METODE PENEMUAN HUKUM BAYANI, TA’LILI, ISTISLAHI


         
                                        
     BAB I 
PENDAHULUAN
                                                                     
A.                Latar Belakang
Sumber pokok hukum islam adalah Al-Quran dan sunah Pada masa Rasul, manakala muncul suatu persoalan hukum, baik yang berhubungan dengan Allah maupun kemasyarakatan, Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran untuk menjelaskannya.Rasulsebagai Muballig, menyampaikan penhyampaian penjelasan ini kepada umatnya untuk di ikuti. Kendati demikian, penjelasan Al-Quran tersebut tidak selamanya tegas dan terperinci (tafsili), melainkan kebanyakan bersifat garis besar (ijmali), sehingga di butuhkan lebih lanjut dari Rasul. Sebagai orang yang di beri wewenang menjelaskan di satu sisi dan menghadapi realitas sosial yang berkembang di sisi lain, Rasul terkadang harus menggunakan akal yang di sebut dengan ijtihad dalam penerapan hukum Islam.
Kajian hukum pada akhirnya membicarakan tujuan ditetapkannya hukum dalam Islam merupakan kajian yang menarik dalam bidang Ushul Fikih dan Filsafat Hukum Islm. Dalam perkembangan berikutnya merupakan kajian utama dalam metode penemuan hukum Islam.Tujuan penemuan hukum haruslah dipahami oleh mujtahid dalam rangka mengembangkan pemikiran hukum dalam Islam secara umum dan menjawab persoalanpersoalan hukum kontemporer yang kasusnya tidak diatur secara eksplisit oleh Al-Quran dan Hadis.

B.     Rumusan Masalah  
Dengan adanya latar belakang dapat disimpulkan rumusan masalah seperti berikut :
  1. Bagaimana pengertian fikih?
  2. Bagaimana pengertian ushul figh?
  3. Bagaimana Pengertian Metode Penemuan Hukum Islam.?
  4. Bagaimana Metode Penemuan Hukum Bayani, Ta’lili, Istislahi dan Istishab.?

C.    Tujuan Penulisan
Dengan adanya rumusan masalah terdapatlah rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui pengertian fikih!
2.      Untuk mengetahui pengertian uhul figh!
3.      Untuk Mengetahui Pengertian Metode Penemuan Hukum Islam.!
4.      Untuk Mengetahui Metode Penemuan Hukum Bayani, Ta’lili, Istislahi dan Istilah


BAB II                                                                                                   
 PEMBAHASAN


A.                Pengertian Fiqih
            Menurut bahasa “fiqih” berasal dari kata faqiha-yafqahu-fiqihan yang berarti mengerti atau paham berarti juga paham yang mendalam. Fikih menurut istilh adalah salah satu bidang ilmu dalam syariat islam yang secara khusus membahas persoalan hokum yang mengatur berbagai aspek kehidupan manusia baik pribadi, masyarakat maupun kehidupan dengan tuhannya.
            Jadi, Fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
            Definisi fiqih secara umum, ialah suatu ilmu yang mempelajari bermacam-macam syariat atau hokum islam dan berbagai macam aturan hidup bagi manusia, baik yang bersifat individu maupun yang berbentuk masyarakat sosial.
Fikih menurut para ahli :
Menurut aknides : ilmu yang mengambil hokum syariah dari bukti syariah dalam halam hal ini seperti al qur’an, sunnah rasul, ijmaq, dan qiyas.

B.                 Pengertian Ushul Fiqih
            Produk ilmu fiqih adalah “fiqih”. Sedangkan kaidah-kaidah istinbath (mengeluarkan) hukum dari sumbernya dipelajari dalam ilmu “Ushul Fiqih”. Jika fiqih adalah paham mengenai sesuatu sebagai hasil dari kesimpulan pikiran manusia. Maka ushul fiqih adalah dasar yang dipakai oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat.
Ushul figh menurut istilah yaitu mutacarikin menurut syariah adalah ilmu tentang hokum syar’I yang bersifat aplikatif yang digali dari dalil dalil terperinci.dan secara bahasa adalah dasar bagi yang lain baik yang bersifat indrawi seperti membangun dinding diatas pondasi, atau bersifat a'li.


C.    Pengertian Metode Penemuan Hukum Islam
            Dalam istilah ilmu Ushul Fikih metode penemuan hukum dipakai dengan istilah ”istinbath”, yaitu mengeluarkan hukum dari dalil, jalan istinbath ini memberikan kaidah-kaidah yang bertalian dengan pengeluaran hukum dari dalil.[i] Imam Al-Ghazali dalam kitabnya”Al-Mustashfa, memasukan dalam bab III dengan judul ”Thuruqul Istitsmar”. Jika dilihat tujuan mempelajari Ushul Fikih maka password yang paling penting dalam mempelajari ilmu tersebut adalah agar dapat mengetahui dan mempraktekkan kaidah-kaidah cara mengeluarkan hukum dari dalilnya.
            Dengan demikian metode penemuan hukum merupakan thuruq al-istinbath yaitu cara-cara yang ditempuh seorang mujtahid dalam mengeluarkan hukum dari dalilnya, baik dengan menggunakan kaidah-kaidah bahasa (lingkuistik) Maupun dengan menggunakan kaidah-kaidah Ushuliyah lainnya[1]. Ahli Ushul Fikih menetapkan ketentuan bahwa untuk mengeluarkan hukum dari dalilnya harus terlebih dahulu mengetahui kaidah syar‟iyyah dan kaidah lughawiyah.

  1. Kaidah syar‟iyyah.
Kaidah syar‟iyyah ialah ketentuan umum yang ditempuh syara‟ dalam menetapkan hukum dan tujuan penetapan hukum bagi subyek huku (mukallaf).Selanjutnya perlu juga diketahui tentang penetapan dalil yang dipergunakan dalam penetapan hukum, urut-urutan dalil, tujuan penetapan hukum dan sebaginya.
2.      Kaidah lughawiyah.
Dengan kaidah lughawiyah, makna dari suatu lafaz, baik dari dalalah-nya maupun uslub-nya dapat diketahui, selanjutya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum.Kaidah ini berasal dari ketentuan-ketentuan ahli lughat (bahasa) yang dijadikan sandaran oleh ahli ushul dalam memahami arti lafaz menurut petunjuk lafaz dan susunannya.
Dengan demikian istinbath adalah cara bagaimana memperoleh ketentuan Hukum Islam dari dalil-dalilnya sebagaimana dibahas dalam ilmu Ushul Fikih. Usha memperoleh ketentuan hukum dari dalilnya itulah yang disebut istinbath. Beristinbath hukum dari dalil-dalilnya dapat dilakukan dengan jalan pembahasan bahasa yang dipergunakan dalam dalil Al-Quran atau Sunnah Rasul, dan dapat pula dilakukan dengan jalan memahami jiwa hukum yang terkandung dalam dalilnya, baik yang menyangkut latar belakang yang menjadi landasan ketentuan hukum ataupun yang menjadi tujuan ketentuan hukum.
Syarat untuk dapat beristinbath dengan jalan pembahasan bahasa adalah harus memahami bahasa dalil Al-Quran dan Sunnah Rasul, yaitu bahasa Arab.Tanpa memiliki pengetahuan bahasa Arab, beristinbath melalui pembahasan bahasa tidak dapat dilakukan.Dari sinilah dapat diketahui bahwa pengetahuan tentang bahasa Arab merupakan hal yang mutlak wajib dipelajari oleh setiap orang yang ingin berijtihad.


D.                Metode Penemuan Hukum Bayani, Ta’lili dan Istislahi
1.      Metode bayani (hermaneutika)
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin : yakni proses mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami (alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham) ; perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig).Dalam perkembangan hukum bayani atau setidaktidaknya mendekati sebuah metode dengan istilah hermaneutika yangbermakna mengartikan‟, menafsirkan‟atau menerjemah‟ dan juga bertindak sebagai penafsir. Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang lebih jelas/konkret; bentuk transformasi makna semacam ini, merupakan hal yang esensial dari pekerjaan seorang penafsir / muffasir.
Dalam tradisi Hukum Islam sesungguhnya terminologi hermeneutika telah lama dikenal dalam keilmuan Islam yang sering disebut dengan istilah ilmu tafsir (ilm ta’wil dan ilm al bayan). Bahkan dalam perkembangan dewasa ini ilmu tafsir mengalami kemajuan pesat dalam wacana keislaman, dalam perspektif yang lebih spesifik, penggunaan istilah ilmu tafisr‟ ditujukan (dikhitobkan) pada terminologi hermeneutika Al Quran sebagaimana padanan kata dari hermeneutika pada umumnya. Trem yang digunakan dalam kegiatan interprestasi dalam wacana ilmu keislaman adalah tafsir.Kata tafsir berasal dari bahasa Arab; fassara atau safara yang artinya digunakan secara teknis dalam pengertian eksegesisi (penafsiran teks) di kalangan orang Islam sejak abad ke-5 hingga sekarang.[2]
Secara epistemologi kata tafsir (al-tafsir) dan ta’wil (al-ta’wil) sering kali disinonimkan pengertiannya ke dalam penafsiran‟ atau penjelasan‟. Al-Tafisr berkaitan dengan interprestasi eksternal (exoteric exegese), sedangkan al-ta’wil lebih merupakan isnterprestasi dalaman (esoteric exegese) yang berkaitan dengan makna batin teks dan penafsiran metaforis terhadap Al Quran. Dengan kata lain al-tafsir suatu upaya untuk menyingkap sesuatu yang samar-samar dan tersembunyi melalui mediator, sedangkan ta’wil kembali ke sumber atau sampai pada tujuan, jika kembali kepada sumber menunjukan tindakan yang mengupayakan gerak reflektif, maka makna sampai ke tujuan adalah gerak dinamis. 
Hermeneutikayang dalam bahasa hukum Islam merupakan ilmu atau seni menginprestasikan (the art pf interprestation) “teks‟ atau memahami sesuatu dalam pengertian memahami teks hukum atau peraturan perundang-undangan.dan kapasitasnya menjadi objek yang ditafsirkan. Kata sesuatu/teks di sini bisa berupa: teks hukum, peristiwa hukum, fakta hukum, dokumen resmi negara, naskah-naskah kuno, ayat-ayat ahkam dan kitab suci atapun berupa pendapat dan hasil ijtihad para ahli hukum (doktrin). Motode dan teknik menafsirkannya dilakukan secara holistik dalam bingkai keterkaitan antara teks, konteks dan kontekstualisasi.
Secara filosofis metode bayani mempunyai tugas ontologis yaitu menggambarkan hubungan yang tidak dapat dihidari antara teks dan pembaca, masa lalu dan sekarang yang memungkinkan untuk memahami kejadian yang pertama kali (geniun) Urgensi kajian ini dimaksudkan tidak hanya akan membebaskan kajian-kajian hukum dari otoritarianisme para yuris positif yang elitis, tetapi juga dari kajian-kajian hukum kaum strukturalis atau behavioralis yang terlalu emperik sifatnya. Sehingga diharapkan kajian tidak semata-mata berkutat demi kepentingan profesi yang eksklusif semata-mata menggunakan paradigma positivisme dan metode logis formal, namun lebih dari itu agar para pengkaji hukum supaya menggali dan meneliti makna-makna hukum dari perspektif para pengguna dan/atau para pencari keadilan.
Relevansi dari kajian penemuan hukum bayani mempunyai dua makna sekaligus: Pertama, metode bayani dapat diahami sebagai metode interprestasi atas teks-teks hukum atau metode memahami terhadap suatu naskah normatif, di mana berhubungan dengan isi (kaidah hukumnya), baik yang tersurat maupun yang tersirat, atau antara bunyi hukum dan semangat hukum. Kedua, metode bayani juga mempunyai pengaruh besar atau relevansi dengan teori penemuan hukum. Hal mana ditampilkan dalam kerangka pemahaman lingkaran spriral hermenuetika (cyricel hermeneutics) yaitu berupa proses timbal-balik antara kaidah-kaidah dan fakta-fakta.


2.      Metode ta’lili
Metode ta’lili yaitu metode yang bercorak pada upaya penggalian hukum yang bertumpu pada penentuan ‘‘illah-‘‘illah hukum (suatu yang menetapkan adanya hukum) yang terdapat dalam suatu nash.
Berkembangnya corak penalaran tak’lili ini karena didukung oleh suatu kenyataan bahwa nash Al-Quran atau hadis dalam penuturannya tentang suatu masalah hukum sebagian di iringi dengan penyebutan ‘‘illah-‘‘illah hukumnya. Atas dasar ‘‘illah yang terkandung di dalam suatu nash permasalahan-permasalahan hukum yang muncul diupayakan oleh mujtahid pemecahanyya melalui penalaran terhadap ‘‘illah yang ada dalam nash tersebut. Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, yang termasuk dalam corak penalaran ta’lili ini adalah metode qiyas dann istihsan, dimana uraian dari kedua hal tesebut yaitu:

  • Qiyas
Secara etimologi kata qiyas berarti qadara, artinya mengukur membandingkan sesuatu dengan sesuatu yang lainnya. Sedangkan arti qiyas menurut terminologi  terdapat beberapa definisi yang berbeda-beda, diantaranya:
Pertama: AL-Ghazali dalam al-Mustasfa memberikan definisi qiyas yaitu menanggungkan sesuatu yang di kehendaki kepada sesuatu yang di ketahui dalah hal penetapan hukum pada keduanya atau meniadakan hukum pada keduanya disebabkan ada hal yang sama antara keduanya, dalam penetapan hukum/sifat atau peniadaan hukum/sifat.
Kedua: Muhammad abu zahrah mendfinisikan Menghubungkan sesuatu perkara yang tidak ada nash tentang hukum nya kepada perkara lain yang ada nash hukum nya karena keduannya berserikan dalam ’’illah hukum nya.
Ketiga: Ibn as-Subki dalam kitabnya jam’u al-Jawami memberikan definisi qiyas adalah menghubungkan sesuatu yang di ketahui kepada sesuatu yang diketahui karena kesamaan dalam ‘‘illah hukum nya menurut pihak yang menghubungkan (mujtahid).
Dari penafsiran di atas dapat di definisikan qiyas adalah pempersamakan peristiwa hukum yang tidak di terntukan hukum nya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang telah ditentukan oleh nash bahwa ketentuan hukum nya sama dengan hukum yang ditentukan nash.
Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa sema hukum syara’ yang dibawa oleh nash itu, disyariatkan untuk mewujudkan kemaslahatan kepentingan manusia, bukan tanpa tujuan. Apabila hukum-hukum itu termasuk kategori yang takterdapat jalan bagi akal mencari kemaslahatan yang detail yang perlu diwujudkan oleh penetapannya sseperti hukum ibadah, maka hukum ini disebut dengan ta’abbudi yang diharuskan pelaksanaanya pelaksanaannya menurut ketentuan yang dibwa oleh nash. Tetapi apabila hukum-hukum yang dibawa nash termasuk kategori terdapat peluang akal mencari kemaslahatan yang menjadi tujuan dan ‘‘illah yang melandasinya, maka subjek hukum (mukallaf) melaksanakannya atau memperlakukannya pada semua peristiwa hukum yang dicakup oleh nash itu dan para mujtahid berkewajiban mengetahui maslahat yang menjadi tujuansyara’ menetapkannya serta mengetahui ‘illah hubungan itulah terwujudnya maslahat. Sehingga apabila dihadapkan kepada mereka suatu peristiwa hukum yang lain dari peristiwa yang disebutkan nash dan mereka mendapatkan kejelasan bahwa didalamnya terwujud ‘illah itu. Maka mereka akan menetapkan hukum nya oleh nash karena maslahat yang terjadi tujuan syara’ itu sudah terwujud.
Adapun cara mengetahui ‘illah ada beberapa macam diantaranya dengan nash itu sendiri yaitu apabila nashnash Alquran atau hadis telah menunjukan bahwa ‘illah hukum nya adalah sifat yang disebut nashnash itu sendiri, maka sifat yang disebut itulah yang menjadi ‘illah hukum nya dan disebut manshushah’alaihi. Mengqiyaskan hukum suatu dengan hukum yang ‘illah hukum nya telah disebutkan oleh nash itu sendiri, pada hakikatnya adalah menetapkan hukum sesuatu pada nash.  Dallalah nash (penunjukan nash) bahwa sifat yang disebutkan oleh nash adalah ‘illah hukum nya itu, kadang-kadang sharihah (jelas sekali) atau secara Ima (Isyarat). Syarihah ialah dalalah lafadz nash kepada ‘illah hukum dengan penunjukan secara jelas sekali disebutkan: ‘illah-nya adalah demikian atau sebabnya demikian.[3]
contoh hadis yang mengqiyaskan perbuatan hukum:
لايرثالقاتل:
“si pembunuh tidak mewarisi orang yang di bunuhnya”
Hadis ini menunjukan (hukum) terhalangnya kewarisan pada peristiwa hukum (waris yang membunuh pewarisnya). Maka apabila dengan Ijtihadnya seorang mujtahid sampai kepada kesimpulan bahwa kemaslahatan yang dimaksudkan oleh syara’ menetapkan hukum “tidak mendapat hak waris seseorang yang mempercepat sesuatu sebelum waktu dan terhalangnya seorang pelaku pidana kejahatan mendapatkan hasil (akibat hukum) dari kejahatannya, serta sampai pula kepada kesimpulan ‘illah yang jelas dijadikan syara’ sebagai hubungan hukum (bet rekking rechtberupa pembunuhan karena didalamnya menghubungkan halangan warisan dengan sebab pembunuhan itulah terwujudnya kemaslahatan tersebu
         Sedangkan asas qiyas adalah menta’lilkan hukum nash, Ta’lil hukum nash maksudnya ialah menyatakan asas yang dijadikan landasan oleh syara’ menetapkan hukum nya pada nash. Jumhur kaum muslimin sepakat bahwa Syari’ah tidaklah menetapkan sesuatu hukum secara kebetulan tanpa sebab yang menuntutnya dan tanpa maslahat yang menjadi sasarannya.
Dari uraian diatas, dapat dikatakan bahwa qiyas sebagai istimbath ta’lili merupakan upaya nalar yang memiliki kedekatan hubungan dengan nash. Qiyas sebagai penalaran ta’lili harus senantiasa dipertajam dengan pertimbangan maqashid asy-syari’ah baik yang berkaitan dengan kemasyarakatan, ekonomi, politik dan moral.Pertimbangan maqashid asy-syariah menjadikan metode qiyas lebih dinamis sebagai solusi permasalahan-permasalahan hukum.
  • istihsan
Istihsan merupakan salah satu metode ijtihad yang di perselisihkan oleh para alim ulama, meskipun dalam kenyataanya, semua ulama menggunakannya, para ulama menggunakannya secara praktis.Pada dasarnya para ulama menggunakan istihsan dalam arti bahasa yaitu berbuat sesuatu yang lebih baik atau mengikuti suatu yang lebih baik.
Sedangkan secara istilah menurut ahli ushul dari kalangan Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah dalam mendefinisikan istihsan adalah berpindah dari suatu ketentuan terhadap beberapa peristiwa hukum kepada ketentuan hukum lain, mendahulukan suatu ketentuan hukum dari ketentuan yang lain, menyisihkan hukum dari ketentuan hukum umum yang mencakupnya ataupun mentakhsiskan sebagian satuan hukum dari hukum umum.Sedangkan dari ulama ushul yaitu perpindahan dari suatu ketentuan hukum yang menjadi konsekwensi dari suatu dalil syara; terhadap suatu peristiwa hukum, kepada ketentuan hukum lain terhadapnya, karena disebut sebagai sanad istihsan, maka sebenarnya istihsan itu adalah mentarjihkan /mengumpulkan suatu dalil dari dalil yang menentangnya disebabkan adanya murajjih/faktor yang mengunggulkannya yang diakui (mu’tabar-respectable).
Setelah menganalisis beberapa definisi istihsan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat dari istihsan, yaitu seorang mujtahid dalam melakukan ijtihad untuk menemukan dan menetapkan suatu hukum tidak jadi menggunakan suatu dalil, baik dalil itu menggunakan qiyas, dalam bentuk hukum kulli atau dalam kaidah umum, sebagai gantinya ia menggunakan dalil lain dalam bentuk qiyas lain yang dinilai lebih kuat. Atau nash yang ditemukannya atau urf yang berlaku, atau keadaan darurat atau hukum pengecualian. Alasannya adalah karena dengan cara itulah seorang mujtahid menganggapnya sebagai cara terbaik yang lebih banyak mendatangkan kemaslahatan dan lebih menjauhkan kesulitan bagi umat.

3.      Metode istislahi
Corak penalaran istislahi adalah upaya penggalian hukum yang bertumpu pada prinsip-prinsip kemaslahatan yang di simpulkan dari Alquran dan hadis.Artinya kemaslahatan yang dimaksudkan disini adalah kemaslahatan yang secara umum ditunjuk oleh kedua sumber hukum terssebut. Maksudnya kemaslahatan itu tidak dapat dikembalikan kepada suatu ayat atau hadis secara langsung baik melalui penalaran bayani atau ta’lili melainkan dikembalikan pada prinsip umum kemaslahatan yang dikandung oleh nash.[4]
Dalam perkembangan pemikiran ushul fikih, corak penalaran istihlahi ini tampak dalam beberapa metode ijtihad,antara lain dalam metode al-mashlahah  al-mursalah dan saddudz-dzari’ah. Untuk melihat bagaimana corak penalaran istihlahi dengan kedua metode tersebut.
  • Al-mashlahah al-mursalah
Secara etimologi mashlahah  barasal dari kata shaluha di gunakan untuk menunjukan jika sesuatu atau seorang menjadi baik, tidak korupsi, benar, adil,shalih, jujur atau secara alternatif untuk menunjukan keadaan yang mengandung kebajikan-kebajikan tersebut. ketika dipergunakan dengan bersama preposisi Li, shaluha akan memberikan pengertian kesserasian, dalam pengertian rasionalnya maslhahah berarti sebab, cara atau suatu yang bertujuan baik. Ia juga berarti sesuatu permasalahan atau bagian dari urusan yang menghasilkan kebaikan yang dalam bahasa arab berarti perbuatan-perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia.
Dalam pengertian secara definitif terdapat perbedaan rumusan dikalangan ulama yang ketika di analisis hakikatnya sama yakni:
Al-Ghazali menjelaskan bahwa menurut asalnya mashlahah itu berarti sesuatu yang mendatangkan manfaat dan menjauhkan madharat, namun hakikat dari mashlahah  adalah memelihara tujuan syara’. Sedangkan tujuan syara’ dalam  penetapan hukum itu ada lima yaitu: memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Sedang menurut Asy-syatibi mengartikan mashlahah  dari dua pandangan yaitu dari terjadinya mashlahah dalam kenyataan dan dari segi tergantungnya tuntutan syara’ kepada mashlahah. Dari segi terjadinya mashlahah dalam kenyataannya berarti sesuatu yang kembali kepada tegaknya kehidupan manusia, sempurna hidupnya, tercapai apa yang dikehendaki oleh sifat syahwati dan akliyah seccara mutlak”.  Sedangkan dari tergantungnya tuntutan sayara’ kepada mashlahah, yaitu kemaslahatan yang merupakan tujuan dari penetapan hukum syara’ untuk menghasilkannya Allah menuntut manusi untuk berbuat. 
Adapun mashlahah mursalah terdiri dari dua kata yang hubungan keduanya dalam bentuk sifat maushuf, atau dalam bentuk khusus yang menunjukan bahwa ia merupakan bagian dari al-mashlahah. Tentang arti mashlahah telah dijelaskan di atas secara etimologi maupun secara terminologi. Al-mursalah adalah isim maf’ul (objek) dari fi’il madhi (kata dasar) dalam bentuk kata dasar ketiga,yaitu رسل dengan penambahan huruf “alif” di pangkalnya sehingga menjadi ارسل yang secara bahasa berarti terlepas, jika di hubungkan dengan kata mashlahah maksudnya adalah terlepas dari boleh atau tidaknya dilakukan. Sedang menurut istilah yaitu apa yang dipandang baik oleh akal, sejalan dengan tujuan syara’ dalam menetapkan hukum, namun tidak ada petunjuk syara’ yang memperhitungkan dan tidak ada pula petunjuk syara’ yang menolaknya.
  • Saddudz-dzara’i (dzari’ah)
Secara harfiah Saddudz-dzara’i terdiri atas dua kata yakni sad yang berarti penghalang atau sumbat dan dzariah  yang artinya jalan. Oleh karenanya Saddudz-dzara’i dimaksudkan sebagai menghambat atau menyumbat semua jalan yang menuju kepada kerusakan atau maksiat.Tujuan penetapan melalui metode ini adalah untuk memudahkan tercapainya kemaslahatan dan jauh kemungkinan memudahkan terjadinya kerusakan.Metode ini disebut sebagai metode preventif mencegah sesuatu sebelum terjadinya suatu yang tidak diinginkan.[5]
Keberadaan dzariah  ini dilandaskan pada Alquran misalnya pada firman Allah:
يَاأَيُّهَاالَّذِينَآمَنُوالاتَقُولُوارَاعِنَاوَقُولُواانْظُرْنَاوَاسْمَعُوا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad): “Raa`ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan dengarlah”“ (QS al-baqarah: 104)
Larangan ini di turunkan disebabkan ucapan “Raa`ina”, oleh kaum yahudi digunakan untuk mencaci Nabi. Maka kaum muslimin dilarang mengucapkannya untuk menghindartakan timbulnya dzari’ah. Metode ini tidak hanya bersifat menghindarkan kerusakan namun dzari’ah juga untuk menarik kemanfaatan, kemanfaatan dan kerusakan inilah yang menjadi parameter prinsib digunakannya dzari’ah. jika kerusakan lebih besar dari manfaatnya maka hukum terhadap hal itu melalui dzari’ah akan menjadi dilarang.
4.      Metode Istishab
Menurut ulama fikih istishab berarti apa yang ada pada masa lalu dipandang masih ada pada masa sekarang dan masa yang akan datang, atau terus menetapkan apa yang telah ada dan meniadakan apa yang sebelumnya tidak ada sehingga terdapat dalil yang mengubahnya.
ماثبتبزمانويحكمببقائه
Apa yang telah diyakini ada pada suatu masa, dihukumkan tetapnya (selama belum ada dalil yang mengubahnya).
penggunaan istishab sebagai sumber adalah bahwa secara syar’i hukum- Alasan hukum syara’ berlaku sesuai dengan dalil yang ada hingga ada dalil lain yang mengubahnya. Abu zahrah mencotohkan dengan minuman anggur yang memabukan yang haram berdasarkan syara’, namun jika kemudian minuman anggur itu  berubah wujud sehingga unsur yagn memabukan itu hilang, misalnya menjadi cuka, maka hilang pulalah keharamnnya.[6]
Istishab ini ada untuk mengantisipasi kekosongan hukum atas suatu perkara. Artinya istishab adalah merupakan jalan untuk mencapai suatu ketetapan hukum, misalnya ketika terdapat perkara yang tidak ada nash hukum nya (setelah melalui proses ijtihadiah) maka akan ditetapkan kebolehannya dengan berdasarkan pada kaidah:
انالاصلفىالاثياءالاباحة
sesungguhnya asal mula dalam segala sesuatu adalah dibolehkan
Kaidah ini diambil dari nash yang menyatakan bahwa Dia (Allah) telah menaklukan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untuk manusia. Dan sesuatu yang ada di bumi tidaklah diciptakan untuk manusia dan ditaklukan bagi manusia kecuali apabila sesuatu diperbolehkan untuk mereka. Karena kalau sekiranya ia dilarang atas mereka maka suatu itu tidaklah diperuntutkan bagi mereka.
Dari pemaparan diatas dapat dikemukakan bahwa konsep penemuan hukum oleh Juris Islam terutama dipelopori aliran system hukum  terbuka, yang pada pokoknya bahwa suatu peraturan hukum dapat saja dirubah maknanya, meskipun tidak diubah kata-katanya guna direlevansikan dengan fakta yang konkrit yang ada. Keterbukaan sistem hukum Islam karena dalam rangka mencapai kemaslahatan.Jika dalam suatu aturan hukum belum ada dan atau hukum masih bersifat normatif yang belum jelas maknanya, maka metode penemuan hukum dilakukan dengan metode bayani (penafsiran), metode ini ternyata menentukan arti kata-kata terhadap sebuah teks dengan tetap berpegang pada bunyi teks.[7]
Kegiatan penemuan hukum menjadi model dalam kontruksi Hukum Islam karena memang hukum Islam lebih bersifat aspiratif dalam menjawab berbagai problema yang timbul dalam masyarakat.Tidak heran teori-teori tentang penemuan hukum lahir dari fuqahak karena ilmu pengetahuan hukum Islam selalu dinamis ketimbang dengan ilmu lainnya.Hal ini berhubungan dengan kenyataan bahwa dalam msyarakat Islam justru persoalan fikih merupakan persoalan hidup sehari-hari khsususnya dalam aspek fikih ibadah dan mu‟amalahnya.

BAB 3
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Fiqih adalah ilmu untuk mengetahui hukum Allah yang berhubungan dengan segala amaliah mukallaf baik yang wajib, sunah, mubah, makruh atau haram yang digali dari dalil-dalil yang jelas (tafshili).
            2. ushul fiqih adalah dasar yang dipakai oleh pikiran manusia untuk membentuk hukum yang mengatur kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat.
3. Kegiatan penemuan hukum  dengan bayani berarti mengerti sesuatu pada intinya adalah sama dengan kegiatan menginterprestasi sehingga tercapai pemahaman sesuatu. Hal demikian merupakan aspek hakiki dalam keberadaan hukum dalam menjawab permsalahan yang mungkin timbul dengan pemahaman aspek teks hukum itu sendiri baik yang berwujud tulisan, lukisn, perilaku, peristiwa.
            4. Penemuan hukum  dengan metode ta‟lili yang merupakan sifat yang menjadi dasar hukum asal dan menjadi dasar untuk mempersamakan cabang dengan asal pada hukum nya Mendasarkan hukum kepada „‘illah diharapkan melahirkan kemaslahatan, karena memang Al-Quran dan Sunnah memberikan petunjuk bahwa ‘illah hukum adalah sifat tertentu maka sifat itu merupakan ‘illah berdasarkan nash, sehingga pada dasarnya dapat diketahui bahwa ketentuan hukum itu dapat dipecahkan berdasarkan ‘illah hokum




B.SARAN
Kami menyadari makalah ini terbatas dan banyak kekurangan untuk dijadikan landasan kajian ilmu, maka kepada para pembaca agar melihat referensi lain yang terkait dengan pembahasan makalah ini demi relevansi kajian ilmu yang akurat. Maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan dari pembaca sekalian, terima kasih.

















DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Sulaiman, Sumber Hukum Islam Permasalahan Dan Fleksibilitaasnya, Jakarta, Sinar Grafika, 1995
Aibak Kutbudin, Metodologi Pembaruan Hukum Islam, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008
Anshori Abdul Ghofur dan Zulkarnaen Harahap, Hukum Islam Dinamika Dan Perkembangannya Di Indonesia, Yogyakarta: Total Media, 2008.
Basyir Ahmad Azhar, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam,  Yogyakarta.
Djazuli A, Ilmu Fikih Penggalian, Perkembangan dan Penerapan Hukum Islam, Edisi Revisi, Jakarta, Prebada Media, 2005.
Hamidi Jazim, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, Yogyakata , 2004
Ibarahim Duksi, Metode Penetapan Hukum Islam,Jogjakarta, AR-RUZZ MEDIA, 2008
Rahman Asjmuni A. Metode Penetapan Hukum Islam, Jakarta :PT. Bulan Bintang. 2008


[1]Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks,( Yogyakata, UII Pres, 2004), hlm. 23
[2]Kutbudin Aibak, metodologi pembaruan Hukum Islam, (Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008), hlm 80
[3]Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam permasalahan dan fleksibilitaasnya,(Jakarta, Sinar Grafika, 1995),hlm. 82-83.

[4] Sulaiman Abdullah, Sumber Hukum Islam permasalahan dan fleksibilitaasnya, hlm. 130-131.

[5]Ahmad Azhar Basyir, Pokok-Pokok Persoalan Filsafat Hukum Islam, (Yogyakarta, UII Pres, 1984), hlm 32.
[6]Kutbudin Aibak, metodologi pembaruan Hukum Islam,hlm 187.
[7]Asjmuni A. Rahman, Metode Penetapan Hukum Islam, Cet. 2, (Jakarta :PT. Bulan Bintang, 2004), hlm. 1.





LihatTutupKomentar