang  (yakni  'ulama,  pent)  yang  ia  dapati
lebih utama dalam  ilmu dan waro'(kehati-hatian)nya,  jika hal  ini sama pada
dua  orang  ('ulama),  maka  hendaknya  ia  memilih  salah  seorang  diantara
keduanya.

Yang kedua : terjadi pada seorang mujtahid suatu kejadian yang ia harus
segera  memutuskan  suatu  masalah,  sedangkan  ia  tidak  bisa  melakukan
penelitian  maka  ketika  itu  ia  boleh  taqlid.  Sebagian  'ulama mensyaratkan
untuk bolehnya taqlid : hendaknya masalahnya (yang ditaqlidi) bukan dalam
ushuluddin  (pokok  agama/aqidah,  pent)  yang  wajib  bagi  seseorang  untuk
meyakininya; karena masalah aqidah wajib untuk diyakini dengan pasti, dan
taqlid hanya memberi faidah dzonn (persangkaan).

Dan  yang  rojih  (kuat)  adalah  bahwa  yang  demikian  bukanlah  syarat,
berdasarkan keumuman firman Alloh sholallohu alaihi wa sallam :

ﹶ ﻥﻮ ﻤﹶ ﻠ ﻌﺗ ﻻ  ﻢ ﺘ ﻨﹸﻛ ﹾ ﻥِﺇ ِ ﺮﹾ ﻛﱢ ﺬﻟﺍ ﹶ ﻞ ﻫﹶﺃ ﺍﻮﻟﹶ ﺄ ﺳﺎﹶﻓ 
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  135 
"Maka  bertanyalah  kepada  orang  yang  mempunyai  pengetahuan  jika
kamu tidak mengetahui." [QS. an-Nahl : 43]
 
Ayat  ini  adalah  dalam  konteks  penetapan  kerosulan  yang  merupakan
ushuluddin, dan  karena orang awam  tidak mampu untuk mengetahui  (yakni
ber-istimbath dan  istidlal, pent) kebenaran dengan dalil-dalinya Maka jika ia
memiliki  udzur  dalam  mengetahui  kebenaran,  tidaklah  tersisa  (baginya)
kecuali taqlid, berdasarkan firman Alloh sholallohu alaihi wa sallam : 

 ﻢ ﺘ ﻌﹶ ﻄ ﺘ ﺳﺍ ﺎﻣ  ﻪﱠ ﻠﻟﺍ ﺍﻮﹸ ﻘ ﺗﺎﹶﻓ 

"Bertakwalah kepada Alloh semampu kalian." [QS. at-Taghobun : 16]

JENIS-JENIS TAQLID :

Taqlid ada dua jenis : umum dan khusus.

1.  Taqlid yang umum : seseorang berpegang pada suatu madzhab tertentu
yang ia mengambil rukhshoh-rukhshohnya1
 dan azimah-azimahnya2
 dalam
semua urusan agamanya.

Dan para 'ulama telah berbeda pendapat dalam masalah ini. Diantara
mereka  ada  yang  berpendapat  wajibnya  hal  tersebut  dikarenakan
(menurut mereka, pent) orang-orang muta-akhirin memiliki udzur (tidak
                                                
1
 Rukhshoh (ﺔﺼﺧﺮﻟﺍ) : (ﹰ ﺎﻌﺠﻄﻀﻣ ﻭﺃ ﹰ ﺍﺪﻋﺎﻗ ﺓﻼﺼﻟﺎﻛ ﺭﺬﻌﻟﺍ ﺔﻟﺎﺣ ﺹﻮﺼﳋ ﻲﻋﺮﺷ ﻞﻴﻟﺪﺑ ﺖﺒﺛ ﺎﻣ) "Apa-apa yang
tetap dengan dalil syar'i yang khusus pada kondisi adanya udzur; seperti sholat sambil
duduk atau berbaring".
Pent


2
 Azimah (ﺔﳝﺰﻌﻟﺍ): ( ﺖﺒﺛ ﺎﻣ ﹰ ﺎﻤﺋﺎﻗ ﺓﻼﺼﻟﺎﻛ ﺭﺬﻌﻟﺍ ﺔﻟﺎﺣ ﲑﻐﻟ ﹰ ﺎﻋﺮﺷ  ) "Apa-apa yang tetap/berlaku secara
syar'i, bukan dalam kondisi adanya udzur; seperti sholat sambil berdiri.
pent
 Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  136 
mampu, pent) untuk ber-ijtihad; diantara mereka ada yang berpendapat
haramnya hal tersebut karena apa yang ada padanya dari keharusan yang
mutlak dalam mengikuti orang selain Nabi sholallohu alaihi wa sallam.

Syaikhul  Islam  Ibnu  Taimiyyah  berkata  :  "Sesungguhnya  dalam
pendapat  yang  mewajibkan  taat  kepada  selain  Nabi  dalam  segala
perintah  dan  larangannya  adalah  menyelisihi  ijma'  dan  tentang
kebolehannya masih dipertanyakan."

Beliau  juga  berkata  :  "Barangsiapa  memegang  suatu  madzhab
tertentu, lalu ia melaksanakan yang menyelisihi madzhabnya tanpa taqlid
kepada  'ulama  lain  yang  memberinya  fatwa  dan  tanpa  istidlal  dengan
dalil  yang  menyelisihinya,  dan  tanpa  udzur  syar'i  yang  menunjukkan
halalnya  perbuatan  yang  dilakukannya,  maka  ia  adalah  orang  yang
mengikuti hawa nafsunya, pelaku keharoman tanpa ada udzur syar'i, dan
ini  adalah  mungkar.  Adapun  jika  menjadi  jelas  baginya  apa-apa  yang
mengharuskan adanya  tarjih pendapat yang satu atas yang  lainnya, baik
dengan dalil-dalil yang terperinci jika ia tahu dan memahaminya, atau ia
melihat salah seorang 'ulama yang berpendapat adalah lebih 'aalim (tahu)
tentang masalah  tersebut  daripada  'ulama  yang  lain,  yang mana  'ulama
tersebut  lebih  bertaqwa  kepada  Alloh  terhadap  apa-apa  yang
dikatakannya,  lalu  orang  itu  rujuk  dari  satu pendapat  ke pendapat  lain
yang seperti  ini maka  ini boleh, bahkan wajib dan al-Imam Ahmad telah
menegaskan akan hal tersebut.

2.  Taqlid  yang  khusus  :  seseorang  mengambil  pendapat  tertentu  dalam
kasus  tertentu,  maka  ini  boleh  jika  ia  lemah/tidak  mampu  untuk
mengetahui yang benar melalui ijtihad, baik ia lemah secara hakiki atau
ia mampu tapi dengan kesulitan yang sangat. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  137 
FATWA SEORANG MUQOLLID (ORANG YANG BERTAQLID):

Alloh sholallohu alaihi wa sallam berfirman:

ﹶ ﻥﻮ ﻤﹶ ﻠ ﻌﺗ ﻻ  ﻢ ﺘ ﻨﹸﻛ ﹾ ﻥِﺇ ِ ﺮﹾ ﻛﱢ ﺬﻟﺍ ﹶ ﻞ ﻫﹶﺃ ﺍﻮﻟﹶ ﺄ ﺳﺎﹶﻓ 

"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan (ِ ﺮﹾ ﻛﱢ ﺬﻟﺍ ﹶ ﻞ ﻫﹶﺃ)
jika kamu tidak mengetahui." [QS. an-Nahl : 43] 

Dan  ahludz  dzikr (   ِ ﺮﹾ ﻛﱢ ﺬـﻟﺍ ﹶ ﻞـ ﻫﹶﺃ)  mereka  adalah  ahlul  ilmi,  dan  muqollid
bukanlah  termasuk  ahlul  ilmi  yang  diikuti,  akan  tetapi  ia  hanya mengikuti
orang lain.

Abu Umar Ibnu Abdil Barr dan yang selainnya berkata: "Manusia telah ber-
ijma'  bahwa  muqollid  tidak  terhitung  sebagai  ahli  ilmu,  dan  bahwa  ilmu
adalah mengetahui kebenaran dengan dalilnya." Ibnul Qoyyim berkata: "Yang
demikian  sebagaimana  dikatakan  oleh  Abu  Umar,  karena  manusia  tidak
berbeda pendapat bahwa ilmu adalah pengetahuan yang dihasilkan dari dalil.
Adapun  jika tanpa dalil, maka  ini adalah taqlid." Kemudian setelah  itu  Ibnul
Qoyyim menyebutkan 3 pendapat tentang bolehnya fatwa dengan taqlid:

Yang  pertama:  tidak  boleh  berfatwa  dengan  taqlid  karena  taqlid
bukanlah  ilmu,  dan  berfatwa  tanpa  ilmu  adalah  harom.  Ini  merupakan
pendapat  kebanyakan  al-Ash`haab  (yakni  'ulama  Hanabilah,  pent)  dan
kebanyakan (jumhur) Syafi'iyyah.

Yang  kedua  :  bahwa  hal  tersebut  boleh dalam masalah  yang berkaitan
dengan dirinya sendiri, dan seseorang tidak boleh taqlid dalam masalah yang
ia berfatwa dengannya kepada orang lain. Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  138 
Yang ketiga : bahwa hal tersebut boleh ketika ada hajat (keperluan) dan
tidak  adanya  seorang  'aalim  mujtahid,  pendapat  ini  merupakan  pendapat
yang  paling  benar  dan  pendapat  ini  dilakukan.  Selesai  perkataannya  (Ibnul
Qoyyim, pent).

Dan dengan ini maka sempurnalah apa yang kami ingin menulisnya dalam
kesempatan  yang  singkat  ini,  kita memohon kepada Alloh agar memberikan
kepada  kita  petunjuk  dalam  perkataan  dan  perbuatan,  dan menutup  amal-
amal  kita  dengan  kesuksesan,  sesungguhnya  ia  Maha  Memberi  dan  Maha
Pemurah, sholawat dan salam semoga tercurah atas Nabi kita Muhammad dan
keluarganya.

*** Ushul Fiqih ( ﻝﻮﺻﺃ   ﻪﻘﻔﻟﺍ )

  139 
MAROJI'


1.  al-Qomus al-Muhith : al-Fairuz Abadi.

2.  al-Kaukabul Munir syarh Mukhtashor at-Tahrir : al-Futuhi.

3.  Minhaajul Ushul dan Syarahnya  : matan oleh al-Baidhowi, pensyarahnya
majhul bagi kami.

4.  Syarhu  Jam'il  Jawami'  wa  Hasyiyatuhu  :  Syarah  oleh  al-Muhli  dan
Hasyiyah oleh al-Bunani.

5.  Roudhotun  Nadzir  dan  syarahnya  :  pokok-nya  oleh  al-Muwaffiq,  dan
syarah oleh Abdul Qodir bin Badron.

6.  Hushulul Ma'mul min 'Ilmil Ushul : Muhammad Shiddiq.

7.  al-Madkhol ila Madzhabi Ahmad ibni Hanbal : Abdul Qodir bin Badron.

8.  Irsyadul Fuhul ila Tahqiqil Haq min Ilmil Ushul : asy-Syaukani.

9.  Fatawa  Syaikhil  Islam  Ibni  Taimiyyah  :  penyusun  :  Abdurrahman  bin
Qosim.

10. al-Muswaddah  fi Ushulil Fiqh  : Syaikhul  Islam  Ibnu Taimiyyah, ayah dan
kakeknya.

11. Zaadul Ma'ad : Ibnul Qoyyim.

12.  I'lamul Muwaqqi'in : Ibnul Qoyyim.
LihatTutupKomentar